Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147503 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Cahayatunnisa
"Judgment of Taste yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu menjelaskan bahwa melalui kajian selera dapat diungkap makna dan faktor-faktor yang mendorong terbentuknya suatu praktik sosial termasuk terhadap sebuah material culture. Masjid kerajaan merupakan salah satu bentuk bangunan peninggalan bercorak Islam yang pada dasarnya tidak memiliki aturan khusus atau panduan dalam pendiriannya. Dalam konteks masjid kerajaan, penguasa memiliki peran penting dalam menentukan bentuk bangunan yang menjadi representasi kewibawaan dan kekuasaannya. Oleh karenanya, ingin diungkap melalui pendekatan selera Pierre Bourdieu dengan analisis arkeologi bagaimana masjid-masjid kerajaan dijadikan sebagai representasi selera penguasa. Metode yang digunakan berupa penelitian kualitatif dengan tahap-tahap yakni pengumpulan data, pengolahan data, analisis data dan interpretasi data. Kajian ini menggunakan analisis arkeologi yang terdiri dari analisis morfologi, gaya dan kontekstual. Hasil yang diperoleh adalah bahwa masjid-masjid Kesultanan Langkat memiliki bentuk arsitektur dan ornamen yang beragam sebagai bentuk representasi selera penguasa. Selera penguasa tersebut didorong oleh ruang sosial atau arena, habitus dan berbagai modal, baik modal sosial, budaya, simbolik maupun ekonomi. Hasil kajian ini juga mengungkap perbedaan antara bentuk masjid pusat pemerintahan dengan masjid-masjid yang ada di daerah bagian (kejuruan) dan dipimpin oleh raja kecil. Selera sultan yang pada awalnya direpresentasikan pada masjid pusat pemerintahan, pada pembangunan berikutnya juga diikuti pula oleh masjid-masjid yang berada di kejuruan sehingga menjadi identitas masjid-masjid di bawah kekuasaan Kesultanan Langkat.

Judgment of Taste proposed by Pierre Bourdieu explains that through the study of taste can be revealed the meaning and factors that encourage the formation of a social practice including a material culture. The royal mosque is one form of Islamic heritage building which basically has no specific rules or guidelines for its establishment. In the context of the royal mosque, the ruler has an important role in determining the shape of the building which represents his authority and power. Therefore, it wants to be revealed through Pierre Bourdieu's taste approach with archaeological analysis how royal mosques are used as a representation of the ruler's taste. The method used is qualitative research with the stages of data collection, data processing, data analysis and data interpretation. This study uses archaeological analysis consisting of morphological, stylistic and contextual analysis. The results obtained are that the mosques of the Langkat Sultanate have diverse architectural forms and ornaments as a form of representation of the tastes of the ruler. The ruler's taste is driven by social space or arena, habitus and various capitals, both social, cultural, symbolic and economic capitals. The results of this study also reveal the difference between the form of the mosque at the center of government and the mosques in the provinces (kejuruan) and led by small kings. The sultan's taste, which was initially represented in the central government mosque, was also followed by the mosques in the vocational area so that it became the identity of the mosques under the rule of the Sultanate of Langkat."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Isman Pratama
"Studi ini menjelaskan ciri-ciri Masjid Kerajaan di Indonesia dari abad ke-16 hingga awal abad ke-20 Masehi melalui kajian arsitektural dan arkeologis terhadap komponen bangunannya. Masjid Kerajaan adalah sebuah konsep yang bermakna bangunan tempat ibadah sultan shalat berjamaah bersama rakyatnya yang berlokasi di ibukota kerajaan Islam yang merupakan representasi sultan dan sekaligus menjadi identitas kerajaan yang bercorak Islam di masa lalu.
Melalui kajian arsitektural dan arkeologis, beberapa masjid kerajaan di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku Utara, dikaji dengan memperhatikan konteks ruang (spatial) dengan pusat pemerintahan (istana), alun-alun, pasar, makam dan bangunan lainnya. Disamping itu, dikaji juga aspek relasi kuasa masjid dengan kraton sebagai pusat kuasa, untuk mengungkapkan representasi kuasa di dalam masjid, dengan memperhatikan gaya bangunan dan ritual.
Hasil yang diperoleh memperlihatkan masjid-masjid kerajaan di Indonesia memiliki ciri-ciri khusus yang ditampilkan (display) dalam bangunannya dan praktik ritual lokalnya yang berbeda dengan masjid non kerajaan dan masjid di luar Indonesia sebagai suatu strategi dan resistensi terhadap relasi kuasa Islam global di masa lalu."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
D2120
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Maulana
"Identitas budaya di setiap daerah memiliki ciri-ciri atau nilai-nilai yang membedakannya dengan daerah lain. Salah satunya adalah kelompok Islam Wetu Telu, yaitu penganut Islam di Lombok yang masih percaya terhadap animistik leluhur dan benda-benda antropomorfis, sehingga membentuk identitas kelompok budaya. Identitas kelompok Islam Wetu Telu direpresentasikan ke dalam budaya material, dalam hal ini adalah masjid. Oleh karena itu, penelitian ini bermaksud untuk menjelaskan bagaimana identitas kelompok Islam Wetu Telu direpresentasikan ke dalam masjid-masjid kuno yang berada di Lombok. Penelitian ini menggunakan empat masjid kuno yang merupakan peninggalan dari Islam Wetu Telu. Penelitian ini menggunakan pendekatan arkeologi melalui tiga tahapan penelitian, yaitu pengumpulan data, pengolahan data, dan penafsiran data. Hasil dari penelitian ini bahwa terdapat ornamen-ornamen dan keletakan dari masjid-masjid kuno di Lombok yang merepresentasikan identitas Islam Wetu Telu. Ornamen-ornamen tersebut antara lain adalah motif hewan dengan bentuk naga, rusa, ayam, ikan, burung dan pohon kelapa yang merepresentasikan makna dari wetu telu. Selain itu keletakan masjid yang berada di tempat yang tinggi merepresentasikan ajaran dari Wetu Telu yang berkaitan dengan kepercayaan bahwa roh-roh leluhur bersemayam di tempat yang tinggi.

Cultural identity in each region has characteristics or values ‹that distinguish it from others regions. One of them is the Wetu Telu Islam group.  It is  Muslim group in Lombok who still believe in animistic ancestors and anthropomorphic objects, thus forming the identity of a cultural group. The identity of the Wetu Telu Islamic group is represented in material culture, in this case the mosque. Therefore, this study intends to explain how the identity of the Wetu Telu Islamic group is represented in ancient mosques in Lombok. This study uses four ancient mosques which are relics of Islam Wetu Telu. This study uses an archaeological approach through three stages of research, data collection, data processing, and data interpretation. The results of this study are that there are ornaments and placements of ancient mosques in Lombok that represent the identity of Wetu Telu Islam. These ornaments include animal motifs in the form of dragons, deer, chickens, fish, birds and coconut trees which represent the meaning of wetu telu. In addition, the location of the mosque in a high place represents the teachings of Wetu Telu related to their belief that ancestral spirits reside in high places. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Prita Permatadinata
"

Masjid-masjid abad XIX di kabupaten Agam, Sumatra Barat, sebagai warisan budaya benda dapat memperlihatkan perpaduan antara adat Minangkabau dan agama Islam di wilayah Sumatra Barat, khususnya Kabupaten Agam. Masjid-masjid ini adalah Masjid Bingkudu, Masjid Kubang Putih, Masjid Pincuran Gadang, dan Masjid Siti Manggopoh. Dari berbagai unsur yang ada di masjid-masjid tersebut, ditarik makna untuk mendapat gambaran bagaimana adat dan agama di Sumatra Barat berpadu. Interpretasi akan makna yang dikandung masjid-masjid tersebut dilakukan menggunakan model semiotik Peirce tentang segitiga tanda. Dengan metode ini, setiap tanda yang terdapat pada bangunan masjid dibedah menjadi representamen, objek, dan interpretan, yang kemudian menggambarkan makna. Dengan menggabungkan makna dari setiap tanda, didapat kesimpulan bahwa meskipun adat dan agama ini adalah dua hal yang berbeda dan memiliki beberapa nilai yang cenderung bertentangan, tetapi adat Minangkabau dan agama Islam dapat berpadu secara harmonis di masyarakat muslim Minangkabau pada abad XIX.


Nineteenth-century mosques in Agam district, Sumatra Barat, are example of tangible heritage that can picture how Islam religion and Minangkabau custom blends in Sumatra Barat, especially in Agam district. These mosques are Masjid Bingkudu, Masjid Kubang Putih, Masjid Pincuran Gadang, and Masjid Siti Manggopoh. From various elements the mosques have, it can draw meanings to know how Minangkabau custom and Islam religion unite. The method to get the meanings is by Peirce’s semiotics with his sign triangle. With this method, each sign in the mosques splitted into representamen, object, and interpretant, in which can explain the meanings. By combined interpretations from all signs, eventhough Minangkabau custom and Islam religion is a two different thing and have some value that tend to contradict one anonther, in fact Minangkabau custom and Islam religion can harmonically cohered in Minangkabau muslim society.

"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Salim
"Kereta kuda merupakan produk budaya yang telah digunakan sejak masa peradaban kuno. Bangsa Mesir, Yunani dan Roma telah menggunakannya sebagai alat perang. Pada abad pertengahan kereta kuda kemudian mengalami perubahan fungsi menjadi alat transportasi, kemudian negara Eropa membentuk kebudayaan baru yang menggunakan kereta kuda sebagai penanda status kebangsawanannya. Kereta kuda kemudian tidak lagi menjadi alat transportasi biasa melainkan menjadi artefak tersier bagi kalangan bangsawan di Eropa. Kaum bangsawan tidak sembarangan dalam menentukan kereta kudanya karena kereta kuda juga menunjukkan selera mereka sebagai bangsawan yang ingin dibedakan dengan bangsawan lainnya. Bordieau mengungkapkan bahwa dalam pilihan akan suatu produk budaya seorang bangsawan atau upper class mempunyai kecenderungan untuk membedakan dirinya dengan bangsawan lainnya. Dalam kacamata arkeologi teori ini juga berlaku dalam melihat kereta kuda sebagai produk budaya. Kesultanan Yogyakarta merupakan kesultanan dengan koleksi kereta kuda terbanyak, kereta-kereta tersebut kemudian dapat menwakili selera atau judgment of taste yang dimiliki oleh para sultan. 

Horse Carriage is one of the oldest artefacts that has been used since ancient civilization. Egypt, Greece and Rome already used horse cart for war. In the middle ages there is a change in Europe to use carriage as a transportation wheel, later on the carriages also become as sign of aristocratic and wealth. Carriage then become a luxury artefacts for the noble to show their nobility. The Noble also got different taste to distinguish theirself from one to another. Bordieau also states that the upper class got tendency for distinguish to creat their identity. In the archaeological point of view, the theory also apply towards the horse carriages. Kesultanan Yogyakarta is the empire that has many horse carriages compares to other empire, the carriage then can represent the tastes that possessed by the sultans. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Bobby Septian
"Tulisan ini membahas mengenai tata letak dan identitas makam pada masjidmasjid kuno di Jakarta dengan menggunakan dua belas masjid sebagai data yang dikaji. Metode penulisan penelitian ini terdiri dari empat tahap, yaitu formulasi, pengumpulan data, pengolahan data dan interpretasi. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa pada makam di lingkungan masjid-masjid kuno di Jakarta terdapat pola keletakan dan sisi peletakan makam favorit/paling sering dijumpai. Selain itu, diketahui pula identitas orang-orang yang dimakamkan di sana beserta tingkatan identitas sosialnya berdasarkan pembagian ruang dan atribut makam.

This research is discussing about layout and identity of tombs in ancient mosques in Jakarta with utilizing twelve mosques in total as researched data. The method used in this research consist four phases, which are formulation, data collection, data processing and interpretation.  This research results revealed that tombs in ancient mosques in Jakarta have several layout patterns and favorite side of tombs that most often found. Besides of that, also known tombs identity and stratification levels based on space separation and tombs attributes."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Kleinsteuber, Asti
Jakarta: Gramedia Printing, 2012
R 726.2 KLE m
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
Prajodi Daris Andaru
"Kekuasaan merupakan konsep yang melekat pada masyarakat feodal. Pada masyarakat feodal di Jawa abad XV-XIX kekuasaan dipegang oleh sultan. Kekuasaan dapat direpresentasikan ke dalam berbagai bentuk termasuk kebudayaan material. Representasi kuasa sultan di Jawa dapat dikaji dengan menggunakan mimbar masjid sebagai objek kajian karena mimbar masjid merupakan kebudayaan material. Kebudayaan material dapat merepresentasikan kelas sosial penggunanya. Oleh karena itu, pada paper ini akan membahas representasi kuasa yang terdapat pada 11 mimbar masjid di pulau Jawa yang berasal dari abad XV-XIX. Masjid-masjid yang dibahas merupakan masjid kerajaan dan bukan kerajaan. Melalui analisis komparatif pada masjid kerajaan dengan masjid yang bukan kerajaan maka diketahui keberadaan perbedaan dan kehadiran representasi kuasa.

In feudal society, the concept of power cannot be separated to their daily life. In 15th to 19th century, in Javanese feudal society Sultan was a figure who is on the top of the pyramid of power. His power could represent in varied forms including material culture such as minbar. It because material culture could represent the users social status. Therefore, this paper will discuss about representation of power in 11 mosque rsquo s minbar in Java island which was dated from 15th until 19th century. The selected mosque was divided into two category the royal mosque and the non royal mosque. By comparing these mosque we could find out the presence of Sultan representation through his minbar. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dalimunthe, Rizky
"Masjid-masjid kuno di Provinsi Banten memiliki sejumlah ornamen yang menarik untuk dikaji secara mendalam. Kajian tersebut ditinjau secara arkeologis dan objek kajiannya adalah ornamen yang ada pada masjid-masjid kuno di Provinsi Banten yang berjumlah 13 masjid. Tujuan kajian adalah untuk menguraikan motif ornamen yang muncul, keletakkannya pada bangunan masjid, dan kecenderungan persebaran dan perkembangannya. Metode yang digunakan berupa klasifikasi dan analogi sejarah. Hasil yang didapat adalah bahwa motif-motif hias yang muncul sebagian besar merupakan motif yang telah dikenal pada masa sebelum Islam datang, yaitu masa Hindu-Buda dan prasejarah. Selain itu, terdapat pula motif hias yang berasal dari Timur Tengah berupa kaligrafi Arab. Motif-motif hiasan tersebut, ada yang berfungsi sebagai hiasan, juga ada yang memiliki makna simbolis. Berdasarkan keletakan masjid, terlihat kecenderungan berlanjutnya gaya ornamentasi masjid dari daerah pusat kesultanan ke masjid-masjid yang letaknya menjauhi pusat kesultanan ke arah selatan dan barat yaitu ke arah wilayah Serang, Pandeglang, Lebak, dan Cilegon.

This research is a study about the style of ornamentation on ancient mosques in Banten province, in terms of the shape, figurative meaning and distribution of ornaments. The research data is all kinds of ornament on the ancient mosques in the province of Banten, whether the architectural or the ornamental. The study was conducted with the aim to elaborate on any ornamental motifs that appear and where it?s placed on the building on the ancient mosques in Banten as well as the tendency of its distribution. Methods used are classification and historical analogy. In conclusion, decorative motifs that appear mostly a motif that has been recognized in the period before Islam came, the prehistoric period and the Hindu- Buddhism. Among those ornate motifs, in addition to there being only to beautify, may also have symbolic meaning. In terms of the style of ornamentation based on mosques location, it appears that the continuing style of ornamentation tendency is visible from the mosques located in central area of the Sultanate, to the mosques away from the center of the empire, to the south and west toward the region of Serang, Pandeglang, Lebak, and Cilegon."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
S53620
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suharianto Permana
"Tulisan ini membahas mengenai penamaan dan sejarah penamaan masjid-masjid kuno di Jakarta dan relasi sejarah penamaan masjid pada masjid-masjid kuno di Jakarta dengan bangunan atau bentuk masjid tersebut dengan menggunakan dua puluh tiga masjid sebagai objek kajian. Metode penelitian yang digunakan yaitu penelitian arkeologi menurut Sharer dan Ashmore (2003, hlm. 156) yang terdiri dari beberapa tahapan, yaitu formulasi, pengumpulan data, pengolahan data, analisis, interpretasi, dan publikasi. Penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa dari dua puluh tiga masjid yang dijadikan objek penelitian diketahui delapan cara atau pengambilan nama pada masjid-masjid kuno di Jakarta, yaitu berdasarkan vegetasi, berdasarkan bersejarah, berdasarkan pemberian, berdasarkan wilayah, berdasarkan nama tempat atau unsur rupa bumi, berdasarkan nama- nama asing, berdasarkan arsitektur bangunan, dan berdasarkan akronim. Selain itu, diketahui pula bahwa dari dua puluh tiga masjid yang dijadikan objek kajian, hanya ada dua masjid yang memiliki relasi antara bentuk bangunan masjid dengan sejarah penamaannya, yaitu Masjid Langgar Tinggi dan Masjid Agung Sunda Kelapa.

This paper discusses the naming and history of the naming of ancient mosques in Jakarta and the historical relation of the naming of mosques to ancient mosques in Jakarta and the buildings or forms of these mosques by using twenty-three mosques as the object of study. The research method used is archaeological research according to Sharer and Ashmore (2003, p. 156) which consists of several stages, namely formulation, data collection, data processing, analysis, interpretation, and publication. This research resulted in the conclusion that of the twenty-three mosques that were used as research objects, there were eight ways or names of ancient mosques in Jakarta, namely based on vegetation, based on history, based on gift, based on area, based on place names or elements of the earth, based on foreign names, based on building architecture, and based on acronyms. In addition, it is also known that of the twenty-three mosques that were used as the object of study, there were only two mosques that had a relationship between the shape of the mosque building and the history of its name, namely the Langgar Tinggi Mosque and the Sunda Kelapa Grand Mosque."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>