Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160745 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jonathan Saputra
"Pengaturan mengenai merek di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Persamaan merek dengen merek terkenal adalah salah satu dasar untuk membatalkan pendaftaran suatu merek. Dalam sengketa merek yang memiliki persamaan dengan merek terkenal, seringkali dianggap terdapat iktikad tidak baik. Tulisan ini menganalisis apakah persamaan dengan merek terkenal untuk barang tidak sejenis langsung membuktikan iktikad tidak baik berdasarkan putusan pengadilan. Tulisan ini mengkaji asas-asas hukum dengan menggunakan metode yuridis normatif mengenai perlindungan merek terkenal di Indonesia. Metode ini digunakan dalam menganalisis perkara-perkara perlindungan merek terkenal yang sudah dituangkan dalam putusan pengadilan. Putusan pengadilan yang digunakan dalam kasus ini adalah sengketa merek Starbucks, Puma, Versus, Giordano, dan Maple Leaf. Kesimpulan yang diperoleh dari skripsi ini adalah bahwa pemilik merek yang mereknya memiliki persamaan dengan merek terkenal selalu dinyatakan memiliki iktikad tidak baik dengan dikaitkannya keterkenalan merek dan persamaan pada pokoknya.

Regulations regarding trademark in Indonesia are regulated in Law Number 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications. Similarity of a mark to a well-known mark is one of the grounds for canceling the registration of a mark. In disputes over trademark that are similar to well-known trademark, it is often assumed that there is bad faith. This paper analyzes whether similarities with well-known brands for dissimilar goods directly prove bad faith based on court decisions. This article examines legal principles using normative juridical methods regarding the protection of well-known brands in Indonesia. This method is used in analyzing well-known brand protection cases that have been outlined in court decisions. The court decisions used in this case are the Starbucks, Puma, Versus, Giordano and Maple Leaf trademark disputes. The conclusion obtained from this thesis is that trademark owners whose tradenarks have similarities with well-known trademark are always declared to have bad faith by linking trademark fame and similarities in essence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aussielia Amzulian
"Itikad tidak baik merupakan salah satu dasar untuk membatalkan pendaftaran suatu merek. Pada sengketa merek yang memiliki persamaan dengan merek terkenal, itikad tidak baik seringkali dianggap ada. Pertanyaan pokok yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah apakah pemilik merek terdaftar yang mereknya memiliki persamaan dengan merek terkenal dapat selalu dianggap memiliki itikad tidak baik dalam mendaftarkan dan menggunakan mereknya. Tulisan ini menganalisis berbagai sengketa merek terkenal dalam putusan pengadilan. Kesimpulan yang diperoleh dari tulisan ini adalah bahwa pemilik merek terdaftar yang mereknya memiliki persamaan dengan merek terkenal tidak dapat selalu dianggap memiliki itikad tidak baik, karena terdapat beberapa faktor yang dapat dipertimbangkan dalam membuktikan adanya tidaknya itikad tidak baik dari suatu pihak.

Bad faith is one of the reasons to cancel an application of a trademark. In trademark disputes, when having similarities with a well-known mark, judges often assume that the trademark owner always has bad faith. The legal issue in this article is whether a trademark owner that it?s trademark has similarities with a well-known mark always has bad faith in filing and using it?s trademark. This article will analyze well-known mark cases from court rulings. This article concludes that bad faith doesn?t always exist when a trademark has similarities with a well-known mark, because there are some conditions that could be considered to prove that a party does not have bad faith.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S61805
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dimas Adi Pramono
"Skripsi ini membahas perlindungan hukum bagi pemilik merek lokal yang mereknya memiliki kemiripan dengan merek terkenal asing. Pembahasan dalam skripsi ini didasarkan pada sengketa merek terkenal IKEA melawan merek lokal IKEMA yang telah diputus sampai tingkat Peninjauan Kembali. Dalam sengketa merek ini, terdapat perbedaan jenis barang atau jasa. Sedangkan Peraturan Pemerintah untuk mengatur tentang persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya untuk barang atau jasa tidak sejenis belum dibentuk. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan metode deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Ikea adalah merek terkenal. Pemilik merek Ikema mendaftarkan mereknya dengan itikad baik dan Ikema tidak memiliki persamaan pada pokoknya dengan merek Ikea karena terdapat perbedaan jenis barang atau jasa antara merek tersebut.

This thesis discusses about the legal protection for the owner of a local trademark that the trademark has similarities with well-known mark. The discussion in this thesis is based on dispute between well-known mark IKEA against local trademark IKEMA that has been decided by the court. In this trademark dispute, there are different types of goods or services. While government regulation to regulate likelihood of confusion with dissimilar goods or services has not been established. This research use qualitative descriptive method. The results showed that Ikea is a well-known mark. Ikema owners register that trademark in good faith and Ikema doesn’t have likelihood of confusion with Ikea because there are differences the types of goods or services in that trademark.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57629
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yustica Labora
"Pembatalan merek terdaftar merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk melindungi suatu merek dari tindakan curang oleh pihak lain. Alasan-alasan yang dapat digunakan untuk mengajukan suatu pembatalan merek diatur di dalam Pasal 20 dan/atau Pasal 21 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016. Salah satu alasan yang diatur dalam ketentuan tersebut adalah mengenai adanya iktikad tidak baik dengan meniru atau menjiplak suatu merek terkenal. Pembuktian adanya iktikad tidak baik merupakan hal yang tidak mudah karena harus mengaitkan dengan masalah persamaan pada merek serta merek terkenal. Mengenai persamaan pada merek, dapat dilihat dalam Pasal 21 ayat (1), sementara mengenai merek terkenal dapat meninjau Penjelasan Pasal 21 ayat (1) huruf b serta Pasal 18 Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 67 Tahun 2016. Dalam penerapannya, itikad tidak baik masih sering terjadi sehingga perlu penegakan hukum terkait hal tersebut.

Cancellation of a registered trade mark is one of the efforts made to protect a trade mark from the fraudulent actions of other parties. The grounds that can be used to apply for a trade mark cancellation are regulated in Article 20 and/or Article 21 of Law Number 20 of 2016. One of the grounds stipulated in the provision is the existence of bad faith by imitating or plagiarizing a trade mark. Proving the existence of bad faith is not easy because it must relate to the issue of similarities in trade mark and well-known trade mark. Regarding the similarities of trade mark, it can be seen in Article 21 paragraph (1), while the well-known trade mark can be reviewed in the Explanation of Article 21 paragraph (1) letter b as well as the Article 18 of Minister of Law and Human Rights Regulation Number 67 of 2016. In practice, bad faith still often occurs, so law enforcement is needed in this regard."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adham Ramadhan Jatikansha
"Kepastian hukum menjadi hal penting yang harus tersedia dalam perlindungan hukum merek di Indonesia. Perkembangan isu merek di dunia melahirkan isu terbaru yang salah satunya adalah klaim parodi merek, dalam sengketa merek terkenal tindakan parodi merek digolongkan sebagai tindakan yang beritikad buruk. Tindakan parodi merek yang muncul pada sengketa merek terkenal melahirkan pertanyaan hukum yang berkaitan dengan bagaimana pengaturan mengenai merek terkenal di Indonesia berkaitan terhadap tindakan parodi merek dan bagaimanakan batasan perlindungan klaim parodi merek antara Indonesia dengan Amerika Serikat. Pada penelitian ini penulis melakukan analisis yuridis sekaligus studi banding berkaitan dengan sengketa parodi merek terkenal di Indonesia dan Amerika Serikat. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 pada saat ini belum mengakomodir kepastian perlindungan hukum merek terkenal dari tindakan parodi merek. Perlindungan hukum dilusi merek dan identifikasi sumber menjadi pengaturan sekaligus batasan khusus yang menjamin perlindungan hukum merek terkenal di Amerika Serikat dari tindakan parodi merek yang beritikad buruk. Perlindungan hukum merek terkenal di Indonesia pada dasarnya memerlukan perlindungan dan kepastian hukum tambahan untuk menganalisis perlindungan serta batasan perlindungan parodi merek terkenal.

Legal certainty is an important thing that must be available in the protection of trademark law in Indonesia. The development of trademark issues in the world gave birth to the latest issues, one of which is the claim of trademark parody, in the famous trademark dispute the act of trademark parody is classified as an act of bad faith. Trademark parody actions that arise in well-known trademark disputes give birth to legal questions relating to how the regulation of well-known trademarks in Indonesia relates to trademark parody actions and how the protection limits of trademark parody claims between Indonesia and the United States. In this research, the author conducts a juridical analysis as well as a comparative study related to famous mark parody disputes in Indonesia and the United States. Law Number 20 Year 2016 at this time has not accommodated the certainty of legal protection of well-known trademarks from acts of trademark parody. The legal protection of brand dilution and source identification become special arrangements as well as limitations that guarantee the legal protection of famous marks in the United States from acts of bad faith brand parody. The legal protection of famous marks in Indonesia basically requires additional protection and legal certainty to analyse the protection as well as the limitation of protection of famous mark parody."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kanya Salsabila
"Skripsi ini membahas mengenai pelindungan merek dan merek terkenal di Indonesia yang diatur pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dan peraturan lainnya yang berlaku untuk melindungi apabila terjadinya sengketa merek yang disebabkan oleh merek tidak digunakan yaitu dengan cara trademark squatting yang dilakukan oleh pemohon beriktikad tidak baik. Kasus yang ditinjau pada skripsi ini adalah Gildan Activewear SRL melawan Darmanto (Merek ALSTYLE). Pembahasan pada skripsi ini adalah analisis dari proses pembuktian dengan menguraikan alat-alat bukti yang memenuhi kriteria merek terkenal yang telah diatur oleh ketentuan undang-undang di Indonesia, perjanjian internasional, dan lainnya pada sengketa merek terkenal Gildan Activewear Activewear SRL melawan Darmanto. Oleh karena itu, terdapat permasalahan hukum pada proses pembuktian dan pertimbangan hakim dalam memutus perkara yang dilihat dari Putusan Pengadilan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dibandingkan dengan Putusan Mahkamah Agung. Dengan terjadinya pelanggaran hak atas merek trademark squatting dan penerapan hukum prinsip first to file di Indonesia terdapat dampak yang merugikan bagi berbagai pihak. Sehingga diperlukan solusi pada permasalahan-permasalahan tersebut dengan dilakukannya analisis yuridis terhadap sengketa merek terkenal tersebut.

This thesis discusses the protection of trademarks and well-known trademarks in Indonesia which is regulated in Law Number 20 Year 2016 on Trademarks and Geographical Indications and other applicable regulations to protect in the event of a trademark dispute caused by the trademark is not used by trademark squatting conducted by the applicant in bad faith. The case reviewed in this thesis is Gildan Activewear SRL against Darmanto (ALSTYLE). The discussion in this thesis is the process of evidencing and description of evidence that meets the criteria of a well-known trademark that has been regulated by the provisions of Indonesian law, international treaties, and others in the famous trademark dispute of Gildan Activewear SRL against Darmanto. Therefore, there are legal problems in the process of evidence and consideration of judges in deciding cases seen from the Court Decision of the Central Jakarta Commercial Court compared to the Supreme Court Decision. With the violation of rights to trademark squatting and the legal application of the first to file principle in Indonesia, there is a detrimental impact on various parties. So that a solution is needed to these problems by conducting a juridical analysis of the well-known trademarks dispute. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Purba, Rando
"Kekosongan hukum Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek merupakan ketentuan yang rentan menimbulkan masalah sehingga harus segera ditetapkan oleh pemerintah. Munculnya berbagai masalah pemboncengan merek asing terkenal jauh sebelum undang-undang ini berlaku juga disebabkan oleh kekosongan hukum Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang Merek karena Pasal tersebut mengamanatkan lahirnya sebuah Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang perlindungan merek terkenal terhadap barang dan atau jasa yang tidak sejenis. Akibatnya, pengertian dan kriteria merek terkenal serta pengertian dan penjelasan lebih lanjut mengenai barang dan jasa tidak sejenis apakah mencakup barang-barang yang berbeda kelas barang belum dapat diketahui secara pasti dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Alasannya karena untuk menentukan keterkenalan suatu merek sangat tergantung pada penilaian hakim yang memeriksa sengketa tersebut. Padahal sistem peradilan di Indonesia tidak menganut azas precedent dimana Hakim tidak diharuskan untuk mengikuti putusan-putusan hakim sebelumnya bahkan untuk sengketa yang sama atau mirip. Walaupun bangsa Indonesia tunduk kepada instrumen internasional seperti (The Paris Convention for the Protection of Industrial Property/Konvensi Paris) dan (Aggrement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods/TRIPs), tetapi semua ketentuan yang terdapat didalamnya juga tidak memberikan pengertian yang jelas dan lengkap mengenai perlindungan terhadap barang yang tidak sejenis. Ketentuan ini juga memberikan kebebasan kepada setiap negara anggota untuk menetapkan dan mengatur keterkenalan suatu merek di negaranya masing-masing. Oleh sebab itu, penentuan keterkenalan suatu merek pada akhirnya tetap diserahkan kepada Majelis Hakim. Pada dasarnya Perlindungan terhadap merek terkenal bisa menerapkan azas itikad tidak baik kepada Pemohon yang mendaftarkan mereknya secara tidak jujur karena membonceng, meniru, atau menciplak ketenaran suatu merek sehingga merugikan pihak lain atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen. Namun, pembuktian adanya itikad tidak baik juga merupakan pekerjaan yang sangat sulit karena harus dikaitkan dengan pembuktian adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya yang dalam undangundang tentang merek juga belum diatur secara lengkap dan jelas. Selanjutnya pembuktian adanya azas itikad tidak baik ini juga harus didahului dengan pembuktian keterkenalan merek tersebut. Pada akhirnya semua pihak hanya berharap agar Peraturan Pemerintah yang sudah diamanatkan oleh undang-undang dapat segera disahkan sehingga sengketa yang berkaitan dengan pemboncengan merek terkenal dapat diselesaikan atau sedapat mungkin dapat dihindari.

The absence of law on article 6 (2) UU Nomor 15 Tahun 2001 on Trademark is a regulation that potentially will cause problems that has to be fixed by the Government. Various problems on the attachment of foreign trademark have occured long before UU nomor 15 tahun 2001 is effective These problems were caused by the absence of law on article 6 (4) Undang-Undang Nomor 14 tahun 1997 as the change of Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 on trademark since the article mandated the born of Government regulatory (Peraturan Pemerintah) that regulate about famous trademark protection on different category of goods and services. The result is that the definition and criteria of famous foreign trademark along with whether the definition and explanation afterward of the different category of goods and services include the goods in different classes is not known so it result in the uncertainty of law. The reason to determine the degree of famous on foreign trademark relies heavily on judge? valuation that handle the dispute. Ironically, Indonesian judicial system does not recognize precedential principle where it is obliged for a judge to follow previous judgment even in a similar case. Even though Indonesia has adopted to International convention such as Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, including Trade in Counterfeit Goods/TRIPs, all the provisions inside those convention do not give clear and comprehensive definition on protection of different category of goods. Those conventions give freedom to each member states to determine and govern the degree of famous in their territory. Therefore the determination on the degree of famous eventually will be given to the judges. Basically, the protection on foreign trademark can also apply the good faith principle to the applicant who register their trademark untruthfully because they attach, imitate or copy the famous of a particular trademark causing loss on other sides or unhealthy competitions, tricked or deceived consumers. However, the burden of proof of bad faith is a very difficult task since it has to relate with the proofing of similarity in the principle or as a whole. Subsequently, the proofing of the bad faith has to be initiated first with the proofing of the state of famous of the particular trademark. Finally, all sides only hope that the Government Regulatory (Peraturan Pemerintah) that is mandated by UU can be finalized and validated so the disputes relating to the attachment of foreign trademark can be settled or can be preventedas possible."
Depok: Universitas Indonesia, 2009
S24745
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Novia Ristanti
"Merek dalam Undang-undang Nomor 15 Talun 2001 tentang Merek Jiartikan sebagai tanda berapa gambar, nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, sman wania, atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan digunakan dalam kegiatan perdagangan barang atau jasa Bergabungnya Indonesia dengan Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization) memberikan implikasi perubahan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia. Salah satu umplikasinya adalah enevanan ketentuan Pasal 16 ayat (3) TRIPs yang menerapkan ketentuan Pasa 6 bis Konvensi Paris secara miniatix mitandis dan diartikan sebagai perluasan perfindungan hukum atas merek terkenal untuk barang dan/atau jasa tidak sejenis Oleh karenanya, Upava "pendomplengan" atau "pemboncenges" keteran suatu metek terkenal sebenarnya sudah lama terjadi di Indonesia. Banyak perusahaan lokal yang dianggap telah "membajak", "men'nı" atau "inenjiplak merek-merek asing yang sudah terkenal dan kernı dian mendaftarkannya di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual baik untik barang yang sejenis maupun barang tidak sejenis puh sebelum berlakunya Undang-undang Merek 2001 yang memuar kosep perlindungan lukum atas merek terkenal untuk barang daavatau jasa yang sejenis dan tidak sejenis, praktek peradilan di Indonesia sudah banyak sremutus perkara-perkara sengketa merek terkenal berkaitan dengan barang yang tidak sejenis di Indonesia. Upaya yang dapat dilakukan oleh pemilik meres terkenal untuk mencegah pihak lain inelakukan peniruan atau penjiplakan merek tersebur adalah dengan melakukan gugatan pembatalan pendaftaran meres di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain itu. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HaKI) juga dapat menolak perpanjangan jangka waktu pendaftaran merek apabila diketahui bahwa merek tersebut memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan dengan barang dan/atau jasa merek terkenal baik untuk barang yang sejenis maupun untuk barang tidak sejenis. Tiga kasus merek terkenal yarru merek BURBERRYS PLAYBOY dan MAPLE LEAF berkaitan dengan dengan gugatan pembatalan pendaftaran merek dan keberatan atas penolakan perpenjangan jangka waktu pendaftaran merek dijadikan sebagai bahan analisis untuk mengeralau lebili lanjut bagaimana praktek peradilan di Indonesia meinberikan perlindungan hukum stas merek merek terkenal untuk barang yang tidak sejun"
Jakarta: Universitas Indonesia, 2004
T36189
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luqman Abdurrahman
"Tindakan dilusi merupakan bentuk pengeksploitasian merek terkenal yang bertujuan untuk menafaatkan reputasi yang dimilikinya. Tindakan dilusi tidak secara langsung menimbulkan persaingan diantara para pihak, karena tindakan ini dilakukan dengan cara mendaftarkan merek yang sama pada kelas yang berbeda. Akibatnya tindakan dilusi seringkali mengecoh penegak hukum dan terlambat disadari oleh pihak yang dirugikan hingga berlangsug dalam waktu yang lama, terlebih lagi jika tindakan tersebut dilakukan melalui pendaftaran terlebih dahulu oleh pelaku. Dalam hal ini daya pembeda memainkan peranan yang penting, karena berdasarkan unsur ini dapat terlihat apakah penggunaan suatu tanda oleh pihak lain dapat menimbulkan likelihood association hingga kemudian dapat dikatakan sebagai suatu tindakan dilusi. Dalam skripsi ini, penulis akan menganalisis mengenai penyebab tindakan dilusi melalui pendaftaran terlebih dahulu dapat terjadi dan berlangsung dalam waktu yang lama. Selain itu penulis juga akan menganalisis mengenai bagaimanakah penggunaan doktrin daya pembeda dalam membuktikan terjadinya suatu tindakan dilusi pada penggunaan suatu tanda dalam merek oleh pihak lain. Adapun penelitian terhadap kedua hal tersebut akan penulis lakukan dengan cara menganalisis kasus nyata yang terjadi di Indonesia, yaitu kasus sengketa merek “starbucks” berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 836 K/Pdt.Sus-HKI/2022. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif dan bersifat deskriptif kualitatif, dimana penelitian ini akan disusun dari pengkajian bahan pustaka atau data sekunder, melalui penelusuran peraturan-peraturan dan literatur yang berkaitan dengan materi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tindakan dilusi dapat terjadi dan berlangsung begitu lama karena perlindungan merek terkenal atas tindakan tersebut masih sangat terbatas di Indonesia. Meskipun perlindungan merek terus berkembang seiring dengan diperbaruinya hukum merek, akan tetapi perlindungan merek terkenal terhadap tindakan yang demikian masih terbatas dan hanya bertumpu pada gugatan pembatalan merek dengan dasar adanya iktikad tidak. Adapun berdasarkan kasus yang penulis angkat, tindakan tergugat terbukti merupakan suatu tindakan dilusi karena penggunaan tanda yang inherently distinctive oleh tergugat jelas menimbulkan suatu likelihood association dan dapat dikategorikan sebagai suatu tindakan pengeksploitasian reputasi dan popularitas dari merek terkenal milik penggugat. Berdasarkan hal ini, penting bagi penegak hokum untuk berhati-hati dalam menangani kasus yang demikian serta perlu adanya peningkatan dalam ketentuan perlindungan mengenai tindakan dilusi.

The act of dilution is a form of exploitation of a well-known trademark that aims to utilize its reputation. The act of dilution does not directly cause competition between the parties, because this action is done by registering the same mark in a different class. As a result, the act of dilution often outwits law enforcement and is realized too late by the injured party until it continues for a long time, especially if the action is carried out through prior registration by the perpetrator. In this case, distinguishing power plays an important role, because based on this element it can be seen whether the use of a mark by another party can cause a likelihood association so that it can then be said to be an act of dilution. In this thesis, the author will analyze the causes of dilution through prior registration that can occur and last for a long time. In addition, the author will also analyze how the use of the doctrine of distinguishing power in proving the occurrence of an act of dilution on the use of a mark in the trademark by another party. The research on these two things will be done by analyzing real cases that occur in Indonesia, namely the case of trademark disputes "starbucks" based on Supreme Court Decision Number 836 K/Pdt.Sus-HKI/2022. The method used in this research is juridical-normative and descriptive qualitative, where this research will be compiled from the study of library materials or secondary data, through the search for regulations and literature related to the material. The results of this study indicate that the act of dilution can occur and last so long because the protection of famous marks for such acts is still very limited in Indonesia. Although trademark protection continues to evolve along with the updating of trademark law, the protection of well-known trademarks against such actions is still limited and only relies on trademark cancellation lawsuits on the basis of the existence of bad faith. Based on the case raised by the author, the defendant's actions were proven to be an act of dilution because the use of inherently distinctive marks by the defendant clearly creates a likelihood association and can be categorized as an act of exploitation of the reputation and popularity of the defendant's well-known trademark. Based on this, it is important for law enforcers to be careful in handling such cases and there is a need to improve the protection provisions regarding dilution actions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gindamora Andiafari
"Kekosongan hukum Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek merupakan ketentuan yang rentan menimbulkan masalah sehingga harus segera ditetapkan oleh pemerintah. Akibatnya, pengertian dan kriteria merek terkenal serta pengertian dan penjelasan lebih lanjut mengenai barang dan jasa tidak diketahui secara pasti dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Alasannya karena untuk menentukan keterkenalan suatu merek sangat tergantung pada penilaian hakim yang memeriksa sengketa tersebut. Walaupun Indonesia tunduk pada instrumen internasional seperti (The Paris Convention for the Protection of Industrial Property/Konvensi Paris) dan (Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods/TRIPs), tetapi semua ketentuan yang terdapat didalamnya juga tidak memberikan pengertian yang jelas dan lengkap mengenai perlindungan barang yang tidak sejenis. Ketentuan ini juga memberikan kebebasan kepada setiap negara anggota untuk menetapkan dan mengatur keterkenalan suatu merek di negaranya masing-masing. Oleh sebab itu, penentuan keterkenalan suatu merek pada akhirnya diserahkan kepada Majelis Hakim. Pada dasarnya perlindungan terhadap merek terkenal bisa menerapkan azas itikad tidak baik kepada Pemohon yang mendaftarkan mereknya secara tidak jujur karena membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran suatu merek sehingga merugikan pihak lain atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen. Pada akhirnya semua pihak hanya berharap agar Peraturan Pemerintah yang sudah diamanatkan oleh undang-undang dapat segera disahkan sehingga sengketa yang berkaitan dengan pemboncengan merek terkenal dapat diselesaikan atau dapat dihindari.

The absence of law on article 6 (2) UU Nomor 15 Tahun 2001 on Trademark is a regulation that potentially will cause problems that has to be fixed by the Goverment. The result is that the definition and criteria of famous trademark along with whether the definition and explanation afterward of the different category of goods and service is not known so it result in uncertainly of law. The reason to determine the degree of famous on trademark relies heavily on jugde?s valuation that handle the dispute. Even though Indonesia had adopted to International convention such as Paris Convention for the Protection of Industrial Property and Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in Counterfeit Goods/TRIPs, the all the provisions inside those convention do not give clear and comprehensive definiton on protection of different category of goods. Those conventions give freedom to each member states to determine and govern the degree of famous in their territory. Therefore the determination on the degree of famous eventually will be given to the judges. Basically, the protection on famous trademark can also apply the good faith principle to the applicant who register their trademark untruthfully because they attach, imitate or copy the famous of a particular trademark causing loss on other sides or unhealthly competitions, tricked or deceived consumers. Finally, all sides only hope that Goverment Regulatory that is mandated by Regulations can be finalized and validated, so the disputes relating to the attachment of famous trademark can be settled or can be prevented as possible.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S57612
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>