Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 121393 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Retno Aviantari P
"PENDAHULUAN: Omfalokel adalah kelainan bawaan berupa kegagalan penutupan dinding perut tetap masih ditutupi oleh selaput yang lapisan dalam terdiri dari peritoneum, lapisan luar dari amnion.Karena tidak dilapisi otot dan fascia dapat terjadi herniasi organ intrapertoneal viscera melalui defek tersebut. Dilaporkan bahwa insiden kelahiran hidup dengan predominan laki-laki, berkisar antara 1: 4.000-1: 10.000 Suatu penemuan yang mencolok pada kelainan ini adalah banyaknya ditemukan kelainan bawaan lain yang dapat berkisar antara 30%-100% yang sebagian besar berupa kelainan kardiovaskuler, traktus genitourinari, muskuloskeletal dan sistim syaraf pusat. 4 Ternyata kelainan bawaan ini atau komplikasinya seperti starvation akibat ileus lama, gagal nafas, sepsis dapat juga menyebabkan kematian yang sangat tinggi. Mortalitas dapat mencapai 80% bahkan dapat meningkat sampai 100% bila terdapat kelainan kromosom dan kardiovaskular. Peningkatan morbiditas bayi yang lahir di luar RS berhubungan dengan faktor suhu, perawatan, status hidrasi, defek, tekanan vaskular pada usus yang prolaps selama transportasi dan nutrisi. Makalah ini mencoba menganalisis penyebab morbiditas dan mortalitas kasus Omfalokel di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo termasuk kelainan kongenital lain dan faktor resiko seperti ukuran defek, berat badan lahir rendah, waktu dimulainya terapi, omfalokel yang pecah. yang dirawat di divisi Bedah Anak Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta, antara Januari 1999 sampai dengan Desember 2003."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T58449
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Albert Brian Santoso
"Seluruh aspek kehidupan telah dipengaruhi oleh pandemi COVID-19 termasuk bidang kesehatan. Disisi lain, terdapat peningkatan jumlah penderita kanker setiap tahunannya. Hubungan karakteristik klinis kanker ginekologi dengan infeksi COVID-19 terhadap mortalitas belum banyak diteliti. Dalam penelitian ini digunakan metode retrospective cross-sectional yang menggunakan data pasien penderita kanker ginekologi dengan infeksi COVID-19 yang terdaftar pada Departemen Obstetri Ginekologi RSPUN Dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2020-2022. Penelitian ini menggunakan analisis uji Chi Square untuk menentukan variable yang akan dimasukan kedalam analisis regresi logistik backward stepwise. Dalam penelitian ini ditemukan usia >59 (OR, 0.020; Cl 95% 0.001-0.577; P= 0.023), anemia(OR,0.053; Cl 95% 0.005-0.565; P= 0.015), ARDS (OR, 50,010; CL 95%, 1,145-2185.101; P = 0.042), Hyperkalemia (OR, 11,189; Cl 95% 1,491-83.992; P = 0.019), Sepsis (OR, 18,386; Cl 95% 2,220-152.253; P= 0.007), ECOG >2 (OR, 12.859; Cl 95% 2.582-64.020; P= 0.002), and Degree of Severe-Critical COVID-19 (OR, 111.310; Cl 95% 3.961-3128.117; P= 0.006). Dapat disimpulkan ARDS, hyperkalemia, sepsis, ECOG >2, dan derajat COVID-19 berat-kritis memiliki signifikansi baik terhadap statistik maupun klinis dengan mortalitas, namun usia > 59 dan anemia secara klinis tidak memiliki signifikansi.

All aspects of life have been affected by the COVID-19 pandemic, including the health sector. On the other hand, the number of cancer patients is continuously increasing every year. The relationship between clinical characteristics of gynecological cancer with COVID-19 infection and mortality has not been widely studied. This study used a retrospective cross-sectional method using data on patients with gynecological cancer with COVID-19 infection registered in the gynecology department of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital in 2020-2022. This study used chi-squared test analysis to determine the variables to be included in backward stepwise logistic regression analysis. In this study, it was found that age >59 (OR, 0.020; Cl 95% 0.001-0.577; P = 0.023), anemia (OR, 0.020; Cl 95% 0.001-0.578; p= 0.023), ARDS (OR, 48.796;  Cl 95%, 1.131-2105.921; P=0.043), hyperkalemia (OR, 10.960; Cl 95% 1.462-82.187; p= 0.020), sepsis (OR, 18.087; Cl 95% 2.192-149.271; P= 0.007), ECOG >2 (OR, 12.629; Cl 95% 2.538-62.854; P= 0.002), and degree of severe-critical COVID-19 (OR, 108.771; Cl 95% 3.917-3020.095; P= 0.006). It can be concluded that ARDS, hyperkalemia, sepsis, ECOG >2 and degree of severe-critical COVID-19 have both statistical and clinical significance with mortality, but age >59 and anemia have no clinical significance.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harsya Dwindaru Gunardi
"Latar Belakang: Di negara maju, angka mortalitas gastroskisis adalah 5-10%, berbeda dengan di negara berkembang. Angka mortalitas gastroskisis mencapai 52% di Brazil, 43% di Afrika Selatan, 35% di Iran, dan 79% di Jamaika. Di RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM), sampai saat ini belum ada data mengenai angka mortalitas gastrosksis. Angka mortalitas gastroskisis di RSCM perlu diketahui karena karakteristik pasien yang diperkirakan berbeda dengan di negara maju. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui angka mortalitas gastroskisis di RSCM serta mengidentifikasi faktor risiko yang berpengaruh terhadap mortalitas gastroskisis, antara lain: usia kehamilan, berat badan lahir, jumlah operasi, usia saat operasi pertama kali, serta gastroskisis komplikata.
Metode: Metode penelitian ini adalah studi kohort retrospektif dengan total sampling seluruh neonatus yang menjalani operasi penutupan defek di RSCM dari Januari 2015 – September 2020. Analisis bivariat dilakukan menggunakan uji Chi Square atau uji Fisher. Didapatkan 49 subjek neonatus dengan 7 data masuk kategori drop out sehingga 42 subjek diambil untuk dianalisis.
Hasil: Angka mortalitas neonatus dengan gastroskisis di RSCM tahun 2015-2020 adalah 69% (29 dari 42 subjek). Pada penelitian ini didapatkan usia saat operasi (<1 hari) berpengaruh menurunkan angka mortalitas gastrosksis (p = 0,005). Usia kehamilan, berat badan lahir, jumlah operasi, dan gastroskisis komplikata didapatkan tidak berpengaruh terhadap angka mortalitas gastroskisis.
Kesimpulan: Angka mortalitas gastrokisis di RSCM adalah 69% dan dipengaruhi oleh usia saat operasi.

Background: Unlike developing countries, the mortality rate of gastroschizis in developed countries is much lower, accounting at 5-10%. In developing countries, for example, Brazil, the mortality rate can reach up to 52%, 43% in South Africa, 35% in Iran, and 79% in Jamaica. Until recently, there are no data regarding gastrochizis-related mortality rate in Cipto Mangkunkusumo National Referral Hospital, Indonesia. This is important as it reflects patient characteristics that is different with developed countries. The objective of this research is to find out the mortality rate of gastroschizis in Indonesia along with other possible influencing risk factors such as; gestational age, birth weight, number of operations, age at closure, and the presence of complicated gastroschizis.
Methods: A cohort retrospective study with total sampling is used to document all neonates who undergo defect closure surgery from January 2015 to September 2020. Bivariate analysis is done using Chi Square test or Fisher test. A total of 49 neonates were documented, however 7 neonates were excluded due to drop out criteria, resulting in 42 neonates who were included in the analysis.
Results: The mortality rate of gastroschizis in Cipto Mangkunkusumo National Referral Hospital is 69% (29 out of 42 subjects). The age at closure is related to lower mortality rate (p = 0.005), while other factors such as gestational age, birth weight, number of operations, and the presence of complicated gastroschizis has no impact on mortality.
Conclusions: The mortality rate of gastroschizis in Cipto Mangkunkusumo National Referral Hospital is 69% and is influenced by age at closure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Qolby Lazuardi
"Unit Perawatan Intensif (UPI) merupakan bagian rumah sakit yang berfungsi untuk melakukan perawatan pada pasien yang mengalami penyakit dengan potensi mengancam nyawa. Data menunjukkan angka mortalitas pasien UPI dewasa di seluruh dunia memiliki rerata sekitar 10-29%, sedangkan di RSCM berada di kisaran 28,63-33,56%. Keadaan tersebut membuat kemampuan memprediksi luaran mortalitas menjadi penting untuk menentukan perawatan yang tepat. Logistic Organ Dysfunction System (LODS) merupakan salah satu metode skoring yang dapat digunakan untuk memprediksi luaran mortalitas pasien, namun penelitian untuk menguji hal tersebut belum pernah dilakukan di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan skor LODS dalam memprediksi luaran mortalitas pasien dewasa UPI RSCM. Penelitian ini menggunakan 331 sampel data rekam medik pasien UPI RSCM, didapati hasil bahwa rerata pasien meninggal memiliki skor LODS yang lebih besar daripada pasien yang hidup, yaitu rerata 5,854 (median: 6) pada pasien meninggal, dan rerata 2,551 (median: 2) pada pasien yang hidup. Pada uji kalibrasi, didapati hasil Hosmer-Lemeshow test sebesar 0,524, yang menandakan hasil uji kalibrasi yang baik (>0,05). Sedangkan pada uji diskriminasi menggunakan kurva Receiver Operating Characteristic (ROC), nilai Area Under the Curve (AUC) sebesar 79,2%, yang menandakan kemampuan diskriminasi dari skor LODS cukup (70-80%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa skor LODS dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam memprediksi luaran mortalitas pasien UPI RSCM.

Intensive Care Unit (ICU) is the part of hospital that do the care for patients with disease that threaten their life. Data shows that the mortality rate in ICU in the whole world revolved aroung 10-29%, and in RSCM revolved around 28,63-33,56%. This condition makes the ability to predict mortality outcome become important to help decide the correct treatment. Logistic Organ Dysfunction System (LODS) is one of scoring method that is able to help predict patients mortality outcome, but there is still no study for this scoring method for adult patients in Indonesia. This study inteded to evaluate the ability of LODS scoring in predicting ICU RSCM patients mortality outcome. This study used 331 ICU RSCM patients as its samples, and the result shows that the mean LODS score of the patients that died is greater than the one that lives, the mean LODS score of the patients that died is 5,854 (median: 6), and the mean score of the patients that lives is 2,551 (median: 2). In calibration test using Hosmer-Lemeshow test, the result shows a good outcome that is 0,524 (P>0,05). While in discrimantion test using Receiver Operating Characteristic (ROC) curve, the Area Under the Curve (AUC) value is 79,2%, showing that the ability of LODS score to discriminate is sufficient. This results show that LOD score can be used as one of the refference to predict patients mortality outcome in ICU RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Harry Pahala
"Introduksi:
Untuk menilai apakah kadar defisit basa inisial dapat menjadi prediktor mortalitas di UPI
Pasien dan metode:
Studi retrospektif selama periode November 2004 sampai Oktober 2005 yang dilakukan di UPI medis-bedah. Data diarnbil dari rekam medik: defisit basa dan variabel untuk skor SAPS II serta dinilai keluaran pasien (mati atau hidup). Kurva Receiver Operating dibuat, titik potong optimal ditentukan dan dinilai prognostik dari defisit basa inisial dan SAPS II. Koefisien Pearson digunakan untuk menilai hubungan antara defisit basa inisial dan skor SAPS U.
Hasil:
Dui 456 pasien yang dievaluasi, 40 pasien (9,4%) meninggal di UPI. Kelompok survivor memiliki rerata defisit basa inisial yang lebih rendah dibandingkan kelompok nonsurvivor. Terdapat perbedaan yang bermakna antara defisit basa inisial dengan mortalitas UPI (p=0,000). Titik potong ditetapkan pada -4,2 mmolll. Analisa ROC menunjukkan defisit basa inisial (AUC=0,711) lebih buruk dibandingkan skor SAPS II (AUC=0,98) sebagai prediktor mortalitas_ Terdapat hubungan yang lemah antara defisit basa inisial dan skor SAPS II.
Kesimpulan:
Defisit basa inisial dan skor SAPS II yang tinggi secara independen berhubungan dengan peningkatan mortalitas di UPI RSCM.

Introduction :
To examine initial base deficit could be used as a predictor of mortality in ICU
Patients & methods:
A retrospective study over a period from November 2004 until Oktober2005 was conducted in a medical-surgical ICU. Data were extracted from ICU medical records: the base deficits and variables for SAPS II score and also the outcome of those patients (survivor or nonsurvivor). Receiver Operating Curve were constructed, the optimal cut offpoint have been obtained and area under curve was used to asses the prognostic value of initial base deficit and SAPS IL The coefficient of Pearson were analyzed to asses the relation between initial base deficit and SAPS II score.
Main outcome:
Of the 456 evaluable patients, 40 patients (9,4%),were died in ICU Survivor had lower mean of initial base deficit than nonsurvivor. There are a significant differences between initial base deficit and ICU mortality (p= 0, 000). The cut off point was obtained at -4,2 mmol II. ROC analysis demonstrated that initial base deficit (AUC=O, 711) is worsen than SAPS II Score (A UC=0, 98) as predictor mortality. There is a weak correlation between initial base deficit and SAPS II score.
Conclusion:
A high initial base deficit and SAPS II score are independently associated with increased ICU mortality in Cipto Mangunkusumo Central Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmawaty
"Latar belakang: angka kematian akibat pneumonia pada anak masih tinggi. Studi melaporkan bahwa kasus kematian anak yang dirawat di rumah sakit karena pneumonia bervariasi dari 8,7% hingga 47%, lebih dari 70% berlangsung di Afrika dan Asia Tenggara. Banyak dilaporkan pasien datang dengan kondisi yang berat karena keterlambatan penanganan, hingga menyebabkan kematian.Oleh karena itu, studi yang mempelajari faktor risiko kematian pada pneumonia anak  perlu dilakukan.
Metode: penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan mengambil data rekam medis pasien anak usia 2 bulan sampai 18 tahun yang tercatat sebagai penderita penyakit pneumonia pada periode Juli 2021 – Mei 2022. Faktor yang didata meliputi faktor klinis dan pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosis.
Hasil: subyek penelitian didapatkan sebanyak 207 pasien dengan luaran pasca rawat inap meninggal sebanyak 33 (15,9%) pasien dan hidup sebanyak 174 (84,1%) pasien. Hasil analisis multivariat menunjukkan faktor risiko yang berhubungan dengan kematian pneumonia anak adalah kesulitan makan minum (aOR 2,743 IK 95% (1,219-6,172); p 0,012), komorbid keganasan (aOR 2,500 IK 95% (1,094-5,712); p 0,026), takipneu (aOR 2,711 IK 95% (1,263-5,817); p 0,009), hipoksemia (aOR 2,323 IK 95% (1,021-5,284); p 0,041),  dan leukositosis (aOR 2,245 IK 95% (1,038-4,856); p 0,037).
Simpulan: pasien pneumonia anak yang mengalami kesulitan makan minum, memiliki komorbid keganasan, takipneu, hipoksemia, dan leukositosis berisiko mengalami kematian.

Background: the mortality rate of pneumonia in children still elevated. Studies reported that cases of child mortality in hospitalized patient due to pneumonia vary from 8.7% to 47%, more than 70% from Africa and Southeast Asia. Many patients reported coming with severe conditions due to delays in treatment, causing death. Therefore, research that study the   factors that contribute to  mortality in pediatric pneumonia patients is needed.
Methods: This study is a retrospective study by taking medical records of pediatric patients aged 2 months to 18 years who were diagnosed as pneumonia in the period July 2021 - May 2022. The factors recorded included clinical factors and diagnostic examinations that supported the diagnosis.
Results: this study consisted of 207 pneumonia patients with post-hospital outcomes died as many as 33 (15.9%) patients and lived as many as 174 (84.1%) patients. The results of multivariate analysis showed the risk factors associated with mortality of pediatric pneumonia were difficulty eating and drinking (aOR 2.743 CI 95% (1,219-6,172); p 0.012), comorbid malignancy (aOR 2,500 CI 95% (1.094-5.712); p 0.026), tachypnea (aOR 2.711 CI 95% (1,263-5.817); p 0.009), hypoxaemia (aOR 2.323 CI 95% (1.021-5.284); p 0.041), and leukocytosis (aOR 2,245 CI 95% (1.038-4.856); p 0.037 ).
Conclusion: pediatric pneumonia patients who have difficulty eating and drinking, have comorbid malignancy, tachypnea, hypoxemia, and leukocytosis are at risk of death.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sunarto
"ABSTRAK
Achatina fulica Bowdich mempunyai potensi sebagai sumber protein hewani, dan saat ini sudah dibudidayakan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor ruangan, substrat, frekuensi penyiraman, dan interaksi faktor-faktor tersebut terhadap fertilitas telur, mortalitas anakan umur 0-2 minggu, mortalitas anakan umur 2-4 minggu, dan viabilitas anakan sampai umur 1 bulan (tanpa estivasi).
Analisis data mortalitas anakan umur 0-2 minggu menggunakan analisis variansi 3 faktor, sedangkan data lainnya menggunakan analisis varian ranking satu arah Kruskal-Wallis.
Penelitian ini membuktikan, bahwa fertilitas telur tertinggi didapat pada interaksi antara ruangan tertutup-substrat campuran-frekuensi penyiraman sehari sekali, rata-rata 100%; mortalitas anakan umur 0-2 minggu terendah didapat pada lokasi luar ruangan dan frekuensi penyiraman dua-hari sekali, rata-rata 2O,37% dan 21,37%; mortalitas anakan umur 2-4 minggu terendah didapat pada interaksi antara lokasi luar ruangan substrat tanah-frekuensi penyiraman sehari sekali, rata-rata 0,33%; dan viabilitas anakan sampai umur 1 bulan (tanpa estivasi) tertinggi didapat pada interaksi antara lokasi luar ruangan-substrat tanah-frekuensi penyiraman sehari sekali, rata-rata 93%.
Sebagai tindak lanjut, perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh variasi makanan terhadap viabilitas anakan A. fulica, karena makanan merupakan faktor yang sangat penting bagi pertumbuhannya.
ABSTRACT
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priscilla
"Latar Belakang: COVID-19 telah ditetapkan WHO sebagai Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Yang Meresahkan Dunia dengan case fatality rate (CFR) di Indonesia mencapai 8,7% pada April 2020. Sampai saat ini belum ada biomarker prognosis untuk membedakan pasien yang membutuhkan perhatian segera dan menjadi prediktor mortalitas COVID-19 di ICU. Skor Simplified Acute Physiology Score 3 (SAPS 3) menilai kondisi pasien sejak pertama kali datang ke rumah sakit dan mengevaluasi data yang diperoleh saat masuk ICU dalam menentukan prediktor mortalitas 28 hari. Tujuan: Studi ini menganalisis hubungan skor SAPS 3 dengan mortalitas 28 hari pada pasien COVID-19 yang dirawat di ICU RSCM dan RSUI.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo selama bulan Maret-Agustus 2020. Sebanyak 208 subjek yang sesuai kriteria inklusi dianalisis dari data rekam medis. Data demografis dan penilaian skor SAPS 3 dicatat sesuai data rekam medis. Variabel SAPS 3 yang berpengaruh terhadap mortalitas 28 hari dilakukan analisis bivariat dan regresi logistik multivariat. Kesahihan dinilai menggunakan uji diskriminasi dengan melihat Area Under Curve (AUC) dan uji kalibrasi Hosmer Lemeshow. Titik potong optimal ditentukan secara statistik.
Hasil: Angka mortalitas 28 hari akibat COVID-19 periode Maret-Agustus sebesar 43.8%. Variabel SAPS 3 yang secara statistik berpengaruh signifikan (p<0.05) terhadap mortalitas 28 hari pasien COVID-19 di ICU adalah usia, riwayat penggunaan obat vasoaktif sebelum masuk ICU, penyebab masuk ICU (defisit neurologis fokal dan gagal napas), kadar kreatinin dan trombosit. Skor SAPS 3 menunjukkan nilai diskriminasi yang baik (AUC 80.5% Interval Kepercayaan 95% 0.747-0.862) dan kalibrasi yang baik (Hosmer-Lemeshow p=0.395). Titik potong optimal skor SAPS 3 adalah 39 dengan sensitivitas 70.3% dan spesifisitas 74.4%.
Kesimpulan: Skor SAPS 3 memiliki hubungan dengan mortalitas 28 hari pada pasien COVID-19 yang dirawat di ICU.

Background: COVID-19 has been declared as a Public Health Emergency of International Concern by WHO with case fatality rate (CFR) of 8,7% in April 2020 in Indonesia. Until now, there is no prognostic biomarker to differentiate patients who require immediate attention and be a mortality predictor for COVID-19 patients in ICU. Simplified Acute Physiology Score 3 (SAPS 3) score assessed the patient’s condition since the first time he came to the hospital and evaluated the data obtained in the first hour of admission to the ICU in predicting 28-days mortality. Goals: This study aims to analyze the correlation between SAPS 3 score and 28-days mortality caused by COVID-19 in the ICU RSCM and RSUI.
Methods: This retrospective cohort study was conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital from March to August 2020 on 208 subjects who met the inclusion criteria. Demographic data and SAPS 3 score were recorded, the data was taken from medical records. Bivariate and multivariate logistic regression was used to investigate the relationship between SAPS 3 variables and 28-days mortality. The validity of SAPS 3 score was assessed by measurement of the Area Under Curve (AUC) and Hosmer- Lemeshow calibration test. The optimal cut-off point was determined statistically.
Results: The mortality rate of COVID-19 in our study from March to August 2020 is 43.8%. Five SAPS 3 variables were found to be significantly associated with 28-days mortality of COVID-19 patients in the ICU (p<0.05) are age, use of vasoactive drugs before ICU admission, reason for ICU admission (focal neurologic defisit and respiratory failure), creatinine, and thrombocyte level. SAPS 3 showed a good discrimination ability (AUC 80.5% Confidence Interval 95% 0.747-0.862) and calibration ability (Hosmer-Lemeshow p=0.395). The optimal cut off point of SAPS 3 score was 39 with sensitivity 70.3% and specificity 74.4%.
Conclusion: SAPS 3 score have a correlation with 28-days mortality caused by COVID-19 in the ICU.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Titiek Setyowati
"Angka kematian ihu atau kematian dalam masa hamil, bersalin dan nifas merupakan salah satu indikator kesehatan wanita usia reproduksi dan dapat digunakan sebagal ukuran keberhasilan pelayanan kesehatan khususnya pelayanan obstetn. Dari beberapa studi menunjukkan angka kematian ibu di Indonesia relatif masih tinggi. Berbagai intervensi program kesehatan telah dilakukan namun angka kematian ibu belum tampak kecenderungan penurunan yang berarti. Keadaan ini disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu sangat komplek ditinjau dari faktor penyebab maupun faktor risiko.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahul faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu di Indonesia berdasarkan data Rumah Sakit pada kurun 1990--1992. Dalam hal ini faktor-faktor yang mempengaruhi kematian ibu dilihat dari faktor penyebab kematian ibu dan faktor risiko meliputi faktor pelayanan kesehatan rujukan (cara masuk Rumah Sakit dan cara persalinan ), faktor reproduksi ( umur ibu dan paritas ) dan faktor sosial ekonomi (pendidikan ibu dan pekerjaan ibu ).
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Pencatatan dan Pelaporan Rumah Sakit Departemen Kesehatan yaitu `Data Individual morbiditas pasien rawat inap untuk pasien obstetn khusus ibu yang melahirkan di Rumah Sakit dan pasien abortus` (Formulir RL. 2.2).
Populasi yang diamati yaitu pasien obstetn di Rumah Sakit/ Rumah Sakit Bersalin yang dikelola oleh Pemerintab/Swasta di Indonesia kurun 1990 -1992. Dalam Sistem Pelaporan Rumah Sakit, data dikumpulkan dari masing-masing Rumah Sakit secara sampling selama 40 han dalam setahun atau 10 hari dalam satu triwulan meliputi periode 1-10 Januari, 1-10 Mel, 1-10 Agustus dan 1-10 Nopember. Pasien obstetn yang keluar hidup atau meninggal yang terdaftar dalam periode tersebut dinyatakan sebagai responden dalam penelitian ini. Dalam kurun 1990-1992 didapatkan 169 kasus kematian ibu diantara 71.842 responden pasien obstetn atau 56.256 responden yang hasil kelahirannya anak lahir hidup.
Teknik analisis data yang digunakan yaitu 1) Statistik deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui pola sebab kematian ibu dan rasio kematian ibu menurut karakteristik faktor yang diteliti dan 2) Statistik inferensial (regresi logistik) yaitu untuk mempelajari peran variabel babas dalam mempengaruhi kematian ibu menurut beberapa model yang diperhatikan.
Berdasarkan. hasil penelitian diperoleh angka kematian ibu di Rumah Sakit pada tahun 1990-1992 sebesar 300,4 per 100.000 kelahiran hidup. Sebagian besar ( 71 %) kematian ibu di Rumah Sakit yaitu daiam kurun waktu kurang dari 48 jam . Proporsi sebab kematian ibu menurut diagnosa utama 97 % adalah obstetri langsung . Kematian ibu pada obstetri langsung didapatkan perdarahan menduduki peringkat tertinggi kemudian diikuti toksemia, persalinan lama, abortus, penyulit persalinan, kematian janin, penyulit kehamilan dan kelainan letak janin . Proporsi terbesar dari faktor predisposisi sebab kematian ibu menurut faktor cara masuk Rumah Sakit pada kasus yang dirujuk yaitu perdarahan, penyulit persalinan dan kematian janin , untuk ibu dengan paritas 4 keatas adalah perdarahan, penyulit persalinan dan kematian janin, selanjutnya untuk kelompok umur ibu di atas 35 tahun adalah perdarahan dan umur < 20 tahun yaitu toksemia dan perdarahan. Kejadian kematian ibu merupakan kasus yang langka ( rare cases) oleh karena itu dalam analisis inferensial disajikan cukup banyak model sesuai dengan jumlah kasus yang dipelajari.
Dari hasil regresi logistik menurut beberapa Model yang diperhatikan memberikan informasi sebagai berikut :
Model -1 (Pengaruh variabel pelayanan kesehatan rujukan terhadap kematian ibu ) : didapatkan cara masuk Rumah Sakit (cms) dan cara persalinan (cps) serta interaksi cros*cps mempunyai pengaruh yang berarti secara statistik terhadap kematian ibu.
Model-2 (Pengaruh variabel reproduksi terhadap kematian ibu ): ditemukan variabel umur ibu (umr2) yaitu umur 35 tahun ke atas mempunyai pengaruh berarti terhadap kematian ibu sedangkan paritas (par) tidak menunjukkan perbedaan pengaruh yang bermakna.
Model-3 (Pengaruh variabel sosial ekonomi terhadap kematian ibu): didapatkan variabel pendidikan ibu (ddk) yaitu pendidikkan ibu <=SD mempunyai pengaruh berarti terhadap kematian ibu sedangkan pekerjaan ibu (krj) tidak memperlihatkan perbedaan pengaruh yang bermakna.
Model-4 (Pengaruh variabel pelayanan kesehatan rujukan dengan memperhatikan pendidikan ibu) : diperoleh cara persalinan (cps) dan pendidikan ibu (ddk) serta interaksi dua faktor antara cps*ddk dan cms * ddk mempunyai pengaruh berarti terhadap kematian ibu.
Model-5 (Pengaruh variabel reproduksi dengan memperhatikan pendidikan ibu) : diperoleh umur ibu < 20 tahun (umr1 ), paritas (par), pendidikan ibu (ddk) serta interaksi dua faktor antara umr1*ddk dan par*ddk mempunyai pengaruh berarti terhadap kematian ibu. Dilihat dari nilai odds ratio ditemukan perbedaan pengaruh umur terhadap kematian ibu menurut pendidikkan ibu <=SD cenderung lebih rendah daripada pendidikan SLTP ke atas demikian pula halnya bila diperhatikan menurut paritas.
Model-6 (Pengaruh variabel reproduksi dengan memperhatikan cara masuk Rumah Sakit) : diperoleh umur ibu di atas 35 tahun (umr2), paritas (par), cara masuk Rumah Sakit (cms) serta interaksi dua faktor antara parcms mempunyai pengaruh berarti terhadap kematian ibu."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T7892
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulhasri
"ABSTRAK
Udang windu (Penaeus monodon Fab.) mempunyai pertumbuhan yang baik pada salinitas 10-25 ppt. Tetapi di Indonesia hanya sedikit tambak yang selama setahun penuh dengan kisaran salinitas tersebut. Pada musim hujan, salinitas tambak cenderung turun menjadi 5-10 ppt dan di musim panas salinitas tambak naik menjadi 34-70 ppt.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Mortalitas dan batas toleransi udang windu stadium juwana terhadap salinitas; (2) Kisaran preferensi udang windu stadium juwana terhadap salinitas; (3) Pengaruh salinitas terhadap jumlah pakan yang dikonsumsi dan lamanya pakan berada dalam tubuh udang windu stadium juwana.
Dari grafik Lethal Dose 50 % (LD50) diketahui bahwa udang windu stadium juwana pada salinitas rendah mempunyai batas toleransi 3,6 ppt dan salinitas tinggi pada 44,5 ppt. Dari hasil uji preferensi dapat disimpulkan bahwa udang windu stadium juwana menyenangi kisaran salinitas 19-23 ppt. Sedangkan dari hasil uji anava satu faktor menunjukkan bahwa salinitas tidak berpengaruh terhadap jumlah pakan yang dikonsumsi dan lamanya pakan berada dalam tubuh udang windu stadium juwana.
ABSTRACT"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Indonesia, 1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>