Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101061 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Haryo Wicaksono
"Latar Belakang: Stenosis Spinal Lumbar (LSS) adalah kondisi yang umum pada populasi lanjut usia, ditandai dengan penyempitan kanal spinal atau foramen intervertebralis, yang mengarah pada kompresi akar saraf. Kondisi ini sering dikaitkan dengan nyeri punggung bawah, penyebab utama kecacatan dan penurunan kualitas hidup. Atrofi otot multifidus sering diamati pada pasien dengan LSS, berkontribusi pada ketidakstabilan dan nyeri di tulang belakang lumbar. Faktor-faktor seperti usia, obesitas, jenis pekerjaan, penggunaan korset, dan durasi penyakit telah dikaitkan dengan pengembangan atrofi otot multifidus.
Metode: Studi potong lintang ini dilakukan di RSUD Pandanarang Boyolali, melibatkan 45 pasien dengan LSS berusia 50-70 tahun. Sampel purposif digunakan untuk memilih peserta berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi tertentu. Variabel seperti usia, pekerjaan, Indeks Massa Tubuh (BMI), penggunaan korset, dan durasi penyakit dianalisis. Studi ini mendapat persetujuan etik dari Komite Etik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan RSUD Pandan Arang Boyolali. Analisis statistik dan regresi logistik digunakan untuk menguji pengaruh faktor-faktor ini terhadap atrofi otot multifidus.
Hasil: Studi ini mengidentifikasi obesitas (OR=65.02; p=0.001) dan usia di atas 60 tahun (OR=11.38; p=0.47) sebagai faktor dominan yang berhubungan dengan atrofi otot multifidus pada pasien LSS. Jenis kelamin, pekerjaan, dan durasi penggunaan korset tidak menunjukkan hubungan signifikan dengan atrofi otot (P> 0.05). Pasien berusia di atas 60 tahun menunjukkan risiko lebih tinggi mengalami atrofi otot multifidus.
Kesimpulan: Temuan ini menekankan pentingnya mengatasi obesitas dan memantau pasien lanjut usia secara dekat untuk tanda-tanda atrofi otot multifidus dalam pengelolaan LSS. Kurangnya hubungan signifikan dengan jenis kelamin, pekerjaan, dan penggunaan korset menunjukkan bahwa intervensi harus terutama berfokus pada manajemen berat badan dan perubahan degeneratif terkait usia. Penelitian lebih lanjut dengan ukuran sampel yang lebih besar direkomendasikan untuk mengevaluasi dampak intervensi yang ditargetkan pada pencegahan atrofi otot multifidus pada populasi pasien ini.

Background : Lumbar Spinal Stenosis (LSS) is a prevalent condition in the elderly population, characterized by the narrowing of the spinal canal or intervertebral foramina, leading to nerve root compression. This condition is often associated with low back pain, a significant cause of disability and reduced quality of life. Multifidus muscle atrophy is frequently observed in patients with LSS, contributing to instability and pain in the lumbar spine. Factors such as age, obesity, occupation type, corset usage, and disease duration have been implicated in the development of multifidus muscle atrophy.
Methods : This cross-sectional study was conducted at RSUD Pandanarang Boyolali, involving 45 patients with LSS aged 50-70 years. Purposive sampling was used to select participants based on specific inclusion and exclusion criteria. Variables such as age, occupation, Body Mass Index (BMI), corset usage, and disease duration were analyzed. The study received ethical approval from the Ethics Committee of the Faculty of Medicine, University of Indonesia, and RSUD Pandan Arang Boyolali. Statistical analysis and logistic regression were employed to examine the influence of these factors on multifidus muscle atrophy.
Results:The study identified obesity (OR=65.02; p=0.001) and age over 60 years (OR=11.38; p=0.47) as dominant factors associated with multifidus muscle atrophy in LSS patients. Gender, occupation, and duration of corset use did not show a significant relationship with muscle atrophy (p>0.05). Patients over 60 years of age exhibited a higher risk of developing multifidus muscle atrophy.
Conclusion: The findings underscore the importance of addressing obesity and monitoring elderly patients closely for signs of multifidus muscle atrophy in the management of LSS. The lack of significant associations with gender, occupation, and corset usage suggests that interventions should primarily focus on weight management and age-related degenerative changes. Further research with larger sample sizes is recommended to evaluate the impact of targeted interventions on preventing multifidus muscle atrophy in this patient population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Afif Alhadi
"Pendahuluan: Stenosis kanal lumbal (SKL) adalah gangguan yang disebabkan oleh penyempitan kanal spinal. Derajat penyempitan kanal spinal dapat ditentukan oleh kriteria Herzog yang diukur dengan pemeriksaan MRI. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui luaran klinis pasien SKL dengan berbagai derajat stenosis setelah dekompresi dan stabilisasi posterior.
Metode: Penelitian ini menggunakan studi kohort retrospektif di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo dari bulan Agustus hingga September 2017 dengan teknik total sampling. SKL diklasifikasikan berdasarkan kriteria Herzog. Luaran klinis diukur dengan menghitung skor ODI sebelum operasi dan satu tahun setelah operasi.
Hasil: 39 subyek penelitian memiliki rerata usia 58,41±5,86 tahun dan terdiri dari 24 perempuan dan 15 laki-laki. Berdasarkan kriteria Herzog, subyek penelitian yang diklasifikasikan dalam derajat medium 12 (30,8%) dan severe 27 (69,2%). Nilai median skor ODI pada kelompok medium 57 dan severe 60. Setelah operasi, nilai median pada kedua grup turun menjadi 6. Secara statistik, terdapat perbedaan bermakna nilai skor ODI pada kelompok medium (p 0,002) dan kelompok severe (p 0,001), sebelum dan setelah operasi. Sementara itu, tidak ada hubungan bermakna antara skor Herzog dan ODI sebelum operasi (p 0,192) dan setelah operasi (p 0,249).
Diskusi: Luaran klinis pasien SKL tergolong baik karena skor ODI mengalami penurunan setelah tindakan dekompresi dan stabilisasi posterior sehingga tindakan tersebut mempengaruhi luaran klinis pasien SKL.

Background: Lumbar canal stenosis (LCS) is a disorder that caused by the narrowing of the spinal canal. The stage of narrowing is based on Herzog criteria measured from MRI examination. The aim of study was to know clinical outcomes of LCS patients in different stage of stenosis after decompression and posterior stabilization.
Methods: This research used retrospective cohort study design and carried out at Cipto Mangunkusumo General Hospital from August to September 2017 with total sampling technique. LCS was classified based on Herzog criteria. Clinical outcome was measured by counting The ODI score before the operative procedure, and one year after the operative procedure.
Results: All 39 subjects was 58.41±5.86 years old and consisted of 24 females and 15 males. Based on herzog criteria, the subjects are classified into medium 12 (30,8%) and severe stage 27 (69.2%). The median of ODI score at medium group was 57 and severe group 60. After operative procedure, the median of ODI score at each groups was decreased to 6. Statistically, there was a significant corelation bertween of ODI score in medium (p 0,002) and severe group (p 0,001), to pre and postoperative procedure. No significant correlation between herzog and ODI score preoperative (p 0,192) and postoperative (p 0,249).
Discussions: The clinical outcome of LCS patients is good because the ODI score decreases after decompression and posterior stabilization so the procedure affects clinical outcomes of LCS patients."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Fitriningsih
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: MRI merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk mengevaluasi herniasi diskus lumbalis. Kekurangan MRI adalah lamanya waktu pengambilan gambar dan kurangnya ketersedian diberbagai tempat. Pada institusi dengan keterbatasan alat dan jumlah pasien yang banyak hal ini dapat menyebabkan terjadinya stagnansi pasien. Maka perlu dipikirkan suatu studi alternatif pada MRI untuk mempersingkat waktu. Di RSCM, protokol terbatas belum menjadi standar, sehingga dibutuhkan penelitian untuk menilai sensitivitas dan spesifisitas MRI protokol terbatas pada diagnosis herniasi diskus lumbalis, stenosis kanalis spinalis lumbal, stenosis foraminal pada vertebra lumbalis.
Metode: Uji diagnostik dengan pendekatan potong lintang untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas protokol terbatas dalam mendiagnosis herniasi diskus, stenosis kanal spinalis dan stenosis foraminal pada vertebra lumbal pada 60 subyek.
Hasil: Sensitivitas dan spesifitas MRI protokol terbatas pada diagnosis herniasi diskus, stenosis kanal spinalis, stenosis foraminal baik, yaitu 97,2% dan 95,2%, pada diagnosis herniasi diskus, 97,6% dan 96,6% pada stenosis kanal spinalis, dan 91,6% dan 92,6% pada stenosis foraminal.
Kesimpulan: Sensitivitas dan spesifisitas MRI protokol terbatas pada diagnosis herniasi diskus, stenosis kanal spinalis dan stenosis foraminal baik, akan tetapi penggunaan secara luas perlu mempertimbangkan hal-hal lainnya seperti: pasien murni hanya herniasi diskus tanpa penyulit lainnya, menuntut kehadiran dokter spesialis radiologi pada saat pemeriksaan MRI berlangsung, dan protokol pemeriksaan MRI harus dibuat optimal.

ABSTRACT
Background and purpose: MRI is the most sensitive examination to evaluate lumbar disc herniation. Disadvantages of MRI is the long duration of examination and the lack of availability of various places. At institutions with limited equipment and patient loads it can lead to stagnation of the patient. Then it should be considered an alternative to MRI studies to shorten the time. At RSCM, restricted protocols yet to be standarized, so that research is needed to assess the sensitivity and specificity of Limited Protocol MRI protocol in diagnosing of lumbar disc herniation, lumbar spinal canal stenosis, lumbar foraminal stenosis
Methods: Diagnostic Test with cross sectional approach to determine the sensitivity and specificity of the protocol in diagnosing lumbar disc herniation, lumbar spinal canal stenosis, lumbar foraminal stenosis in 60 subjects.
Results: The sensitivity and specificity of limited protocol MRI is good, that is 97.2% and 95.2%, in the diagnosis of lumbar disc herniation, 97.6% and 96.6% in the lumbar spinal canal stenosis and 91.6% and 92.6% at lumbar foraminal stenosis
Conclusion :Sensitivity and specificity of Limited Protocol MRI in diagnosising of a lumbar disc herniation, lumbar stenosis canal spinal and lumbar stenosis foraminal is good, but the widespread use need to consider other things such as: the diagnosis patient is purely a herniated disc without other complications, demanding the presence of radiologist during MRI examinations, and the protocol MRI examination should be made optimal."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Witantra Dhamar Hutami
"Pendahuluan
Untuk menentukan apakah diperlukan fusi tulang belakang disamping dekompresi untuk kasus stenosis spinal lumbar (SSL) akan bergantung kepada stabilitas segmen tulang belakang yang terkena. Stabilitas tulang belakang didefinisikan sebagai kemampuan tulang belakang untuk mempertahankan kemampuan geraknya dengan serta mencegah terjadinya nyeri, defisit neurologis, dan angulasi yang tidak normal. Namun, sampai saat ini, belum ada konsensus yang jelas tentang definisi ketidakstabilan untuk menentukan apakah diperlukan fusi pada kasus SSL. Dalam penelitian ini, kami mengembangkan sistem penilaian baru, yang disebut dengan Indonesia Score of Spinal Instability (ISSI), untuk membantu menentukan adanya ketidakstabilan pada tulang belakang dan mengevaluasi kebutuhan fusi pada LSS.
Metodologi Penelitian ini terdiri dari tiga tahap, tahap pertama adalah tinjauan sistematis untuk menemukan prediktor ketidakstabilan tulang belakang pada SSL, tahap kedua adalah pengembangan sistem penilaian untuk ketidakstabilan tulang belakang - Indonesia Score of Spinal Instability (ISSI) melalui pendapat ahli dan teknik Delphi yang dimodifikasi, dan tahap ketiga adalah studi validitas dan reliabilitas sistem penilaian yang baru dikembangkan. Tinjauan sistematis dilakukan dengan menggunakan pedoman dari Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA). Pendapat ahli dan teknik Delphi yang dimodifikasi dilakukan oleh ahli bedah tulang belakang berpengalaman di Indonesia yang telah terpilih, tahap ini dilakukan dua kali untuk menilai apakah ada perbedaan antara putaran pertama dan kedua. Tahap kedua akan menghasilkan ISSI yang baru. Pengujian validitas dan reliabilitas dilakukan di rumah sakit institusional kami, yang melibatkan ahli bedah Ortopedi dan Ahli Radiologi yang bersertifikasi dan dibandingkan dengan penilaian radiologis dari White & Panjabi.
Hasil
Sebanyak 54 studi dimasukkan dalam tinjauan sistematis, dan prediktor ketidakstabilan pada stenosis tulang belakang dibagi menjadi klinis (adanya nyeri punggung sebagai gejala primer atau sekunder), radiografi polos statis (adanya vacuum phenomenon, kolaps diskus intervertebralis, sklerosis subkondral, dan traction spur), radiografi polos dinamik (translasi dan angulasi dinamik), dan temuan pencitraan resonansi magnetik/ (magnetic resonance imaging, MRI) yang terdiri dari efusi sendi faset, degenerasi otot multifidus, degenerasi endplate, dan degenerasi diskus. Melalui pendapat para ahli dan teknik Delphi yang dimodifikasi, penilaian ISSI dikembangkan dan terdiri dari komponen klinis (nyeri punggung), komponen radiografi dinamik (translasi horizontal dan angulasi), dan komponen MRI (efusi sendi faset), masing- masing komponen tersebut akan diberi nilai, dan total nilai adalah 0 hingga 14. Penilaian akhir akan mengklasifikasikan pasien ke dalam tiga kelompok: kelompok stabil (nilai 0 hingga 4) di mana fusi tidak diperlukan, kelompok berpotensi tidak stabil (nilai 5 hingga 8) di mana keputusan fusi didasarkan pada penilaian klinis dokter bedah, dan kelompok tidak stabil (nilai 9 hingga 14) di mana fusi diperlukan. Tahap akhir penelitian menyimpulkan bahwa ISSI ini memiliki validitas dan reliabilitas yang baik.
Diskusi dan Kesimpulan
ISSI yang baru dikembangkan adalah sistem penilaian ketidakstabilan tulang belakang pada kasus SLL degeneratif yang sahih (valid) dan dapat diandalkan (reliabel), yang dapat membantu mengidentifikasi adanya ketidakstabilan pada SSL degenratif. ISSI diharapkan dapat digunakan sebagai pedoman untuk memutuskan apakah fusi tulang belakang diperlukan.

Introduction
Whether spinal fusion is performed in addition to a decompression for lumbar spinal stenosis (LSS) depends on the stability of the involved spinal segments. Spinal stability is defined as the ability of the spine to maintain its degree of motion while simultaneously preventing pain, neurologic deficits, and abnormal angulation. However, until currently, there is no clear consensus regarding the definition of instability to perform fusion in the cases of LSS. We developed a new scoring system, the Indonesia Score of Spinal Instability (ISSI), to identify spinal instability and to evaluate the need of spinal fusion in LSS.
Materials and Methods
This study consisted of three stages, the first stage was the systematic review to find predictors of spinal instability in LSS, the second stage was the development of scoring system for spinal instability – the Indonesia Score of Spinal Instability (ISSI) through expert opinion and modified Delphi technique, and the third stage was validity and reliability studies of the new developed scoring system. The systematic review was performed through Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta- Analyses (PRISMA) guideline. Expert opinion and modified Delphi technique were performed by experience spine surgeons in Indonesia who had been elected, this stage was performed twice to assess whether there was difference between first and second rounds. The second stage would yield the new developing ISSI. Validity and reliability testing were performed in our institutional hospitals, which included the board-certified Orthopaedic surgeon and Radiologist and was compared with the radiological checklist from White & Panjabi.
Results
A total of 54 studies were included in the systematic reviews, and the predictors of instability in spinal stenosis were divided into clinical (presence of back pain as primary or secondary symptoms), static plain radiograph (presence of vacuum phenomenon, intervertebral disk collapse, subchondral sclerosis, and traction spurs), dynamic plain radiograph (horizontal translation and angulation), and magnetic resonance imaging/ MRI findings (facet joint effusion, fatty degeneration of multifidus, endplate degeneration, and disk degeneration). Through expert opinion and modified Delphi technique, ISSI score was developed and consisted of the clinical component (back pain), dynamic radiograph component (horizontal translation and angulation), and MRI component (facet joint effusion), each of the component would be scored, and the total scoring would be from 0 to 14. The final scoring would classify patients into three groups: stable group (score of 0 to 4) in which the fusion is not needed, potentially unstable group (score of 5 to 8) in which the decision of fusion is based on surgeon’s clinical judgment, and unstable group (score of 9 to 14) in which the fusion is needed. Final stage of study concluded that this ISSI had good reliability and validity
Discussion and Conclusion
The new developed ISSI was a valid and reliable scoring system that could help to identify the presence of instability in LSS and the need of fusion. This ISSI can be used as a guideline to decide whether spinal fusion would be needed.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Relanfa Farando
"Latar belakang: Low back pain (LBP) dengan atau tanpa kelainan radikulopati merupakan penyebab utama disabilitas tertinggi ke 6 di dunia. LBP dapat disebabkan oleh stenosis foramen intervertebralis (SFI) lumbal yang disebabkan oleh proses degenerasi vertebra lumbal. Penilaian derajat SFI lumbal saat ini masih menggunakan potongan sagital, namun belum terdapat penilaian derajat SFI lumbal menggunakan potongan aksial Metode: Penelitian observasional analitik potong lintang menggunakan data sekunder; Sebanyak 54 pasien memenuhi kriteria penelitian yang telah dilakukan pemeriksaan MRI lumbal selama Januari 2023 hingga Desember 2023. Analisis kesesuaian antar 2 variabel kategorik disajikan dalam plot Kappa Cohen (R). Hasil: Kesesuaian pengukuran berdasarkan potongan axial dengan potongan sagital mempunyai nilai R sebesar 0,801; p <0,001) menunjukan kesesuaian diagnostik yang hampir sempurna dalam menilai SFI lumbal antara potongan aksial dengan sagital dan hasil uji nonparametrik menggunakan McNemar menunjukan tidak terdapat perbedaan kemampuan diagnosis derajat SFI lumbal mengunakan potongan aksial maupun sagital dengan nilai p 0,209 (p = < 0,5). Kesimpulan: Terdapat kesesuaian yang sangat baik antara potongan aksial dengan potongan sagital dalam menilai derajat SFI lumbal L4-5.

Background: Low back pain (LBP) with or without radiculopathy is the 6th leading cause of disability in the world. LBP can be caused by lumbar intervertebral foramen stenosis caused by the process of lumbar vertebral degeneration. Current assessment of lumbar intervertebral foramen stenosis degrees still uses sagittal planes, but there is no assessment of lumbar SFI degrees using axial planes Methods: Cross-sectional analytical observational study using secondary data; A total of 54 patients met the criteria for a lumbar MRI examination between January 2023 and December 2023. The conformity analysis among 2 categorical variables is presented in Cohen's Kappa plot (R). Results: The suitability of measurements based on axial planes to sagittal planes has an R value of 0.801; p <0.001) showed a near-perfect diagnostic fit in assessing lumbar SFI between axial and sagittal pieces and nonparametric test results using McNemar showed no difference in the ability to diagnose lumbar SFI degrees using axial and sagittal planes with a p value of 0.209 (p = < 0.5) Conclusion: There is an excellent fit between axial and sagittal planes in assessing grade of lumbar lumbar intervertebral foramen stenosis L4-5."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aby Yazid Al Busthomy Rofi`i
"Spinal Cord Injury (SCI) dengan neurogenic bladder menyebabkan penurunan quality of life (QOL). Model konseptual QOL mengemukakan bahwa faktor karakteristik individu, karakteristik lingkungan, fungsi biologis, gejala, status fungsional dan persepsi kesehatan umum dapat mempengaruhi QOL. Penelitian ini bertujuan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi QOL. Penelitian ini menggunakan desain deskirptif korelasional pada 55 pasien SCI dengan neurogenic bladder di Indonesia. QOL dinilai dengan menggunakan WHOQOL-BREF. Rerata total skor QOL adalah 47,55.
Hasil penelitian menunjukkan faktor yang memiliki hubungan signifikan dengan QOL adalah pengetahuan (p=0,006), dukungan sosial (0,000), kondisi lingkungan (p=0,000), status fungsional (p=0,001) dan persepsi kesehatan (0,000). Faktor yang paling berpengaruh adalah persepsi kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian optimalisasi proses adaptasi dan rehabilitasi akan membantu persepsi pasien SCI dengan neurogenic bladder untuk dapat hidup normal atau mendekati normal dengan kondisinya.

Spinal cord injury (SCI) with neurogenic bladder lead to decrease of quality of life (QOL). Conceptual model of QOL propose there are several factors influencing QOL. There are characteristics of individual, characteristics of environment, biological function, symptom, functional status, and general health perception. The objective of this study was to analyze factors influencing to QOL. This was descriptive correlational study to 55 SCI with neurogenic bladder patients in Indonesia. QOL was measured by WHOQOL-BREF. Total mean score of QOL was 47,55.
Study showed that factor that significantly correlating with QOL were knowledge (p=0,006), social support (p=0,000), environtment condition (p=0,001), functional status (p=0,001) and heatlh perception (p=0,000). The most influencing factor was health perception. Based on the study result it is necessary to optimize adaptation and rehabilitation process which could help SCI with neurogenic patient perception to life normaly.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2018
T49033
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lathifany R.W.
"Mobilisasi dini pasca operasi merupakan salah satu intervensi yang penting pada periode pasca operasi yang dapat mempersingkat hari rawat LOS dan mencegah komplikasi post operasi. Namun demikian, mobilisasi pasca operassi merupakan elemen asuhan keperawatan yang kadang terlupakan. Tujuan penulisan adalah untuk menganalisis intervensi program mobilisasi dini pada klien Ny.S 60 tahun dengan lumbal spinal stenosis L4-L5 pasca operasi dekompresi dan pemasangan TLIF Transforaminal Lumbar Interbody Fusion dengan riwayat hipertensi, obesitas dan foot drop dextra. Intervensi dilakukan selama lima hari perawatan yang meliputi edukasi kesehatan, latihan kekuatan otot, mobilisasi di tempat tidur, hingga mobilisasi jalan dengan menggunakan walker.
Hasil pelaksanaan intervensi adalah kemampuan klien dalam mobilisasi meningkat yang ditunjukan dengan pencapaian 6 dari 8 skor JH-HLM John Hopkins Highest Level of Mobilty yaitu klien mampu berjalan lebih dari 10 langkah dalam 5 hari perawatan. Selain itu, kondisi umum klien meningkat yaitu secara fisik meliputi: klien lebih aktif untuk merubah posisi dan bergerak, keluhan nyeri dan kelelahan jarang, mengatakan lebih nyaman dan tubuhnya tidak kaku ; emosional meliputi: mood tampak baik, kecemasan untuk mobilisasi minimal, kooperatif dalam program mobilisasi , dan sosial meliputi: peningkatan tingkat kemandirian klien untuk mobilisasi, keluarga berpartisipasi aktif dalam mendukung dan mendampingi klien dalam program mobilisasi. Hasil analisis menunjukan bahwa intervensi program mobilisasi dini pasca operasi berdampak positif terhadap hasil perawatan pasca operasi klien sehingga perlu menjadi prioritas dalam asuhan keperawatan pasca operasi.

Early postoperative mobilization is one of the most important interventions in the postoperative period that can shorten length of stay LOS and prevent postoperative complications. However, postoperative mobilization is the most frequently overlooked element of nursing care. The purpose of the writing was to analyze the early mobilization program on the Ny.S 60 years old client with Lumbar L4 L5 spinal stenosis post decompression and TLIF Transforaminal Lumbar Interbody Fusion installation with history of hypertension, obesity, and foot drop dextra. Interventions were performed for five days of care that included health education, muscle strength training, bed mobilization, to out of bed mobilization using walkers.
The result of the intervention was client's ability to mobilize has increased which has been shown in the achievement of 6 of 8 JH HLM score John Hopkins Highest Level of Mobilty which client can walked more than 10 steps within 5 days of treatment. Client's general condition also improved which physical aspect including the client were more active to change position and moved, rare to complaint pain and tiredness, said more comfortable and her body more relaxed emotional aspect including good mood, minimal anxiety during mobilization, cooperative in mobilization program , social aspect including the level of client independence for mobilization increased, the family actively participated in supporting and assisting clients in the mobilization program. The results of the analysis showed that the intervention of early postoperative mobilization program had a positive impact on client's postoperative outcomes, therefore it needs to be a priority interventions in postoperative nursing care.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
PR-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marvin Pili
"Latar Belakang: Stenosis kanal lumbal SKL merupakan suatu kondisi yang potensial menimbulkan disabilitas dan seringkali ditemukan seiring meningkatnya usia populasi. Studi bertujuan menganalisa hubungan antara luaran klinis pasien SKL dan klasifikasi stenosis berdasarkan MRI.
Metode: Studi kohort prospektif ini dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo RSCM pada januari hingga juli 2016 melalui metode consecutive sampling. Tiga puluh delapan sampel didapat dan kesemuanya dilakukan tatalaksana pembedahan yang sama yaitu dekompresi dan stabilisasi posterior. Subjek dikategorikan ke dalam 4 kategori berdasarakan pemeriksaan MRI menggunakan klasifikasi Schizas. Pemeriksaan pra dan pasca operasi 3 bulan dan 6 bulan dilakukan menggunakan Visual Analogue Scale VAS, Oswestry Disability Index ODI, Japanese Orthopaedic Association Score JOA and Roland Morris Disability Questionnaire RMDQ. Analisis statistic dilakukan dengan menggunakan program SPSS v19.
Hasil: Rata ndash; rata usia dari 38 sampel yang didapatkan adalah 58.92 tahun rentang 50-70 tahun. Terdapat 16 orang laki ndash; laki dan 22 orang perempuan. Sebagian besar pasien diklasifikasikan pada grade C berdasarkan klasifikasi Schizas. Perbaikan skor klinis pada subjek laki ndash; laki didapatkan lebih tinggi dibanding perempuan dan hasilnya didapatkan bermakna pada pengukuran VAS pascaoperasi 6 bulan p=0.003 dan JOA pascaoperasi 3 bulan p=0.029. Tidak ditemukan perbedaan bermakna antara derajat klasifikasi berdasarkan MRI dengan skor perbaikan klinis preoperasi, 3 bulan dan 6 bulan pasca operasi menurut VAS p=0.451, p=0.738, p=0.448, ODI p=0.143, p=0.929, p=0.796, JOA p=0.157, p=0.876, p=0.961 dan RMDQ p=0.065, p=0.057, p=0.094.
Simpulan: Terdapat perbaikan klinis setelah dilakukan operasi dekompresi dan stabilisai posterior yang ditandai dengan perbaikan skor VAS, ODI, JOA dan RMDQ pasca operasi 3 dan 6 bulan. Tidak terdapat hubungan antara derajat SKL dengan skor VAS, ODI, JOA dan RMDQ.

Background: Lumbar canal stenosis LCS is a condition which can potentially cause disability and often discovered within the increasing age of population. The aim of this study was to analyze the correlation between clinical outcome of postoperative patients and classifications that are based from MRI assesments.
Method: This prospective cohort study was carried out a Cipto Mangunkusumo General Hospital from January till july 2016 obtained using consecutive sampling. Thirty eight samples were obtained and all of them were managed with same surgical technique that was decompression and posterior stabilization. Patients were categorized in 4 types based on MRI examination using Schizas Classification. Pre and post treatment 3 month and 6 month assessment of the patients was done according to Visual Analogue Scale VAS, Oswestry Disability Index ODI, Japanese Orthopaedic Association Score JOA and Roland Morris Disability Questionnaire RMDQ. Statistical analysis was performed using statitiscal program for social science SPSS v.19.
Result: From 38 samples that were obtained average age was 58.92 years old range 50 70 years old. There were 16 males and 22 females. Most of patients are classified in type C 21 subjects based on MRI examination. The improvement of clinical score in male subjects were better dan female subjects and significantly different in 6 month postoperative VAS p 0.003 and 3 month postoperative JOA score p0.029. In this study was found that generally VAS, ODI, JOA and RMDQ score improved along follow up time. There was no statistical differences between MRI based classification and clinical outcome in preoperative, 3 and 6 month postoperative according to VAS p 0.451, p 0.738, p 0.448, ODI p 0.143, p 0.929, p 0.796, JOA p 0.157, p 0.876, p 0.961 dan RMDQ p 0.065, p 0.057, p 0.094.
Conclusion: There was clinical improvement after decompression and posterior stabilization in lumbar canal stenosis which were manifested in 3 and 6 months post operation of VAS ODI, JOA and RMDQ score. There was no association between degree of LCS and VAS, ODI, JOA and RMDQ score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tuti Alawiah
"Spinal Cord Injury (SCI) merupakan gangguan neurologis yang dapat mengganggu semua aspek kehidupan individu yang mengalaminya mulai dari fisik, psikososial dan ekonomi yang berujung pada kecacatan menetap. SCI menimbulkan sejumlah besar kondisi kesehatan sekunder, termasuk nyeri, kelenturan, penurunan kemandirian, konstipasi, disfungsi kandung kemih, dan penurunan kualitas hidup. Kontraktur dapat berkembang dengan cepat dengan imobilitas dan kelumpuhan otot. Sendi yang diimobilisasi terlalu lama menjadi kaku akibat kontraktur tendon dan kapsul sendi. Selain itu, imobilisasi terlalu lama juga otot akan mengalami atropi atau penyusutan karena tidak digerakan. Maka dari itu, latihan ROM merupakan salah satu intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan aktivitas fisik, kekuatan otot, dan mencegah kontraktur. Tujuan dari karya ilmiah ini adalah untuk menyajikan hasil efektifitas latihan ROM terhadap kekuatan otot pada pasien SCI disertai tetraplegi. Metode yang digunakan yaitu berbentuk studi kasus pada pasien dengan SCI disertai tetraplegi dan penelusuran literatur mengenai evidence base practice mengenai efektifitas latihan ROM pada pasien SCI. Latihan ROM dilakukan sebanyak 4 kali sehari yaitu pagi, siang, sore, dan malam dengan durasi 15-30 menit. Hasil studi kasus ini menunjukan bahwa latihan ROM terbukti efektif dalam meningkatkan kekuaatan otot pasien SCI disertai tetraplegi. Perawat dapat menerapkan latihan ROM ini pada pasien dan mengajarkannya pada pasien dan keluarganya.
Spinal Cord Injury (SCI) is a neurological disorder that can interfere with all aspects of the life of the individual who experiences it, starting from the physical, psychosocial and economic aspects that lead to permanent disability. SCI results in a large number of secondary health conditions, including pain, spasticity, reduced independence, constipation, bladder dysfunction, and reduced quality of life. Contractures can develop rapidly with immobility and muscle paralysis. Joints that are immobilized for too long become stiff due to contractures of the tendons and joint capsules. In addition, immobilization for too long will cause the muscles to atrophy or shrink because they are not moved. Therefore, ROM training is an intervention that aims to increase physical activity, muscle strength, and prevent contractures. The aim of this scientific work is to present the results of the effectiveness of ROM exercises on muscle strength in SCI patients accompanied by tetraplegia. The method used is in the form of a case study in patients with SCI accompanied by tetraplegia and a literature search regarding the evidence base practice regarding the effectiveness of ROM exercises in SCI patients. ROM exercises are performed 4 times a day, namely morning, afternoon, evening and night with a duration of 15-30 minutes. The results of this case study show that ROM exercises are proven to be effective in increasing the muscle strength of SCI patients accompanied by tetraplegia. Nurses can apply these ROM exercises to patients with SCI and teach them to patients and their families."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widyastuti Srie Utami
"Pendahuluan: Spinal cord injury (SCI) merupakan kejadian yang katastrofik, yang sering kali menyebabkan disfungsi neurologis yang signifikan serta disabilitas yang seringkali permanen, yang konsekuensinya tidak hanya dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien sepanjang hidupnya, namun juga terhadap keluarga dan masyarakat.(6,7) SCI ditandai dengan disfungsi motorik, sensorik dan otonom yang kompleks, yang derajatnya menandakan berat SCI yang dialami. SCI terdiri atas sejumlah gejala yang menunjukkan kerusakan neuron dari Central Neural System (CNS), yang berkisar mulai dari foramen magnum hingga regio tulang belakang bawah.
Di seluruh dunia, angka kejadian SCI kurang lebih 40 kasus per juta orang per tahun. SCI traumatik disebabkan antara lain oleh kecelakaan lalulintas (47%), jatuh (23%), kekerasan/kriminalitas (14%), cedera olahraga (9%), serta penyebab lain yang mencakup hingga 7% angka kejadian, termasuk di dalamnya SCI iatrogenik yang dapat terjadi dalam operasi intervensi tulang belakang.(5) Di USA, Eropa, dan Jepang, SCI terjadi pada kurang lebih 30.000 individu per tahun, serta merupakan problem kronis bagi kurang lebih 500.000 pasien di seluruh dunia. Di wilayah Asia Pasifik, 300-400 kasus baru dilaporkan tiap tahunnya, dengan angka kejadian terbanyak terjadi pada usia 28.6 tahun, dan setengah dari seluruh pasien ini merupakan golongan usia muda yang seharusnya berada dalam periode paling produktif dalam hidup mereka.(6).
The National Institute on Disability and Rehabilitation Research melaporkan bahwa hingga 34.1% pasien yang mengalami SCI akan hidup dengan incomplete tetraplegia, 23% dengan complete paraplegia, 18.3% dengan complete tetraplegia, dan 18.5% dengan incomplete paraplegia. Hanya kurang dari 1% pasien dengan SCI yang cukup beruntung untuk mengalami recovery neurologis komplit.(5,10) Kebanyakan cedera di daerah thorakal menyebabkan complete SCI (73%), sedang cedera di daerah lumbal mengakibatkan incomplete SCI (79%).(2).
SCI pada manusia terutama diakibatkan oleh kombinasi dari tensile force atau gaya distraksi serta kontusio pada kolumna vertebra dan spinal cord itu sendiri. Gaya distraksi sering kali merupakan komponen integral dalam pathogenesis SCI, baik dalam kondisi traumatik maupun iatrogenik seperti pada saat tindakan intervensi tulang belakang.(4) Namun demikian belum banyak dibangun model ideal yang dapat meniru efek gaya distraksi pada spinal cord ini.
Kebanyakan pemahaman akan pathofisiologi serta tata laksana SCI didasari atau berawal dari temuan pada hewan coba yang digunakan sebagai model bagi SCI. Kebanyakan SCI termasuk yang terjadi pada saat operasi tulang belakang umumnya bersifat bireksional, sehingga model distraksi yang dapat meniru sifat bidireksional ini akan lebih dapat merefleksikan efek distraksi pada SCI yang timbul pada saat operasi intervensi tulang belakang.(4).
Tindakan bedah yang memanipulasi tulang belakang memiliki resiko tersendiri untuk terjadinya SCI intraoperatif. Koreksi deformitas skoliosis serta stabilisasi tulang belakang menggunakan instrumentasi seperti fixation rods, seringkali melibatkan gaya distraksi yang dalam besar yang cukup signifikan yang berpotensi menyebabkan terjadinya SCI iatrogenik.(3)
SCI yang terjadi pada prosedur ini dapat disebabkan oleh kompresi spinal cord akibat translasi dari vertebra, kinking dari spinal cord, buckling dari dura, hipoksia akibat ligasi pembuluh darah segmental dan menurunnya tekanan darah selama operasi, serta stretching atau distraksi langsung pada spinal cord saat koreksi deformitas.(3) Jika berlebihan, gaya distraksi ini dapat mengakibatkan defisit neurologis bahkan paralisis, yang masih terjadi pada 1-2% operasi tulang belakang. Pencegahan terjadinya SCI iatrogenik sebagai salah satu resiko penting dalam operasi atau prosedur tulang belakang menjadi fokus perhatian dalam penelitian ini.
Menilik tingginya derajat kecacatan dan bahkan kematian akibat kerusakan irreversibel yang dapat terjadi pada SCI, pencegahan terhadap terjadinya cedera ini sangatlah berharga baik dalam transportasi, tempat bekerja, olahraga, serta intraoperatif atau SCI iatrogenik. Jika memungkinkan, monitoring elektrofisiologi intraoperatif sangat berguna untuk mendeteksi dan mencegah terjadinga SCI iatrogenik ini. MEP yang diukur melalui stimulasi kortikal transkranial (TcMEP) dapat memberikan sarana deteksi dini ini.
Walaupun intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring dapat sangat membantu dalam identifikasi gangguan neurologis akut intraoperatif sehingga dapat membantu mencegah atau setidaknya membatasi kejadian SCI iatrogenik, pemeriksaan ini belum bisa rutin dilakukan di semua rumah sakit karena relatif masih mahalnya alat, terbatasnya ketersediaan, serta dibutuhkannya personel terlatih untuk melaksanakan monitoring intraoperatif bersangkutan, terutama di negara-negara dengan sarana yang masih terbatas.(4,33).
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara besar gaya distraksi yang diberikan pada spinal cord kelinci coba dengan timbulnya gangguan neurologis serta perubahan histopathologis yang ditimbulkannya. Dalam penelitian ini, penulis mengajukan model SCI pada kelinci sebagai hewan coba dengan mengaplikasikan gaya distraksi pada spinal cord lumbal menggunakan alat distraktor yang telah diukur dan dikalibrasi, dan pada saat yang sama mengukur besaran perubahan amplitudo Transcranial Motor Evoked Potential (TcMEP) yang terjadi yang menggambarkan gangguan neurokonduksi yang terjadi secara real-time.(33) Gangguan neurologis juga diobservasi secara klinis, dan perubahan histopathologis akibat cedera pada spinal cord diteliti melalui pemeriksaan histopathologis setelah spinal cord melalui proses harvesting. Penelitian ini juga membandingkan hasilnya dengan hasil penelitian oleh kolega dr. Robin Novriansyah yang mempelajari efek distraksi pada spinal cord regio thorakal(35), dengan tujuan untuk membandingkan kerentanan antara kedua level spinal cord terhadap gaya distraksi selama prosedur intervensi tulang belakang.
Metode: Dua puluh kelinci jantan galur New Zealand dengan berat 3.000-3500 gram yang dibagi menjadi 4 kelompok intervensi (amplitudo TcMEP 80-60%, 60-40%, 40-20%, dan 20-0% (flat) dari amplitudo baseline awal sebelum dilakukan distraksi) dan kelompok kontrol digunakan dalam penelitian ini. Gaya distraksi diberikan intraoperatif menggunakan midline posterior approach pada vertebra lumbal L1-L2 menggunakan alat distraktor yang telah menjalani uji konstanta dan kalibrasi, dimana untuk tiap 1 milimeter peregangan pada alat ini diperlukan gaya distraksi sebesar 16.29 Newton. Monitoring TcMEP intraoperatif diukur pada tiap milimeter distraksi yang diberikan pada masing-masing kelompok intervensi. Gangguan motorik dimonitor pasca operasi, dan pada hari ke-10 dilakukan spinal cord harvesting yang kemudian dinilai secara histopathologis untuk mempelajari perubahan selular maupun struktural yang terjadi.
Hasil: Ditemukan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna (p<0.05) pada penurunan amplitudo TcMEP, jarak distraksi, gaya distraksi yang diperlukan, serta derajat gangguan neurologis dan derajat kerusakan neurologis antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol.
Di antara kelompok intervensi juga ditemukan perbedaan yang berbeda secara bermakna secara statistik dalam hal penurunan amplitudo TcMEP, jarak distraksi, gaya distraksi yang diperlukan, serta derajat gangguan neurologis dan derajat kerusakan neurologis yang terjadi.
Jarak minimum sebesar 18 mm yang sesuai dengan gaya distraksi sebesar 293.22 Newton diperlukan untuk mencapai terjadinya amplitudo TcMEP 0% (flat). Gangguan neurologis ini ditemukan reversibel walaupun ditemukan perubahan iskhemik dengan edema, iskhemia, degenerasi, nekrosis, serta gliosis derajatnya bersesuaian dengan besar distraksi.
Menggunakan uji statistik regresi linear pada monitoring perubahan amplitudo TcMEP pada setiap pertambahan jarak distraksi yang dikenakan pada spinal cord lumbal kelinci coba, melalui penelitian ini didapatkan bahwa hubungan antara jarak distraksi (D) dalam satuan milimeter (mm) dengan amplitudo TcMEP (aTcMEP) pada kelinci coba dapat diformulasikan sebagai berikut :
aTcMEP = 82.069 - (4.844 x D)
Dengan :
aTcMEP = Amplitudo Transcranial Motor Evoked Potential
D = Distraction Distance dalam satuan milimeter (mm)
Dibandingkan dengan kelompok intervensi dari kelompok spinal cord level thorakal, terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik (p<0.05) pada gaya distraksi yang diperlukan untuk menimbulkan penurunan amplitudo TcMEP 80-60%, 60-40%, dan 40-20%.
Diskusi: Derajat distraksi yang direfleksikan dalam jarak dan gaya yang diaplikasikan pada spinal cord regio lumbal akan mengakibatkan timbulnya gangguan neurokonduksi yang bersesuaian dengan besarnya distraksi, yang tercermin pada derajat penurunan amplitudo TcMEP yang terjadi. Derajat ini juga bersesuaian dengan derajat gangguan neurologis dan derajat kerusakan jaringan spinal cord secara histopathologis yang terjadi.
Melalui rumus formulasi hubungan antara jarak distraksi (mm) dengan amplitudo TcMEP (aTcMEP) pada model kelinci coba yang didapatkan yaitu aTcMEP = 82.069 – (4.844 x D), diperlihatkan melalui penelitian ini bahwa perubahan amplitudo TcMEP yang menggambarkan perubahan status neurologis yang terjadi akibat distraksi pada kelinci coba adalah mungkin untuk diperkiraan, sehingga dengan penelitian lebih lanjut mengenai spinal cord, dapat dibangun suatu formulasi yang dapat menjadi perangkat yang berharga bagi ahli bedah dalam operasi intervensi tulang belakang dalam keadaan tanpa alat intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring.
Seperti yang terwakili dalam perbedaan besar gaya distraksi yang diperlukan untuk mencapai derajat gangguan neurologis dan kerusakan jarimgan spinal cord secara histopathologis yang bersesuaian, spinal cord regio lumbal menunjukkan ketahanan yang lebih besar atau lebih tidak rentan terhadap gaya distraksi jika dibandingkan dengan spinal cord regio thorakal.
Kesimpulan: Penelitian ini mengajukan model seberapa besar suatu distraksi diperkirakan masih bisa dianggap aman dengan resiko cedera yang seminimal mungkin secara struktural maupun fungsional pada spinal cord regio lumbal walaupun tanpa bantuan perangkat monitoring neurodiagnostik intraoperatif.
Dengan meningkatnya pemahaman akan biomekanika dan pathofisiologi SCI serta perubahan biokimia dan selular yang terjadi di dalamnya, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi tidak hanya bagi penelitian mendatang mengenai tata laksana SCI serta potensi recovery-nya, namun juga yang paling penting, bagi upaya ke arah pencegahan SCI iatrogenik, terutama selama prosedur intervensi tulang belakang.

Introduction: Acute traumatic spinal cord injury (SCI) is a catastrophic, devastating, life-altering event, with loss of function and poor long-term prognosis, which consequences often persist for life, both for the patient, family, and society at large.(6,7) It is marked by a complex motoric, sensoric, and autonomous disfunction, with severity that mirrors the degree of injury to the neurons of the Central Neural System (CNS), ranging from the foramen magnum to the lowermost spinal regions.
The incidence of traumatic spinal cord injury is approximately 40 SCIs per million persons per year. Traumatic SCI is reported to occur by motor vehicle and workplace accident, falls, violence, sports accident, and other sources of trauma (7%), including iatrogenic cause during spine surgeries.(5) In USA, Europe and Japan, its incidence reaches approximately 30.000 persons per year, and becomes a mainstay for health problem for more than 500.000 patients around the globe. In Asia Pacific regio, a staggering 300-400 new cases have been reported annually, with peak incidence at 28.6 year of age, and approximately half of these patients are of youth demographic, who supposedly at the most productive period of their lives.(6)
The National Institute on Disability and Rehabilitation Research reporting that up to 34.1% patients with history of SCI will live their lives with incomplete tetraplegia, 23% with complete paraplegia, 18,3% with complete tetraplegia, and 18,5% with incomplete paraplegia, with only less than 1% will be lucky enough to gain complete neurological recovery.(5,10) Injury to the thoracic regio usually will cause a complete SCI (73%), while injury to lumbar regio commonly will cause a less severe or incomplete SCI (79%).(2)
SCI on human are mostly caused by combination of tensile force or distraction combined with contusion to vertebral coloumn and spinal cord itself. This distraction force is an integral component in SCI, whether in traumatic or iatrogenic milieu, yet there’s still lack of such an ideal model that capable of mimicking the effect of this force to the spinal cord.(4)
Most new understanding of pathophysiology and current treatment on SCI were based on studies on animal models, and most SCIs including ones that occur in spine surgeries are of bidirectional force, thus a distractor model on experimental animal that able to mimic this bidirectional force would be a more reliable model in mimicking the effect of distraction in SCI on human during spine surgeries.(4)
Spine surgery contributes its own risks to iatrogenic SCI. Procedures that involve intervention to the spine, e.g during curved spine deformity correction and stabilization of the spine using instrumentation such as fixation rods, oftenly involve application of significant amount of distraction force with its potential as a cause of iatrogenic SCI.(3)
Insults that contribute to SCI during spine intervention surgery include cord compression due to vertebral translation, cord kinking, dura buckling, hypoxia secondary to segmental blood vessel ligation and decreased blood pressure, ischemia, and/or direct spinal cord stretching due to distraction forces applied. If excessive, these distraction forces may result in neurological deficit even paralysis, that still occurs in 1-2% of spine surgeries. Prevention to iatrogenic SCI as an important risk in spine surgeries would be the focus of this study.(3)
Considering catastrophic impairment and even permanent paralysis caused by SCI, its prevention is of utmost importance in every possible milieu, not only in transportation, workplace, sports setting, but also intraoperative or iatrogenic SCI. When available, intraoperative electrophysiological monitoring could be very useful for the detection and prevention of iatrogenic SCI. Motor evoked potentials (MEP), obtained by transcranial cortical stimulation (TcMEP), can provide this early detection.
Eventhough intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring could be very beneficial in early identification of intraoperative neurological disturbance, and thus, is such a valuable tool in preventing the incidence or limiting the degree of severity of iatrogenic SCI during spine intervention surgery, its expensive costs and limited availability and the need for its specifically-trained personnels has made its application in each and every spine surgery is still limited, particularly in developing countries with limited resources.(4,33)
This experiment aims to study the correlation of the amount of distraction force applied to experimental animal lumbar spinal cord with its resulted neurological disturbances and histopathological changes. In this study, author proposes an SCI model by applying distraction force to experimental animal lumbar spinal cord using calibrated distractor device, at the same time, neurological disturbances were monitored intraoperatively using TcMEP that will show the degree of amplitude declination that represents its real-time neuroconduction disturbance.(33) Neurological disturbances were also observed clinically, and after spinal cord harvesting, histopathological changes due to injury to the spinal cord were also examined.
This experiment also compares its result with study of effect of distraction to the thoracic spinal cord in animal model performed by colleague Robin Novriansyah, MD(35), with aim to compare the vulnerability between the two spinal cord levels to distraction injury during spine intervention procedures.
Methods: Twenty male New Zealand experimental rabbits weighting 3.000-3.500 grams were divided into 4 intervention groups (80-60%, 60-40%, 40-20%, and 20-0% (flat) amplitude group compared to their baseline amplitude prior to distraction) and control group were used in this study. Distraction force were applied intraoperatively using midline posterior approach to the vertebra L1-L2 using calibrated spinal cord distraction device, in which a force of 16.29 Newton was required for each millimetre of distraction. Declination of Transcranial Motor Evoked Potential (TcMEP) amplitude were measured for each millimetre of distraction applied to each intervention group. Motoric disturbances were also monitored post operatively, and on day 10, after spinal cord harvesting, the spinal cords were examined histopathologically for its degree of selullar and structural damages.
Results: We found that there were statistically significant differences (p<0,005) of TcMEP amplitude declination, distance of distraction, distraction force required, degree of neurological disturbance, and degree of histopathological changes between intervention groups and control group.
Among intervention groups, there were also statistically significant differences on TcMEP amplitude declination, distance of distraction, distraction force required, degree of neurological disturbance, and degree of histopathological changes between each intervention group.
A minimum distance of 18 millimetres of distraction equal to 293.22 Newton of distraction force was required to achieve a flat (0%) TcMEP amplitude in this animal model study. These neurological changes due to distraction force even in flat TcMEPs appear to be clinically reversible eventhough ischemic changes were histopathologically found, represented in the degree of severity of edema, degeneration, ischemia, necrosis, and gliosis findings that correlate to the amount of distraction force applied.
Using statistical linear regression on careful TcMEP amplitude monitoring in each and every additional distraction distance applied to the experimental rabbits’ lumbar spinal cord, through this study we conclude that the relationship between distraction distance (mm) and TcMEP amplitude (aTcMEP) in rabbit animal model can be formulated as :
aTcMEP = 82.069 – (4.844 x D)
When compared to the thoracic spinal cord study, there were statistically significant (p<0,05) differences of distraction force required in lumbar 80-60%, 60-40%, and 40-20% amplitude groups compared to the corresponding thoracic spinal cord groups.
Discussion: Degree of distraction reflected in its distance and force required to be applied to lumbar spinal cord in rabbit experimental model will cause a corresponding degree of neuroconduction disturbance represented in declination of its TcMEP amplitude. This degree also correlates with the degree of neurological disturbances clinically and the degree of histopathological changes in the injured spinal cord tissue represented in the degree of edema, degeneration, ischemia, necrosis, and gliosis findings.
Through the defined formula of relationship between distraction distance in millimeter unit applied with TcMEP : aTcMEP = 82.069 - (4.844 x D) established in this experiment, it is shown that TcMEP amplitude changes that reflect the neurological disturbances due to the applied distraction on rabbit animal model can be predicted, thus through further future spinal cord study, valuable formulation could be established for surgeons during spine intervension surgery in the circumstance without the availability of an intraoperative neuro-electrodiagnostic monitoring device.
Represented in statistically significant more amount of distraction force required to achieve similar degree of neurological disturbance and histopathologically corresponding spinal cord tissue damage, the lumbar spinal cord apparently shows a less vulnerability to distraction force compared to the thoracic spinal cord.
Conclusion: This model offers orthopaedic surgeons an animal model of how far a distraction could still be considered safe with the least risk of injury to the spinal cord structurally and functionally, even without the help of intraoperative neuro-electrodiagnostic device.
With the increasing understanding of the biomechanics and pathophysiology of SCI, and also its biochemical and celullar changes, we hope that this study could share its contribution not only for future study of SCI treatment and its recovery potential, but also of utmost importance, to the prevention of iatrogenic SCI, particularly during spine intervention procedures such as during scoliosis deformity correction surgeries.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>