Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 96368 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mutiatul Husni
"Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi dosis radiasi pada kanker otak menggunakan model Support Vector Regression (SVR) dan membandingkan hasilnya dengan dosis radiasi klinis, kemudian menghitung perbedaan dari kedua nilai tersebut. Data yang digunakan merupakan 178 data perencanaan radioterapi yang meliputi file DICOM yang berisi citra CT simulator dan citra kontur CT simulator. Data diekstraksi menggunakan 3D Slicer yang memberikan informasi mengenai data radiomik dan dosiomik pada setiap OAR (mata, saraf optik, lensa mata, dan batang otak) dan PTV. Data dosiomik dinormalisasi terhadap volume PTV dan dosis preskripsi dari masing-masing pasien. Data radiomik dan dosiomik yang telah dinormalisasi akan menjadi input data untuk model SVR. Pada model SVR digunakan kernel radial basis function (RBF) dengan 2 parameter yaitu epsilon dan C. Dalam penelitian ini didapatkan nilai parameter yang optimal dengan menggunakan gridsearch yaitu epsilon = 0,01 dan C = 1, dengan k-fold validasi bernilai 5. Hasil yang didapatkan pada PTV D98% dan HI menunjukkan nilai p value < 0,05 yang artinya terdapat perbedaan yang signifikan antara nilai klinis dengan nilai prediksi SVR. Sedangkan pada nilai CI, OAR, PTV D2%, dan PTV D50% didapatkan nilai p value > 0,05 yang artinya tidak terdapat perbedaan nilai yang signifikan.

This study aims to predict the radiation dose for brain cancer using the SVR model and compare it with the clinical radiation dose, then calculate the difference between the two values. The data used consists of 178 radiotherapy planning datasets, including DICOM files containing CT simulator images and CT simulator contour images. The data is extracted using 3D Slicer, which provides information on radiomic and dosiomic data for each OAR (eyes, optic nerves, lenses, and brainstem) and PTV. The dosiomic data is normalized against the PTV volume and each patient's prescription dose. The normalized radiomic and dosiomic data will serve as input data for the SVR model. The SVR model uses a radial basis function (RBF) kernel with two parameters, epsilon and C. The study found the optimal parameter values using gridsearch, which are epsilon = 0.01 and C = 1, with a k-fold validation value of 5. The results for PTV D98% and HI showed a p value < 0.05, indicating a significant difference between the clinical values and the SVR model predictions. For CI, OAR, PTV D2%, and PTV D50%, the p value was > 0.05, indicating no significant difference between the values."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Reyhan Fikri Mushaddaq
"Kanker serviks tetap menjadi penyebab utama kematian terkait kanker di kalangan perempuan secara global, dengan kebutuhan yang terus meningkat akan pengobatan yang lebih efektif. Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT) memberikan distribusi dosis yang presisi, namun membutuhkan waktu perencanaan yang lama. Penelitian ini mengembangkan model prediksi distribusi dosis menggunakan Support Vector Regression (SVR) untuk mempercepat perencanaan radiasi pada kanker serviks. Model ini dilatih dengan dataset 102 pasien yang memiliki stadium kanker konsisten dan diuji pada dataset baru dengan 71 pasien dengan stadium acak. Metode yang digunakan melibatkan pre-processing data DICOM, ekstraksi fitur radiomic dan dosiomic, normalisasi, serta training model dengan GridSearchCV dan k-fold cross-validation untuk optimisasi parameter. Hasil menunjukkan bahwa SVR dapat memprediksi dosis dengan Mean Absolute Error (MAE) yang mendekati nilai klinis, dengan MAE rata-rata 0,08 untuk prediksi dosis pada organ risiko seperti kandung kemih dan rektum. Prediksi Homogeneity Index (HI) dan Conformity Index (CI) juga menunjukkan akurasi tinggi, dengan nilai prediksi HI sebesar 0,100 dan CI sebesar 0,954 dibandingkan nilai klinis HI 0,113 dan CI 0,953. Analisis statistik menunjukkan bahwa model ini dapat mengurangi waktu perencanaan tanpa mengorbankan akurasi dosis, meskipun perbaikan diperlukan untuk beberapa prediksi organ seperti femur. Temuan ini menegaskan pentingnya ukuran dataset dan konsistensi stadium dalam meningkatkan kinerja model prediksi dosis radiasi dan menunjukkan potensi SVR sebagai alat bantu dalam perencanaan radioterapi.

Cervical cancer remains a leading cause of cancer-related deaths among women worldwide, highlighting the need for more effective treatments. Intensity Modulated Radiation Therapy (IMRT) provides precise dose distribution but involves lengthy planning times. This study develops a dose distribution prediction model using Support Vector Regression (SVR) to expedite radiotherapy planning for cervical cancer. The model was trained on a dataset of 102 patients with consistent cancer stages and tested on a new dataset of 71 patients with random stages. The methodology included pre-processing DICOM data, feature extraction for radiomic and dosiomic data, normalization, and training using GridSearchCV and k-fold cross-validation for parameter optimization. Results indicate that SVR can predict doses with a Mean Absolute Error (MAE) close to clinical values, with an average MAE of 0,08 for dose predictions in organs at risk such as the bladder and rectum. Predicted Homogeneity Index (HI) and Conformity Index (CI) also show high accuracy, with predicted HI at 0,100 and CI at 0,954 compared to clinical values of HI 0,113 and CI 0,953. Statistical analysis reveals that the model can reduce planning time without sacrificing dose accuracy, although improvements are needed for some organ predictions like the femur. These findings underscore the importance of dataset size and stage consistency in enhancing the performance of radiation dose prediction models and demonstrate the potential of SVR as a tool to assist in radiotherapy planning."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luqyana Adha Azwat
"Optimasi dosis radiasi pada perencanaan klinis menggunakan Treatment Planning System (TPS) untuk pasien radioterapi sangat penting untuk mencapai keseimbangan antara efektivitas terapi dan keselamatan pasien. Namun, proses ini memakan waktu dan sangat bergantung pada keahlian fisikawan medis. Pada penelitian ini dilakukan prediksi dosis menggunakan machine learning pada Planning Target Volume (PTV) dan Organ at Risk (OAR) untuk kasus kanker otak dengan teknik perencanaan Volumetric Modulated Arc Therapy (VMAT). Data DICOM perencanaan di ekstraksi menggunakan 3D slicer untuk mendapatkan nilai radiomic dan dosiomic yang akan digunakan pada penelitian ini dengan menggunakan model algoritma random forest. Hasil evaluasi model menunjukkan bahwa peforma model random forest dalam memprediksi dosis memiliki nilai Mean Square Error (MSE) sebesar 0,018. Nilai Homogeneity Index (HI) dan Conformity Index (CI) untuk data klinis adalah 0,136±0,134 dan 0,939±0,131 secara berturut-turut, sementara hasil prediksinya adalah 0,136±0,039 dan 0,949±0,006, dengan nilai p-value untuk fitur PTV dan OAR > 0,05. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model random forest efektif dalam memprediksi dosis untuk PTV kanker otak dan OAR, dan dapat digunakan sebagai referensi dalam proses perencanaan.

Optimizing radiation doses in clinical planning using a Treatment Planning System (TPS) for radiotherapy patients is crucial to achieving a balance between therapeutic effectiveness and patient safety. However, this process is timeconsuming and highly dependent on the expertise of medical physicists. In this study, dose prediction using machine learning for the Planning Target Volume (PTV) and Organ at Risk (OAR) in brain cancer cases was performed using the Volumetric Modulated Arc Therapy (VMAT) planning technique. DICOM planning data was extracted using 3D Slicer to obtain radiomic and dosiomic values, which were then used in this study with a random forest algorithm model. Model evaluation results showed that the random forest model's performance in predicting doses had a Mean Square Error (MSE) of 0.018. The Homogeneity Index (HI) and Conformity Index (CI) values for clinical data were 0.136±0.134 and 0.939±0.131, respectively, while the predicted results were 0.136±0.039 and 0.949±0.006, with p-values for PTV and OAR features > 0.05. Therefore, it can be concluded that the random forest model is effective in predicting doses for brain cancer PTV and OAR and can be used as a reference in the planning process."
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nafisa Imtiyaziffati Rasoma Muliarso
"Kualitas perencanaan terapi radiasi sangat bervariasi untuk setiap Fisikawan Medik, bergantung pada pengalaman yang dimilikinya. Proses optimasi dan iterasi yang melibatkan trial-and-error diperlukan untuk mencapai tujuan perencanaan terapi yaitu pemberian dosis optimal ke planning target volume (PTV) dan pemberian dosis serendah mungkin ke organ at risk (OAR), sehingga cukup memakan waktu dan tidak efektif. Penggunaan kecerdasan buatan (AI) dapat mengurangi subjektifitas kualitas perencanaan terapi dan meningkatkan efisiensi waktu yang dibutuhkan. Pada penelitian ini, digunakan model Backpropagation Neural Network dengan 5-fold cross validation untuk melakukan prediksi dosis pada kasus kanker otak dengan menggunakan teknik terapi VMAT. Data perencanaan terapi yang digunakan berupa DICOM CT yang berisi citra CT pasien, DICOM RTStructure yang berisi struktur organ yang telah didelineasi, dan DICOM RTDose yang memiliki informasi terkait sebaran dosis yang diterima oleh organ. Evaluasi dilakukan dengan menggunakan parameter statistik Mean Squared Error (MSE) dan uji-T berpasangan untuk mendapatkan nilai p sehingga dapat diketahui signifikansi perbedaan dosis klinis dan prediksi untuk parameter kualitas perencanaan terapi, yaitu Homogeneity Index (HI) dan Conformity Index (CI). Data hasil yang diperoleh menunjukkan tidak ada perbedaan nilai dosis yang signifikan, dimana nilai p untuk fitur radiomic prediksi yang diperoleh besar dari 0.005. rerata nilai HI dan CI prediksi secara berurutan adalah 0.084±0.036 dan 0.938±0.107. Dapat disimpulkan bahwa model Backpropagation Neural Network memiliki kemampuan untuk melakukan prediksi dosis terapi VMAT untuk kanker otak yang cukup baik jika dibandingkan dengan perencanaan klinis.

The quality of radiation treatment planning varies significantly among medical physicist, depending on their experience. The optimization and iteration process, which involves trial and error, is required to achieve the treatment planning obejctives of delivering optimal dose to the planning target volume (PTV) and the lowest dose possible to the organ at risk (OAR). This process is time-consuming and inefficient. The use of artificial intelligence (AI) can reduce the subjectivity in therapy planning quality and increase the efficinency of the process. In this study, a Backpropagation Neural Network (BPNN) model with 5-fold cross validation was used to predict doses in brain cancer using VMAT therapy technique. The therapy planning data included DICOM CT, which contains patient CT images, DICOM RTStructure, which contains delineated organ structures, and DICOM RTDose, which contains information about the dose distribution received by the organs. Evaluation was performed usign the statistical parameter Mean Squared Error (MSE) and paired t-test to obtain the p-value, thus determining the significance of the differences between clinical and predicted doses for treatment planning qualiry parameteres, namely Homogeneity Index (HI) and Conformity Index (CI). The results showed no significant difference in dose values, with the p-value for the predicted radiomic features being greater thatn 0.005. the mean predicted HI and CI values were 0.084±0.036 and 0.938±0.107, respectively. It can be concluded that the BPNN model has the capability to predict VMAT therapy doses for brain cancer with good accuracy compared to clinical planning. "
Depok: Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syaifulloh
"Pengukuran dalam radioterapi untuk perhitungan dosis seperti percentage depth dose (PDD) dilakukan dalam fantom air yang memiliki densitas homogen, dengan densitas hampir sama densitas otot (1 g/cm3). Pada perlakuan radioterapi seperti pada kanker paru, berkas radiasi melewati material yang tidak homogen yaitu otot, tulang dan paru itu sendiri yang berakibat pada perubahan PDD, sehingga perlu pengukuran pada medium inhomogen seperti pada fantom rando.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengukur distribusi dosis pada paru dengan simulasi perlakuan radioterapi pasien kanker paru dengan fantom rando kemudian dibandingkan dengan hasil perhitungan TPS. Pengukuran distribusi dosis menggunakan TLD dan film Gafchromic. Untuk memperoleh distribusi dosis pada paru TLD diletakkan pada titik - titik yang berada pada bidang utama berkas dalam fantom rando. Pengukuran distribusi dosis dengan film dilakukan dengan meletakkan film Gafchromic diantara 2 irisan fantom rando. Pengukuran dilakukan untuk 3 lapangan, 5 x 5 cm2, 10 x 10 cm2, dan 15 x 15 cm2. Hasil pengukuran dengan film dan TLD kemudian dibandingkan dengan hasil perhitungan TPS.
Hasil penelitian menunjukkan persentase dosis pada berbagai kedalaman antara hasil pengukuran film Gafchromic dengan perhitungan TPS berbeda secara signifikan, dan semakin besar lapangan semakin besar deviasi. Hasil pengukuran dengan film gafchromic mendapatkan nilai deviasi persen dosis hingga 6 % untuk lapangan 5 x 5 cm2, 16 % untuk lapangan 10 x 10 cm2, dan 17% untuk lapangan 15 x 15 cm2. Untuk pengukuran dengan TLD deviasi persen dosis hingga 8% untuk lapangan 5 x 5 cm2, 11% untuk lapangan 10 x 10 cm2, 12% untuk lapangan 15 x 15 cm2 masing ? masing pada kedalaman 15 cm.

Measurements in radiotherapy for dose calculation as percentage depth dose (PDD) are done in a water phantom with homogeneous density (1 g/cm3). In the radiotherapy treatment such as lung cancer, the radiation beam passes through inhomogeneous materials i.e. muscle, bone and lung itself, which resulted change in PDD, so necessary measurements on inhomogeneous medium like the rando phantom.
The purpose of this study was to measure dose distribution in the lung with simulated radiotherapy treatment of lung cancer patients with a rando phantom and compared with the TPS calculation. Measurement of dose distributions is using TLD and gafchromic films. To obtain the dose distribution in the lung, TLD placed at the points located on the main field of the beam in the rando phantom. Field measurements were made for 3 field sizes, 5 x 5 cm2, 10 x 10 cm2, and 15 x 15 cm2. The results were then compared with the TPS calculation.
The results show the percentage dose at various depths between the measurement and TPS calculation differ significantly, and the larger the field the greater the deviation. Measurement using gafchromic film resulting in deviation in dose percentage reaching up to 6 % for 5 x 5 cm2 field size, 16 % for 10 x 10 cm2, and 17 % for the 15 x 15 cm2. For TLD measurement, deviation is up to 8% for 5 x 5 cm2 field size, 11% for 10 x 10 cm2, and 12% for 15 x 15 cm2 at 15 cm depth respectively.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
T35528
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nida Ulhaq Fitriyah
"ABSTRACT
Nilai indeks gamma yang dihasilkan antara satu perencanaan dengan perencanaan lainnya berbeda. Perbedaan ini mungkin dipengaruhi oleh banyak hal seperti detektor yang digunakan, kasus kanker yang berbeda, dll. Akan tetapi, terdapat passing criteria yang direkomendasikan oleh AAPM TG 119, sehingga seharusnya nilai indeks gamma tidak akan bernilai jauh dari passing criteria yang telah direkomendasikan. Oleh karena itu, pada penelitian ini akan dilakukan evaluasi konsistensi verifikasi yang dilakukan di RS MRCCC Siloam Hospital Semanggi dengan cara melihat perbedaan nilai rata-rata indeks gamma setiap tahunnya selama 8 tahun sejak tahun 2011-2018. Uji statistika juga dilakukan untuk menganalisis perbedaan dan pengaruh antara detektor yang berbeda, kasus kanker yang berbeda, serta teknik penyinaran yang berbeda terhadap nilai indeks gamma yang dihasilkan. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pesawat LINAC Varian Clinac iX dengan TPS Eclipse versi 8.6-13, detektor 2D array bilik ionisasi MatriXXEvolution , EPID serta software Portal Dosimetry, Omni Pro I rsquo;mRT dan SPSS. Secara umum, metode penelitian dibagi menjadi beberapa tahap yaitu : pencatatan data pasien, verifikasi perencanaan, evaluasi indeks gamma, uji statistika dan analisis. Uji statistika yang digunakan merupakan uji Kruskal-Wallis, Mann-Whitney dan Wilcoxon. Uji Kruskal Wallis digunakan untuk melihat perbedaan rata-rata nilai indeks gamma setiap tahunnya. Uji Mann Whitney digunakan untuk melihat perbedaan rata-rata nilai indeks gamma antara kanker otak dan kanker prostat serta melihat perbedaan rata-rata nilai indeks gamma yang dihasilkan antara teknik IMRT dan VMAT. Uji Wilcoxon digunakan untuk melihat perbedaan rata-rata nilai indeks gamma detektor MatriXX dan EPID. Hasil penelitian menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistika pada nilai rata-rata indeks gamma antara dua detektor, dua teknik IMRT dan VMAT, serta antara dua kasus kanker yang berbeda, sedangkan nilai rata-rata indeks gamma per tahun tidak signifikan secara statistika. Secara keseluruhan, nilai rata-rata indeks gamma setiap tahunnya konsisten. Oleh karena itu, disimpulkan bahwa verifikasi yang dilakukan di RS MRCCC Siloam selama 8 tahun konsisten secara statistika.

ABSTRACT
The gamma index value generated between one plan and another is normally different. This can be affected by many factors such as the usage of different detectors, different type of cancer cases, etc. However, there is certain passing criteria recommended by AAPM TG 119, thus the gamma index value ideally should not be much far from the recommended passing criteria. Therefore, this study will evaluate the verification consistency conducted at MRCCC Siloam Hospital Semanggi by looking at the difference between the mean value of gamma index every year for 8 years since 2011 2018. Statistical tests were also performed to analyze differences and effects between different detectors, different cancer cases, and different irradiation techniques on the resulting gamma index values. The equipment used in this research was LINAC Varian Clinac iX with TPS Eclipse version 8.6 13, 2D detector MatrixEvolution ionization array, EPID and Dosimetry Portal software, Omni Pro I 39 mRT and SPSS. In general, the study method is divided into several stages patient data recording, planning verification, gamma index evaluation, statistical test run, and analysis. The statistical test used is Kruskal Wallis, Mann Whitney and Wilcoxon test. The Kruskal Wallis test was used to see the average difference in the gamma index value annually. In addition, Mann Whitney test was used to see the difference in gamma index mean values between brain cancer and prostate cancer and to see the difference in gamma index mean values generated between IMRT and VMAT techniques. Furthermore, Wilcoxon test was used to see the difference in gamma index mean values of MatriXX and EPID detectors. The results showed statistically significant differences on the gamma index mean values between two detectors, two IMRT and VMAT techniques, and between two different cancer cases, while the difference between gamma index mean value per year was not statistically significant. Overall, the average value of the gamma index each year is consistent. Therefore, the verification performed at MRCCC Siloam Hospital for over 8 years is consistent statistically."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adi Teguh Purnomo
"Evaluasi dosis radiasi yang diterima pasien dapat dilakukan menggunakan metode dosimetri in-vivo dengan melakukan pengukuran dosis masukan yang didefinisikan sebagai dosis serap pada kedalaman maksimum. Dosimeter in-vivo yang digunakan adalah TLD-100 rod, Film Gafchromic EBT2, dan dioda EDP-153G yang dikalibrasi berdasarkan protokol IAEA dan ESTRO. Hasil faktor kalibrasidetektor dioda sebesar 0.0988 cGy/ADU dan 0.0966 cGy/ADU untuk protokol IAEA dan ESTRO sedangkan Faktor kalibrasidetektor TLD memiliki rata-rata perbedaan sebesar 3.69 ± 0.04 %. Selain itu, faktor koreksi dioda EDP-153G terhadap variasi SSD, luas lapangan, dan linieritas dosis berada dalam rentang nilai 0.99-1.01 untuk protokol IAEA dan ESTRO sedangkan faktor koreksi terhadap sudut sinar datang berada dalam rentang nilai 1.028 - 1.037 dan 1.027-1.057 untuk protokol IAEA dan ESTRO. Pengukuran dosimetri in-vivo dititikberatkan pada kasus kanker paru dan prostat dengan meletakkan dosimeter in-vivo diatas permukaan kulit untuk beberapa titik pengukuran. Dosis masukan yang diperoleh bervariasi untuk setiap titik pengukuran akibat adanya perbedaan fluence. Evaluasi dosis pada organ target juga ditentukan dengan meletakkan film Gafchromic EBT2 pada slab fantom Rando Alderson. Persentase error yang diperoleh terhadap dosis yang direncanakan yakni sebesar 0.03% pada film 1 dan 2.5% pada film 2 untuk kanker paru sedangkan untuk kanker prostat sebesar 5.88% untuk film 1 dan 5.50% untuk film 2.

Evaluation of the radiation dose received by the patient could be performed with the in-vivo dosimetry by mean of the entrance dose measurement which defined as the absorbed dose to the maximum depth. TLD-100 rod, Gafchromic EBT2 film, and diode EDP-153G were used as in-vivo dosimeters and calibrated by the IAEA and ESTRO protocol. The results of calibration factor for diode EDP-153G was 0.0988 cGy/ADU and 0.0966 cGy/ADU for the IAEA and ESTRO, respectively while the differences of mean percentage was 3.69 ± 0.04 % relative to IAEA protocol for TLD. In addition, a correction factor for diode EDP-15­3Gto the variation of SSD, field size, and dose linearity were within the range of0.99-1.01 for the IAEA and ESTRO while the angular correction factor was at 1.028-1.037 and 1.027-1.057 for the IAEA and ESTRO protocol, respectively. The in-vivo dosimetry measurement was concerned in lung and prostate carcinoma by putting the in-vivo dosimeters on skin surface at some points of interest. The entrance dose measurement was varied for each point of measurement due to difference of fluence. The target dose evaluation was also determined by placing the Gafchromic EBT2 Film into slab of Rando Alderson phantom. The percentage error to the planned dose was 0.03% at the film 1 and 2.5%at the film 2 for lung carcinoma while for prostate carcinoma was 5.88% for the film 1 and 5.50% for film 2.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S54915
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Sulistyani
"Perhitungan dosis radiasi melalui keluaran metrik 3DRA hanya tersedia pada protokol kontrol kualitas pada CBCT untuk radiologi intervensional. Hal ini dianggap belum andal karena perputaran gantry pada prosedur 3DRA tidak satu lingkaran penuh seperti pada Computed Tomography (CT). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi distribusi dosis aksial untuk prosedur 3DRA menggunakan tiga dosimeter relatif: thermoluminescence dosimeter (TLD), Film Gafchromic® XR-QA2, dan Film Gafchromic® XR-RV3. Dosimeter yang terkalibrasi diletakan di dalam fantom in house berbentuk silinder dan dilakukan pengukuran pada pesawat angiografi Philips Allura Xper FD20 menggunakan tiga mode preset yang tersedia.
Hasil pengukuran menggunakan dosimeter relatif dibandingkan dengan hasil pengukuran menggunakan dosimeter absolut untuk mengetahui akurasinya. Dari pengukuran didapatkan bahwa distribusi dosis 3DRA tidak homogen pada seluruh penampang fantom in house. Nilai dosis paling besar berada posisi jam 3 dan jam 9 sedangkan nilai dosis paling rendah berada pada posisi jam 12. Di antara dosimeter yang digunakan, distribusi dosis aksial yang paling akurat diperoleh melalui pengukuran menggunakan Gafchromic® XR-RV3, yang ditunjukkan dengan nilai diskrepansi rata-rata sebesar 33,82%. Selain itu, pengukuran mode Cranial Stent pada posisi jam 12 menunjukkan diskrepansi terkecil, dengan nilai 9,10%.

The calculation of radiation dose for 3DRA output metrics is currently only available in quality control for cone-beam computed tomography (CBCT). This method is considered unreliable because the gantry rotation in the 3DRA procedure is not a full 360 degrees like in CBCT. The objective of this study is to determine the axial dose distribution during the 3DRA procedure using three different relative dosimeters: thermoluminescence dosimeter (TLD), Gafchromic® XR-QA2 Film, and Gafchromic® XR-RV3 Film. The calibrated dosimeters were placed within a cylindrical in-house phantom, and measurements were performed using a Philips Allura Xper FD20 angiography system (in three preset modes).
The output of measurements using a relative dosimeter were compared to those using an absolute dosimeter, with the aim of assessing the accuracy.  It was found that the axial dose distribution in the 3DRA procedure is not evenly distributed across the cross-sectional area of the in-house phantom. The highest dose values were observed at the 3 and 9 o'clock positions, while the lowest dose values were recorded at the 12 o'clock position. Among the dosimeters used, the most accurate axial dose distribution was obtained through measurements using Gafchromic® XR-RV3, as indicated by an average discrepancy value of 33.82%. Additionally, the cranial stent mode measurements at the 12 o'clock position showed the smallest discrepancy, with a value of 9.10%.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2023
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisa’u Farhatin
"Distribusi dosis yang optimal dalam treatment planning system (TPS) sangat penting sebelum diterapkan pada pasien radioterapi. Namun, TPS masih menggunakan metode optimisasi yang memakan waktu dan bergantung pada pengguna. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi model estimasi dosis otomatis, support vector regression (SVR), dan membandingkannya dengan dosis pasien kanker paru hasil perencanaan klinik. Enam puluh pasien yang terapi dengan teknik intensity modulated radiation therapy (IMRT) digunakan dalam penelitian ini. Distribusi dosis target dievaluasi berdasarkan nilai conformity index (CI), homogenitas dosis dievaluasi dengan homogeneity index (HI), sedangkan dosis rata-rata dan dosis maximum digunakan untuk mengevaluasi organ at risk (paru kanan, paru kiri, jantung, dan spinal cord). Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan uji Wilcoxon. Nilai p < 0,05 menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara kedua dataset. Rata-rata CI model SVR dan klinik masing-masing adalah dan Rata-rata HI untuk SVR dan klinik adalah dan . Uji Wilcoxon menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan secara statistik antara kedua hasil. Dosis maximum paru kanan menunjukkan perbedaan signifikan secara statistik (p=0,032), sedangkan dosis rata-rata dan dosis maximum OAR lain tidak menunjukkan perbedaan signifikan secara statistik. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua strategi tersebut, kecuali pada dosis maximum paru kanan. Model tersebut dapat diimplementasikan secara klinik untuk menghasilkan distribusi dosis yang dapat digunakan sebagai acuan untuk memastikan rencana idealis yang digunakan

Optimal dose distribution in the treatment planning system (TPS) is crucial before being applied to radiotherapy patients. However, TPS still uses optimization methods that are time-consuming and user-dependent. This study aimed to evaluate the automatic dose estimation model, support vector regression (SVR), and compare it with the clinically planned dose of lung cancer patients. Sixty patients treated with intensity-modulated radiation therapy (IMRT) were used as the objects in this study. The target dose distribution was evaluated based on the conformity index (CI), and dose homogeneity was evaluated with the homogeneity index (HI), while the mean and maximum doses were used to evaluate organs at risk (right lung, left lung, heart, and spinal cord). Statistical analysis was performed using the Wilcoxon test. A p-value of <0,05 indicates a significant difference between the two datasets. The mean CI of the SVR and clinical are and The mean HI for SVR and clinical was adalah and 0,083±0,030. the Wilcoxon test showed no statistically significant difference between the two results. The maximum right lung dose showed a statistically significant difference (p=0,032), while the mean dose and maximum dose of other OARs did not show a statistically significant difference. The results of the study showed no significant difference between the two strategies, except for the maximum right lung dose. The model can be implemented clinically to produce a dose distribution that can be used as a reference to ensure the idealistic plan."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustina Dwi Prastanti
"Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis perbedaan variasi nilai kuat arus tabung terhadap kejelasan anatomi tulang wajah dan dosis radiasi. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental. Data diambil dari empat variasi penggunaan nilai arus tabung (mA) 200 mA, 150 mA, 100 mA dan 50 mA dengan parameter yang lain konstan. Dosis radiasi diukur dengan CTDI. Gambar dinilai oleh responden yang terdiri dari 20 (duapuluh) Dokter Spesialis Radiologi yang tidak menyadari tentang pengaturan kuat arus tabung pada gambar yang dihasilkan. Kualitas gambar dianalisis dengan metode skoring pada 8 (delapan) kriteria anatomi. Palatum, struktur trabekula tulang dan kortex, sinus paranasal, dinding orbita lateral dan medial, orbital roof dan orbital floor, zygomatic, nasal cavity dan ethmoid dinilai dengan skor 1 jika tidak jelas, skor 2 jika jelas dan skor 3 jika sangat jelas. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada keempat kelompok dalam menentukan kejelasan anatomi tulang wajah berdasarkan sistem skoring yang digunakan dalam penelitian ini. Dosis radiasi dari penilaian CTDI menunjukkan bahwa dosis dapat dikurangi sebesar 75% pada penggunaan kuat arus tabung 50 mA atau 11,40 mGy dari arus protokol standar 200 mA atau 45,61 mGy. Hal ini sangat penting untuk mengurangi resiko kebutaan pada lensa mata.

The purpose of this study was to analyze the differences in the variation of tube current of the clarity of the facial bones anatomy and radiation dose. This research is an experimental study. Data were taken from four variations use the value of tube current (mA) 200 mA, 150 mA, 100 mA and 50 mA with the other parameters constant. CTDI measured radiation dose. Images assessed by respondents consisted of 20 (twenty) Radiology Specialists who are unaware of the settings on the tube current of the resulting image. The image quality was analyzed by the method of scoring in 8 (eight) anatomical criteria. Palate, structure of trabecular bone and cortex, paranasal sinuses, lateral and medial orbital wall, orbital roof and orbital floor, zygomatic, nasal cavity and ethmoid assessed with a score of 1 if it is not obvious, a score of 2 if it is clear and score 3 if very clear. There is no significant difference in the four groups in determining the clarity of the facial bones anatomy based on the scoring system used in this study. Radiation dose from CTDI assessment showed that the dose can be reduced by 75% in the use of tube current of 50 mA or 11.40 mGy of 200 mA current standard protocol or 45.61 mGy. It is very important to reduce the risk of blindness in the eye lens.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>