Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 88654 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siahaan, Munawir
"Penelitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana terjadinya perubahan kebijakan luar negeri Saudi terhadap Qatar dari kebijakan blokade menjadi normalisasi pada tahun 2021. Dengan menandatangani kesepakatan damai pada 5 Januari 2021, Arab Saudi yang awalnya menuntut Qatar melaksanakan 13 tuntutan yang diajukan, berubah menjadi membiarkan Qatar tidak melaksanakan 13 tuntutan tersebut. Guna memahami perubahan tersebut, penelitian ini menggunakan konsep perubahan kebijakan luar negeri Jacob Gustavsson. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deduktif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat empat perubahan kebijakan luar negeri yang merupakan konsekuensi dari empat hal. Pertama, faktor internasional yaitu serangan terhadap fasilitas minyak Saudi pada tahun 2019, terpilihnya Joe Biden sebagai Presiden AS pada November 2020, menurunnya transaksi lintas batas Saudi dengan Qatar, meningkatnya transaksi lintas batas Qatar dengan Turki dan Iran, dan potensi keuntungan ekonomi dari penyelenggaraan Piala Dunia FIFA 2022 Qatar. Kedua, faktor domestik yaitu pemulihan citra MBS atas tuduhan pembunuhan Khashoggi dan menurunnya perekonomian Saudi sebagai dampak dari pandemi COVID-19. Ketiga, pandangan pribadi MBS yang menginginkan normalisasi hubungan dengan Qatar dapat tercapai. Keempat, dinamika pengambilan keputusan Kerajaan Saudi, dalam hal ini pandangan tokoh pemangku kebijakan yang sejalan dengan pandangan pribadi MBS. Maka dari itu, penelitian ini menyimpulkan bahwa keempat hal ini berkontribusi terhadap empat perubahan kebijakan luar negeri Saudi terhadap Qatar.

This research aims to answer how the Saudi Arabia foreign policy towards Qatar shifted from a policy of blockade to normalization in 2021. By signing a peace agreement on January 5, 2021, Saudi Arabia, which initially demanded Qatar to comply with the 13 demands, changed to allowing Qatar to disregard those 13 demands. In order to understand this problem, this research uses the concept of foreign policy change by Jacob Gustavsson. This research uses qualitative research method with deductive approach. This research shows there are four foreign policy changes that are the results of four factors. First, international factors: the attacks on Saudi oil facilities in 2019, Joe Biden's election as US President in November 2020, decline in cross-border transactions between Saudi Arabia and Qatar, increase in cross-border transactions between Qatar and Turkey and Iran, and economic opportunities of FIFA World Cup Qatar 2022. Second, domestic factors; the restoration of MBS's image related to the Khashoggi murder and Saudi Arabia's economic decline resulting from the COVID-19 pandemic. Third, MBS's personal preference for normalization with Qatar. Fourth, the decision-making process of the Kingdom Saudi Arabia, in this case, the policy stakeholders' preferences aligned with MBS's preferences. Therefore, this research concludes that these four factors contribute to the four changes in Saudi Arabia's foreign policy towards Qatar.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, Suparman
"Penelitian ini menganalisis kebijakan luar negeri Inggris dalam pembentukan aliansi keamanan AUKUS pada tahun 2021. Analisis ini mengidentifikasi beberapa faktor yang mendasari keputusan Inggris untuk terlibat dalam aliansi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik analisis data yang berpusat pada causal process tracing. Metode ini digunakan untuk melacak dan memahami proses kausal yang mengarah pada keterlibatan Inggris dalam AUKUS. Dengan menggunakan Teori Peran K.J. Holsti (1970) sebagai kerangka analisis, penelitian ini menemukan faktor-faktor pendorong bagi Inggris untuk membentuk aliansi keamanan AUKUS tahun 2021. Faktor tersebut terdiri dari konsepsi peran nasional Inggris (Peran Tradisional Inggris/Global Britain; Kapabilitas Militer Inggris; dan Kepentingan Ekonomi Inggris), serta Preskripsi Peran Terhadap Inggris (Sistem Struktur Internasional/Peningkatan Kekuatan Militer China di Kawasan Indo-Pasifik; dan Prinsip-Prinsip Umum yang legal/Konsepsi Indo-Pasifik bagi Inggris). Berdasarkan perangkat analisis tersebut, penulis menyimpulkan bahwa kebijakan luar negeri Inggris membentuk AUKUS tahun 2021 adalah didasarkan pada kepentingan nasionalnya untuk berperan sebagai aktor utama keamanan global khususnya dengan kehadirannya kembali di kawasan Indo-Pasifik. Hal ini juga diartikan sebagai pencapaian penting setelah Inggris keluar dari Uni Eropa (Brexit) pada 31 Januari 2020.

This research analyses British foreign policy in the formation of the AUKUS security alliance in 2021. This analysis identifies several factors underlying the UK's decision to be involved in the alliance. This research uses a qualitative method with data analysis techniques that focus on causal process tracing. This method is used to trace and understand the causal processes that led to the UK's involvement in AUKUS. By using Role Theory K.J. Holsti (1970) as an analytical framework, this research finds the driving factors for Britain to form the AUKUS security alliance in 2021. These factors consist of the conception of Britain's national role (Traditional Role of Britain/Global Britain; British Military Capabilities; and British Economic Interests), as well as Role Prescriptions for Britain (International Structure System/Increasing China's Military Power in the Indo-Pacific Region; and Legal General Principles/Conception of the Indo-Pacific for Britain). Based on these analytical tools, the author concludes that British foreign policy in establishing AUKUS in 2021 is based on its national interest to act as a major global security actor, especially with its presence again in the Indo-Pacific region. This is also interpreted as an important achievement after the UK left the European Union (Brexit) on January 31 2020."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Febriandi
"ABSTRAK

Arab Saudi bersama Bahrain, Uni Emirat Arab, dan Mesir secara tiba-tiba memutus hubungan diplomatik dengan Qatar. Tuduhan akan keaktifan Qatar dalam mendukung terorisme berujung pada keputusan ini. Kedekatan Qatar dengan Iran dan Turki juga menjadi salah satu faktor penyebab pemutusan diplomatik ini. Arab Saudi dan sekutu juga melakukan blokade darat, laut, dan udara lalu mengajukan 13 syarat kepada Qatar agar terbebas dari blokade. Qatar dengan tegas menolak untuk patuh terhadap tuntutan Arab Saudi. Umumnya negara kecil akan patuh terhadap negara besar terutama di kawasan. Akan tetapi Qatar sebagai negara kecil di wilayah Timur Tengah berani untuk menolak dan tunduk pada Arab Saudi. Tulisan ini membahas tentang faktor-faktor kegagalan diplomasi koersif yang dilakukan oleh Arab Saudi terhadap Qatar. Tujuan dari penulisan penelitian ini adalah menghadirkan suatu elaborasi kajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan diplomasi koersif Arab Saudi terhadap Qatar. Peningkatan kemampuan militer dan ekonomi Qatar tampaknya menjadi faktor kegagalan tersebut. Pola aliansi yang dibangun dengan Iran dan Turki juga menguatkan Qatar dalam menghadapi tuntutan Arab Saudi ini. Adapun untuk mendukung analisis penulis, tulisan ini menggunakan konsep coercive diplomacy dari Alexander L. George melalui pendekatan kualitatif. Dalam konsep tersebut terdapat lima faktor yang mempengaruhi kesuksesan diplomasi koersif, yaitu legitimasi tuntutan, tuntutan di masa depan, kredibilitas ancaman, kredibilitas tenggat waktu, dan motivasi pelaku. Konsep yang dikemukakan oleh George tersebut dinilai penulis sangat cocok untuk menjabarkan faktor-faktor kegagalan diplomasi koersif Arab Saudi terhadap Qatar. Penulis menemukan bahwa Arab Saudi gagal memenuhi kriteria kesuksesan diplomasi koersif berdasarkan konsep George tersebut, sehingga membuat blokade yang dilakukan Arab Saudi terhadap Qatar menjadi sia-sia.


ABSTRACT

 


Saudi Arabia along with Bahrain, the United Arab Emirates and Egypt cut off their diplomatic relations with Qatar. Allegations of the activeness of Qatar in supporting terrorism motivated in this decision to be taken. The close relation between Qatar with Iran and Turkey is one of the factors causing the diplomatic termination. Saudi Arabia and allies also made a blockade of land, sea and air and then submitted 13 conditions to Qatar to follow. Qatar firmly refused to comply with Saudi demands. Generally small countries will obey large countries, especially in the region. However, Qatar as a small country in the Middle East region dares to reject and comply to Saudi Arabia. This paper will discuss the factors of failure of coercive diplomacy carried out by Saudi Arabia and allies against Qatar. The purpose of writing this research is to present an elaboration of studies regarding the factors that influence the failure of Saudi Arabia's coercive diplomacy towards Qatar. Qatar`s military and economic capacity were the factors that made coercive diplomacy failed. The alliances with Iran and Turkey also strengthened Qatar in facing the demands of Saudi Arabia. This paper will examine the concept of coercive diplomacy by Alexander L. George with a qualitative approach. There are five factors that influence the success of coercive diplomacy: legitimacy of the demands, future demands, credibility of the threats, credibility of time pressures, and motivation of the coercer. The concept put forward by George is considered by the author to be very suitable to describe the factors of failure of Saudi Arabia`s coercive diplomacy towards Qatar. The author found that Saudi Arabia failed to meet the criteria of success of coercive diplomacy from George, so that the Saudi Arabia`s blockade made against Qatar was in vain.

 

"
2019
T54243
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Putu Satyena Uttabhita Pande
"Kebijakan Luar Negeri Republik India merupakan salah satu fenomena hubungan internasional yang signifikan untuk diteliti mengingat kemungkinan kontribusi kepada pemikiran non-barat. Semenjak kemerdekaannya pada tahun 1947, kebijakan luar negeri India telah konsisten mengalami perkembangan. Namun, masih belum ada pemetaan literatur dalam topik ini. Berdasarkan latar ini, penulis akan meninjau perkembangan literatur tentang kebijakan luar negeri Republik India. Tulisan ini akan meninjau 86 literatur yang telah ditelaah oleh penulis berdasarkan tema serta pengaruhnya kepada dunia akademis. Menggunakan metode taksonomi, kumpulan literatur akan dibagi menjadi tujuh kategori tematis. (1) Fondasi Kebijakan Luar Negeri India, (2) Dimensi Kawasan dalam Kebijakan Luar Negeri India, (3) Peran Aktif Kebijakan Luar Negeri India di Tingkat Global, (4), Tantangan Keamanan dalam Kebijakan Luar Negeri India, (5) Isu Ekonomi dalam Kebijakan Luar Negeri India, (6) Soft Power dalam Kebijakan Luar Negeri India, (7) Bahasan Minor dalam Kebijakan Luar Negeri India. Beberapa bagian kategori tersebut kemudian akan dibagi lagi kedalam sub-kategori untuk memberikan gambaran yang lebih detil akan kumpulan literatur. Penjabaran tulisan akan dimulai dari memberikan latar belakang akan pemilihan subjek studi literatur, lalu tinjauan pustaka akan literatur yang telah ditemukan, kemudian diteruskan dengan membahas konsensus, perdebatan, serta celah-celah dari penelitian terdahulu. Dari hasil tinjauan pustaka, ditemukan bahwa paradigma realis dapat ditemukan secara dominan. Selain itu, India memiliki fondasi kebijakan luar negeri yang kaya dan kuat, terlihat dari banyaknya ide-ide dan cara pandang yang belum masuk pada arus utama- karenanya membuka kemungkinan untuk mengembangkannya ke paradigma yang lengkap. Berdasarkan penemuan penulis, perlu adanya penelitian lebih lanjut akan peran politik serta dinamika domestik dalam kebijakan luar negeri India. Selain itu, studi akan pemikiran non-barat yang berasal dari India juga perlu untuk ditingkatkan sebagai bagian dari pengayaan ilmu hubungan internasional

The foreign policy of the Republic of India is one of the significant phenomena of international relations to be studied in light of its possible contribution to non-Western thought. Since its independence in 1947, India’s foreign policy has consistently experienced development. So far, no academic literature has classified Indian foreign policy. Thus, the author will review the literature concerning the foreign policy of the Republic of India. This paper will review 86 literatures which have been surveyed by the author based on theme and its impact to the academic world. Utilizing taxonomy method, the collection of literature will be divided into seven thematic categories. (1) Foundations of Indian Foreign Policy, (2) Regional Dimensions in Indian Foreign Policy, (3) Active Role of Indian Foreign Policy at Global Level, (4) Security Challenges in Indian Foreign Policy, (5) Economic Issues in Indian Foreign Policy, (6) Soft Power in Indian Foreign Policy, (7) Minor Discussions in Indian Foreign Policy. Several parts of the categories will then be further divided into subcategories to provide a more detailed look at the collection of literature. The exposition of the paper will start by providing the background of the selection of the literature subject, then a review of the literature that has been found, followed by discussing the consensus, debate, and gaps from previous studies. From the literature review, a realist paradigm was found to be dominant. Also, India has a rich and strong foundation of foreign policy, evidenced by many ideas and viewpoints that have yet to enter the mainstream- hence opening up the possibility of developing it to a full-fledged paradigm. Based on the findings of the author, further research is needed on the political role and domestic dynamics within Indian foreign policy. Furthermore, studies of Indian non-Western thought need to be increased as part of the enrichment of international relations scholarship. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alessia Anindiya Melinda
"[Tesis ini membahas tentang prioritas kebijakan luar negeri India terhadap Pakistan pada periode 2009-2014. Kebijakan Luar Negeri (KLN) India telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Diawali dengan kebijakan yang menggunakan pendekatan idealisme, KLN India dalam perkembangannya bergeser menjadi kebijakan yang pragmatis. Pragmatisme dalam KLN India terlihat dalam prioritas KLN negara tersebut terhadap Pakistan. Pada awal masa kemerdekaan kedua negara, hubungan India-Pakistan relatif berada dalam tensi tinggi. Setelah memasuki periode 2000an, India terlihat memilih strategi yang
lebih bersifat kooperatif terhadap Pakistan. India menilai cara ini lebih efektif dibandingkan pendekatan koersif yang selama ini dilakukan.
Melalui analisis menggunakan kerangka pemikiran dari Kaarbo, Lantis, Beasley, dan Kumar didapatkan kesimpulan bahwa dijadikannya bidang militer, terorisme, dan ekonomi sebagai prioritas dalam KLN India terhadap Pakistan pada periode 2009-2014 dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang dimaksud ialah kepentingan nasional dan strategi pemerintah India dalam memperjuangkan kepentingan tersebut. Dan faktor eksternal adalah hubungan
India – AS, hubungan India - Rusia dan hubungan Pakistan – Tiongkok;This thesis discusses about India's foreign policy priority towards Pakistan in the period of 2009 - 2014. India's foreign policy has evolved from time to time. Since it changes its foreign policy to idealism approach, the policy becomes pragmatic nowadays. It can be seen from their priority towards Pakistan. In the beginning of their independence, the relation between India and Pakistan is in high tension. In the period of 2000's, India tends to choose cooperative strategy toward Pakistan. Through foreign policy theory by Kaarbo, Lantis, Beasley, and Kumar, this thesis finds that India's foreign policy priority toward Pakistan are divided into three subjects, which are military, terrorism, and economy. These priorities are caused by internal and external factors. The internal factors are India's national interests and the government's strategy. Meanwhile, the external factors are the relations of India - US, India - Russia, and Pakistan - China., This thesis discusses about India's foreign policy priority towards Pakistan in the
period of 2009 - 2014. India's foreign policy has evolved from time to time. Since
it changes its foreign policy to idealism approach, the policy becomes pragmatic
nowadays. It can be seen from their priority towards Pakistan. In the beginning of
their independence, the relation between India and Pakistan is in high tension. In
the period of 2000's, India tends to choose cooperative strategy toward Pakistan.
Through foreign policy theory by Kaarbo, Lantis, Beasley, and Kumar, this thesis
finds that India's foreign policy priority toward Pakistan are divided into three
subjects, which are military, terrorism, and economy. These priorities are caused
by internal and external factors. The internal factors are India's national interests
and the government's strategy. Meanwhile, the external factors are the relations of
India - US, India - Russia, and Pakistan - China]"
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
T44474
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Lestari
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengapa Turki menerapkan kebijakan luar negeri untuk menyepakati kerjasama dengan Uni Eropa menerima imigran ireguler yang ditolak oleh Uni Eropa dan membendung arus imigran ireguler ke Eropa. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis studi kasus. Jumlah imigran ireguler ke Eropa dan Turki semakin meningkat seiring dengan berlangsungnya Arab Spring terutama sejak pecahnya perang sipil di Suriah. Peningkatan jumlah imigran ireguler ke Eropa dapat memunculkan beberapa masalah stabilitas sehingga mendorong Uni Eropa untuk meminta bantuan Turki dalam membendung aliran imigran ireguler melalui kerjasama. Turki yang kekuatannya tidak sebesar Uni Eropa dan sebagai penampung pengungsi terbanyak menyepakati kerjasama tersebut. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Turki menyepakati kerjasama berdasarkan pertimbangan pengambilan kebijakan luar negerinya yang dipengaruhi oleh situasi pembuatan keputusan, faktor psikologi, faktor internasional dan faktor dalam negeri. Lebih khusus,Turki menggunakan kerjasama ini untuk memperoleh keuntungan antara lain bantuan dana, penguatan kerjasama ekonomi melalui Customs Union, tindakan kemanusiaan bagi pengungsi Suriah dan yang terpenting adalah aksesi masuk dalam keanggotaan Uni Eropa serta pembebasan visa bagi warga Turki yang berkunjung ke wilayah Schengen.

ABSTRACT
This study discusses why Turkey implemented their foreign policy for dealing with EU to accommodate rejected irregular migrants from Europe and combat irregular migrants flow to Europe. This study is using qualitative method with case study approach. The number of irregular migrants are increasing during Arab Spring especially since Syrian civil war began. This condition may bring problems for European stability. Therefore the EU includes Turkey in a deal to manage irregular migrant issue. Turkey which has their own migrant issues as host of country with the largest refugee population in the world, ends up making agreement on this deal. The result of the study shows that Turkey made agreement with EU on their basis of their foreign policy considerations which are affected by decission environment, psychological factors, international factors, and domestic factors. Turkey using this issue to get some interests such as humanitarian assistances, strengthen economy coorporation through Customs Union, humanitarian action for syrian refugees and most importantly to get accession to EU and visa liberation for Turkey citizen to visit Schengen area."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nouvna Nore Susimah
"Kebijakan luar negeri Malaysia (KLN Malaysia) merupakan fenomena hubungan internasional yang menarik untuk ditelusuri. Malaysia merdeka pada tahun 1957 setelah sebelumnya berada di bawah kekuasaan Inggris. Malaysia, didukung dengan posisi geografis yang strategis, berhasil menjadi salah satu negara dengan ekonomi paling terbuka di dunia. Malaysia pada gilirannya turut berhasil membentuk posisi yang diperhitungkan, baik dalam tingkat regional ataupaun global. Dalam tulisan ini, penulis membahas KLN Malaysia dengan meninjau 100 literatur akademis terkait yang terbit sejak tahun 1963 hingga 2023. Literatur-literatur tersebut dikelompokkan ke dalam tiga tema besar. Pertama, dasar-dasar dalam KLN Malaysia, mencakup ide-ide dalam KLN Malaysia, sikap Malaysia dalam politik internasional, aktor utama dalam KLN Malaysia, dan faktor domestik dalam KLN Malaysia. Kedua, isu-isu dalam KLN Malaysia, yaitu militer dan strategis, ekonomi politik internasional, Malaysia dengan organisasi internasional, Malaysia dengan Persemakmuran, dan Malaysia dengan major powers. Terakhir, dimensi kawasan dalam KLN Malaysia yang mencakup empat kawasan, yakni Asia Tenggara, Asia Timur, Timur Tengah, dan Antartika. Tinjauan pustaka ini turut menyertakan konsensus, perdebatan, dan celah keilmuan mengenai topik ini. Tulisan ini menunjukkan Malaysia, yang pada awalnya merupakan small state, berhasil mengaktualisasikan sumber daya sehingga saat ini menjadi bagian dari kelompok negara middle power. Terlepas dari banyaknya literatur yang ada, topik KLN Malaysia membutuhkan penelitian lanjutan untuk melengkapi kerumpangan akibat sedikitnya pembahasan pada beberapa era kepemimpinan perdana menteri tertentu.

Malaysia's foreign policy (Malaysia's FP) is an interesting international relations phenomenon to be explored. Malaysia became independent in 1957 after previously being under British rule. Malaysia, supported by its strategic geographical position, has succeeded in becoming one of the countries with the most open economies in the world. Malaysia, in turn, has succeeded in establishing a position to be reckoned with, both at the regional and global levels. In this paper, the author discusses KLN Malaysia by reviewing 100 related academic literature published from 1963 to 2023. These literatures are grouped into three major themes. First, Malaysia's FP fundamentals contain ideas in Malaysia's FP, Malaysia's outlook on international politics, Malaysia's FP leading actor, and domestic factors in Malaysia's FP. Second, issues in Malaysia's FP include military and strategic, international political economy, Malaysia with international organizations, Malaysia with the Commonwealth, and Malaysia with major powers. Finally, the regional dimension in Malaysia's FP includes four regions; Southeast Asia, East Asia, Middle East and Antarctica. This literature review includes consensus, debate, and literature gaps. This paper shows that Malaysia, which was initially a small state, has succeeded in actualizing its resources, so it is now part of the middle power group. Despite a large amount of existing literature, the topic of KLN Malaysia requires further research to complete the gaps due to the need for more discussion on specific eras of prime ministerial leadership"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kresna Kusumaswijaya
"Peran Qatar sebagai mediator regional merupakan langkah untuk menciptakan persona politik yang independen. Sebagai mediator, Qatar menunjukkan kebijakan politik luar negeri yang terbuka. Hal ini dilakukan untuk mengembangkan hubungan diplomatik dengan aktor non-negara dan negara-negara di Timur Tengah, termasuk Afghanistan. Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus untuk menelaah kebijakan luar negeri yang diimplementasikan Qatar dengan negara-negara maupun aktor non-negara yang terlibat dalam konflik Afghanistan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Qatar menjadi mediator dalam konflik Afghanistan guna memperjuangkan kepentingan nasionalnya dan meningkatkan pengaruh maupun posisi di tingkat regional dan global. Berdasarkan teori realisme, dalam mencapai tujuannya Qatar melakukan mediasi konflik terhadap negara-negara yang berpotensi memberikan ancaman terhadap keamanan nasional, regional dan global. Dari penelitian juga terlihat bahwa Qatar sangat rasional dalam proses pengambilan kebijakan. Pengambilan kebijakan luar negeri tersebut mempertimbangkan manfaat, biaya dan keuntungan yang maksimal. Bentuk implementasi dari kebijakan luar negeri yang diambil Qatar tercermin di era Hamad bin Khalifa al Thani maupun Tamim bin Hamad Khalifa al Thani. Kedua tokoh tersebut menggunakan diplomasi dari sisi sosial, ekonomi dan politik, serta budaya dalam menghilangkan konflik di Afghanistan. Kebijakan luar negeri Qatar di bawah kepemimpinan Hamad bin Al Thani dan Tamim bin Hamad Al Thani telah membawa perubahan. Hal ini tentunya dilakukan untuk mengantisipasi potensi ancaman yang dapat mengganggu keamanan nasional dan instabilitas kawasan. 

Qatar's role as a regional mediator is a step towards creating an independent political persona. As a mediator, Qatar showing an open foreign policy. This is done to develop diplomatic relations with non-state actors and countries in the Middle East, including Afghanistan. This research is using a case study approach to examine the foreign policy implemented by Qatar with countries and non-state actors involved in the Afghanistan conflict. The results of this study indicate that Qatar became a mediator in the Afghanistan conflict in order to fight for their national interests and increase influence and position at the regional and global levels. Based on the theory of realism, in achieving its goals Qatar mediates conflicts against countries that have the potential to pose a threat to national, regional and global security. The research also shows that Qatar is very rational in the policy-making process. This foreign policy decision considers maximum benefits, costs and profits. The form of implementation of foreign policy adopted by Qatar is reflected in the era of Hamad bin Khalifa al Thani and Tamim bin Hamad Khalifa al Thani. The two figures used diplomacy from a social, economic and political perspective, as well as culture in eliminating conflict in Afghanistan. Qatar's foreign policy under the leadership of Hamad bin Al Thani and Tamim bin Hamad Al Thani has brought about a change. This is done to anticipate all potential threats that could disrupt national security and regional instability."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ihsan
"Penelitian tesis ini menejelaskan bagaimana kebijakan luar negeri yang dijalankan oleh Aljazair dalam mendukung kemerdekaan Sahara Barat khususnya melalui hak menentukan nasib sendiri yang digelar melalui United Nation Mission for Referendum in Western Sahara (UN MINURSO) tahun 2007 ? 2015. Kolonisasi negara-negara Eropa pada abad ke-18 ternyata masih menyisakan beberapa permasalahan di Afrika Utara sampai saat ini. Maroko dan Sahara Barat merupakan negara yang dijajah Spanyol pada saat itu. Negara-negara di Afrika Utara yang dijajah oleh Eropa akhirnya berhasil melepaskan diri dan merdeka kecuali Sahara Barat. Permasalahan pun muncul saat Sahara Barat yang memiliki status sebagai non - self-governing diklaim sebagai wilayah otoritas Maroko. Penolakan atas klaim Maroko ini pun datang dari rakyat Sahara Barat dan juga negara tetangganya, Aljazair. Menghindari konflik yang lebih parah, rakyat Sahara Barat banyak yang pindak ke wilayah Aljazair bernama Tindouf. Untuk menganalisa permasalahan tersebut, penelitian ini akan menggunakan teori Kebijakan Luar Negeri, Konsep Geostrategi dan Konsep Kekuatan Regional. Penelitian ini menghasilkan beberapa pendapat bahwa ada beberapa kepentingan yang dijalankan Aljazair melalui kebijakan luar negerinya untuk terus mendukung Sahara Barat mendapatkan kemerdekaannya. Diantaranya lokasi strategis Sahara Barat bagi Aljazair. Kedua yakni potensi Aljazair untuk menjadi pusat kekuataan baru di wilayah Afrika Utara.

This research explain comprehensively how is the foreign policy of Algeria in Western Sahara?s freedom especially through Self Determination that held in United Nation Mission for Referendum in Western Sahara in 2007 until 2015. Colonization of European states over Africa in eighteen century remains several problems in North Africa until now. Morocco and Western Sahara territory was colonized by Spain at that time. Most of states in Africa continent which were colonized by European states declared their independences except Western Sahara. The problem started when Western Sahara claimed by Morocco as a part of territory of Morocco based on the document from Spain. The ignorance of Morocco?s claim was coming up from Western Sahara people (Sahrawi) and also Algeria as a neighbor state of Morocco and Western Sahara. To escape worsening violence, Sahrawis move to Tindouf under region and full assistance of Algeria. In analyzing the issue, this research uses Foreign Policy, Geostrategic Concept and also Regional Power Concept to argue that there are some several reasons why Algeria?s Foreign Policy still continues to support the freedom of Western Sahara people through self determination."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yassed Satria
"ABSTRAK
Tiongkok adalah satu-satunya negara di Asia yang kebijakan luar negerinya berorientasi kepada negara great power hingga tahun 1979. Pasca open door policy, Tiongkok mulai membuka diri terhadap dunia internasional termasuk ASEAN sebagai kawasan tetangga. Tahun 1996 secara resmi Tiongkok menjadikan ASEAN sebagai mitra dialog permanen dan sekaligus sebagai arah baru orientasi kebijakan luar negerinya. Tulisan ini kemudian akan menjelaskan motif dibalik pemilihan ASEAN sebagai prioritas baru orientasi kebijakan luar negeri Tiongkok dengan menggunakan kerangka teori kebijakan luar negeri. Indikator analisis yang digunakan adalah sintesa argumen K.J. Holsti, Synder dan Rosenau yaitu faktor internal, eksternal dan leadership sebagai penyebab perubahan kebijakan luar negeri.
Temuan skripsi ini pertama, faktor internal yang berpengaruh adalah faktor ekonomi domestik dan perkembangan strategi politik di Tiongkok. Kedua, faktor eksternal yang berpengaruh adalah hegemoni AS dan eksistensi regional ASEAN. Ketiga, faktor leadership dan ideologi pemimpin Tiongkok yang reformis-konservatif. Terakhir, Kebijakan luar negeri Tiongkok saat ini lebih bersifat pragmatis dengan lebih mempertimbangkan untung-rugi dari pada landasan nilai dan ideologi negaranya.

ABSTRACT
Tiongkok is the only country in Asia that foreign policy is oriented to the great power state until 1979. Post open door policy, Tiongkok began opening up to the international community, including ASEAN as a neighboring region. In 1996, officially Tiongkok became a permanent dialogue partner of ASEAN as well as a new direction of its foreign policy orientation. This undergraduate thesis will explain the motive behind the election of ASEAN as a priority foreign policy orientation of Tiongkok by using the theoretical framework of foreign policy. Analysis indicator used is the synthesis of argument KJ Holsti, Synder and Rosenau which are internal factors, external and leadership as the cause of the change in Tiongkok?s foreign policy.
The first findings of this research, internal factors that influence Tiongkok?s foreign policy are the domestic economic factors and the development of political strategy. Secondly, the external factors that influence are the existence of US hegemony and the ASEAN region itself. Third, the leadership factor and the reformist-conservative ideological of Tiongkok?s leader. Finally, Tiongkok's foreign policy today is more pragmatic with more considering the cost-benefit than foundation of values and ideology of the country itself.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
S61893
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>