Ditemukan 216090 dokumen yang sesuai dengan query
Fatimah Az Zahra
"Dalam era digital saat ini, penting untuk memahami faktor-faktor yang dapat bertindak sebagai penyangga terhadap dampak negatif dari technostress creators terhadap kesejahteraan karyawan. Penelitian ini bersifat korelasional dengan pengambilan data menggunakan kuesioner secara cross-sectional dan sampel diambil dengan convenience sampling. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi peran otonomi kerja sebagai moderator dalam hubungan antara technostress creators dan kesejahteraan karyawan di kalangan pekerja IT, dengan sudut pandang teori Job Demands-Resources (JDR). Data dikumpulkan dari 117 pekerja IT yang bekerja di berbagai perusahaan teknologi di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara technostress creators dan kesejahteraan karyawan (b = -.17, SE = .13, 95% CI [-.45, .06], p = .18). Selain itu, ditemukan korelasi positif yang signifikan antara otonomi kerja dan kesejahteraan karyawan (b = .72, SE = .12, 95% CI [.47, .95], p < .001). Namun, otonomi kerja tidak memoderasi secara signifikan hubungan antara technostress creators dan kesejahteraan karyawan (b = -.06, SE = .20, 95% CI [-.41, .38], p = .76). Hal ini berarti tinggi atau rendahnya tingkat otonomi kerja tidak dapat memengaruhi hubungan technostress creators dan kesejahteraan karyawan. Temuan dari penelitian ini dapat bermanfaat untuk memperkaya literatur yang telah ada seputar technostress creators, kesejahteraan karyawan, dan otonomi kerja.
In today's digital era, it is important to understand the factors that can act as buffers against the negative impacts of technostress creators on employee well-being. This correlational study uses cross-sectional data collected through questionnaires, with the sample obtained via convenience sampling. The study aims to explore the role of job autonomy as a moderator in the relationship between technostress creators and employee well-being among IT workers, from the perspective of the Job Demands-Resources (JDR) theory. Data was collected from 117 IT workers employed in various technology companies in Indonesia. The results indicate that there is no significant relationship between technostress creators and employee well-being (b = -.17, SE = .13, 95% CI [-.45, .06], p = .18). Additionally, a significant positive correlation was found between job autonomy and employee well-being (b = .72, SE = .12, 95% CI [.47, .95], p < .001). However, job autonomy does not significantly moderate the relationship between technostress creators and employee well-being (b = -.06, SE = .20, 95% CI [-.41, .38], p = .76). This means that the level of job autonomy does not influence the relationship between technostress creators and employee well-being. This study's findings can enrich the existing literature on technostress creators, employee well-being, and job autonomy."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Rifdah Salma Putri Miftana
"Saat menjalani magang, karyawan magang dituntut untuk mampu beradaptasi secara cepat dengan lingkungan, kegiatan, maupun sistem yang berlaku di tempat kerja. Hal tersebut membuat karyawan magang rentan mengalami stres dan dapat mengganggu kesejahteraan peserta magang di tempat kerja. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan mencari bantuan kepada atasan maupun rekan kerja. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara intensi mencari bantuan dalam konteks organisasi dan kesejahteraan karyawan pada peserta magang. Desain penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dengan strategi korelasional. Instrumen pengukuran yang digunakan adalah alat ukur yang diadaptasi dari Theory Planned Behavior Questionnaire (TPB Questionnaire) (Mo & Mak, 2009) dan Employee Well-Being Scale (EWBS) (Zheng et al., 2015). Partisipan penelitian merupakan 434 Warga Negara Indonesia yang sedang/telah mengikuti program magang dengan rentang usia 18—24 tahun (M = 21,19, SD = 1,39). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif dan signifikan antara intensi mencari bantuan dalam konteks organisasi dan kesejahteraan karyawan pada peserta magang, r(432) = 0,41, p < 0,01, one-tailed, r2 = 0,17. Hasil penelitian diharapkan dapat membangun motivasi bagi para peserta magang untuk berani mencari bantuan ketika mengalami kesulitan di tempat kerja. Selain itu, hasil penelitian juga dapat menjadi dasar organisasi dalam menciptakan program yang dapat mendorong serta mendukung para peserta magang untuk tidak segan mencari bantuan di tempat kerja.
When undergoing an internship, interns are required to adapt quickly to the environment, activities, and systems in the workplace. It makes interns vulnerable to stress and can interfere with interns’ well-being at work. A resolution to overcome these problems is to seek help from superiors and colleagues. The objective of this present study is to explore the relationship between help-seeking in an organizational context and employee well-being among interns. This study uses a quantitative approach with a correlational strategy as a research design. This research used measurement instruments adapted from the Theory Planned Behavior Questionnaire (TPB Questionnaire) (Mo & Mak, 2009) and the Employee Well-Being Scale (EWBS) (Zheng et al., 2015). Participants in this study are 434 Indonesian citizens who were/had attended internship programs with an age range from 18 to 24 years (M = 21.19, SD = 1.39). The result of this present study shows that there is a significant positive correlation between help-seeking in an organizational context and employee well-being among interns, r(432) = 0,41, p < 0,01, one-tailed, r2 = 0,17. The research result is expected to motivate the interns to have the courage to seek help when experiencing difficulties at work. In addition, it can also become the basis for the organization in creating programs that can encourage and support interns to seek help in the workplace."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Alvia Rahmah
"Penelitian dilakukan untuk mengetahui perbedaan kinerja karyawan, kreasi kerja dan kesejahteraan karyawan pada karyawan dengan pengaturan lokasi berbeda serta untuk mengetahui peran mediasi kesejahteraan karyawan dalam hubungan antara kreasi kerja dengan kinerja tugas. Penelitian ini dilakukan terhadap 336 orang karyawan di Indonesia dengan menggunakan kuesioner daring. Alat ukur yang digunakan diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia yaitu: Skala Kinerja Tugas dari Individual Work Performance Questionnaire (IWPQ) yang dikembangkan oleh Koopmans dkk (2012), Skala Kreasi Kerja yang dikembangkan oleh Tims dkk (2012), dan Skala Kesejahteraan Karyawan yang dikembangkan oleh Pradhan dan Hati (2019). Satu butir pertanyaan dengan tiga pilihan jawaban yaitu bekerja sepenuhnya dari rumah, bekerja sepenuhnya dari kantor serta bekerja dari rumah dan kantor dengan pengaturan jadwal. Teknik analisis statistik yang digunakan untuk membuktikan hipotesis penelitian adalah one-way ANOVA dan analisis mediasi dengan aplikasi makro PROCESS dari Hayes versi 4.0 model 4 yang terdapat dalam perangkat lunak IBM SPSS versi 25. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa karyawan yang sepenuhnya bekerja dari kantor memiliki skor kinerja tugas, kreasi kerja, dan kesejahteraan yang lebih tinggi dari pada karyawan yang bekerja sepenuhnya dari rumah maupun dengan pengaturan jadwal rumah-kantor. Di samping itu, penelitian ini juga membuktikan kesejahteraan karyawan berperan sebagai mediator dalam hubungan antara kreasi kerja dengan kinerja tugas karyawan secara sebagian. Hasil penelitian ini selanjutnya dapat menjadi pertimbangan perusahaan untuk mengutamakan penerapan sistem bekerja dari rumah. Untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan karyawan melalui peningkatan perilaku kreasi kerja, atasan dapat memberikan kesempatan untuk memimpin proyek internal dan memberikan otonomi dengan risiko kecil.
This research was conducted to determine differences in employee performance, job crafting and employee well-beingwith different workplace arrengement and to determine the mediating role of employee well-being in the relationship between job crafting and task performance. There are 336 Indonesian employees completed online questinonnaire in this research. Task Performance Scale from the Individual Work Performance Questionnaire (IWPQ) developed by Koopmans et al. (2012), the Job Crafting Scale developed by Tims et al. (2012), and the Employee Well-Being Scale developed by Pradhan and Hati (2019) were adapted into Indonesian language and used to measure the research variables. Workplace arrangement measured by one question with three predefined answers: fully working form home, fully working from office, and both with shift arrangement. One-way ANOVA and mediation analysis with the PROCESS macro application from Hayes version 4.0 model 4 used to prove the research hypothesis. The results of this study indicated that employees who full-time work from the office have higher task performance, job crafting, and well-being than who full-time work from home or both with shift arrangement. In addition, this study also proved that employee well-being partially mediatedthe relationship between job crafting and task performance. Implication of this result is organization may consider prioritizing the implementation of fully working from office arrangement. Superiors could improve subordinate’s well-being and task performance through job crafting by giving the opportunities to lead internal projects or autonomy with low risk."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Meira Annisa Humaira
"Transisi angkatan kerja ke generasi Z membuat perusahaan perlu memperhatikan karakteristik unik yang dimiliki generasi Z dibandingkan generasi sebelumnya. Gen Z berani untuk berperilaku sesuai nilai yang diprioritaskannya, salah satunya adalah well-being. Hal ini berkaitan erat dengan fenomena quiet quitting. Quiet quitting merupakan karyawan yang tidak berhenti bekerja secara resmi namun tidak melampaui batas dasar kewajiban mereka. Salah satu faktor yang berhubungan dengan terjadinya quiet quitting adalah employee well-being yang rendah. Kebebasan dan kemandirian melalui job crafting berpotensi menekan perilaku quiet quitting. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran moderasi dari job crafting dalam memperlemah hubungan employee well-being dan quiet quitting. Partisipan penelitian ini berjumlah 268 karyawan generasi Z yang sedang bekerja, sudah melewati tahap probation (3 bulan), dan memiliki atasan. Pengambilan partisipan menggunakan metode convenience sampling dengan menyebarkan kuesioner secara daring. Analisis moderasi dilakukan dengan menggunakan macro process Hayes model 1. Hasil analisis data hipotesis mempunyai nilai (p) 0.170 > 0.05. Hal ini berarti tidak ada efek moderasi job crafting yang memperlemah hubungan employee well-being dan quiet quitting pada karyawan generasi Z. Hasil penelitian ini memberikan inisiatif penting bagi perusahaan untuk meningkatkan employee well-being sebagai upaya mengurangi perilaku quiet quitting.
The transition of the workforce to generation Z made companies need to pay attention to the unique characteristics that generation Z had compared to previous generations. Gen Z dared to behave according to their prioritized values, one of which was well-being. This was closely related to the phenomenon of quiet quitting. Quiet quitting was an employee who did not officially stop working but did not exceed the basic limits of their obligations. One of the factors associated with quiet quitting was low employee well-being. Freedom and independence through job crafting had the potential to suppress quiet quitting behavior. This study aimed to examine the moderating role of job crafting in weakening the relationship between employee well-being and quiet quitting. The participants of this study amounted to 268 generation Z employees who were currently working, had passed the probation stage (3 months), and had a supervisor. Participants were collected using a convenience sampling method by distributing questionnaires online. Moderation analysis was conducted using macro process Hayes model 1. The results of the hypothesis data analysis had a value (p) of 0.170 > 0.05. This meant that there was no moderating effect of job crafting that weakened the relationship between employee well-being and quiet quitting in generation Z employees. The results of this study provided important initiatives for companies to improve employee well-being as an effort to reduce quiet quitting behavior."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Like Hartati
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kreasi kerja (job crafting) dengan kesejahteraan karyawan (employee well-being) melalui peran mediasi modal psikologis (psychological capital). Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross-sectional study. Partisipan penelitian ini adalah 332 karyawan swasta dan publik berusia 24-50 tahun yang bekerja di Indonesia. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner daring dan dianalisis menggunakan analisis mediasi sederhana dengan program Macro Process Hayess model 4. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa modal psikologis memiliki peran mediasi dalam hubungan antara kreasi kerja dengan kesejahteraan karyawan (b = 0.37, 95% CI [0.30 – 0.45]). Implikasi dari penelitian ini dapat dimanfaatkan oleh organisasi dalam mengembangkan berbagai program dan pelatihan, terutama dalam peningkatan keterampilan kreasi kerja dan modal psikologis karyawan.
This study aims to determine the relationship between job creation (job crafting) and employee well-being through the mediating role of psychological capital (psychological capital). This research is a quantitative study with a cross-sectional study design. The participants of this study were 332 private and public employees aged 24-50 years who worked in Indonesia. The sampling technique used is accidental sampling. Data was collected using an online questionnaire and analyzed using simple mediation analysis with the Macro Process Hayess model 4. The results of this study indicate that psychological capital has a mediating role in the relationship between job creation and employee welfare (b = 0.37, 95% CI [0.30 – 0.45]). The implications of this research can be utilized by organizations in developing various programs and training, especially in improving work creation skills and employee psychological capital."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Riskia Ramadhina Sukriananda
"Guru merupakan salah satu profesi dengan tingkat stres yang tinggi. Seiring meningkatnya stres guru, kesejahteraan subjektif guru pun ikut menurun. Hal ini pun terjadi pada guru pendidikan anak usia dini (PAUD), yang perlu hadir secara emosional bahkan ketika berada dalam situasi yang kurang efektif, seperti suasana yang bising. Sementara itu, kesejahteraan subjektif guru PAUD penting untuk dijaga demi efektivitas pembelajaran. Studi terdahulu memperlihatkan bahwa regulasi emosi dapat memberikan efek protektif sehingga kesejahteraan guru dapat terjaga dalam kondisi yang menekan. Oleh sebab itu, penelitian ini pun bertujuan untuk melihat peran regulasi emosi sebagai moderator pada hubungan stres guru dan kesejahteraan guru PAUD. Penelitian ini dilakukan pada 319 guru PAUD dengan mengukur stres guru, kesejahteraan subjektif guru, serta dua strategi regulasi emosi cognitive reappraisal dan expressive suppression. Hasil penelitian dengan uji moderator menunjukkan bahwa baik strategi cognitive reappraisal maupun expressive suppression tidak berperan sebagai moderator dalam hubungan stres guru dan kesejahteraan guru PAUD. Bagaimanapun, hasil penelitian menunjukkan bahwa kedua strategi regulasi emosi dapat memprediksi kesejahteraan subjektif guru PAUD.
Teacher is one of the professions with the high level of stress. As the teacher stress increases, the teacher subjective well-being decreases, which also happen in early childhood teachers, who have to be present emotionally even in a less effective situation, such as a noisy environment. Meanwhile, it is important to protect teacher subjective well-being as its correlation with learning effectiveness. Previous studies showed that emotion regulation can provide protective effects in order to protect teacher subjective well-being in stressful conditions. Therefore, the current study aims to examine emotion regulation as a moderator on the relationship between teacher stress and teacher subjective well-being. This research was conducted on 319 early childhood teachers by measuring teacher stress, teacher subjective well-being, as well as two emotion regulation strategies, cognitive reappraisal and expressive suppression. Moderation analysis shows that neither cognitive reappraisal nor expressive suppression have a moderation effect on the relationship between teacher stress and early childhood teacher subjective well-being. However, the result shows that both emotional regulation strategies can predict early childhood teacher subjective well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Zahra Ainina Cahyaningtyas
"Dukungan sosial ditemukan dapat berperan sebagai variabel penyangga ketika individu mengalami situasi stres. Peranan ini menjadi penting ketika individu mengalami kondisi stres yang dapat berdampak negatif terhadap kesejahteraan subjektifnya. Pada situasi ekonomi yang mengalami kenaikan, kelompok generasi sandwich yang berperan untuk mengurus orang tua dan anak dalam satu waktu menjadi rentan untuk mengalami stres finansial yang dapat berdampak negatif terhadap kesejahteraan subjektifnya. Terkait dengan hubungan tersebut, penelitian ini mengkaji peran dari dukungan sosial sebagai variabel moderator pada hubungan antara stres finansial dan kesejahteraan subjektif. Penelitian ini melibatkan 135 responden generasi sandwich berusia 35-60 tahun yang memberikan dukungan finansial kepada anak dan orang tua. Analisis korelasional Pearson yang dilakukan antara stres finansial dan kesejahteraan subjektif menunjukkan adanya korelasi negatif yang mengindikasikan bahwa semakin tinggi stres finansial maka akan semakin rendah kesejahteraan subjektif individu. Meskipun demikian, tidak terdapat peran moderasi yang signifikan dari dukungan sosial dalam hubungan antara stres finansial dan kesejahteraan subjektif.
Previous studies found that social support could have a moderating effect during one’s stressful situation. This role became important as the individual experienced a stressful situation that could have a negative impact towards its well-being. During the economic situation where inflation arises, the sandwich generation group whose role is to take care of parents and children at one time became vulnerable to experience financial stress which can have a negative impact on their subjective well-being. Related to this relationship, this study examined the role of social support as a moderator variable. This study involved 135 sandwich generation respondents, ranging from 35 to 60 years old, who provided financial support to their children and parents. Pearson’s correlation analysis conducted between financial stress and subjective well-being showed a significantly negative relationship, indicating that higher financial stress would lead to a lower subjective well-being. However, there is no significant moderating role of social support in the relationship between financial stress and subjective well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Siregar, Launa Qistie
"Pendidikan inklusif di tingkat sekolah dasar merupakan salah satu usaha untuk mendukung pendidikan formal yang merata bagi setiap anak. Namun, pada implementasinya tidak terlepas dari berbagai tantangan, sehingga penting bagi guru untuk memiliki karakter yang bersemangat dan berkomitmen terhadap pekerjaannya dalam jangka panjang terlepas dari tantangan yang dihadapi melalui kegigihan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif untuk mengetahui hubungan antar variabel yang melibatkan 111 partisipan. Karakteristik partisipan dalam penelitian ini terdiri dari: guru aktif di tingkat sekolah dasar (SD) atau madrasah ibtidaiyah (MI) inklusif, pernah atau sedang mengajar minimal 1 anak berkebutuhan khusus (ABK) di dalam kelas, berdomisili di Indonesia, dan telah mengajar selama minimal 1 semester (6 bulan). Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur 12-Item Grit Scale (Duckworth dkk., 2007) dan alat ukur Teachers’ Subjective Well-being Questionnaire bahasa Indonesia (Saleh, dkk., n.d). Hasil uji korelasi menggunakan Spearman correlation menemukan bahwa kegigihan dan kesejahteraan subjektif guru memiliki korelasi positif yang signifikan dengan r=0.41**, p<0,01. Hasil penelitian juga menemukan bahwa komponen dalam kegigihan, yaitu: consistency of interest dan perseverance of effort memiliki korelasi positif dan signifikan dengan kesejahteraan subjektif guru di sekolah dasar (SD) inklusif.
Inclusive education at the primary school is one of the efforts to support equality in formal education for every child. However, the implementation cannot be separated from various challenges, such as: increasing teacher assignments, stress due to the diversity of students in the classroom, and lack of competence to deal with special education needs students which can affect the level of teachers' subjective well-being. To face it, teachers need to have passion and consistent character towards their work in the long term regardless of the challenges through grit. This study is a quantitative study to determine the relationship between variables involving 111 participants. The characteristics of the participants in this study consisted of: teachers at the primary inclusive school or madrasah ibtidaiyah (MI), had or was teaching at least 1 special education needs student in the classroom, domiciled in Indonesia, and being a teacher for at least 1 semester (6 months). In this study, researcher used 12-item Grit Scale (Duckworth, et.al., 2007) and Teachers’ Subjective Well-being Questionnaire Indonesian Version (Saleh, et.al, n.d). The results of Spearman correlation found that grit and teachers' subjective well-being had a significant positive correlation with r=0.41**, p<0.01. This research also finds positive correlation between components of grit (consistency of interest and perseverance of effort with teachers’ subjective well-being on inclusive primary school’s teachers."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Yusrina Ilmia Rosa
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara penerimaan kelompok teman sebaya dan kesejahteraan psikologis pada remaja dari keluarga miskin kota. Kesejahteraan psikologis sendiri didefinisikan Ryff (1989) sebagai apa saja yang dibutuhkan individu untuk sehat secara psikologis dengan memenuhi enam dimensi yang ada. Sedangkan penerimaan kelompok teman sebaya didefinisikan Hurlock (1993) didefinisikan sebagai keberadaan seseorang dinilai menyenangkan dan memberikan positive reinforcement bagi sekelompok teman sebayanya. Kesejahteraan psikologis diukur menggunakan Ryff's Psychological Well-Being (1989) yang merupakan hasil adaptasi dari penelitian sebelumnya oleh Fitri (2012). Kemudian variabel penerimaan kelompok teman sebaya diukur menggunakan alat ukur Penerimaan Peer yang dibuat oleh Ningrum (2009) serta dikonstruk berdasarkan teori Asher dan William (1987). Penelitian ini dilakukan kepada 122 partisipan dan berdomisili di Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara penerimaan kelompok teman sebaya dan kesejahteraan psikologis pada remaja yang berasal dari keluarga miskin perkotaan yang berarti bahwa semakin tinggi penerimaan kelompok teman sebaya maka remaja juga cenderung memiliki kesejahterann psikologis yang tinggi.
The objective of this study is to examine the relationship between peer group acceptance and psychological well-being among adolescents from poor urban family. Psychological well-being itself was defined by Ryff (1989) as what it means to be in good psychological health by accomplish six dimension of psychological well-being, while Hurlock (1993) defined peer group acceptance as the extent to which the presence of a person judged to be fun and provide positive reinforcement for their peer. Psychological well-being was measured using Ryff's Psychological Well-Being (1989) which was adapted from previous study by Fitri (2012). Then peer group acceptance's variable was measured with Penerimaan Peer measuring instrument by Ningrum (2009) which is constructed based on Asher and William's theory (1987). This study was conducted to 122 participants who lived in Jakarta, Bogor, Depok and Tangerang. The result of this study shows that there is a positively significant relationship between peer group acceptance and psychological well-being among adolescents from poor urban family, it means that when the peer group acceptance in adolescents are high, the psychological well being in adolescents will be high too."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45514
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Wuri Ayu Puspita Sari
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah perceived social support memoderasi hubungan antara distres psikologis dan kesejahteraan psikologis. Partisipan dalam penelitian ini adalah emerging adults Indonesia berusia 18-25 tahun berjumlah 828 partisipan. Hasil pengolahan data menggunakan teknik analisis regresi menunjukkan bahwa perceived social support tidak memoderasi hubungan antara distres psikologis dan kesejahteraan psikologis, β = 0.0016, t(828) = 0,66, p>0,5, yang berarti perceived social support tidak memperkuat atau memperlemah hubungan antara distres psikologis dan kesejahteraan psikologis. Namun, jika dilihat secara terpisah, ditemukan bahwa distres psikologis secara signifikan dapat memprediksi kesejahteraan psikologis, β = - 0.27, t(828) = -15.05, p<0.05. Selain itu, perceived social support secara signifikan dapat memprediksi kesejahteraan psikologis, β = 0.51, t(828) = 11.65, p<0.05.
This study aims to determine whether perceived social support moderates the relationship between psychological distress and psychological well-being. Participants in this study were Indonesian emerging adults aged 18-25 years totaling 828 participant. The results of data processing using regression analysis techniques show that perceived social support does not moderate the relationship between psychological distress and psychological well-being, β = 0.0016, t (828) = 0.66, p> 0.5, which means perceived social support does not strengthen or weaken the relationship between psychological distress and psychological well-being. However, when viewed separately, it was found that psychological distress could significantly predict psychological well-being, β = - 0.27, t (828) = -15.05, p <0.05. In addition, perceived social support can significantly predict psychological well-being, β = 0.51, t (828) = 11.65, p <0.05."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library