Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172684 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Nuzul Raihan
"Saat ini, generasi Z sudah memasuki dunia kerja dan cenderung memiliki tingkat stres yang lebih tinggi jika tidak diberikan lingkungan kerja yang mendukung. Jadi, penting untuk melihat gaya kepemimpinan atasan yang tepat untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif generasi ini, salah satu gaya kepemimpinan yang dinilai cukup efektif adalah gaya kepemimpinan transformasional. Maka dari itu, penelitian ini hendak melihat hubungan antara gaya kepemimpinan atasan yang transformasional dan kesejahteraan subjektif pada pekerja generasi Z. Dengan menggunakan metode kuantitatif korelasional, penelitian ini melibatkan 101 partisipan yang berusia 20-28 tahun di wilayah Jabodetabek. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah The PERMA-Profiler untuk mengukur kesejahteraan subjektif dan Multifactor Leadership Questionnaire (MLQ) 5X untuk mengukur kepemimpinan transformasional. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara gaya kepemimpinan atasan yang transformasional dan kesejahteraan subjektif (r = 0,525; p < 0,001; one-tailed). Temuan ini menekankan pentingnya implementasi gaya kepemimpinan transformasional untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja generasi Z.

Currently, Generation Z has entered the workforce and tends to experience higher stress levels if not provided with a supportive work environment. Therefore, it is important to identify the appropriate leadership style to enhance the subjective well-being of this generation, one leadership style considered effective is transformational leadership. This study investigates the relationship between superiors’ transformational leadership style and subjective well-being in Generation Z workers. Using a quantitative correlational method, this research involved 101 participants aged 20-28 in the Greater Jakarta area. The measurement tools used in this study are The PERMA-Profiler to measure subjective well-being and the Multifactor Leadership Questionnaire (MLQ) 5X to measure transformational leadership. The results showed a significant positive relationship between superiors’ transformational leadership style and subjective well-being (r = 0.525, p < 0.001, one-tailed). These findings highlight the importance of implementing transformational leadership to enhance the well-being of Generation Z employees."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Raditya Ramadhan
"Penelitian terdahulu menemukan penurunan kesejahteraan subjektif pada Generasi-Z lebih besar dibandingkan generasi sebelumnya. Seiring masuknya Generasi-Z ke dunia kerja, tercatat karyawan Generasi-Z dari berbagai negara cenderung "pindah-pindah pekerjaan" yang menandakan rendahnya komitmen organisasi. Oleh karena itu, penting untuk meneliti hubungan antara kesejahteraan subjektif dan komitmen organisasi karyawan Generasi-Z di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif korelasional dengan 113 partisipan karyawan Generasi-Z berusia 20-28 tahun. The PERMA-Profiler digunakan untuk mengukur kesejahteraan subjektif dan Organizational Commitment Questionnaire (OCQ) untuk mengukur komitmen organisasi. Hasil penelitian menunjukkan korelasi positif signifikan antara kesejahteraan subjektif dan dua dimensi komitmen organisasi yaitu komitmen afektif, r = 0,278, p <,001 (one-tailed) dan komitmen normatif r(113) = 0,368, p <,001 (one-tailed). Namun, tidak ditemukan hubungan antara kesejahteraan subjektif dan komitmen berkelanjutan r(113) = 0,124, p >,001 (one-tailed). Temuan ini mengimplikasikan pentingnya bagi perusahaan untuk mengambil langkah konkret seperti memberikan apresiasi yang setimpal dan membangun lingkungan kerja sehat guna memperkuat komitmen organisasi karyawan Generasi-Z di Indonesia, yang pada gilirannya akan berdampak positif terhadap produktivitas dan efektivitas organisasi.

Previous studies found a greater decline in subjective well-being among Generation Z compared to previous generations. As Generation Z enters the workforce, employees from this generation across various countries show a tendency to "job-hopping," indicating low organizational commitment. Therefore, it is essential to examine the relationship between subjective well-being and organizational commitment among Generation Z employees in Indonesia. This study used a quantitative correlational method with 113 Generation Z employee participants aged 20-28. The PERMA-Profiler was used to measure subjective well-being, and the Organizational Commitment Questionnaire (OCQ) was used to measure organizational commitment. The results showed a significant positive correlation between subjective well-being and two dimensions of organizational commitment: affective commitment, r = 0.278, p < .001 (one-tailed), and normative commitment, r(113) = 0.368, p < .001 (one-tailed). However, there was no significant relationship between subjective well-being and continuance commitment, r(113) = 0.124, p > .001 (one-tailed). These findings imply the importance for companies to take concrete steps such as providing appropriate recognition and creating a healthy work environment to strengthen the organizational commitment of Generation Z employees in Indonesia, which in turn will positively impact overall organizational productivity and effectiveness."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rakhen Naufal Rifananda
"Beberapa penelitian menemukan berbagai beban dan kekhawatiran mengenai masa depan yang dimiliki oleh Generasi sandwich. Kekhawatiran yang dimiliki meliputi kondisi finansial di masa depan dan kondisi kesehatan orang tua yang sudah lansia. Kekhawatiran tersebut memiliki konsekuensi terhadap kesehatan fisik, mental dan kesejahteraan subjektif mereka. Memiliki ekspektasi positif mengenai masa depan, atau biasa disebut sebagai optimisme, diduga dapat mengurangi efek buruk dari berbagai kekhawatiran tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat hubungan antara optimisme dan kesejahteraan subjektif. Jumlah partisipan penelitian adalah 128 orang dalam rentang umur 35-60 tahun yang menanggung kebutuhan anak dan keluarganya dalam waktu yang bersamaan. Hasil analisis Pearson correlation menunjukkan adanya korelasi positif dan signifikan antara optimisme dan kesejahteraan subjektif. Hal ini dapat diartikan bahwa untuk generasi sandwich, semakin tinggi optimisme akan semakin tinggi kesejahteraan subjektifnya.

Several studies have found various burdens and worries sandwich generation has regarding the future. Future financial state and their parents’ deteriorating health are one of their biggest concerns. These worries have negative consequences on their physical health, mental health, and their subjective well-being. Having a positive expectation regarding the future, also known as optimism, is thought to be able to negate the negative effects their worries have. The purpose of this study was to examine the relationship between optimism and subjective well-being. There were 128 participants ranging from 35-60 years of age who actively take care of their children and parents at the same time. Pearson correlation analysis of the data has shown that there is a significant positive relationship between optimism and subjective well-being. This can be interpreted that for sandwich generation, the higher the optimism the higher their subjective well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irmayanti
"Menjalani kehidupan sebagai generasi sandwich menyebabkan seseorang memiliki tanggungan diri sendiri, anak, orangtua, dan mungkin kakek atau nenek dalam waktu bersamaan. Situasi ini menimbulkan berbagai faktor risiko yang dapat memengaruhi kesejahteraan subjektif dalam dirinya. Beberapa penelitian menyatakan adanya hubungan antara regulasi emosi positif dengan kesejahteraan subjektif. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara regulasi emosi dan kesejahteraan subjektif pada generasi sandwich di Indonesia. Penelitian ini bersifat korelasional dengan melibatkan responden generasi sandwich berusia 35-60 tahun (N=146). Terdapat dua alat ukur penelitian yang digunakan yaitu, skala kesejahteraan subjektif dan skala regulasi emosi. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan positif yang signifikan antara regulasi emosi dan kesejahteraan subjektif pada generasi sandwich.

Life as the sandwich generation causes a person to have dependents for themselves, children, parents, and maybe grandparents at the same time. This situation raises various risk factors that can affect subjective well-being in him. Several studies said that there is a relationship between positive emotion regulation and subjective well-being. The purpose of this study was to determine whether there is a relationship between emotion regulation and subjective well-being of the sandwich generation in Indonesia. This research is correlational by involving sandwich generation respondents aged 35-60 years (N=146). There are two scales used, namely, the subjective well-being scale and the emotional regulation scale. The results of the analysis show that there is no significant positive relationship between emotion regulation and subjective well-being in the sandwich generation."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Salma Santosa
"Menjalankan perannya dalam mengasuh anak dan merawat orang tua pada saat yang bersamaan membuat generasi sandwich rentan mengalami stres, depresi, dan juga kesulitan dalam mengelola segala tuntutan yang dimilikinya. Hal ini dapat mengganggu kesejahteraan subjektifnya. Resiliensi diketahui memiliki pengaruh positif terhadap kesejahteraan subjektif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara resiliensi dan kesejahteraan subjektif pada generasi sandwich. Desain korelasional digunakan melibatkan 129 orang dewasa pada usia menengah antara 35 dan 60 tahun yang mengemban peran ganda dalam merawat orang tua dan anak-anak mereka. Alat ukur yang digunakan adalah Skala Kesejahteraan Subjektif dan The-14 Resilience Scale (The-14 RS). Temuan penelitian menunjukkan bahwa skor rata-rata resiliensi dan kesejahteraan subjektif tinggi. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara resiliensi dan kesejahteraan subjektif pada generasi sandwich. Temuan ini menunjukkan bahwa tingkat resiliensi yang tinggi berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan subjektif yang tinggi di antara individu dalam generasi sandwich.

The simultaneous role of caring for children and taking care of their parents exposes the sandwich generation to potential stress, depression, and difficulties in managing their responsibilities, ultimately affecting their Subjective Well-Being. Resilience has been recognized as a factor that positively influences Subjective Well-Being. Therefore, this study aimed to investigate the relationship between resilience and Subjective Well-Being in the sandwich generation. A correlational design was employed, involving 129 middle-aged adults aged between 35 and 60 who assumed dual caregiving roles for their parents and children. The Subjective Well-Being Scale and The-14 Resilience Scale (The-14 RS) were used as measurement tools. The research findings revealed high average scores for resilience and Subjective Well-Being. Furthermore, the results indicated a significant positive association between resilience and Subjective Well-Being in the sandwich generation. This finding suggests that higher levels of resilience correspond to elevated levels of Subjective Well-Being among individuals in the sandwich generation."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadira Ismaryanti
"Gen Z tumbuh dengan banyaknya pengaruh dari internet dan media sosial. Pemilihan
aktivitas waktu luang juga dapat dipengaruhi oleh influencer di media sosial. Salah
satunya melalui pengaruh tren BookTok, Gen Z menjadi tertarik untuk membaca.
Tujuan penelitian adalah untuk melihat kontribusi leisure satisfaction terhadap
subjective well-being dan happiness pada Generasi Z dalam konteks leisure reading.
Peneliti juga bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat subjective well-being dan
happiness pada jenis bacaan fiksi dan non-fiksi. Penelitian ini menggunakan metode
penelitian korelasional non ekperimental. Leisure satisfaction diukur dengan LSS
(Beard & Ragheb, 1980). Subjective well-being diukur dengan SWLS (Diener et al.,
1985) dan PANAS (Watson et al., 1988). Sedangkan Happiness diukur dengan SHS
(Lyubomirsky & Lepper, 1999). Diperoleh sebanyak 184 partisipan yang berusia 18-26
tahun dan memiliki pilihan kegiatan membaca pada waktu luangnya. Secara
keseluruhan leisure satisfaction terbukti berkontribusi terhadap komponen subjective
well-being dan happiness pada Generasi Z yang suka membaca di waktu luang.
Sedangkan pada jenis bacaan fiksi, leisure satisfaction tidak terbukti secara signifikan
berkontribusi terhadap happiness. Disimpulkan dari hasil pengukuran dengan T-test
menunjukkan bahwa tingkat happiness dan tingkat subjective well-being ditemukan
lebih tinggi pada partisipan yang suka membaca non-fiksi dibandingkan fiksi

Gen Z grew up with the influence of internet and social media. Social media influencers can
impact leisure activity choices, that is BookTok trend influenced Gen Z to read. The aim of
this research is to see the contribution of leisure satisfaction to subjective well-being and
happiness in Generation Z in the context of leisure reading. Researcher want to see the
differences level of subjective well-being and happiness in the types of fiction and non-fiction
reading. This study uses a non-experimental correlational research method. Leisure
satisfaction is measured by LSS (Beard & Ragheb, 1980). Subjective well-being is measured
by SWLS (Diener et al., 1985) and PANAS (Watson et al., 1988). Happiness is measured by
SHS (Lyubomirsky & Lepper, 1999). There were 184 participants aged 18-26 years who likes
to read in their free time. Overall leisure satisfaction is proven to contribute to the components
of subjective well-being and happiness of Generation Z in the context of leisure reading.
Whereas in fiction reading, leisure satisfaction is not proven to significantly contribute to
happiness. It is concluded from the measurement results with the T-test, that happiness and
subjective well-being level is found to be higher in participants who like to read non-fiction.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Fitri Sulami
"Penelitian ini dilakukan untuk menemukan hubungan antara kepemimpinan transformasional atasan dan kesejahteraan di tempat kerja pada pegawai tingkat supervisor PT. XYZ. PT XYZ merupakah perusahaan yang sedang mengalami berbagai perubahan. Pengukuran kepemimpinan transformasional menggunakan alat ukur Multifactor Leadership Questionnaire (MLQ) dan pengukuran kesejahteraan di tempat kerja menggunakan alat ukur Workplace Well-Being Index (WWBI). Partisipan dalam penelitian ini adalah 100 pegawai tingkat supervisor PT. XYZ.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kepemimpinan transformasional atasan dan kesejahteraan di tempat kerja pada pegawai tingkat supervisor PT. XYZ (r = 0.473, p < 0.01, one-tailed signifikan pada L.o.S 0.01). Artinya, ketika pegawai mempersepsikan atasannya memiliki kepemimpinan transformasional yang tinggi, maka pegawai tersebut memiliki kesejahteraan di tempat kerja yang tinggi.

This research was conducted to find the relationship between supervisor transformational leadership and workplace well-being among employees in supervisor level of PT. XYZ. PT. XYZ is a company that has been changing. Transformational leadership was measured using a modification instrument named Multifactor Leadership Questionnaire (MLQ) and workplace well-being was measured using a modification instrument named Workplace Well-Being Index (WWBI). The participants of this research are 100 employees in supervisor level of PT. XYZ.
The main results of this research show that transformational leadership positively correlated significantly with workplace well-being among employees in supervisor level of PT. XYZ (r = 0.473, p < 0.01, one-tailed significant at L.o.S 0.01). That is when employees have a perception that their supervisor has a high transformational leadership, they have a high workplace well-being.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46610
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Yazid Habibah
"Pengalaman membesarkan anak dan merawat orang tua dalam satu waktu yang dialami generasi sandwich menuntut untuk menjalankan dua perannya dengan seimbang. Tanggung jawab ini tidak terlepas dari berbagai macam tantangan yang rentan mengganggu kesejahteraan subjektif individu. Welas asih diri diduga dapat berkaitan dengan kesejahteraan subjektif individu. Penelitian dilakukan menggunakan desain korelasional kepada 130 dewasa madya dengan rentang usia 35-60 tahun yang merawat serta mengasuh anak dan orang tua. Tujuan penelitian ini adalah melihat adanya hubungan antara welas asih diri dan kesejahteraan subjektif pada generasi sandwich. Alat ukur yag digunakan adalah Skala Kesejahteraan Subjektif dan Self-Compassion Scale Short Form (SCS-SF). Hasil penelitian menunjukkan bahwa welas asih diri secara signifikan berkorelasi positif dengan kesejahteraan subjektif pada generasi sandwich. Hal ini mengimplikasikan welas asih diri dapat menjadi intervensi untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif pada generasi sandwich.

The experience of raising children and caring for parents at the same time experienced by the sandwich generation demanded that they carry out their two roles in a balanced way. This responsibility is inseparable from various kinds of challenges that are prone to disrupting individual subjective well-being. Self-compassion is thought to be related to individual subjective well-being. The study was conducted using a correlational design with 130 middle adults aged around 35-60 years who cared for their parents and children simultaneously. The purpose of this study was to see a relationship between self-compassion and subjective well-being in the sandwich generation. The measuring tools used are Skala Kesejahteraan Subjektif and Self-Compassion Scale Short Form (SCS-SF). The result showed that self-compassion was positively significant correlated with subjective well-being in sandwich generation. This implies self-compassion can be an intervention to improve subjective well-being in sandwich generation."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Arif Sofyan
"Fleksibilitas kerja semakin menjadi perhatian utama di berbagai sektor industri, terutama dalam konteks kesejahteraan subjektif pekerja. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara pengaturan kerja fleksibel dan kesejahteraan subjektif pada pekerja di sektor industri swasta di Indonesia, khususnya di DKI Jakarta, Banten, dan Jawa Barat. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain non-eksperimental korelasional. Partisipan penelitian adalah 87 pekerja berusia 19-60 tahun yang telah bekerja dengan pengaturan kerja fleksibel minimal selama 3 bulan. Data dikumpulkan melalui kuesioner yang terdiri dari The PERMA-Profiler dan Flexible Working Arrangement Scale (FWAS). Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara fleksibilitas waktu kerja dan kesejahteraan subjektif (r = 0,487; p < 0,01; two tailed) serta antara fleksibilitas tempat kerja dan kesejahteraan subjektif (r = 0,532; p < 0,01; two tailed). Temuan ini mengindikasikan bahwa pekerja yang memiliki kontrol lebih besar atas waktu dan lokasi kerja mereka cenderung memiliki tingkat kesejahteraan subjektif yang lebih tinggi. Oleh karena itu, disarankan bagi organisasi untuk merancang kebijakan kerja yang lebih fleksibel dan memberikan dukungan yang memadai untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja.

Work flexibility has increasingly become a major focus in various industrial sectors, especially concerning the subjective well-being of employees. This study aims to examine the relationship between flexible working arrangements and subjective well-being among workers in the private sector in Indonesia, particularly in DKI Jakarta, Banten, and West Java. This research employs a quantitative method with a non-experimental correlational design. The participants of the study are 87 employees aged 19-60 years who have been working with flexible working arrangements for at least 3 months. Data were collected through questionnaires consisting of The PERMA- Profiler and the Flexible Working Arrangement Scale (FWAS). The results of the study show a significant positive relationship between flexible working hours and subjective well-being (r = 0,487; p < 0,01; two tailed) as well as between flexible work location and subjective well-being (r = 0,532; p < 0,01; two tailed). These findings indicate that employees who have greater control over their work hours and locations tend to have higher levels of subjective well-being. Therefore, it is recommended for organizations to design more flexible work policies and provide adequate support to enhance employee well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Naufal Sugiharto
"Model kerja hibrida semakin populer di berbagai industri dengan menawarkan fleksibilitas bagi karyawan untuk bekerja di kantor dan dari jarak jauh. Namun, hal ini menimbulkan tantangan bagi kesejahteraan subjektif karyawan, seperti stres, kelelahan digital, kurangnya hubungan sosial dengan rekan kerja, dan kesulitan menjaga keseimbangan kehidupan-kerja. Penelitian ini menguji hubungan antara keterlibatan kerja dan kesejahteraan subjektif pada 140 pekerja berusia 19-56 tahun di Indonesia yang telah menjalani model kerja hibrida setidaknya selama 3 bulan. Data dikumpulkan melalui kuesioner dengan alat ukur The PERMA-Profiler dan Utrecht Work Engagement Scale (UWES)-9. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif secara signifikan antara keterlibatan kerja dan kesejahteraan subjektif (r = 0,637; p <0,01; one tailed) yang mengindikasikan bahwa semakin tinggi pekerja terlibat dalam pekerjaannya, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan subjektif yang dirasakannya. Oleh karena itu, perusahaan perlu merancang kebijakan yang mendukung fleksibilitas kerja dan memberikan dukungan yang memadai untuk meningkatkan keterlibatan dan kesejahteraan pekerja.

Hybrid working models are gaining popularity across industries by offering employees the flexibility to work in the office and remotely. However, this challenges employees subjective well-being, such as stress, digital fatigue, lack of social connection with coworkers, and difficulty maintaining work-life balance. This study examined the relationship between work engagement and subjective well-being in 140 workers aged 19-56 in Indonesia who had been in a hybrid work model for at least 3 months. Data were collected through questionnaires with The PERMA-Profiler and Utrecht Work Engagement Scale (UWES)-9 measurement tools. The results showed a significant positive correlation between work engagement and subjective well-being (r = 0,637; p < 0,01; one tailed) indicating that the more engaged workers are in their work, the higher their subjective well-being. Therefore, companies must design policies that support work flexibility and provide adequate support to improve worker engagement and well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>