Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 119863 dokumen yang sesuai dengan query
cover
R.A. Mulya Liansari
"Latar belakang: Metamfetamin merupakan salah satu narkotika yang terbanyak digunakan di Indonesia. Hal ini menimbulkan kondisi ketergantungan metamfetamin yang jumlahnya semakin meningkat seiring dengan berjalannya waktu. Pasien dengan ketergantungan metamfetamin mengalami banyak efek serius yang mencakup kondisi fisik, kondisi psikologis, keuangan, hubungan dengan orang lain, kinerja pekerjaan atau akademik, dan fungsi sehari-hari. Saat ini penanganan terhadap ketergantungan metamfetamin bervariasi jenisnya dan belum ada terapi spesifik untuk mengatasinya di Indonesia. Dialectical Behavior Therapy (DBT) dipertimbangkan untuk digunakan pada ketergantungan metamfetamin karena tujuannya pada perbaikan disregulasi emosi, suatu kondisi yang menjadi salah satu ciri khas ketergantungan metamfetamin. Studi ini bertujuan untuk membuat modul yang diadaptasi dari DBT skills training dengan sasaran mengurangi craving pada pasien ketergantungan metamfetamin.
Metode: Pembuatan modul menggunakan metode studi kualitatif yang terbagi menjadi 3 tahap, yaitu Focus Group Discussion (FGD) dengan 10 orang partisipan studi, diskusi ahli, dan uji coba modul secara kelompok pada 15 orang partisipan studi yang dilakukan dua kali seminggu sebanyak 8 pertemuan. Modul yang digunakan adalah modul DBT skills training pada studi tatalaksana pasien dengan adiksi internet.
Hasil: Penelitian dilakukan sejak Agustus 2023 hingga November 2023 bertempat di Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Lido (tahap 1 dan 3) dan secara daring (tahap 2). Tahap 1 mendapatkan hasil berupa 1) modul dianggap dapat mengurangi craving 2) keterampilan DEAR MAN dianggap tidak perlu diajarkan karena sudah mahir dilakukan, dan 3) pada beberapa lembar kerja perlu ditambahkan keterangan agar jelas hubungannya dengan tujuan mengurangi craving. Tahap 2 berupa diskusi dengan 3 orang ahli menghasilkan kesepakatan bahwa modul dianggap dapat mengurangi craving dan keterampilan DEAR MAN tetap perlu diajarkan dengan pertimbangan aplikasinya tidak hanya dalam konteks mendapatkan zat seperti anggapan peserta FGD, namun lebih luas hingga ke kondisi pemicu craving. Terdapat perubahan kata remaja dan keluarga sebagai subjek dalam modul diganti menjadi pengguna metamfetamin serta penambahan kalimat pembuka pada lembar kerja orientasi dan Interpersonal Effectiveness. Tahap 3 mendapatkan kesimpulan berupa 1) modul dapat membantu mengelola emosi yang pada akhirnya dapat mengurangi craving, 2) tujuan dan kalimat dalam modul dapat dipahami, 3) isi modul tidak ada yang spesifik terkait ketergantungan metamfetamin sehingga dapat saja digunakan untuk ketergantungan zat lainnya, 4) jumlah sesi sebanyak 2 kali untuk setiap lembar kerja dianggap terlalu sedikit karena keterampilan yang diajarkan tidak semuanya dapat langsung dipahami dan dipraktikkan, 5) urutan dari empat latihan keterampilan sebaiknya berurutan sesuai dengan yang diajarkan, 6) lembar kerja regulasi emosi dianggap menjadi yang tersulit untuk dipahami terutama model emosi, dan 7) lembar kerja distress tolerance merupakan bagian yang paling mudah dipahami dan diterapkan. Terdapat saran di latihan paced breathing (nafas teratur) agar dapat diajarkan berbagai metode.
Kesimpulan: Modul adaptasi DBT skills training untuk tatalaksana ketergantungan metamfetamin yang dihasilkan pada penelitian ini dapat membantu mengurangi craving pada pasien dengan ketergantungan metamfetamin.

Background: Methamphetamine is one of the most widely used narcotics in Indonesia. This creates a condition of methamphetamine dependence, the amount of which increases over time. Patients with methamphetamine dependence experience many serious adverse effects including physical condition, psychological condition, finances, relationships with others, work or academic performance, and daily functioning. Currently, there are various types of treatment for methamphetamine dependence and there is no specific therapy to overcome it in Indonesia. Dialectical Behavior Therapy (DBT) is considered for use in methamphetamine dependence because it aims to improve emotional dysregulation, a condition that is one of the hallmarks of methamphetamine dependence. This study aims to create a module adapted from DBT skills training with the target of reducing cravings in methamphetamine-dependent patients.
Method: Module development uses a qualitative study method divided into three stages, namely Focus Group Discussion (FGD) with ten study participants, discussion with three experts, and testing the module on fifteen study participants twice a week for eight meetings . The module used is the DBT skills training module in the study of managing patients with internet addiction.
Result: The research was conducted from August to November 2023 at Balai Besar Badan Rehabilitasi Nasional (BNN) Lido (stages 1 and 3) and online (stage 2). Stage 1 resulted in 1) the module being considered to be able to reduce craving, 2) the DEAR MAN skill does not need to be taught because it is already proficient in doing it, and 3) some worksheets need additional information to make it clear its relationships with craving. Stage 2 resulted in an agreement that the module considered to be able to reduce craving and that the DEAR MAN skill still needed to be taught with consideration that its application not only in the context of obtaining substances but also in conditions that trigger cravings. There is a change in the words youth and family as subjects in the module to methamphetamine users and the addition of an opening sentence to the orientation and Interpersonal Effectiveness worksheet. Stage 3 consists of testing the module which concluded that: 1) the module can help manage emotions which ultimately reduces craving, 2) the objectives and sentences in the module are understandable, 3) the module content is not methamphetamine dependence-specific so it could be used for other substances dependence, 4) the number of sessions which are two times for each worksheet is considered too few, 5) the order of skills training in the module should be sequential according to what is taught, 6) the emotion regulation worksheet is the most difficult to understand, especially the emotion model, and 7) the distress tolerance worksheet is the easiest part understood and applied. There are suggestions for paced breathing exercises so that various methods can be taught.
Conclusion: The adapted DBT skills training module for managing methamphetamine dependence produced in this study can help reduce cravings in patients with methamphetamine dependence.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shahnaz Safitri
"Disabilitas intelektual dikarakteristikkan dengan adanya keterbatasan yang signifikan dalam fungsi intelektual dan perilaku adaptif yang muncul sebelum usia 18 tahun. Dampak disabilitas intelektual yang menonjol pada remaja penyandangnya ialah kegagalan untuk membangun hubungan interpersonal yang diharapkan lingkungan berikut pencapaian prestasi akademis yang rendah. Sementara itu, diketahui bahwa penguasaan keterampilan regulasi emosi dapat menunjang keberfungsian individu, baik dengan mendukung berkembangnya keterampilan sosial yang bersangkutan maupun memfasilitasi kelancaran proses belajar dan adaptasi di sekolah.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas program pelatihan keterampilan regulasi emosi berdasarkan metode Dialectical Behavior Therapy pada remaja dengan disabilitas intelektual. Kekhususan Dialectical Behavior Therapy dalam mengikutsertakan lingkungan sosial dan memperhitungkan kondisi biologis klien ditengarai menjadi kunci untuk mengembangkan kapasitas regulasi emosi pada subjek dengan disabilitas intelektual.
Melalui observasi yang dilakukan terhadap tingkah laku subjek antara sebelum dan sesudah mengikuti program intervensi, ditemukan bahwa terdapat peningkatan dalam hal pengetahuan dan sikap subjek terkait aspek-aspek penguasaan keterampilan regulasi emosi. Lebih lanjut, keterampilan untuk menerapkan teknik regulasi emosi secara konsisten pada subjek dengan disabilitas intelektual sangat terkait dengan dukungan lingkungan sosial yang subjek terima dari sekitarnya.

Intellectual disability is characterized by significant limitations in intellectual functioning and adaptive behavior that appears before the age of 18 years old. The prominent impacts of intellectual disability in adolescents are failure to establish interpersonal relationships as socially expected and lower academic achievement. Meanwhile, it is known that emotion regulation skills has a role in supporting the functioning of individual, either by nourishing the development of social skills as well as by facilitating the process of learning and adaptation in school.
This study aims to look for the effectiveness of Dialectical Behavior Therapy DBT in developing emotion regulation skills for adolescents with intellectual disability. DBT's special consideration toward clients rsquo social environment and their biological condition is foreseen to be the key for developing emotion regulation capacity for subjects with intellectual disability.
Through observations on client's behavior, conducted before and after the completion of DBT intervention program, it was found that there is an improvement in client's knowledge and attitudes related to the mastery of emotion regulation skills. In addition, client's consistency to actually practice emotion regulation techniques over time is largely influenced by the support received from the client's social circles.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2017
T46856
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vitriyanti
"Latar Belakang: simtom psikotik tidak hanya ditemukan pada populasi klinis, tetapi juga pada populasi non-klinis. Simtom psikotik yang muncul pada remaja dapat berkembang menjadi berbagai macam gangguan mental di masa mendatang dan diketahui sebagai faktor risiko berbagai gangguan mental. Orang yang menunjukkan minimal satu simtom psikotik namun tidak memenuhi kriteria untuk ditegakkan diagnosa mengalami psikotik dikategorikan sebagai psychotic like experience (PLE). Penelitian sebelumnya menemukan prevalensi PLE pada remaja anak buruh migran sebesar 78.3%-81.9% sedangkan pada populasi umum sekitar 7-8%. Intervesi dini pada remaja yang menunjukkan simtom PLE dianggap menguntungkan untuk mencegah PLE berkembang menjadi gangguan mental. Dialectical Behavior Therapy (DBT) diketahui efektif membantu mengatasi kekambuhan pada skizofrenia yang memiliki simtom yang mirip dengan PLE sehingga DBT juga diprediksi efektif menurunkan simtom PLE.
Tujuan: menguji penerapan DBT untuk memurunkan simtom PLE pada remaja anak buruh migran di Karawang.
Metode: partisipan pada penelitian merupakan murid SMP di Karawang dengan rentang usia 14 sampai 16 tahun dan merupakan anak buruh migran. Desain penelitian ini adalah repeating treatments within subject. Intervensi terdiri dari satu sesi individu untuk wawancara awal dan 6 sesi kelompok untuk meningkatkan skill behavioral. Skill mindfulness merupakan skill utama yang diajarkan sepanjang latihan skill distress tolerance, regulasi emosi, dan relationship effectiveness. Pengukuran dilakukan degan menggunakan alat skrining PLEs dan SGABS.
Hasil: Peserta menunjukkan penurunan skor pada alat skrining PLEs dan SGABS setelah dilakukan intervensi DBT. Hasil kualitatif menunjukkan peserta mendapatkan manfaat setelah mengikuti kegiatan intervensi. Peserta memiliki skill baru yang efektif dan bermanfaat untuk menghadapi masalahnya.
Kesimpulan: penerapan DBT membantu remaja anak buruh migran dalam mengatasi PLE.

Background: psychotic symptoms have been found in a wide range of population, not only among clinical population but also among non-clinical population. Psychotic symptoms on adolescents could lead to several serious mental illnesses in the future and is attributable as a risk factor to numerous forms of mental illnesses. People who shows minimum one psychotic symptom but do not meet criteria for clinical diagnosis are categorized as having psychotic like experience (PLE). Previous studies revealed that the prevalence of PLEs among left-behind early adolescents was around 78.3 % - 81.9 %, while the prevalence of PLEs among non-left behind children was around 7-8%. Early intervention program for adolescents exhibiting PLE symptoms will be beneficial prevent PLE develop into disorder. Dialectical Behavior Therapy (DBT) has been identified as an effective treatment to prevent relapse on schizophrenia which has similar symptoms with PLE. Hence, it is reasonable to expect that DBT would also be effective to reduce symptoms of PLEs.
Objective: examine the implementation of DBT in managing PLE.
Methods: the participants of this study were junior high school student age between 14 to 16 years old and having status as left-behind early adolescents. This study was a repeating treatments within subject. This intervention was contains of one individual session in initial interview and six group sessions of behavioral enhancement which was mindfulness as a core skill that also learn through skill for distress tolerance, skill for regulation emotion, and skill of relationship effectiveness. The PLEs screening tool and SGABS screening tool were administered to measure the outcomes.
Results: participants showed a decrease on PLEs score and SGABS score after undergoing the DBT intervention. Qualitative inquiries suggest that participants get benefit from participating in the intervention program. Participant gain a new skill that effective and useful to dealing with the problems.
Conclusion: the implementation DBT help left-behind early adolescents in managing PLE.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
T51920
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safer, Debra L.
New York: The Guilford Press, 2009
616.852 6 SAF d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nafisa Alif Amalia
"Beberapa remaja mengalami kesulitan untuk meregulasi emosi. Regulasi emosi yang buruk berhubungan dengan munculnya gangguan psikologis, salah satunya adalah gejala depresi. Ciri khas dari ganggguan depresi atau Major Depressive Disorder (MDD) adalah kesulitan untuk meregulasi emosi, yaitu perasaan negatif yang cenderung menetap dan sulit memiliki perasaan positif. Oleh karena itu diperlukan intervensi yang tepat, yaitu Dialectical Behavior Therapy (DBT), yang bertujuan untuk membantu klien mengatur emosi negatif yang dirasakan dengan menggunakan prinsip dasar dialectical (menerima dan mengubah suatu masalah).
Penelitian ini bertujuan untuk melihat penerapan prinsip Dialectical Behavior Therapy (DBT) dalam menurunkan gejala Major Depressive Disorder (MDD) pada remaja. Intervensi dilakukan dalam 12 sesi dengan memberikan lima keterampilan dasar DBT dan melibatkan orang tua pada sesi intervensi. Instrumen penelitian ini adalah kuesioner Hopelessness Scale of Children (HSC), Child Depression Inventory (CDI), dan kriteria depresi pada DSM-5.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan prinsip Dialectical Behavior Therapy (DBT) dapat menurunkan gejala Major Depressive Disorder (MDD) pada remaja perempuan. Penurunan gejala depresi terlihat melalui menurunnya kriteria MDD pada DSM-5, kuesioner self-report (HSC dan CDI), dan pikiran atau percobaan bunuh diri yang dimiliki, pada saat sebelum (pre-) dan sesudah (post-test dan follow-up) intervensi.

Some adolescents have difficulty in regulating emotions. Poor emotional regulation associated with psychological disorders, one of them is depression symptoms. The hallmark of Major Depressive Disorder (MDD) is the difficulty in regulating emotions, such as difficult to resolve the negative feelings and difficult to have positive feelings. Therefore, an appropriate intervention is needed. One of effective intervention is Dialectical Behavior Therapy (DBT), which aims to help clients regulate perceived negative emotions by using basic dialectical principles (accepting and changing a problem).
This study aims to see the effectiveness of the application Dialectical Behavior Therapy (DBT) principles in reducing depressive symptoms in adolescents with Major Depressive Disorder (MDD). This intervention was conducted in 12 sessions by providing five basic DBT skills and involving parents in the intervention session. The instruments of this research are Hopelessness Scale of Children (HSC), Child Depression Inventory (CDI), and depression criteria on DSM-5.
The result of this study indicate that the application of the Dialectical Behavior Therapy (DBT) principles has proven to be effective in reducing depressive symptoms in adolescent girl with Major Depressive Disorder (MDD). A decrease in depressive symptoms is seen through decreasing MDD criteria on DSM-5, self-report questionnaires (HSC and CDI), and thoughts or suicide attempts, before (pre-) and after (post-test and follow-up) intervention.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
T53985
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adek Setiyani
"Remaja penyalahguna Napza berisiko tinggi kambuh ketika menghadapi masalah atau berada pada situasi berisiko setelah rehabilitasi. Problem-solving therapy dan assertiveness training merupakan tindakan keperawatan yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan penyelesaian masalah dan kemampuan menolak ajakan irasional, sehingga risiko kekambuhan pada remaja penyalahguna Napza menurun. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh problem-solving therapy dan assertiveness training terhadap kemampuan penyelesaian masalah, kemampuan menolak ajakan irasional dan risiko kekambuhan pada remaja penyalahguna Napza yang mengikuti rehabilitasi.
Desain penelitian yang digunakan adalah quasi experimental pre-posttest without control. Jumlah sampel 30 remaja dengan metode consecutive sampling. Responden mendapatkan tindakan keperawatan ners, problem-solving therapy dan assertiveness training. Instrument yang digunakan adalah Advanced Warning Relapse Scale Revised (AWARE), Social Problem Solving Inventory revised (SPSI-R) dan Drug Avoidance Self-Efficacy Scale (DASES). Analisis data menggunakan independent T-test, paired T-test, repeated ANOVA dan Pearson.
Hasil penelitian menunjukkan tindakan keperawatan ners tidak dapat meningkatkan kemampuan penyelesaian masalah dan menurunkan risiko kekambuhan, tetapi mampu meningkatkan kemampuan menolak ajakan irasional. Tindakan keperawatan ners yang dikombinasikan dengan problem-solving therapy dan assertiveness training mampu meningkatkan kemampuan kemampuan penyelesaian masalah dan kemampuan menolak ajakan irasional serta menurunkan risiko kekambuhan. Hubungan kemampuan penyelesaian masalah dan kemampuan menolak ajakan dengan risiko kekambuhan tidak signifikan. Perawat ners dapat memberikan tindakan keperawatan ners koping individu tidak efektif dan perawat ners spesialis dapat mengkombinasikan tindakan keperawatan ners dengan problem-solving therapy dan assertiveness training untuk semakin meningkatkan kemampuan remaja penyalahguna Napza dan menurunkan risiko kekambuhan.

Adolescent substance abusers has a high risk of relapse when facing problems or are in a risky situation after rehabilitation. Problem-solving therapy and assertiveness training are nursing interventions that are expected to be able to improve the ability to solve problems and the ability to reject irrational requests, so that the risk of relapse in adolescent substance abusers decreases. This study aims to determine the effect of problem-solving therapy and assertiveness training on the ability to solve problems, the ability to reject irrational requests and the risk of relapse in adolescent substance abusers who follows rehabilitation.
The research design used was quasi-experimental pre-posttest without control. The size of the samples is 30 adolescents with the consecutive sampling method. Respondents received a nursing intervention, problem-solving therapy and assertiveness training. The instrument used was the Advanced Warning Relapse Scale-Revised (AWARE), Social Problem Solving Revised Inventory (SPSI-R) and Drug Avoidance Self-Efficacy Scale (DASES). Data analysis using independent T-test, paired T-test, repeated ANOVA and Pearson.
The results showed nursing interventions could not improve their ability to solve problems and reduce the risk of relapse, but were able to increase the ability to reject irrational requests. The nursing intervention combined with problem-solving therapy and assertiveness training can improve the ability to solve problems and the ability to reject irrational requests and reduce the risk of relapse. The nurses can provide nursing intervention for ineffective individual coping and mental health nurse specialists can combine that nursing intervention with problem-solving therapy and assertiveness training to further improve the abilities of adolescent substances abuser and reduce the risk of relapse.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T52929
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Siswo Subagyo
"Terapi rumatan substitusi ketergantungan opioida merupakan komponen penting dalam pendekatan berbasis masyarakat , dalam arti disediakan untuk pasien rawat jalan . Hal ini akan membuat pasien tetap bertahan dalam masa terapi serta peningkatan waktu dan kesempatan untuk tetap berada dalam lingkup layanan kesehatan, psikologi, keluarga, perumahan, pekerjaan, isu finansial dan legal selama berhubungan dengan layanan terapi.
Terapi rumatan substitusi opioida ( Program Terapi Rumatan Metadon ) sebagai bagian dari sistem layanan kesehatan, sesungguhnya sudah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 2001 dalam rangka untuk mengurangi dampak lanjutan narkoba ( Harm Reduction).
Program ini dalam pelaksanaannya kurang maksimal ( kurang efektif ), cakupan program pengguna narkoba suntik baru mencapai 13,33 % ( program efektifbila cakupannya mencapai 70% ). Maka dengan berdasarkan hal ini perlu dilakukan penelitian efektifitas pelaksanaan Program Terapi Rumatan Metadon ( Harm Reduction) . Dalam hal ini penelitian dilaksanakan di Puskesmas Kecamatan Tebet, kita ketahui bersama bahwa puskesmas merupakan ujung tombak pelaksanaan pelayanan kesehatan masyarakat (PTRM).
Puskesmas Kecamatan Tebet, Propinsi DKI Jakarta dijadikan tempat untuk pelaksanaan penelitian karena merupakan satu-satunya puskesmas di DKI Jakarta yang menjalin kerjasama dengan Badan Narkotika Nasional dan melaksanakan Program Terapi Rumatan Metadon berdasarkan surat keputusan Ketua BNN Nomor : Skep /60/XI/2007/BNN tentang Pendistribusian Peralatan Dukungan Terapi dan Konseling , Peralatan Sarana Medis untuk OSC & ORC , Peralatan Penunjang dan Meubelair Klinik Adiksi Pusat T&R Lakhar BNN tahun anggaran 2007.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan gambaran tetang efektifitas pelaksanaan PTRM di Puskesmas Kecamatan Tebet dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, dengan menggunakan metode Kualitatif , dengan cara Deskriptif melalui pendekatan manajerial dan sosial.
Dalam penelitian ini di dapat bahwa , jumlah pasien terdaftar di Puskesmas Kecamatan Tebet pada setahun terakhir adalah sebesar = 239 orang, sedangkan yang aktif mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon hanya = 125 orang . Pasien yang Non Aktif berjumlah 114 orang (dengan perincian sebagai berikut : dipenjara = 7 orang, meninggal dunia = 6 orang, pindah ke PTRM lain = 3 orang dan Drop-Out = 98 orang) .
Hasil dari penelitian ini adalah Program Terapi Rumatan Metadon ( PTRM) dinilai efektif , dengan kriteria pasien yang Drop-Out pada tahun I kurang dari 45% ( standar Depkes ). Bila dilihat dari hasil jumlah pasien yang bekerja, hasilnya adalah lebih dari 30% sudah mempunyai kegiatan tetap (bekerja atau sekolah ) dan kondisi kesehatan pasien yang semakin membaik menurut hasil pemeriksaan medis ,tetapi dinilai tidak efektif pada pasien yang dilakukan pemeriksaan urine sewaktu-waktu pada pasien yang dicurigai menggunakan opiat yaitu dengan hasil lebih dari 30% ( standar Depkes).
Program Terapi Rumatan Metadon dapat berjalan dipengaruhi oleh beberapa faktor , yaitu faktor internal ( SDM, Dana , Sarana dan Prasarana ) dan faktor eksternal dalam hal ini adalah faktor Lingkungan ( faktor keamanan, ketertiban , kebersihan dan kenyamanan ). Kendala yang ada di Puskesmas Kecamatan Tebet adalah masih kurangnya tenaga profesional yang melayani PTRM juga masih kurangnya sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
Pada penelitian ini disarankan juga pada pihak Puskesmas untuk memenuhi kebutuhan tenaga ( Psikolog) dan lainnya , serta pemenuhan kebutuhan akan sarana dan prasarna yang utama yaitu ruangan pelayanan tempat gudang obat. Karena perawatan metadon membutuhkan waktu yang cukup lama, maka disarankan juga waktu pelayanan sebaiknya lama dan panjang ( saat ini buka hanya 2 jam saja ) , dan dalam pelaksanan kegiatannya terpisah dengan pelayanan umum lainnya .
Demikian gambaran hasil penelitian yang telah dilakukan, diharapkan dapat bermanfaat serta dapat dijadikan rekomendasi dalam menetukan kebijakan lebih lanjut, semoga.

Treatment substitution therapy heroin dependence is an important component in community-based approach, in the sense provided for outpatient. This will make the patient still survive in the therapy and increasing the time and opportunity to remain in the scope of health care, psychology, family, housing, employment, financial and legal issues related to the service during the therapy.
Treatment substitution therapy heroin (Program Treatment Therapy Methadone) as part of the system of health care services, the already implemented in Indonesia since 2001 in order to reduce the impact of advanced drugs (Harm Reduction).
This program is under implementation in the maximum (less effective), the coverage of the program a new needle drug users reach 13.33% (effective if -ranging program to reach 70%). But this is based on the need to do research the effectiveness of the program Treatment Therapy Methadone (Harm Reduction). In this research was conducted in the District Health Tebet, we know that with a health clinic is the spearhead of the public health service (PTRM).
Community Health Center Tebet District, DKI Province as a place for the research because it is the only health center in Jakarta that a drug addict cooperation with the Agency and the National Program Methadone treatment therapy decree based on the Chairman of NNB Tax: Skep / 60/XI/2007/BNN Support Tools on the distribution of Therapy and Counseling, Medical Facilities Equipment to OSC & ORC, and Tools Supporting Furniture Clinic Center Addict T & R Daily Activity NNB year 2007 budget.
Research was conducted with the aim to gain insight about the effectiveness of the implementation of the health PTRM Tebet District and the factors that to influence , using Qualitative methods, with the Descriptive through managerial and social.
In this research can be in that, the number of patients registered in the District health Tebet in the last year amounted = 239 people, while the active program Treatment Therapy follow Methadone only = 125 people. On the Non-patient of 114 people (with the details as follows: 7 = in jail person, dies = 6 people, moving to another PTRM = 3 people and Drop-Out = 98 people).
Results from this research program is Treatment Therapy Methadone is considered effective, the patient with the criteria that the Drop-Out in the year I of less than 45% ( Standard Department of Health ). When seen from the number of patients who work, the result is more than 30% already have a fixed activity (work or school) and the health condition of the patients improved according to the results of medical examinations, but not considered effective in patients who conducted urine checks on time patients suspected of using heroin he results with more than 30% (Standard Department of Health).
Treatment Therapy Program can run Methadone influenced by several factors, including internal factors (human resources, funds, facilities and infrastructure) and external factors in this case is Environmental factors (factor security, order, cleanliness and comfort). Constraints in The Health Tebet District is still a lack of professional staff who serve PTRM also still a lack of facilities and infrastructure required.
At this research also suggested the parties to meet the health needs of staff (psychologist) and the other, and the need for facilities and equipment the main room of the warehouse where drugs. Because the treatment methadone take a very long time, it also suggested the service should be long and long (open at this time is 2 hours only), and in the conduct separate activities with other public services.
Such a description of the research has been conducted, expected to be useful and can be a policy recommendation in to determine more, hopefully."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2008
T 25583
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kens Napolion
"Isolasi sosial adalah salah satu gejala negatif dari skizofrenia (Stuart, 2009) yang paling banyak ditemukan di ruang Bratasena. Isolasi sosial dapat diartikan sebagai keadaan seorang individu yang mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat, dkk, 2011). Social skills training merupakan salah satu pendekatan psikoedukasional untuk memperbaiki kekurangan pada beberapa kemampuan interpersonal dalam berinteraksi dengan orang lain (Stuart &Laraia, 2005). Cognitive behavior therapy merupakan salah satu bentuk psikoterapi yang didasarkan pada teori bahwa tanda dan gejala fisiologis berhubungan dengan interaksi antara pikiran, perilaku dan emosi (Pedneault, 2008).
Tujuan penulisan karya ilmiah akhir ini adalah menggambarkan penerapan terapi social skills training dan cognitive behavior therapy pada klien isolasi sosial dengan pendekatan Model Hubungan Interpersonal Peplau. Penerapan social skills trainingdilakukan pada 26 kliendan cognitive behavior therapydilakukan pada 15 orang klien di ruang Bratasena pada kurun waktu 20 Pebruari - 20 April 2012.
Hasil terapi Social skills training sangat efektif pada 26 klien isolasi sosialdengan menunjukkan peningkatan dalam berkomunikasi, baik secara verbal maupun non verbal. Terapi Cogntive behavior therapy juga menunjukkan efektifitasnya dimana sebanyak 15 klien mampu menunjukkan kemampuan mengubah pikiran otomatis yang negatif terhadap diri, orang lain, dan lingkungannya. Berdasarkan hasil di atas perlu direkomendasikan bahwa social skills trainingdan cognitive behavior therapydapat dijadikan standar terapi spesialis keperawatan jiwa dan perlu disosialisasikan pada seluruh tatanan pelayanan kesehatan.

Social isolation is one of the negative symptoms of skizofrenia (Stuart, 2009) is mostcommonly found in the Bratasena. Social isolation can be interpreted as the state of an individual who had a reduction or even not at all able to interact with others around them, may feel rejected, not accepted, lonely, and unable to establish meaningful relationships with others (Keliat, et al, 2011). Social skills training is one approach psikoedukasional to correct deficiencies in some interpersonal skills in interacting with others (Stuart &Laraia, 2005). Cognitive behavior therapy is a form of psychotherapy that is based on the theory that the physiological signs and symptoms associated with the interaction between thoughts, behaviors and emotions (Pedneault, 2008).
Purpose of this final scientific work is to describe the application of social skills training therapy and cognitive behavior therapy in client's social isolation with Peplau Interpersonal Relations Model approach. Application of social skills training carried out at 26 clients and cognitive behavior therapy performed on 15 clients in the Bratasena during the period 20 February - 20 April 2012.
Social skills training outcomes are very effective in social isolation with 26 clients showed an increase in communication, both verbal and non verbal. Cogntive therapy behavior therapy also showed its effectiveness in which as many as 15 clients were able to demonstrate the ability to change negative automatic thoughts to yourself, others and the environment. Based on the above results need to be recommended that social skills training and cognitive behavior therapy can be used as standard therapy nursing specialists need to be socialized to whole structure of health services.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2012
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arya Ramadia
"Perilaku kekerasan merupakan respon maladaptif dari marah. Respon Maladaptif yang muncul dari marah dapat mengancam dan membahayakan diri sendiri, keluarga dan lingkungan masyarakat sehingga meraka memerlukan pengobatan dan perawatan dirumah sakit. Tujuan penulisan karya ilmiah akhir ini adalah menggambarkan penerapan terapi cognitive behaviour therapy dan assertive training dengan pendekatan Model Adaptasi Roy pada klien risiko perilaku kekerasan di Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor. Intervensi keperawatan yang dilakukan adalah cognitive behaviour therapy dan assertive training pada 8 orang dan assertive training pada 10 orang klien dalam kurun waktu 17 Februari - 18 April 2014 di Ruang Gatot Kaca RSMM Bogor.
Hasil pelaksanaan cognitive behaviour therapy dan assertive training dapat menurunkan tanda dan gejala perilaku kekerasan pada aspek kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial dan peningkatan kemampuan koping adaptif dalam menghadapi peristiwa yang menimbukan perilaku kekerasan. Berdasarkan hasil diatas rekomendasi penulisan ini adalah terapi cognitive behaviour therapy dan assertive training pada klien risiko perilaku kekerasan dapat dijadikan standar terapi spesialis keperawatan jiwa.

Violence behavior is a maladaptive response of anger. Maladaptive Response that occur in anger can menca and endanger ownself, family and society enviroment so they need treatment and medication in hospital. The aim of this Study is to describe the application of Cognitive Behavior Therapy and assertive training by using Roy Adaptation Model to client risk of violent behavior at Marzoeki Mahdi Hospital. in Bogor. Nursing interventions was cognitive behavior therapy and assertive training on 8 people and assertive training to 10 clients during 17 February to 18 April 2014 at Gatot Kaca Room RSMM in Bogor.
The results of the implementation of assertive training and cognitive behavior therapy may reduce signs and symptoms of violence behavior in cognitive, affective, physiological, behavioral and social and increase in adaptive coping skills to face of events that raises violence behavior. Based on the result above, recommendation from this paper is Cognitive Behavior Therapy and Assertive Training can be used as standard therapy of psychiatric nursing specialist to client with risk of violence behavior Key Word: Risk of Violence Behavior.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Giur Hargiana
"[ABSTRAK
Tujuan diketahuinya pengaruh cognitive behavior therapy terhadap perubahan perilaku merokok, ketergantungan nikotin dan ansietas. Metode Quasi experiment non-equivalent control group pre-test-post test. Sampel 80 perokok diambil secara proportional stratified random. Pengumpulan data diukur dengan kuesioner Glover Nilsson Smoking Behavior, Fagerstrom Test Nicotine Dependence dan Hamilton Anxiety Rating Scale. Hasil Perilaku merokok, ketergantungan nikotin dan ansietas kelompok yang mendapat cognitive behavior therapy menurun secara signifikan (P-value ≤ 0,05) dan ketiganya menunjukan hubungan yang sangat kuat dengan arah positif, sementara pada kelompok yang tidak mendapatkan cognitive behavior therapy ketiganya menunjukan peningkatan. Cognitive behavior therapy direkomendasikan sebagai psikoterapi untuk membantu berhenti merokok.

ABSTRACT
esearch goal Determine effect of cognitive behavior therapy to changes smoking behavior, nicotine dependence and anxiety. Methods Quasi-experimental non-equivalent control group pretest-posttest. Samples 80 smokers by proportional stratified random. Data Collection used Glover Nilsson Smoking Behavior, Fagerstrom Test Nicotine Dependence and the Hamilton Anxiety Rating Scale. Results Smoking behavior, nicotine dependence and anxiety in a group with cognitive behavior therapy significantly decreased (P-value ≤ 0.05) and it was very strong relationship with the positive direction, while in group without cognitive behavior therapy it was increased. Cognitive behavior therapy recommended as psychotherapy to help smoking cessation.
, esearch goal Determine effect of cognitive behavior therapy to changes smoking behavior, nicotine dependence and anxiety. Methods Quasi-experimental non-equivalent control group pretest-posttest. Samples 80 smokers by proportional stratified random. Data Collection used Glover Nilsson Smoking Behavior, Fagerstrom Test Nicotine Dependence and the Hamilton Anxiety Rating Scale. Results Smoking behavior, nicotine dependence and anxiety in a group with cognitive behavior therapy significantly decreased (P-value ≤ 0.05) and it was very strong relationship with the positive direction, while in group without cognitive behavior therapy it was increased. Cognitive behavior therapy recommended as psychotherapy to help smoking cessation.
]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>