Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 191783 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Putri Artanti Batrisyia
"Digitalisasi, meningkatnya konsumerisme, dan kemajuan dalam sektor keuangan telah meningkatkan aksesibilitas produk keuangan di Indonesia. Adapun layanan pinjaman Lembaga Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi digunakan oleh 26 juta peminjam pada tahun 2021. Meskipun demikian, survei oleh Otoritas Jasa Keuangan pada tahun 2022 menemukan bahwa tingkat literasi keuangan Indonesia hanya mencapai 49,68%. Hal ini menimbulkan masalah dimana konsumen dapat mengambil pinjaman tanpa mempertimbangkan kapasitas keuangan mereka sehingga dapat berdampak pada finansial jangka panjang peminjam. Periklanan memiliki peran signifikan dalam memengaruhi penggunaan layanan pinjaman dengan memberikan ruang bagi layanan pinjaman untuk menyampaikan informasi dan mempromosikan produk mereka. Meskipun telah ditemukan perhatian dan kritik dari masyarakat terhadap periklanan layanan pinjaman, pelindungan konsumen periklanan layanan pinjaman di Indonesia cukup terbatas, terutama apabila dibandingkan dengan negara-negara lainnya seperti Australia dan Inggris. Skripsi ini berupaya untuk memahami dan membandingkan perlindungan konsumen dalam periklanan layanan pinjaman di Indonesia, Inggris, dan Australia untuk menentukan pengembangan yang dapat dilakukan terhadap perlindungan konsumen bagi periklanan layanan pinjaman di Indonesia. Skripsi ini dilaksanakan dengan pendekatan yuridis normatif dan menggunakan tipologi penelitian deskriptif- analitis. Penelitian ini menemukan bahwa periklanan layanan pinjaman telah menjadi pokok perhatian di Inggris dan Australia untuk waktu yang lebih lama sehingga telah berkembang pengaturan dan tata kelola yang lebih kuat. Dengan demikian, Indonesia dapat merujuk pada negara tersebut untuk memperkuat pelindungan konsumen terkait dengan periklanan layanan pinjaman, di antaranya dengan menerapkan pengaturan yang dikhususkan bagi periklanan layanan pinjaman, memperkuat peran Dewan Periklanan Indonesia, serta mengembangkan mekanisme pengawasan dan penegakan Otoritas Jasa Keuangan.

Digitalization, increasing consumerism, and advancements in the financial sector have heightened the accessibility of financial products in Indonesia. Notably, Peer-to-Peer Lending saw 26 million lenders using their credit services in 2021. In spite of this, a 2022 survey by Otoritas Jasa Keuangan found that Indonesia's financial literacy rate stands at only 49.68%. This presents a problem, as individuals take on loans without concern towards their financial capacity, leading to long-term financial consequences. Advertising plays a key role in influencing loan service use as it provides a platform for loan services to convey information and promote their products. Despite public attention and criticism towards loan service advertising, regulations and control mechanisms are limited in Indonesia in contrast to countries such as Australia and England. This thesis aims to understand and compare consumer protection in loan service advertising in Indonesia, England, and Australia to determine areas in which Indonesia’s consumer protection may be strengthened. This thesis is carried out with a normative juridical approach using a descriptive-analytical research typology. This research finds that England and Australia have longer-standing concerns about loan service advertising, resulting in stronger regulations and governance. As such, Indonesia may benefit from referencing said countries to strengthen consumer protection for loan service advertising, such as through creating regulations specific to loan service advertising, strengthening the role of Dewan Periklanan Indonesia, and enhancing the supervisory and enforcement mechanisms of Otoritas Jasa Keuangan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Subarkah Syafruddin
"Ketergantungan warga negara Indonesia terhadap kartu kredit telah naik secara drastis dalam dekade terakhir ini. Hal ini mungkin menunjukan semakin bertambahnya masyarakat menengah di negara ini, tetapi sayangnya tidak semua pengguna kartu kredit sadar akan kewajiban utamanya untuk pembayaran. Di sisi yang lain, Bank-bank di Indonesia dihadapkan dengan banyaknya kendala untuk menyelesaikan pembayaran kartu kredit. Sehingga, bank-bank tersebut sering menggunakan debt-collector untuk secara efektif mendapatkan pembayaran.
Dalam hukum Indonesia, debt collector memang tidak dilarang. Tetapi, banyak kasus dimana debt collector menggunakan metode yang mengikutsertakan gangguan, penyiksaan, intimidasi, serangan verbal maupun fisik, blackmails dan cara-cara lainnya. Cara-cara ini mungkin efektif dalam mendapatkan pembayaran. Tetapi hal ini diduga keras melanggar hak-hak konsumen terhadap kenyamanan, keselamatan dan keamanan yang dilindungi dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999.
Menyikapi kekhawatiran dari berbagai macam pihak tentang metode-metode yang digunakan oleh debt collector, Bank Indonesia telah memang membuat beberapa peraturan yang mengatur tentang penagihan hutang kartu kredit. Namun, dalam analisis yuridis normatif yang digunakan dalam skripsi ini, peraturan-peraturan ini Penulis rasa tidak cukup untuk melindungi hak-hak konsumen atas kenyamanan, keselamatan dan keamanan.

Indonesian citizens' reliance on credit card has tremendously increased in the last decade. This fact may suggest the growing number of middle-class citizens in this country, but not all credit card users realize their primary obligation to repayment. On the other hand, Indonesian banks are confronted with a myriad of legal obstacles in securing repayment from their customers. Given such obstacles, banks often resort to hire debt collectors to effectively seek for remedy.
Under Indonesian law, debt collectors are indeed not prohibited. However, many debt collectors have used various methods involving "harassment, abuse, intimidation, verbal and physical attacks, constant blackmails and many others" to secure their clients' right to repayment. These methods might be effective to forcefully acquire the repayment, but they substantially violate the credit card users' rights to comfort, safety and security enshrined in Article 4 of Law No. 8 Year 1999 on Consumer Protection.
In response to various stakeholders' concern on the methods used by debt collectors, Bank Indonesia has indeed enacted some regulations governing debt collection practices. The most recent ones are Bank Indonesia Regulation No. 14/2/PBI/2012 and Bank Indonesia Circular Letter No. 14/17/DASP. However, as will be elaborated in this writing that employs legal normative analysis, these newly enacted regulations are slightly insufficient to protect the credit card users' right to comfort, safety and security.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S44157
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alvioleta Putri
"Eksistensi skuter listrik dan sepeda listrik diminati tinggi oleh publik sehingga hal tersebut memunculkan suatu peluang bisnis. Penyediaan layanan jasa sewa skuter listrik dan sepeda listrik memiliki tantangan tersendiri untuk memastikan pemenuhan hak konsumennya terpenuhi karena risiko terjadi suatu celaka tinggi. Selain inisiatif pelaku usaha, hal tersebut juga dipengaruhi oleh peraturan terkait yang berlaku. Tulisan ini menganalisis terkait pemenuhan hak konsumen Beam Mobility di Indonesia ditinjau berdasarkan perbandingan regulasi skuter listrik dan sepeda listrik serta kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia dan Australia. Penelitian ini memanfaatkan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan perbandingan dengan negara Australia. Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer yang meliputi UU PK, UU No. 22/2009, Permenhub No. PM 45, Australian Road Rules 2009, dan Competition and Consumer Act 2010. Serta, data sekunder berupa hasil wawancara dengan konsumen Beam Mobility di Indonesia. Hasil penelitian menemukan bahwa regulasi skuter listrik dan sepeda listrik di Indonesia belum dapat memberikan pengawasan yang maksimal kepada konsumen karena peraturan terkait perangkat yang aman dan standar keselamatan di setiap daerah dan/kota belum sepenuhnya diterapkan. Sedangkan, Australia telah menerapkan regulasi yang rinci dan ketat di setiap wilayahnya. Akibat hal tersebut, implementasi kebijakan keselamatan Beam Mobility di Indonesia tidak dapat memberikan tingkat perlindungan yang sama dengan Beam Mobility Australia sehingga risiko terjadinya kecelakaan lebih tinggi di Indonesia. Selain itu, Beam Mobility menetapkan klausula baku pengalihan tanggung jawab kepada penggunanya. Hal ini dapat merugikan konsumen karena implementasi kebijakan operasional Beam Mobility di Indonesia belum cukup baik akibat minimnya regulasi yang mengatur tentang skuter listrik dan sepeda listrik. Dengan demikian, pemenuhan hak konsumen Beam Mobility di Indonesia, khususnya hak atas layanan yang aman dan dapat diandalkan, tidak dapat terpenuhi.

The existence of electric scooters and electric bicycles is in high demand by the public so that it creates a business opportunity. The provision of electric scooter and electric bicycle rental services has its own challenges to ensure the fulfillment of consumer rights is fulfilled because the risk of an accident is high. In addition to the initiative of business actors, this is also influenced by the relevant applicable regulations. This paper analyzes the fulfillment of Beam Mobility in Indonesia’sconsumer rights based on a comparison of electric scooter and electric bicycle regulations and consumer protection policies in Indonesia and Australia. This research utilizes a legislative approach and a comparative approach with Australia. The data used in this research are primary legal materials which include the Consumer Protection Law, Law No. 22/2009, Minister of Transportation Regulation No. PM 45, Australian Road Rules 2009, and Competition and Consumer Act 2010. As well as, secondary data in the form of interviews with Beam Mobility consumers in Indonesia. The results found that the regulation of electric scooters and electric bicycles in Indonesia has not been able to provide maximum supervision to consumers because regulations related to safe devices and safety standards in each region and city have not been fully implemented. Meanwhile, Australia has implemented detailed and strict regulations in each region. As a result, Beam Mobility in Indonesia's implementation of safety policies cannot provide the same level of protection as Beam Mobility in Australia, resulting in a higher risk of accidents in Indonesia. In addition, Beam Mobility stipulates a default clause of liability transfer to its users. This can be detrimental to consumers because the implementation of Beam Mobility in Indonesia's operational policies is not good enough due to the lack of regulations governing electric scooters and electric bicycles. Thus, the fulfillment of Beam Mobility in Indonesia's consumer rights, particularly the right to a safe and reliable service, cannot be fulfilled."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Myriam Husna Syahkarim
"Penelitian ini memfokuskan pada analisa pertanggungjawaban Pelaku Usaha kepada Konsumen menurut hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Indonesia, Inggris, dan Belanda. Dalam hal Konsumen menderita kerugian yang disebabkan oleh produk yang diproduksi dan/atau diedarkan oleh Pelaku Usaha, maka berdasarkan product liability, Pelaku Usaha wajib bertanggungjawab kepada Konsumen. Atas dasar kerugian yang dialami Konsumen akibat produk cacat yang diproduksi dan/atau diedarkan oleh Pelaku Usaha, maka Pelaku Usaha wajib bertanggungjawab atas kerugian tersebut, namun tulisan ini tidak akan membahas mekanisme penyelesaian sengketa baik melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) maupun pengadilan, melainkan tulisan ini akan berfokus pada analisa pertanggungjawaban Pelaku Usaha terhadap Konsumen. Pada dasarnya, hukum Indonesia, dan hukum Inggris dan Belanda sebagai pembanding memiliki pengaturan yang berbeda-beda terkait product liability dan pengaturan tentang batasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen. Indonesia tidak menganut prinsip strict liability secara sempurna, dimana prinsip strict liability dalam UU Perlindungan Konsumen mensyaratkan adanya unsur kesalahan, yang mana hal ini berbeda dengan hukum perlindungan konsumen yang berlaku di Inggris dan Belanda. Selain itu, mengacu pada Product Liability Directive yang dikeluarkan oleh Uni Eropa, hukum Inggris dan Belanda melarang adanya ketentuan pembatasan pertanggungjawaban Pelaku Usaha kepada Konsumen untuk hal-hal tertentu, sebagaimana yang tercermin pada masing-masing peraturan perundang-undangannya (CPA 1987 (Inggris), CRA 2015 (Inggris), NBW (Belanda)) (dan yurisprudensi). Hal ini berbeda dengan hukum Indonesia, yang mana UU Perlindungan Konsumen sama sekali tidak mengatur ketentuan larangan pembatasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen. Sebagai kesimpulan, UU Perlindungan Konsumen dapat mengadopsi ketentuan hukum perlidungan konsumen yang berlaku di Inggris dan Belanda, yang mana pada hukum tersebut telah diatur ketentuan definisi “produk cacat” yang merupakan pilar dalam menentukan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen, pengaturan dan implementasi strict liability yang jelas, dan pengaturan yang jelas mengenai larangan pembatasan tanggung jawab Pelaku Usaha kepada Konsumen.

This study focuses on the analysis of the liability of Business Actors to Consumers according to consumer protection laws in force in Indonesia, England and the Netherlands. In the event that the Consumer suffers a loss caused by the product produced and/or distributed by the Business Actor, then based on product liability, the Business Actor is responsible to the Consumer. On the basis of losses suffered by consumers as a result of defective products produced and/or distributed by Business Actors, Business Actors are obliged to be responsible for these losses, however this study will not discuss the dispute resolution mechanism either through the Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) or the courts, but this study will focus on the analysis of the accountability of Business Actor to Consumer. Fundementally, Indonesian law, and English and the Netherlands law as comparisons have different regulations regarding product liability and limits of liability of Business Actos to Consumers. Indonesia does not adhere the strict liability principle perfectly to its regulations, in which the strict liability principle in the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) requires an element of fault, where such regulation is different from the prevailing consumer protection laws of England and the Netherlands. In addition, referring to the Product Liability Directive issued by the European Union (EU), English and Dutch laws prohibit provisions limiting the liability of Business Actors to Consumers for certain matters, as reflected in their respective laws and regulations (CPA 1987 (England) , CRA 2015 (England), NBW (the Netherlands)) (including jurisprudence). This is different from Indonesian law, where the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) does not regulate prohibition to limit the responsibility of Business Actor to Consumers. In conclusion, the Consumer Protection Law (UU Perlindungan Konsumen) shall adopt the provisions of consumer protection law of English and Dutch Law, where these laws have regulated the definition of "defective product" which is a pillar in determining the responsibility of Business Actor to Consumers, clear and definite regulation regarding the implementation of strict liability and the prohibition Business Actor responsibility to Consumers."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanna Shabira Kaza Novianto
"Meningkatnya kesadaran masyarakat sebagai konsumen tentang isu lingkungan, mendorong konsumen untuk menerapkan pola hidup yang lebih baik salah satunya dengan memilih produk yang ramah bagi lingkungan. Hal ini mendorong pelaku usaha untuk memenuhi permintaan konsumen dengan mengeluarkan produk ramah lingkungan. Produk ramah lingkungan pada umumnya banyak menggunakan klaim ramah lingkungan untuk menunjukkan aspek lingkungan yang ditekankan pada suatu produk. Klaim ramah lingkungan menyatakan bahwa suatu produk, layanan, proses, merek, atau bisnis adalah baik bagi lingkungan. Salah satu cara yang dilakukan pelaku usaha untuk menarik perhatian konsumen adalah dengan menggunakan klaim ramah lingkungan pada produk mereka, akan tetapi dalam praktiknya terdapat penggunaan klaim ramah lingkungan yang menyesatkan oleh pelaku usaha dan hal ini dapat mempengaruhi konsumen dalam memutuskan pilihan yang dapat menimbulkan kerugian bagi konsumen. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen merupakan salah satu landasan hukum untuk memberikan pelindungan konsumen yang merasa haknya telah dilanggar. Peraturan mengenai klaim ramah lingkungan di Indonesia dapat merujuk kepada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan beberapa ketentuan lainnya yang dapat menjadi acuan dalam penggunaan klaim ramah lingkungan di Indonesia. Berbeda dengan negara Inggris yang telah memiliki panduan khusus mengenai pembuatan klaim ramah lingkungan di bawah undang-undang pelindungan konsumen Inggris. Melalui metode penelitian yuridis normatif, penelitian ini akan membahas mengenai hubungan antara klaim ramah lingkungan dalam melindungi kepentingan konsumen dan perbandingan pengaturan terkait klaim ramah lingkungan di Indonesia dengan Inggris. Melihat klaim ramah lingkungan yang dapat menyesatkan konsumen, maka menjadi penting untuk adanya peraturan maupun panduan khusus yang mengatur penggunaan klaim ramah lingkungan di Indonesia.

Increasing public awareness as consumers about environmental issues encourages consumers to adopt a better lifestyle, which is by choosing products that are good for the environment. This encourages business to fulfill consumer demand by making environmentally friendly products. Environmentally friendly products generally use green claims to show the environmental aspects that are emphasized in the product. Green claims state that a product, service, process, brand, or business is good for the environment. To attract consumers attention, business is using green claims on their products, but in practice there are misleading green claims made by business and this can cause harm to consumers because it can affect consumers in making decisions for buying products. Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection is one of the legal basis to provide protection for consumers who feel their rights have been violated. Regulations regarding green claims in Indonesia can refer to Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection and several other provisions which can be used as references in the use of green claims. In contrast to the United Kingdom, which already has specific guidance regarding green claims under the United Kingdom consumer protection law. Through normative juridical research methods, this research will discuss the relation between green claims in protecting consumer interests along with comparisons of regulations related to green claims in Indonesia and the UK. Being aware of green claims that can mislead consumers, it is important to have specific regulations or guidelines governing the use of green claims in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fardhan Hegazi Affandi
"Pengiriman paket melalui marketplace dengan metode Cash On Delivery COD tanpa persetujuan konsumen sering terjadi dalam transaksi marketplace di Indonesia. Konsumen menerima paket barang yang tidak pernah dipesan melalui marketplace, yang seringkali tidak sesuai dengan keinginan atau kebutuhan mereka. Praktik ini merugikan konsumen secara finansial dan mengancam privasi data mereka. Penjual melakukan praktik ini untuk meningkatkan penjualan atau menawarkan barang menarik. Pelindungan hukum bagi konsumen dalam transaksi marketplace di Indonesia telah diatur dalam beberapa undang-undang dan peraturan pemerintah, termasuk Undang- Undang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Meskipun demikian, masih terjadi banyak pelanggaran yang merugikan konsumen di marketplace. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 secara khusus mengatur masalah pengiriman barang tanpa persetujuan konsumen, yang melarang pelaku usaha membebankan kewajiban pembayaran atas barang yang dikirim tanpa dasar kontrak. Namun, walaupun sudah ada regulasi-regulasi yang mengatur masih banyak terjadi kasus pelanggaran dalam marketplace mengenai pengiriman barang melalui marketplace dengan metode Cash On Delivery (COD) tanpa persetujuan konsumen yang dapat merugikan konsumen. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif tulisan ini akan menganalisis mengenai bagaimana pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi konsumen, metode pembayaran Cash On Delivery (COD) , dan perjanjian jual beli secara umum serta bagaimana tanggung jawab para pelaku usaha terkait kerugian yang ditimbulkan pada konsumen.

The delivery of packages through marketplaces using the Cash On Delivery (COD) method without consumer consent is common in e-commerce transactions in Indonesia. Consumers receive unsolicited packages that often do not meet their preferences or needs. This practice financially harms consumers and threatens their data privacy. Sellers engage in such practices to boost sales or offer attractive products. Legal protection for consumers in marketplace transactions in Indonesia is regulated by various laws and government regulations, including the Consumer Protection Act, the Information and Electronic Transactions Act, Government Regulation No. 71/2019 on the Organization of Electronic Systems and Transactions, and Government Regulation No. 80/2019 on Trade through Electronic Systems. However, despite these regulations, many violations that harm consumers still occur in marketplaces. Specifically, Government Regulation No. 80/2019 addresses the issue of unsolicited package delivery, prohibiting businesses from imposing payment obligations for goods sent without a contractual basis. Nevertheless, numerous cases of violations regarding the delivery of goods through marketplaces with the Cash On Delivery (COD) method without consumer consent continue to harm consumers. Using a normative juridical research method, this paper will analyze the legal protection for consumers, the Cash On Delivery (COD) payment method, general sales and purchase agreements, as well as the responsibility of business entities regarding the losses incurred by consumers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Agatha Helena P. S.
"Walaupun telah kemudahan kepada masyarakat, layanan Equity-Based Crowdfunding sendiri masih memiliki permasalahan yang dapat menimbulkan konflik dan ambiguitas bagi masyarakat itu sendiri. Ambiguitas ini meliputi peran yang dimiliki masyarakat yang ingin membeli saham melalui platform penyelenggara tersebut. Apakah sekelompok masyarakat ini dapat disebut sebagai konsumen atau tidak yang menjadi salah satu isu yang sampai sekarang belum diperoleh penyelesaiannya. Keterbatasan definisi 'konsumen; yang diberikan baik dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1 Tahun 2013 ini yang menjadi salah satu penyebab isu tersebut. Ketidakjelasan makna 'konsumen' ini pada akhirnya akan berdampak pada pertanggungjawaban penyelenggara platform equity-Based crowdfunding dalam melindungi hak-hak msyarakat pengguna layanan tersebut. Melalui penelitian yuridis-normatif, tulisan ini membahas tentang pengertian dari konsumen dan pertanggungjawaban penyelenggara platform dalam hal pelaksanaan equity-Based crowdfunding. Penelitian ini juga akan melihat kebijakan internal yang dimiliki oleh beberapa platform penyelenggara equity-Based crowdfunding di Indonesia.

Although Equity-Based Crowdfunding services has contributed many conveniences for the community, the implementation of this activity raised some problems that can cause conflict and ambiguity for the community itself. This ambiguity includes the role of the people who want to buy shares through the platform. Whether this group of people can be called a consumer or not is one of the issues that has not yet been resolved. Limitation of the definition of 'consumers' given both in Act No. 8/1999 concerning Consumer Protection and Financial Services Authority Regulation No. 1/2013 is one of the main factor to this issue. The vague meaning of 'consumers' in this activity will ultimately have an impact on the accountability of the organizers of the equity-based crowdfunding platform in protecting the rights of the users of these services. Through a juridical-normative research, this thesis will discuss the understanding of consumers and the accountability of platform operators in the implementation of equity-based crowdfunding. This research will also look at internal policies held by several equity-based crowdfunding organizing platforms in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Amarina Aswonoputro
"The existence of the National Payment Gateway (NPG) program in Indonesia is a major effort for the development and progress of the payment system in Indonesia. Unfortunately, there are many obstacles and weaknesses in their implementation that have caused difficulties and losses for consumers, both based on direct and / or indirect impacts. This undergraduate thesis aims to analyze how the National Payment Gateway is implemented, executed, and refers to aspects of consumer protection in Indonesia. This document discusses the different conditions of payment systems in Indonesia before and after the National Payment Gateway was established, and links it to the provisions in the Consumer Protection Act No. 8 of 1999 concerning Consumer Protection and with Bank Indonesia Regulation No. 16/1 / PBI / 2014 concerning Consumer Protection in the Payment System. This is a normative juridical research approach, using secondary sources including interviews with 3 (three) informants who received a direct impact from the National Payment Gateway. Research shows that compatibility between the National Payment Gateway and the Consumer Protection Act and Consumer Protection Regulations in the Payment System needs to be adjusted and reviewed in its implementation. In conclusion, after identifying the implementation of the National Payment Gateway that affects customers, traders and banks, it was found that in implementing the National Payment Gateway, Bank Indonesia needs to pay attention to these consumer protection principles: (i) benefits; (ii) fairness; (iii) balance; (iv) security; (v) legal certainty, (vi) fairness and reliability; (vii) transparency; (viii) data protection and / or consumer information; and (ix) effective handling and resolution of complaints.

Keberadaan program National Payment Gateway (NPG) di Indonesia merupakan upaya utama untuk pengembangan dan kemajuan sistem pembayaran di Indonesia. Sayangnya, ada banyak kendala dan kelemahan dalam implementasinya yang telah menyebabkan kesulitan dan kerugian bagi konsumen, baik berdasarkan dampak langsung dan / atau tidak langsung. Tesis sarjana ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana National Payment Gateway diimplementasikan, dieksekusi, dan mengacu pada aspek perlindungan konsumen di Indonesia. Dokumen ini membahas berbagai kondisi sistem pembayaran di Indonesia sebelum dan setelah National Payment Gateway didirikan, dan menghubungkannya dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan dengan Peraturan Bank Indonesia No. 16/1 / PBI / 2014 tentang Perlindungan Konsumen dalam Sistem Pembayaran. Ini adalah pendekatan penelitian yuridis normatif, menggunakan sumber sekunder termasuk wawancara dengan 3 (tiga) informan yang menerima dampak langsung dari National Payment Gateway. Penelitian menunjukkan bahwa kompatibilitas antara Gateway Pembayaran Nasional dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen dan Peraturan Perlindungan Konsumen dalam Sistem Pembayaran perlu disesuaikan dan ditinjau dalam implementasinya. Kesimpulannya, setelah mengidentifikasi implementasi Gateway Pembayaran Nasional yang mempengaruhi pelanggan, pedagang dan bank, ditemukan bahwa dalam mengimplementasikan Gateway Pembayaran Nasional, Bank Indonesia perlu memperhatikan prinsip-prinsip perlindungan konsumen ini: (i) manfaat; (ii) keadilan; (iii) keseimbangan; (iv) keamanan; (v) kepastian hukum, (vi) keadilan dan keandalan; (vii) transparansi; (viii) perlindungan data dan / atau informasi konsumen; dan (ix) penanganan dan penyelesaian pengaduan yang efektif."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sompotan, Henry Theodore
"Skripsi ini membahas tentang tinjauan hukum terhadap penyelenggaraan layanan bundling Triple Play di Indonesia mengenai status hukum dan pengawasan terhadap layanan Triple Play berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap konsumen dari layanan bundling serta membandingkan penyelenggaraan layanan Triple Play di negara lain. Penelitian hukum dalam skripsi ini menggunakan penelitian hukum normative dengan menganalisis kaedah-kaedah hukum dalam aturan perundang-undangan yang terkait, penelitian deskriptif yang menggambarkan mengenai definisi, konsep, dan ragam bentuk dari layanan Triple Play dan juga menganalisis hubungan perlindungan konsumen dengan hukum persaingan usaha di Indonesia menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. Di Indonesia, dalam layanan Triple Play oleh IndiHome terdapat beberapa isu yang melibatkan pelaku usaha dan konsumen, dalam penelitian ini beberapa isu terkait dianalisis berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Selain itu, sistem pengawasan oleh Kementerian terkait mempunyai andil dalam melindungi konsumen dari layanan Triple Play yang masih diatur oleh beberapa peraturan perundang-undangan yang berbeda. Oleh karena itu, diharapkan kepada Pemerintah Indonesia agar membuat suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai layanan Triple Play yang kedepannya akan memberikan keamanan dan kenyamanan terhadap konsumen dan pelaku usaha.

This thesis aims to analyzed the legal aspect on bundling service provided by telecommunication services in terms of the legal status and the supervision on Triple Play services based on Law number 8 Year 1999 on Consumer Protection which aims to provide protection for the consumer of bundling services while also comparing the protection of Triple Play consumer in other States. The legal research in this thesis is normative manner by analyzing legal principles embedded in laws and regulations, descriptive research also emphasizes definition, concept, and forms of Triple Play bundle services, while analyzing the relation between consumer protection law aspect and competition law aspect in Indonesia in accordance with the prevailing laws and regulations. In Indonesia, Triple Play services as provided by Telkom in the form of IndiHome has several issues regarding the violation of right of consumer, these issues would be analyzed from the perspective of Consumer Protection Law. Besides of that, the supervision authority granted to Minister of Trade is analyzed in purpose of analyzing the effort by the government to provide a comfort and stability in the Triple Play bundling service in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69776
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rafaa Karimah Suyanto
"Tingginya angka penjualan konsumen menyebabkan pelaku usaha berlomba-lomba mempromosikan produknya melalui iklan. Promosi teersebut tentunya dilakukan dengan semenarik mungkin untuk menarik perhatian konsumen. Salah satu cara untuk menarik perhatian konsumen adalah dengan menggambarkan kecantikan yang sempurna. Namun penggambaran kecantikan yang sempurna tidak dimiliki secara penuh oleh manusia,
sehingga pelaku usaha melakukan cara tersebut dengan teknik manipulasi visual. Penggunaan teknik manipulasi visual pada dasarnya diperkenankan untuk tujuan hiburan, bukan sebagai penggunaan dalam iklan kosmetik. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 pun tidak mengatur secara lebih lanjut terhadap penggunaan manipulasi visual dalam periklanan. Hal tersebut menyebabkan adanya celah bagi pelaku usaha untuk menggunakan teknik manipulasi visual yang dapat mengelabui konsumen yang awam atas manipulasi visual dalam periklanan. Bila mengamati dengan kasus manipulasi visual dalam iklan kosmetik yang ada di Inggris, manipulasi visual di Inggris sebenarnya
diperkenankan selama tidak mengubah fungsi produk yang diiklankan. Pengaturan mengenai manipulasi visual dalam iklan kosmetik di Inggris juga sudah lebih mengatur secara sempit, sehingga terhadap praktik maupun pengawasan periklanan di Inggris
menjadi lebih mudah bagi pelaku usaha, konsumen, ataupun otoritas pengawas di Inggris. Melalui metode penelitian yuridis-normatif, penelitian ini hendak membahas kesesuaian pengaturan hukum di Indonesia terhadap manipulasi visual iklan kosmetik beserta
perbandingan dengan Inggris, serta pertanggungjwaban dari pihak yang berkaitan dan penyelesaian sengketa apabila konsumen merasa dirugikan. Manipulasi visual dalam iklan kosmetik yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah seharusnya ditindak dengan tegas oleh otoritas setempat, salah satunya dapat melalui BPSK dengan memberikan fungsi bagi BPSK untuk dapat memberikan sanksi.

High sale of cosmetics made businesses compete in promoting their products through advertisements. Promotions through advertisements is certainly done as attractive as possible to attract consumers’ attention. One way to attract costumers’ attention is to show flawless beauty. However, the depiction of flawless beauty is not completely owned by humans, so businessmen use visual manipulation techniques to produce flawless beauty. The use of visual manipulation techniques basically is allowed for entertainment purposes, not for uses on cosmetic advertisement which may change the efficacy of the
advertised product. The Consumer Protection Law No. 18/1999 does not further regulate the use of visual manipulation techniques. With absence of regulation on visual manipulation techniques by The Consumer Protection Law, this may create an opportunity for businessmen to use visual manipulation techniques that may mislead consumer who did not know about visual manipulation in advertisements. The case of
visual manipulation in cosmetic advertisements in UK, it is allowed if it doesn’t change the efficacy of the advertised product. UK regulations on visual manipulation of cosmetic advertisements are regulated narrowly and has guidance for businessmen to use visual manipulation, so the practice and supervision of cosmetic advertisements in UK becomes
easier for businesses, consumers, or supervisory authorities in UK. Through juridicalnormative research method, this study aims to discuss the suitability of legal arrangements in Indonesia for visual manipulation on cosmetic advertisements along with comparisons on UK, as well as the responsibilities of related parties and dispute resolution on consumer protection. Visual manipulation on cosmetic advertisements that does not comply with laws and regulations in Indonesia must dealt strictly by local authorities, one of which can be through BPSK by giving BPSK a function to be able to impose sanctions.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>