Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112851 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siti Nurbayanah
"Pipa penyalur merupakan sarana transportasi hidrokarbon yang umum digunakan sebagai media transportasi hidrokarbon. Namun apabila terjadi kegagalan akan berdampak besar terhadap jalur yang dilalui terutama di daerah padat penduduk. Pipa penyalur yang digelar harus mempunyai hak guna jalan (right of way) untuk keperluan pengoperasian, perawatan, dan kondisi tanggap darurat. Di Indonesia, pipa penyalur harus mempunyai jarak dari bangunan tetap minimal adalah 9 meter. Namun, karena faktor sosial, ekonomi, dan petumbuhan penduduk serta tingkat urbanisasi kondisi tersebut sering tidak tercapai. Oleh karena itu tingkat risiko penduduk di sekitar pipa penyalur harus diketahui. Di beberapa negara penilaian risiko kuantitatif diwajibkan sebagai dasar pertimbangan pengambilan keputusan dan sebagai sistem kontrol bahaya yang terjadi. Penilaian risiko kuantitatif terdiri dari penilaian frekuensi dan konsekuensi. Penilaian frekuensi diperoleh dari nilai laju kegagalan pipa penyalur akibat cacat material dan cacat konstruksi, korosi internal, korosi eksternal, gangguan pihak ketiga, pergerakan tanah. Penilaian konsekuensi memperhitungkan tingkat keparahan apabila kebakaran crater fire, jet fire, dan flash fire berdasarkan pohon kejadian (event tree). Pemodelan konsekuensi berdasarkan data meteorologi, data populasi, data teknis pipa penyalur, data komposisi fluidan, data perawatan dan rekam jejak kegagalan. Berdasarkan hasil perhitungan dan pemodelan nilai risiko dalam bentuk kontur pada setiap skenario (crater fire, jet fire, dan flash fire) diperoleh nilai risiko paling besar adalah 1x10-5 terjadi pada skenario crater fire dan jet fire. Luas wilayah yang mempunyai nilai risiko 1x10-5 pada skenario crater fire lebih besar dibandingkan skenario jet fire. Berdasarkan klasifikasi ALARP (As Low As Reasonably Practicable) nilai tersebut masih dapat diterima apabila diberikan alat pengaman tambahan.

Pipeline is commonly used for hydrocarbon transportation. However, if a failure occurs, it will have a major impact on the route traveled, especially in densely populated areas. The pipeline must have a right of way for operation, maintenance, and emergency response. In Indonesia, pipelines must have a minimum distance from fixed buildings of 9 meters. However, due to social, economic and population growth factors as well as the level of urbanization this condition is often not achieved. Therefore, the risk level of the population around the pipeline must be known. In some countries, quantitative risk analysis is required as a basis for decision-making and as a control system for hazards. Quantitative risk analysis consists of frequency and consequence analysis. The frequency analysis is obtained from the failure rate of the pipeline due to material and construction defects, internal corrosion, external corrosion, third party interference, and ground movement. The consequence analysis takes into account the severity of crater fire, jet fire and flash fire based on the event tree. Consequence modeling is based on meteorological data, population data, pipeline technical data, fluid composition data, maintenance data and failure track record. Based on the results of the calculation and modeling of risk values in the form of contours in each scenario (crater fire, jet fire, and flash fire), the greatest risk value is 1x10-5 occurring in the crater fire and jet fire scenarios. The area that has a risk value of 1x10-5 in the crater fire scenario is greater than the jet fire scenario. Based on the ALARP (As Low As Reasonably Practicable) classification, this value is still acceptable if additional safety equipment is provided.Keywords: Workover Rig, Oil and Gas Accident, Systematic Cause Analysis Technique, Technical Guidelines."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firmansyah
"Analisis risiko pada pipa bawah laut 16? Main Oil Line EFPRO - EKOM di Laut Jawa ini dilakukan mengingat adanya potensi bahaya dan risiko tumpahan minyak sehingga dapat berdampak pada ekosistem laut disekitar operasi kerja. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dan dilakukan dengan metode semi kuantitatif. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model penilaian risiko yang dikembangkan oleh Kent Muhlbauer (2004) dalam bukunya Pipeline Risk Management.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan tingkat risiko relatif sehingga didapatkan gambaran risiko yang berguna bagi manajemen dalam mengambil keputusan guna mencegah kejadian kecelakaan yang diakibatkan kegagalan pipa.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa pada pipa sepanjang 32.14 km tersebut memiliki nilai rata-rata untuk Design Index sebesar (59.13), Corrosion Index (68.16), Third-party Damage Index (72) dan Incorrect Operations Index (82). Sedangkan nilai risiko relatif tertinggi adalah pada Kilometer Post (KP) 0-1 jalur pipa.

Risk analysis of subsea pipeline 16" Main Oil Line (MOL) EFPRO - EKOM located at Java Sea was conducted because of the potential hazards and the risk of oil spills that possible impact on ecosystems around the work operations. This research is descriptive analytic and performed by semi-quantitative method. The model used in this study is a model of risk assessment developed by Kent Muhlbauer (2004) in his book ?Pipeline Risk Management.
The purpose of this study was to obtain relative risk that are useful to management in making decisions in order to prevent the occurrence of accidents which caused by the failure of the pipe.
The results of this study showed that the pipeline along the 32.14 km has an average value for the Design Index (59.13), Corrosion Index (68.16), Third party Damage Index (72) and Incorrect Operations Index (82). While the value of the highest relative risk was at Kilometre Post (KP) 0-1 pipeline.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2016
T45834
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farhan Rama Digita
"ABSTRAK
Sistem perpipaan yang mengalami kegagalan dapat mengakibatkan beberapa masalah terutama adalah masalah finansial. Penyebab utama pada permasalahan ini adalah korosi yang terjadi akibat adanya campuran pada minyak bumi yang dapat menyebabkan permasalahan korosi internal. Hal ini dapat diatasi dengan adanya model matematika yang harus dikembangkan untuk mengoptimalkan perencanaan pada perawatan untuk mengevaluasi kuantitatif probabilitas kegagalan. Dalam inspeksi berbasis risiko dapat digunakan metode Monte Carlo. Dalam metode Monte Carlo biasa digunakan distribusi normal yang dapat menghasilkan nilai bias yaitu underestimation dan overestimation. Dalam penelitian ini digunakan distribusi Gamma sebagai pengganti distribusi normal. Dengan menggunakan distribusi selain distribusi normal yaitu distribusi Gamma akan menurunkan atau menghilangkan nilai bias tersebut. Dengan mengoptimalkan nilai bias tersebut dapat meningkatkan keakuratan dalam inspeksi berbasis risiko dan dapat menurunkan biaya yang harus dikeluarkan dalam melakukan suatu inspeksi.

ABSTRACT
Piping systems failure in oil and gas industry can cause several problems mainly as a financial problem because not only will be directly impacted on maintenance cost but also other indirect losses such as stopped productivity. Internal corrosion is one of the main causes due to the natural content of corrosive chemicals inside the piping systems. This can be overcome by the existence of a mathematical model that must be developed to optimize planning for treatment to quantitatively evaluate the probability of failure. In a risk-based inspection the Monte Carlo method can be used. A normal distribution is commonly used in the Monte Carlo method, that can produce a bias value which is underestimation and overestimation. In this research Gamma distribution is used as an alternate normal distribution. Using other kinds of distribution which is Gamma distribution will reduce or eliminate the value of the bias. Optimizing this bias can increase the accuracy of risk based inspections and can reduce costs incurred in conducting an inspection."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Asunta Hana Pramudawati
"Penilaian risiko bendungan pada dasarnya merupakan suplemen atau tambahan dari pendekatan berbasis standar (standard based approach) yaitu pendekatan konservatif untuk rekayasa teknik bendungan. Untuk bendungan-bendungan yang sudah ada baik yang baru maupun yang lama, penilaian risiko bendungan bertujuan untuk mengetahui apakah risiko bahaya yang ada dapat ditoleransi, dan apabila risiko bahaya tidak dapat ditoleransi maka perlu direncanakan tindakan-tindakan untuk mengurangi risiko. Penilaian risiko untuk bendungan-bendungan yang sudah ada juga dapat dijadikan dasar untuk menentukan prioritas dalam melakukan pekerjaan perbaikan atau rehabilitasi yang diperlukan. Dalam makalah ini dibahas mengenai penilaian risiko keamanan bendungan pada Bendungan Sengguruh, Sutami, Lahor, Wlingi, Bening, Wonorejo dan Selorejo. Metode yang dilakukan dalam penilaian risiko meliputi penyusunan penilaian risiko, analisis risiko, evaluasi risiko, pengurangan dan manajemen risiko. Tujuh bendungan ini dikelola oleh satu pengelola yaitu PJT I dan dianggap bisa mewakili metode ini yang bisa digunakan untuk menentukan nilai prioritas penanganan bendungan. Berdasarkan hasil penilaian, 7 bendungan tersebut memenuhi kriteria risiko. Tindakan selanjutnya yang dapat dilakukan untuk bendungan-bendungan tersebut adalah melakukan pemantauan perilaku bendungan secara rutin dan pada kondisi setelah gempa, memperbaharui dan mensosialisasikan RTD."
Bandung: Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, 2020
627 JTHID 11:2 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Khadafi
"Proyek EPC Engineering, Procurement, and Construction memiliki tantangan yang sangat tinggi, mulai dari saling ketergantungan antar aktifitas yang ada, fase overlaps antar masing-masing aktifitas tersebut, pemecahan aktifitas menjadi aktifitas-aktifitas pekerjaan yang lebih detail, kompleksitas struktur organisasi, dan ketidakpastian dalam akurasi prediksi yang timbul selama masa pelaksanaan. Permasalahan utama yang sering dihadapi khususnya pada Proyek EPC Pipeline adalah terjadinya cost overrun dalam proses engineering, procurement dan construction. Perubahan selalu terjadi dengan persentase berkisar antara 5 - 10 dari kontrak. Keterlibatan pihak eksternal dan internal dapat memunculkan risiko baru terhadap pihak kontraktor terutama di fase pengendalian. Oleh karena itu, diperlukan analisis risiko berbasis PMBOK 2017 yang menemukan bahwa kesalahan dalam perbedaan persepsi desain DED dengan basis desain FEED dan tidak adanya struktur organisasi change order yang merupakan risiko dominannya. Selanjutnya dilakukan evaluasi dan diketahui bahwa mitigasi risiko merupakan respon preventif yang tepat. Sementara, tindakan korektif yang tepat adalah melakukan konsinyering pada fase engineering dimulai, mediasi dengan third party institution dan membuat struktur organisasi dalam prosedur change order. Sayangnya respon risiko tersebut masih belum berjalan secara optimal bahkan terdapat respon yang tidak diterapkan, maka dari itu diperlukan beberapa langkah untuk perbaikan.

EPC Engineering, Procurement, and Construction projects have very high challenges, starting from interdependence between existing activities, overlapping phases between each activity, breaking activities into more detailed work activities, organizational structure complexity, and uncertainty in predictive accuracy arising during the execution period. The main problems that are often faced, especially in the EPC Pipeline Project is the cost overrun in the engineering, procurement and construction process. Changes always occur with percentages ranging from 5 10 of the contract. The involvement of external and internal parties can lead to new risks to the contractor, especially in the control phase. Therefore, it is necessary to simulate a risk model based on PMBOK 2017 which finds that difference of design perception of DED with design basis FEED and the absence of change order organizational structure are the dominant risk. Further evaluations are made and it is known that risk mitigation is an appropriate preventive response. Meanwhile, appropriate corrective action is to do consignment in the engineering phase begins, mediation with the third party institution and the making of an changes organizational structure in the change order procedure. Unfortunately, the risk response is still not running optimally and even there is a response that is not applied, therefore some steps needed to improve."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2017
T49089
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Aldi Tripangestu
"Penelitian ini menyelidiki kegagalan pada pipa pengangkut dalam tungku pemanas ulang tipe walking beam di PT. X, Kota Cilegon. Inspeksi visual, uji komposisi kimia, dan evaluasi laju korosi mengungkapkan kerusakan fisik seperti retakan, endapan kerak berwarna hitam dan putih, fenomena bulging, serta pengurangan ketebalan pipa sebesar 47% dari ketebalan asli (25 mm). Mekanisme kerusakan diawali oleh tingginya oksida Fe yang menyebabkan korosi dengan dominasi fasa wustite (FeO), serta unsur Ca, Mg, dan Si yang berkontribusi terhadap pembentukan kerak. Laju korosi yang tercatat (6.05 dan 6.20 mpy) melebihi standar perusahaan (< 5 mpy), dan kekerasan air yang tinggi (82.02 mg/L dalam sirkulasi pipa) mendukung pembentukan kerak. Indeks LSI dan RSI menunjukkan air sangat agresif dengan tingkat korosivitas tinggi. Kerusakan refraktori menyebabkan pipa terekspos langsung pada temperatur tinggi, yang meningkatkan laju creep pada material pipa. Pemanasan ini menyebabkan pembentukan kerak di dalam pipa, yang bertindak sebagai isolator termal dan menyebabkan pemanasan lokal (localized overheating). Akibatnya, deformasi seperti bulging terjadi pada pipa dan akhirnya pipa mengalami kebocoran. Analisis FMEA menunjukkan nilai RPN tertinggi adalah 486 untuk pemeliharaan pipa pengangkut, sehingga diperlukan peningkatan kontrol terhadap terak dalam tungku pemanas ulang, pembersihan rutin terhadap terak, serta peninjauan jadwal dan frekuensi pembersihan untuk mencegah kerusakan serupa.

This study investigates the failure of skid pipes within a walking beam reheating furnace at PT. X, Cilegon City. Visual inspection, chemical composition analysis, and corrosion rate evaluation revealed physical damages such as cracks, black and white scale deposits, bulging, and a 47% reduction in pipe thickness from the original 25 mm. The damage mechanism is initiated by high levels of Fe oxides causing corrosion with a dominant wustite (FeO) phase, and elements such as Ca, Mg, and Si contributing to scale formation. Recorded corrosion rates (6.05 and 6.20 mpy) exceed the company's standard (< 5 mpy), and high water hardness (82.02 mg/L in pipe circulation) supports scale formation. The LSI and RSI indices indicate highly aggressive water with high corrosiveness. Damage to refractories results in direct exposure of pipes to high temperatures, thereby accelerating the creep rate of pipe materials. This heating process induces scale formation within the pipes, which acts as a thermal insulator, promoting localized overheating. Consequently, this thermal stress leads to deformations such as bulging, ultimately resulting in pipe failure and leakage. FMEA analysis shows the highest RPN value of 486 for skid pipe maintenance, necessitating enhanced slag control within the reheating furnace, routine slag cleaning, and a review of cleaning schedules and frequencies to prevent similar failures."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
S41014
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wirda Safitri
"Sebuah pipa elbow yang merupakan komponen sistem pengikjeksi kondensat dari pembangkit energi geothermal mengalami kebocoran pada bagian lasannya. Sistem ini digunakan untuk menginjeksikan kondesat yang berasal dari menara pendingin ke dalam bumi melalui sumur injeksi. Kondisi pipa telah mengalami proses korosi pada seluruh permukaan dalam pipa dan penipisan pada dindingnya.
Analisis dilakukan dengan pengambilan sampel air dan pipa yang mengalami kegagalan. Pengujian yang dilakukan adalah pengujian komposisi air, pengujian indeks korosifitas, pengamatan visual sampel pipa, pengukuran ketebalan sampel pipa, pengujian komposisi pipa, pengujian kekerasan, pengujian komposisi produk korosi pipa dan pengujian polarisasi.
Hasil analisa menunjukkan bahwa penyebab dari terjadinya kerusakan pada pipa elbow ini adalah karena terjadinya sel differential aerasi pada daerah dibawah produk korosi yang menyebabkan terjadinya korosi di bawah kerak (under scale corrosion).

There were a failure in the elbow pipe of injection condensate system. The failure took form of a leakage in the weld part. This system was used to inject the condensate which came from cooling tower to the earth back by injection well. The condition of the pipe has experienced of corrosion process at overall of the surface and wall thinning.
Analysis is done by taking sample of water and the failed pipe. It was carried out by several testing such as water composition test, saturation index test, visual test for pipe sample, measurement of pipe wall, pipe composition test, hardness test, corrosion product composition test and polarization test.
The result of this analysis, shows that the failure in pipe is caused by aerated differential cell under the deposit, it?s due to the under scale corrosion was occur.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S51092
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 1999
S41026
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panji Martiandaru
"Terjadi kegagalan pada pipa yang menyalurkan air ke system injeksi air pada sebuah instalasi geothermal. Kegagalan yang terjadi berupa kebocoran pada pipa bagian T. Analisis dilakukan dengan pengambilan sample air dan pipa yang mengalami kegagalan. Pengujian yangdilakukan adalah pengujian komposisi air, pengujian indeks saturasi, pengamatan visual sample pipa, pengujian komposisi pipa, pengujian kekerasan, pengujian komposisi produk korosi pipa dan pengujian polarisasi. Dari pengujian dan analisis yang dilakukan, dapat diambil kesimpulan kerusakan yang terjadi pada pipa disebabkan oleh korosi-erosi. Kombinasi korosi dan erosi menyebabkan pipa mengalami kerusakan yang jauh lebih cepat daripada yang seharusnya.

There were a failure in the pipeline injection system in a geothermal installation. The failure took form of leak in part T. Analysis is done by taking sample of water and the failed pipe. The tests include water compositon test, saturation index test, visual test for pipe sample, pipe composition test, hardness test, corrosion product composition test and polarization test. From the test results and analysis, it can be concluded that the failure in pipe were done by corrosion-erosion. The combination of corrosion with erosion causing the pipe to fail faster than the calculation."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2008
S51093
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>