Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 62708 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tri Wanty Octavia Veronica
"Penyusunan penelitian ini membahas mengenai penyebab perbedaan amar Putusan Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara kepailitan atau PKPU perusahaan asuransi (studi kasus: PT Asuransi Jiwa Kresna dengan PT AIA Financial) yang diajukan tanpa melalui Otoritas Jasa Keuangan. Dalam hukum positif telah jelas mengatur bahwa pihak yang berwenang mengajukan permohonan pailit atau PKPU hanyalah Otoritas Jasa Keuangan. Adanya pembatasan subyek hukum yang dapat mengajukan permohonan ini dikarenakan perusahaan asuransi merupakan lembaga yang melakukan penghimpunan dana masyarakat dan pengelola risiko. Penulisan ini disusun menggunakan metode penelitian hukum doktrinal. Mengacu pada asas curia novit yaitu pengadilan tidak dapat menolak perkara memberikan dampak bagi pengadilan untuk memeriksa seluruh perkara yang didaftarkan meskipun telah disadari bahwa secara formil, pihak yang mengajukan permohonan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berkaitan dengan pengajuan permohonan Kepailitan atau PKPU perusahaan asuransi, pada dasarnya telah diatur secara jelas dalam hukum positif, namun dalam prakteknya terdapat beberapa putusan yang tidak sesuai dengan UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang mana hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat. Dalam rangka menyikapi hal tersebut, peranan Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi terhadap badan peradilan sangat penting untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perilaku hakim yang tidak sesuai dengan ketentuan dan Kode Etik yang berlaku, yang mana peranan tersebut dapat bekerja sama dengan Komisi Yudisial. Selain pembinaan pengawasan, sosialisasi terhadap kebebasan hakim dalam menginterpretasikan peraturan seharusnya dilakukan limitasi yaitu terhadap peraturan yang secara gramatikal telah diatur secara jelas, sehingga terhadap peraturan tersebut tidak diperlukan penafsiran/interpretasi kembali.

The preparation of this research discusses the causes of differences in the decisions of Commercial Court Judges at the Central Jakarta District Court in bankruptcy or PKPU cases for insurance companies (case study: PT Asuransi Jiwa Kresna and PT AIA Financial) which were submitted without going through the Financial Services Authority. Positive law clearly stipulates that the only party authorized to file a bankruptcy application or PKPU is the Financial Services Authority. There are restrictions on legal subjects who can submit this application because insurance companies are institutions that collect public funds and manage risks. This writing was prepared using doctrinal legal research methods. Referring to the principle of curia novit, namely that the court cannot reject a case, giving effect to the court to examine all registered cases even though it is aware that formally, the party submitting the application does not comply with the applicable provisions. Regarding the filing of Bankruptcy or PKPU applications for insurance companies, basically it is clearly regulated in positive law, but in practice there are several decisions that are not in accordance with Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and PKPU, which creates legal uncertainty in society. In order to address this, the role of the Supreme Court as the highest institution of the judiciary is very important in providing guidance and supervision over the behavior of judges who do not comply with the applicable provisions and Code of Ethics, which role can be done in collaboration with the Judicial Commission. In addition to fostering supervision, socialization of judges' freedom in interpreting regulations should be limited, namely to regulations that have been clearly regulated grammatically, so that interpretation/re- interpretation of these regulations is not required."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firdha Amalia
"Penulisan ini membahas permasalahan kepailitan perusahaan asuransi yaitu PT Asuransi Bumi Asih Jaya, yang mana dasar diajukannya permohonan pernyataan pailit oleh Otoritas Jasa Keuangan adalah klaim asuransi yang belum dibayar oleh PT Asuransi Bumi Asih Jaya merupakan utang yang jatuh tempo dan dapat ditagih dalam UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Klaim asuransi yang belum dibayar oleh perusahaan asuransi menjadi polemik karena pemegang polis tidak mendapatkan hak-haknya dan telah mengalami kerugian sejumlah uang. Sehingga kepailitan merupakan salah satu cara agar pemegang polis mendapatkan perlindungan dengan memposisikan pemegang polis sebagai kreditor preferen.

The focus on this study discuss about insurance company bankruptcy, which is in this case is Bumi Asih Jaya Insurance Company. The cause Otoritas Jasa Keuangan apply for bankruptcy statement towards Bumi Asih Jaya Insurance Company is that unpaid insurance claim consider as due and payable debt in Act No. 37 of 2004 About Bankruptcy and Debt Repayment Obligations. Regarding insurance claim hasn?t been paid by insurance companies, could be such a polemic matter cause insurance policy holder is incapable of getting their rights and undergo some money deprivation. So that, bankruptcy is one of the way to give a protection to any insurance policy holder by positioning them as preferred creditor."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S62570
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Dana
"Kehadiran perusahaan asuransi memiliki peran penting dalam mengalihkan resiko para tertanggungnya. Perusahaan asuransi tidak hanya memberikan dampak ketenangan pada para pemegang polis namun juga memiliki kontribusi secara meluas dalam ekonomi sebuah negara. Kendati demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa perusahaan asuransi juga dapat berada dikeadaan kesulitan keuangan yang menyebabkan terjadinya gagal bayar hingga yang terparah menuju kepailitan. Mengingat perannya sebagai sebuah institusi keuangan, kepailitan perusahaan asuransi akan memiliki dampak yang besar. Untuk itu, dalam skripsi ini penulis akan mengangkat mengenai peraturan-peraturan maupun persyaratan-persyaratan kepailitan sebagai bentuk pengaman dan pencegahan terjadinya kepailitan perusahaan asuransi di Indonesia dan Inggris. Penelitian ini merupakan penelitian bersifat normatif yang menggunakan data sekunder yang diperoleh dari studi pustaka. Sedangkan metode yang digunakan akan berupa pendekatan kualitatif. Penelitian ini menghasilkan adanya perbedaan penggunaan resolusi pencegahan kepailitan serta adanya perbedaan pada peran pengadilan dalam menentukan dan mencegah terjadinya pemailitan pada perusahaan finansial terutama perusahaan asuransi, hal ini yang seharusnya menjadi perhatian utama Indonesia.

Insurance company play a critical role in shifting the insured's risks. Insurance companies not only provide reassurance to policyholders, but also contribute significantly to a country's economy. However, it is clear that insurance firms may become financially distressed, resulting in defaults and, in the worst-case scenario, bankruptcy. Given its financial institution status, an insurance company's bankruptcy would have a significant effect. As a result, the author of this thesis will discuss the regulations and requirements for bankruptcy as a form of safeguarding and prevention of the occurrence of bankruptcy of insurance companies in Indonesia and the UK. This research is normative research that uses secondary data obtained from literature study. While the method used will be a qualitative approach. This research reveals disparities bankruptcy prevention resolutions and the court's role in determining and preventing bankruptcy for financial companies, particularly insurance companies, which should Indonesia's primary concern. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natasha Octaviany
"Setelah berlakunya Undang-Undang No. 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian, permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Berdasarkan hal tersebut, penulis mengajukan pokok permasalahan yaitu: 1. Apa dasar pertimbangan hukum Otoritas Jasa Keuangan dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi secara umum dan dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya? 2. Bagaimana prosedur pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi oleh Otoritas Jasa Keuangan? 3. Apa upaya hukum terhadap ditolaknya permohonan kreditor kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi? Bentuk penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif.
Pada akhirnya, penulis memperoleh kesimpulan bahwa dasar pertimbangan hukum Otoritas Jasa Keuangan dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi secara umum salah satunya adalah pengenaan sanksi administratif terhadap perusahaan asuransi. Sedangkan dasar pertimbangan hukum Otoritas Jasa Keuangan dalam mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya salah satunya adalah kemampuan keuangan PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya untuk membayar utang atau kewajiban.
Penulis menyarankan agar upaya hukum terhadap ditolaknya permohonan kreditor kepada Otoritas Jasa Keuangan untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap perusahaan asuransi diatur secara jelas dalam peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.

After the enactment of Act No. 40 of 2014 concerning Insurance, the request for bankruptcy statement against insurance company may only be filed by the Financial Services Authority. Based on this, the author propose the main issues as 1. What is the basis of legal considerations of the Financial Services Authority in applying for bankruptcy statements against insurance companies in general and in applying for bankruptcy statement against PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya 2. What is the procedure for filing a bankruptcy statement against the insurance company by the Financial Services Authority 3. What are the legal stances against the rejection of a creditor 39 s application to the Financial Services Authority to apply for a bankruptcy statement against the insurance company This research uses the normative juridical approach with a descriptive typology.
In the end, the author conclude that the basic legal considerations of the Financial Services Authority in applying for bankruptcy statements against insurance companies in general one of them is the imposition of administrative sanctions against insurance companies. While the basis of legal considerations of the Financial Services Authority in applying for bankruptcy statement against PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya is one of them is the financial ability of PT Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya to pay debts or obligations.
The author suggests that the legal action against the rejection of the creditor rsquo s application to the Final Services Authority to apply for a bankcruptcy statement against the insurance company is clearly stipulated in the laws and regulation in the field of insurance.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puti Ende Novia
"Menurut pasal 2 ayat 5 Undang ndash; Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi hanya dapat dilakukan oleh Menteri Keuangan. Saat ini kewenangan tersebut telah beralih ke Otoritas Jasa Keuangan OJK dengan adanya Undang ndash; Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK. OJK mengajukan permohonan pailit terhadap PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya PT. AJBAJ tanpa didahului dengan permohonan dari kreditor.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui: bagaimana kewenangan OJK dalam pengajuan permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi dan pelaksanaannya dalam permohonan pailit terhadap PT. AJBAJ? Apakah hakim telah menerapkan prinsip ndash; prinsip hukum yang tepat dalam menjatuhkan putusan terhadap PT. AJBAJ? Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa dalam pengajuan permohonan pernyataan pailit yang diajukan OJK terhadap perusahaan asuransi dapat dilakukan tanpa didahului dengan permohonan dari kreditor sepanjang hal tersebut dilakukan dalam rangka melindungi kepentingan konsumen. Dalam menjatuhkan putusan pailit terhadap PT. AJBAJ hakim pada pengadilan tingkat pertama kurang cermat dalam memeriksa pokok perkara sehingga putusan yang diberikan kurang tepat, hal ini ternyata dalam putusan pada tingkat kasasi dimana hakim pada tingkat ini menyatakan putusan tingkat pertama tersebut dibatalkan.

According to Article 2 paragraph 5 Act Act No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debts, bankruptcy filling for the insurance company can only be field by the Minister of Finance. Currently the authorities have been turning to the Otoritas Jasa Keuangan OJK in the presence of Law Law Number 21 Year 2011 concerning OJK. OJK filed a bankruptcy filling for PT. Asuransi Jiwa Bumi Asih Jaya PT. AJBAJ without preceded by a request from the creditors.
The purpose of this research is to determine How the OJK authorized the filing of a bankruptcy petition against the insurance company and their implementation in a bankruptcy petition for PT. AJBAJ Do the judges have applied the principle the principle of the proper law in decisions for PT. AJBAJ This research is normative.
Results from the study showed that the application for a declaration of bankruptcy filed for the insurer OJK can be done without preceded by a request from the creditor to the extent they do in order to protect the interests of consumers. In the verdict of bankruptcy to PT. AJBAJ judge at first instance are less careful in examining the case until the verdict is given less precise, it was the decision on appeal where the judge at first instance verdict is declared to be canceled.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47230
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ni’ma Ulinihayati
"Penelitian ini membahas mengenai peran Otoritas Jasa Keuangan dalam permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi. Permasalahan yang menjadi fokus penelitian yaitu peraturan di Indonesia yang mengatur tentang pengajuan permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi dan pertimbangan OJK dalam mengajukan atau tidak mengajukan permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi studi kasus PT AJ BAJ dan PT AJK. Metode penelitian tesis ini menggunakan penelitian hukum normatif dengan metode pengumpulan data studi kepustakaan dan wawancara. Hasil penelitian menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan di Indonesia mengatur permohonan pernyataan pailit perusahaan asuransi merupakan kewenangan dari Otoritas Jasa Keuangan. Sehingga permohonan pernyataan pailit yang diajukan oleh pihak selain OJK haruslah ditolak Pengadilan. OJK dalam mengajukan permohonan pailit PT AJBAJ dilandasi pertimbangan untuk melindungi konsumen dan menjaga kepercayaan masyarakat terhadap usaha perasuransian sehingga terhadap PT AJ BAJ yang memenuhi Pasal 2 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004 dan melanggar peraturan di bidang perasuransian, OJK melakukan permohonan pailit. Sedangkan untuk PT AJK, OJK menolak mengajukan permohonan pailit dengan pertimbangan walaupun telah terpenuhi syarat untuk dipailitkan namun OJK mempertimbangkan dampak ekonomi dan kepercayaan masyarakat terhadap usaha perasuransian serta pertimbangan bahwa PT AJK sedang melakukan upaya penyehatan keuangan. Saran yang penulis ajukan bahwa kreditor, debitor dan pengadilan niaga harus memegang teguh bahwa kewenangan pengajuan permohonan pernyataan pailit merupakan kewenangan OJK dan hal tersebut tidak dapat disimpangi. Selain itu OJK seharusnya menetapkan batasan indikator mengenai dampak terhadap perekonomian dan menjaga kepercayaan sebagaimana dimaksud dalam penjelasan Pasal 55 ayat (1) huruf f angka 1 POJK No. 28 Tahun 2015. 

This study examines the function of the Financial Services Authority in the application for bankruptcy statements of insurance companies. The focus of this research is related to the regulations in Indonesia that regulate the filing of applications for bankruptcy statements for insurance companies and the OJK's considerations in the application submission related to bankruptcy statements for insurance companies by using the case studies of PT AJ BAJ and PT AJK. Normative legal research uses library research and interview data collection methods utilized as a research method. The study's findings indicate that Indonesia's Financial Services Authority has jurisdiction over the laws, rules, and court rulings concerning applications for bankruptcy declarations for insurance companies. As a result, the Court must reject the application for a bankruptcy declaration made by partakers other than the OJK. To protect consumers and preserve public confidence in the insurance industry, OJK filed a petition for bankruptcy on behalf of PT AJ BAJ, which complies with Article 2 Paragraph 1 of Law No. 37 of 2004 and violates the insurance industry rules. As for PT AJK, OJK declined to file for bankruptcy though the bankruptcy requirements are met, OJK considers the economic impact, public confidence in the insurance business, and the fact that PT AJK is undergoing financial restructuring measures. According to the author, the OJK's jurisdiction grants an inviolable petition for bankruptcy, which creditors, debtors, and commercial courts must uphold. Furthermore, as mentioned in the explanation of Article 55 paragraph (1) Letter F Number 1 POJK Number 28 of 2015, OJK should define indicator limitations while keeping the economy in mind and upholding trust."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadine Valenia Narulita Hanggarjati
"Dalam kondisi keuangan yang berdampak pada ketidakmampuan seseorang atau suatu badan hukum dalam memenuhi kewajiban berupa pembayaran utang, maka Debitor dapat mengajukan suatu upaya berupa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang secara sukarela (voluntary petition). Pengajuan permohonan PKPU secara sukarela ini merupakan suatu bentuk itikad baik Debitor dalam melunasi utang-utangnya kepada Para Kreditor. Terlebih apabila dalam permohonan PKPU tersebut juga dilampirkan suatu rencana perdamaian berupa penawaran jadwal pembayaran dan nominal utang yang akan dibayarkan, maka sudah seharusnya dikabulkan sebagaimana diatur dalam Pasal 225 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Lain halnya dengan pengajuan permohonan PKPU yang diajukan secara sukarela oleh PT Duta Adhikarya Negeri, putusan ini ditolak karena pembuktian yang tidak sederhana. Hal ini disebabkan oleh bukti surat yang memperlihatkan keberadaan utangnya berupa copy dari fotocopy. Namun pada faktanya, bukti-bukti tersebut telah diakui dan tidak dibantah oleh pihak Kreditor. Pada penelitian ini, Penulis menggunakan metode penelitian yaitu yuridis normatif yang menghasilkan data yang bersifat deskriptif analitis. Penulis akan meneliti pertimbangan Majelis Hakim yang kurang cermat dalam memperhatikan substansi dari permohonan PKPU. Dalam UUK-PKPU tidak secara rinci diatur mengenai pembuktian sederhana dalam perkara PKPU, melainkan diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 109/KMA/SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Mengingat bahwa dikabulkannya suatu PKPU dapat memberikan kepastian hukum berupa kesempatan pada Debitor untuk melaksanakan kewajibannya dalam PKPU serta rencana perdamaian, maka sudah seharusnya pengadilan berfokus pada keberadaan utang yang ada pada bukti-bukti yang telah diakui oleh Para Kreditornya sehingga tidak terbantahkan dan menjadi sah di persidangan serta dikabulkan sebagaimana diatur dalam Pasal 225 ayat (2) UUK-PKPU.

In a financial condition that affects the inability of a person or a legal entity to fulfill obligations in the form of debt payments, the Debtor may submit a legal remedy in the form of a voluntary petition. Submitting a PKPU application voluntarily is a form of the Debtor's good faith in paying off his debts to Creditors. Especially if the PKPU request is also attached with a reconciliation plan in the form of offering a payment schedule and the amount of the debt to be calculated, then it should have been granted as stipulated in Article 225 paragraph (2) Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment obligations. Unlike the case with PT Duta Adhikarya Negeri submitting a PKPU application voluntarily, this decision was rejected because the evidence was not simple. This is caused by documentary evidence that reveals the existence of the debt in the form of a copy of the photocopy. However, in fact, this evidence has been acknowledged and not disputed by the creditors. In this study, the author uses research methods which is normative juridical which produces descriptive analytical data. The author will analyze the considerations of the Panel of Judges which are incomprehensive in paying attention to the substance of the PKPU petition. The UUK-PKPU does not stipulate in detail regarding simple proof in PKPU cases, instead it is regulated in the Decree of the Chief Justice of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 109/KMA/SK/IV/2020 concerning Enforcement of the Handbook for Settlement of Bankruptcy Cases and Suspension of Obligations for Payment of Debt. Given that the granting of a PKPU can provide legal certainty in the form of an opportunity for the Debtor to carry out debt payment obligations in the PKPU as well as a composition plan, then it should be more focusing on the existence of the debts on evidence that has been acknowledged by the Creditors so that they cannot be disputed and become valid in court and granted as regulated in Article 225 paragraph (2) UUK-PKPU."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marleen Josephine
"Skripsi ini membahas mengenai permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek yang diajukan oleh Krediturnya, dengan studi kasus Putusan Nomor 4/PDT.SUSPAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST. Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Adapun ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi kepentingan pihak ketiga untuk berinvestasi melalui pasar modal. Kemudian, Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa panitera harus menolak permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek yang diajukan oleh pihak selain Otoritas Jasa Keuangan. Namun, pada praktiknya masih terdapat banyak pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek yang tidak diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini dapat dilihat pada Putusan Nomor 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST, yang mengabulkan permohonan pernyataan pailit Perusahaan Efek (PT Brent Securities) yang diajukan oleh Kreditornya karena izin usahanya telah dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap suatu Perusahaan Efek dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam permohonan pernyataan pailit Perusahaan Efek dalam putusan Nomor 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST ditinjau dari Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek mutlak merupakan kewenangan khusus Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga negara yang melakukan pengawasan terhadap Perusahaan Efek, sekalipun izin usahanya telah dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan. Kemudian, putusan Majelis Hakim pada Putusan Nomor 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST, yang mengabulkan permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek oleh Krediturnya, tidak sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

This thesis discusses about bankruptcy against Securities Company filed by its Creditors, with a case study of Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST. Article 2 paragraph (4) of Law No. 37 year 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment states that the petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company may only be filed by the Financial Services Authority. The existence of these provisions is intended to protect the interests of third parties to invest through the capital market. Then, Article 6 paragraph (3) of Law No. 37 year 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment states that the principal registrar is required to reject a petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company if it’s filed by any other party besides the Financial Services Authority. However, in practice there are still many petitions for a declaration of bankruptcy against Securities Company that are not be filed by the Financial Services Authority. This can be seen on Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST, which granted the petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company (PT Brent Securities) that filed by its creditors due to its business license revoked by Financial Services Authority. This research aims to identify the mechanism of filing an application for a bankruptcy against Security Company and the authority of Financial Services Authority for the bankruptcy petition of Securities Company in Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST. based on Law No. 37 year 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment. Type of research applied in this research is normative juridical approach with a descriptive typology. The result shows that the petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company is the exclusive power of Financial Services Authority as a state institution that supervises Securities Company, even though their business license has been revoked by Financial Services Authority. Then, the decision of The Judges on Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST which granted the application for bankruptcy declaration against the Securities Company by its Creditors, was not in accordance with the regulations in Article 2 paragraph (4) of Law No. 37 of 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Holila
"Pailitnya suatu perusahaan pada dasarnya merupakan Fenomena yang biasa dalam dunia bisnis. Namun kalau hal itu melibatkannya banyak perusahaan, bahkan terjadi dalam waktu yang bersamaan pada suatu Negara tertentu, maka akan menimbulkan banyak permasalahan. Hal itulah yang terjadi di Indonesia setelah terjadinya krisis ekonomi sejak tahun 1997. Bahkan untuk menangani permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan UU No. 4 tahun 1998 yang merupakan amandemen dari Statblad 1906 No. 348 dan Statblad 1905 No. 217. Ternyata perubahan yang terdapat dalam UU NO. 4 Tahun 1998 inipun dirasakan belum memenuhi rasa keadilan, sehingga perlu diadakan tambahan-tambahan ataupun perubahan-perubahan.
Salah satu masalah yang masih mengganjal dan menimbulkan pro dan kontra adalah masalah siapa yang berwenang mengajukan kepailitan pada perusahaan asuransi. Hal ini penting, karena tidak seperti Bank dan perusahaan efek yang mendapatkan ketentuan khusus dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, maka perusahaan asuransi walaupun melakukan penghimpunan dana dari masyarakat, namun posisinya disamakan dengan perusahaan lain pada umumnya, dimana semua kreditur dapat mengajukan permohonan pailit atas suatu perusahaan asuransi. Hal ini dirasakan tidak adil terutama bagi para pemegang polis. Permasalahan ini selalu timbul manakala suatu perusahaan asuransi dipailitkan. Kasus yang cukup mengegerkan adalah dengan pailitnya Perusahaan Asuransi Jiwa Manulife Indonesia oleh Salah satu pemegang saham terdahulunya. Dalam rangka melihat lebih jauh mengenai hal-hal tersebut dan untuk mencari alternative pengaturan dimasa yang akan datang, maka penulis tertarik meneliti ?Perlindungan Nasabah Terhadap Pailitnya Perusahaan Asuransi (Studi Kasus Pailitnya Asuransi Jiwa Manulife Indonesia)?.
Dalam penelitian ini yang menjadi pokok permasalahan adalah siapa sajakah yang sebaiknya berwenang mempailitkan suatu perusahaan asuransi, apa saja syarat-syarat permohonan pailit terhadap perusahaan asuransi dan bagaimanakah perlindungan hukum terhadap pemegang polis asuransi dalam pailitnya suatu perusahaan asuransi. Dalam mencari jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut penulis melakukan penelitian kepustakaan yaitu dengan jalan mempelajari buku-buku, artikel, peraturan-peraturan dan putusan pengadilan tentang kepailitan. Karena pada saat penelitian dilakukan telah keluar ketentuan baru Tentang Kepailitan yaitu UU No. 37 Tahun 2004, maka pembahasan kemudian dilakukan pula berdasarkan UU baru ini. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa menurut UU No. 4 Tahun 1998, yang berwenang mengajukan pailit atas perusahaan asuransi adalah semua kreditur sedangkan menurut UU No. 37 Tahun 2004, maka kewenangan ini hanya ada pada Menteri Keuangan. Adapun Syarat-syarat permohonan pailit pada prinsipnya tidak ada perbedaan pengaturan dalam dua UU ini.
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1998 dirasakan sangat kurang memberikan perlindungan pada para nasabah, perlindungan ini terdapat dalam UU baru yaitu dengan hanya Menteri Keuangan yang dapat mengajukan permohonan pailit pada perusahaan asuransi, maka kedudukan nasabah lebih terjamin, karena tidak mudah mempailitkan perusahaan asuransi. Namun demikian dimasa yang akan datang kiranya masih perlu diatur lebih lanjut apa yang menjadi pedoman bagi Menteri Keuangan dalam mempailitkan suatu perusahaan asuransi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
T18945
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michaell Yose Andersen
"Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Keberadaan BUM Desa tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Namun terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam pengaturan tentang BUM Desa dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tersebut yakni terkait dengan konstruksi yuridis dari BUM Desa sebagai suatu subyek hukum di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dikarenakan dikarenakan penelitian ini mencoba untuk mengkaji norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan perundangan yang berlaku terkait dengan BUM Desa serta terkait dengan kepailitan badan usaha yaitu Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan bahwa: Pertama, BUM Desa merupakan badan usaha yang tidak berbadan hukum, namun dalam perkembangannya BUM Desa dapat menjadi badan usaha yang berbadan Hukum. Kedua, BUM Desa dapat diajukan Pailit berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepalitian dan PKPU.

Village Owned Enterprises (BUM Desa) are business entities whose capital is wholly or partly owned by the village through direct investment originating from separated village assets aimed at the welfare of the community. The existence of BUM Desa is regulated in Law Number 6 of 2014 concerning Villages. However, there is a legal deficiency or vacuum in the regulation regarding BUM Desa in Law Number 6 of 2014 which is related to the juridical construction of BUM Desa as a legal subject in Indonesia. . This study uses a normative juridical research method because this research tries to examine the legal norms contained in the applicable laws and regulations related to BUM Desa and related to bankruptcy of business entities, namely Law Number 6 of 2014 concerning Villages and Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations. The results of the research that has been carried out can be concluded that: First, BUM Desa is a business entity that is not a legal entity, but in its development BUM Desa can become a legal entity. Second, BUM Desa can be filed for bankruptcy based on Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations (Bankruptcy Law and PKPU.)"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>