Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 134362 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mochamad Rizky Soe'oed
"Amandemen konstitusi yang berlangsung sejak tahun 1999 hingga 2022 mempertegas bahwa Negara Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial. Salah satu cara yang sering dibahas untuk meningkatkan efektivitas sistem pemerintahan presidensial adalah dengan melaksanakan pemilu secara serentak dengan menerapkan ambang batas pencalonan presiden yang sekarang diatur dalam pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang memberikan syarat kepada partai politik harus mendapatkan minimal 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional untuk bisa mengusung Calon Presiden dan Wakil Presiden. Dalam praktiknya, ketentuan ini selalu mengundang kontroversi dan sudah berulang kali diuji di Mahkamah Konstitusi. Tulisan ini akan menjelaskan secara detail bagaimana pengaturan ambang batas pencalonan presiden di Indonesia. Kemudian, tulisan ini juga akan menganalisis bagaimana ambang batas pencalonan presiden menurut putusan mahkamah konstitusi tahun 2022-2023. Tulisan ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa norma ambang batas pencalonan presiden tidak diatur dalam UUD NRI Tahun 1945, konstitusi hanya mengatur ambang batas kemenangan yang tercantum pada pasal 6 ayat (3). Norma ambang batas pencalonan presiden diatur secara detail pada undang-undang yang mengatur tentang teknis pelaksanaan pemilihan umum seperti UU No.23 Tahun 2003, UU No.42 Tahun 2008, dan UU No.7 Tahun 2017. Mahkamah Konstitusi dalam putusan-putusan nya selalu menegaskan bahwa norma ambang batas pencalonan presiden merupakan kebijakan hukum terbuka dan tidak bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi menilai bahwa norma ambang batas pencalonan presiden memberikan dampak positif kepada sistem pemerintahan presidensial yang kuat.

The constitutional amendments that took place from 1999 to 2022 emphasized that Indonesia adheres to a presidential system of government. One way that is often discussed to increase the effectiveness of the presidential government system is to hold elections simultaneously by implementing the presidential nomination threshold which is now regulated in article 222 of Law Number 7 of 2017 concerning Elections which provides conditions for political parties to obtain a minimum of 20 percent of DPR seats. or 25 percent of valid national votes to be able to nominate candidates for President and Vice President. In practice, this provision always invites controversy and has been repeatedly tested at the Constitutional Court. This article will explain in detail how the threshold for presidential candidacy is set in Indonesia. Then, this article will also analyze the threshold for presidential candidacy according to the decision of the constitutional court in 2022- 2023. This article was prepared using doctrinal research methods. The research results show that the threshold norms for presidential candidacy are not regulated in the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, the constitution only regulates the victory threshold as stated in article 6 paragraph (3). The threshold norms for presidential candidacy are regulated in detail in laws that regulate the technical implementation of general elections, such as Law No. 23 of 2003, Law No. 42 of 2008, and Law No. 7 of 2017. The Constitutional Court in its decisions always emphasized that the threshold norm for presidential candidacy is an open legal policy and does not conflict with the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. The Constitutional Court considered that the threshold norm for presidential candidacy had a positive impact on a strong presidential government system."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Alif Nurbani
"Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XV/2018 terhadap Kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah, serta urgensi keanggotaan DPD RI yang berasal dari unsur partai politik akibat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XV/2018. Metode yang digunakan kualitatif dengan pendekatan Yuridis Normatif. Temuan pada penelitian ini adalah: Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menegaskan bahwa frasa "pekerjaan lain" dalam Pasal 182 huruf i UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai mencakup pula pengurus partai politik (parpol). Putusan MK tersebut berdampak pada larangan pencalonan anggota DPD dari unsur pengurus parpol. DPD tidak dapat diisi oleh pengurus parpol, "Pengurus parpol" struktur organisasi parpol yang bersangkutan. MK mengakui bahwa Pasal 182 huruf i UU Pemilu memang tidak secara tegas melarang pengurus parpol mencalonkan diri menjadi calon anggota DPD. Sikap MK berdasarkan putusan-putusan sebelumnya selalu menegaskan bahwa calon anggota DPD tidak boleh berasal dari anggota parpol. Sehingga, secara otomatis pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 apabila tidak dimaknai melarang pengurus parpol mencalonkan diri menjadi anggota DPD. Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap konstitusi, memutus sengketa lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum pada tingkat pertama dan terakhir. Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final artinya mencakup juga kekuatan mengikat (binding). Putusan Mahkamah Konstitusi memiliki kekuatan mengikat, kekuatan pembuktian, dan kekuatan eksekutorial. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 pada pelaksanaannya telah terjadi problematika mengenai berlakunya putusan tersebut yang dianggap berlaku surut. Mahkamah Agung yang membatalkan PKPU Nomor 26 Tahun 2018 karena berpendapat bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018 berlaku surut. Namun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU- XVI/2018 tetap harus dilaksanakan, sehingga timbul ketidakpastian hukum. Mahkamah Agung dinilai telah mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi. Dalam kasus pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-XVI/2018, penafsiran dari Mahkamah Konstitusi yang harus dijadikan pedoman dan dilaksanakan.

The background of this research is the existence of the Constitutional Court decision Number 30/PUU-XV/2018 against the Institution of the Regional Representatives Council, as well as the urgency of DPD RI membership originating from political parties as a result of the Constitutional Court decision Number 30/PUU-XV/2018. The method used in this study is to use a qualitative method with a normative juridical approach. The findings of this study are: The Constitutional Court in its decision emphasized that the phrase "other work" in Article 182 letter i of the Election Law is contrary to the 1945 Constitution and does not have conditionally binding legal force as long as it is not interpreted to include administrators of political parties (political parties). The Constitutional Court's decision had an impact on the ban on the candidacy of DPD members from elements of political party management. So, the DPD cannot be filled by political party officials. The "administrators of political parties" in this decision are administrators starting from the central level to the lowest level according to the organizational structure of the political party concerned. The Constitutional Court acknowledged that Article 182 letter i of the Election Law does not explicitly prohibit political party officials from nominating themselves as candidates for DPD members. Even though the Constitutional Court's stance based on previous decisions always emphasized that candidates for DPD members could not come from members of political parties. Thus, this article automatically contradicts the 1945 Constitution if it is not interpreted as prohibiting political party officials from nominating themselves to become members of the DPD. The Constitutional Court has the authority to review laws against the constitution, decide on disputes over state institutions, decide on the dissolution of political parties, and decide on disputes over the results of general elections at the first and last levels. The decision of the Constitutional Court is final, meaning that it includes binding powers. Decisions of the Constitutional Court have binding power, evidentiary power, and executorial power. In its implementation, there have been problems regarding the validity of the decision which is considered retroactive. The Supreme Court canceled PKPU Number 26 of 2018 because it was of the opinion that the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018 was retroactive. However, the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018 must still be implemented, resulting in legal uncertainty. The Supreme Court is considered to have ignored the decision of the Constitutional Court. In the case of the implementation of the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018, it is the interpretation of the Constitutional Court that must be used as a guideline and implemented."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adam Mulya Bunga Mayang
"Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 mengamanatkan bahwa penyelesaian perselisihan hasil Pilkada diselesaikan oleh Badan Peradilan Khusus, namun Mahkamah Konstitusi berwenang menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada apabila belum terbentuknya badan tersebut. Dalam penyelesaian perselisihan hasil Pilkada terdapat ketentuan ambang batas selisih suara antara pemohon dengan peraih suara terbanyak sebesar 0,5% hingga 2% suara yang ditentukan dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU.
Pada dasarnya pembentuk undang-undang mengatur ambang batas selisih suara sebagai bentuk upaya penyederhanaan serta membatasi banyaknya jumlah sengketa yang akan masuk ke lembaga penyelesaian perselisihan hasil Pilkada (Mahkamah Konstitusi). Ketentuan tersebut mengakibatkan tidak terpenuhinya hak konstitusional pemohon, karena berdasarkan desain penegakan hukum Pilkada, Mahkamah Konstitusi hanya melihat terkait perselisihan penetapan perolehan suara yang signifikan, sehinga tidak mempertimbangkan peristiwa lainnya seperti tindak pidana Pilkada apabila ketentuan ambang batas selisih suaranya sudah tidak terpenuhi.
Guna menjamin hak konstitusional pemohon, perlu segera membentuk Badan Peradilan Khusus sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 serta menghapuskan ketentuan ambang batas selisih suara, selama Badan belum terbentuk maka Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan perselisihan hasil Pilkada tetap memperhatikan substansi pokok permohonan pemohon tanpa mengesampingkan ambang batas selisih suara.

Law Number 10 of 2016 mandates the decision on the resolution of the Regional Head Election results by the Special Judiciary Body, but the Constitutional Court authorized the dispute settlement on the result of Regional Heads Election before the Special Judiciary Body formed. In dispute settlement on the result of Regional Heads Election, the margin threshold of the difference votes between the petitioners and the winner of the Regional Heads Election is 0.5% to 2% determined from the decision of the vote result by the General Election Commission.
Basiclly the legislator stipulation of margin threshold as a form of simplification and to limit the number of disputes that be registered to dispute settlement on the result of Regional Heads Election institution (the Constitutional Court). This stipulation does not guarantee the petitioners constitutional rights, because based on the design of law enforcement in the Regional Head Election, the Constitutional Court only sees the significant dispute over the determination of votes, so that it does not consider other events such as the Regional Head Election criminal offense if the stipulation on the margin threshold is not fulfilled
In order to guarantee the petitioners constitutional rights, the government needs to establish immediately the Special Judiciary Body mandated by Law Number 10 of 2016 and abolish stipulation of margin threshold in the dispute settlement on the result of Regional Heads Election, as long as the Special Judiciary Body has not been formed, the Constitutional Court in settle disputes on the results of the Regional Head Election still considers the main substance of the petition of the petitioners without prejudice to the margin threshold.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T55070
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidya Corry
"Skripsi ini membahas persetujuan tertulis Presiden dalam pemanggilan dan permintaan keterangan terhadap anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) yang diduga melakukan tindak pidana dengan menganalisis Putusan Mahkamah Konstitusi No. 76/PUU-XII/2014. Skripsi ini juga menjabarkan persetujuan tertulis dalam penyelidikan dan penyidikan yang diberlakukan bagi pejabat publik lainnya di Indonesia serta beberapa negara lain. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan analisa data kualitatif. Hasilnya, pertimbangan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 76/PUU-XII/2014 tidak konsisten, baik terhadap putusan Mahkamah Konstitusi sebelumya maupun terhadap pertimbangan lain dalam putusan tersebut.
The focus of this study is President?s written authorization in summoning and questioning of parliamentary member of Republic of Indonesia that suspected commiting a criminal act by analyzing Constitutional Court's Decision No. 76/PUU-XII/2014. This study also explain about written authorization in criminal proceedings of other public officials in Indonesia and other states. This study categorized as normative legal study with qualitative data analysis. The result of this study proves that the consideration of Constitutional Court's Decision No. 76/PUU-XII/2014 is inconsistent with Constitutional Court's previous decision and other consideration within this decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65120
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Devi Melissa
"Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis normatif terhadap kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi dalam pengujian konstitusional undang-undang ratifikasi. Sebagaimana diketahui, kebutuhan kerjasama antarnegara berkembang secara signifikan dalam berbagai aspek. Dalam rangka mengadopsi dan mengimplementasi setiap perjanjian yang disetujui di tingkat bilateral, regional, dan multilateral, Indonesia wajib melakukan ratifikasi melalui legislasi nasional. Akan tetapi, produk hukum hasil ratifikasi perjanjian internasional bukan merupakan produk legislasi meskipun secara hierarki kedudukannya dikategorikan sebagai undang-undang. Hal ini disebabkan, sifat undang-undang ratifikasi itu sendiri terutama dalam hal substansi, yaitu adanya perbedaan karakteristik dengan undang-undang yang berlaku pada umumnya. Atas hal itu, pengujian terhadap undang-undang ratifikasi sepatutnya tidak dapat dilakukan mengingat persoalan yang dapat ditimbulkan. 

This research attempts to analyze normatively the jurisdiction of Constitutional Court in doing constitutional review towards ratification act. As we know, the need of cooperation between countries is increasing significantly in variant aspects. In order to adopt and implement every single agreement that has been agreed in bilateral, regional, and multilateral level, Indonesia needs to ratify through national legislation. However, the product of ratification of international treaty is not legislation product law even though it is equally extended to the act based on hierarchy.  This caused by the nature of ratification act itself mainly in the substances area, in which comprehensively different with characteristics of common act applied.  Therefore, the examination of ratification act could not be done since it may disclose problematic decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T54827
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Yeremia Shedeas
"Skripsi ini membahas mengenai sistem pemilihan umum baru yang akan diterapkan di Indonesia dikaitkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan tersebut timbul karena adanya permohonan pengujian undang-undang pemilihan umum presiden dan wakil presiden. Adanya perubahan sistem menandakan sistem yang lama dianggap tidak sesuai lagi dengan kebutuhan. Demikian pula dengan pemilihan umum, perubahan terhadap sistemnya menandakan sistem yang lama tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan karena tidak mencapai tujuan yang diamanatkan oleh konstitusi. Oleh karena itu setiap warga negara yang merasa dirugikan dengan berlakunya suatu undang-undang, dapat mengajukan permohonan pengujian undangundang tersebut terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini pelaksanaan pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden yang terpisah menghabiskan dana yang sangat besar dan memberikan dampak yang negatif terhadap sistem pemerintahan presidensial. Mahkamah Konstitusi menerima alasanalasan pencabutan beberapa pasal dalam undang-undang tersebut, sehingga mulai 2019 pemilihan umum akan dilakukan secara serentak. Putusan tersebut memiliki urgensi yang cukup penting dan diharapkan menimbulkan implikasi positif terhadap sistem pemerintahan di Indonesia, yaitu efisiensi dana untuk pelaksanaan pemilihan umum dan memperkuat sistem presidensial.

This thesis discusses the new electoral system to be implemented in Indonesia related with the decision of the Constitutional Court. The decisions arise because of the judicial review petition of president and vice president regulation. The change of the system indicates that the old system was considered no longer appropriate to the needs. Similarly, elections, changes to the system indicating that the old system is no longer adequate and therefore do not achieve the goals mandated by the constitution. Therefore every citizen who feels aggrieved by the enactment of a law, may file a petition for the law towards the Constitution of 1945. In this case the legislative elections and the presidential elections which are considered separate spend much more costs and create negative impact for presidential system. Constitutional Court accepts the reasons for the revocation of several articles in the law. So in 2019, elections will be conducted simultaneously. The decisions have a significant urgency and expected positive implications of the system of government in Indonesia, such as funds savings of electoral execution and strengthen the presidential system.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S56788
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imansyah Auliaputra Mahidin
"Skripsi ini membahas mengenai hubungan perkawinan dengan pengakuan anak luar kawin menurut peraturan perundang - undangan di Indonesia pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010. Penelitian ini bersifat yuridis normatif dengan metode kualitatif dan tipe penelitian deskriptif. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut mengubah ketentuan Pasal 43 ayat 1 UU Perkawinan sehingga anak yang dilahirkan di luar perkawinan dapat memiliki hubungan keperdataan tak hanya dengan ibu dan keluarga ibu namun juga dengan ayah dan keluarga ayah selama dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan / atau alat bukti lain mempunyai hubungan darah. Untuk dapat memiliki hubungan keperdataan dilakukan pengakuan anak luar kawin yang diatur oleh KUHPerdata, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 sebagai peraturan terbaru setelah Putusan Mahkamah Konstitusi dikeluarkan. Hasil penelitian menghasilkan kesimpulan bahwa pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, pengakuan anak luar kawin tetap harus memenuhi syarat yang terdapat dalam Pasal 49 ayat 2 Undang - Undang Nomor 24 Tahun 2013 dan Hakim tidak konsisten menerapkan dasar hukum dalam mengabulkan Penetapan No. 175/Pdt.P/2015/PN.JKT.TIM.

This undergraduate thesis discusses about relation between marriage and child acknowledgment according to regulations in Indonesia after Constitutional Court Order Number 46 PUU VIII 2010. This research used normative juridical and qualitative method with descriptive as type of research. The Constitutional Court Order Number 46 PUU VIII 2010 change the condition of Article 43 verses 1 Law Number 1 Year 1974 which a child born out of lawful wedlock could have civil relationships not only with the mother and her family but also with the father and his family as long as it can be proven by science and technology and or other evidence resulting a blood relation. To acquire civil relationship, child acknowledgment could be done which is regulated under Book of the Law of Civil Law, Law Number 23 Year 2006, and Law Number 24 Year 2013 as the newest regulation after the Constitutional Court Order. The conclusions are after the Constitutional Court Number 46 PUU VIII 2010, child acknowledgment still have to qualify the term regulated by Article 49 verses 2 Law Number 24 Year 2013 and panel of Judges has been inconsistent in case of applying legal basis to grant Court Order Number 175 Pdt.P 2015 PN.JKT.TIM.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Selena Imania
"Corporate Social Responsibility adalah sebuah konsep yang sedang berkembang di Indonesia berkenaan dengan upaya pemerintah untuk mendorong praktek usaha yang berkelanjutan dengan mendorong perusahaan untuk berkontribusi lebih ke masyarakat sekitar mellaui berbagai kegiatan Corporate Social Responsibility. Hal tersebut terlihat dari adanya undang-undang yang menyatakan Corporate Social Responsibility sebagai praktek wajib perusahaa mdash;terutama perusahaan Badan Usaha Milik Negara dan perusahaan yang bergerak di sektor yang memanfaatkan sumber daya alam. Kewajiban yang berlaku untuk banyak jenis perusahaan di Indonesia tersebut menimbulkan pertanyaan, termasuk 'apakah mewajibkan praktek Corporate Social Responsibility sesuai dengan kententuan Undang-Undang Dasar 1945?' sehingga diajukan uji materiil akan kewajiban Corporate Social Responsibility bagi perseroan terbatas sesuai yang tertera dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan terbitlah Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-VI/2008 yang mengukuhkan upaya mewajibkan Corporate Social Responsibility di Indonesia bagi usaha-usaha yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam tulisan ini, pergeseran konsep sukarela Corporate Social Responsibility menjadi wajib melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia akan dianalisis.

Corporate Social Responsibility is a growing concept in Indonesia as the government is enforcing sustainable business practices through encouraging more companies to contribute towards the society through various Corporate Social Responsibility initiatives. This is expressed through several Indonesian national laws that deemed Corporate Social Responsibility as a mandatory company practice mdash particularly State Owned Enterprises and companies operating in sectors which utilize natural resources. The mandatory order applicable to the great number of Indonesian businesses has raised question about its constitutionalism and the obligation for limited liability companies to conduct Corporate Social Responsibility as expressed in Article 74 of Law Number 40 Year 2007 on Limited Liability Companies were put upon a judicial review, resulting in Constitutional Court Decision Number 53 PUU VI 2008 which instead strengthen the idea that Corporate Social Responsibility can be obligated towards businesses of a certain requirement. In this paper, the shift of what had been wholly voluntary activity into a regulated activity in Indonesia is analyzed. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69609
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Zahra Syafitri Enanie
"ABSTRAK
Tesis ini membahas mengenai bentuk pertanggungjawaban tenaga kesehatan khususnya profesi perawat. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yaitu penelitian ini mengacu pada ketentuan normatif atau peraturan perundang-undangan mengenai tindak pidana yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang menjalankan praktik pelayanan kesehatan serta menggunakan dua pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Pendekatan kasus meliputi pertanggungjawaban pidana tenaga kesehatan perawat melalui pengadilan sebanyak tiga putusan. Data yang diperoleh kemudian dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tugas dan wewenang tenaga kesehatan perawat dalam melakukan pelayanan kesehatan adalah praktik keperawatan professional meliputi seluruh aspek keperawatan yang diberikan kepada individu keluarga dan masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yakni Undang-Undang Tentang Keperawatan No.38 Tahun 2014, Undang-Undang Tentang Kesehatan No.36 Tahun 2009 dan peraturan yang terkait lainnya. Perawat dalam menjalankan praktik keperawatan harus memiliki batas-batas tertentu dalam melakukan kegiatan pelayanan kesehatan atau praktik keperawatan. Ruang lingkup dari malpraktik medis meliputi praktik yang buruk/ salah yang berkaitan dengan profesi dibidang medis atau kesehatan yaitu profesi dokter, bidan dan perawat. Untuk membuktikan terjadinya malpraktik, faktor-faktor yang sangat penting adalah, Duty kewajiban , Breach of Duty Penyimpangan dari kewajiban , Direct Causation Akibat langsung , Damage Kerugian . Perawat dalam memberikan asuhan/pelayanan keperawatan harus bertanggungjawab baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap masyarakat. Bentuk pertanggungjawaban di sini baik berupa tanggung jawab maupun tanggung gugat. Tanggung jawab perawat dalam pelayanan kesehatan dapat dibagi menjadi 3 tiga yaitu tanggung jawab perdata, tanggung jawab administratif, dan tanggung jawab pidana.

ABSTRACT
This thesis discusses about the form of responsibility of health workers especially nursing profession. The author use normative methode which is the methode refers to normative or regulation provisions concerning criminal acts committed by health workers who carry out health service practice and use two approaches namely approach of legislation and approach of case. The case approach involves the criminal responsibility of health workers Nurses through the court of three decisions. The data already got will be analyzed by qualitative means describe the data in the form of a sentence and then interpreted by binding to the legislation so that eventually will lead to a conclusion. The result is the authorities of health workers Nurses in performing health services is a professional nursing practice covering all aspects of nursing given to individual families and communities in accordance with applicable legislation in Indonesia UU about Nurses No.38 in 2014. UU about healthy No.36 in 2009, etc. Nurses in doing nursing practice must have certain limits on doing health services or nursing practice. The scope of medical malpractice includes bad or false practices related to the medical or health professions such a doctors, midwives and nurses. The Fact For proven the malpractice are Duty, Breach of duty, Direct Causation, and Damage. The nurse in providing nursing care must be responsible both to himself and to the community. This form of accountability is both responsibility and accountability. The responsibility of the nurse in the health service can be divided into three namely civil liability, administrative responsibility, and criminal responsibility."
2017
T48443
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfuady Bakir
"Sebagai pengadilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban sebagaimana ditentukan oleh Pasal 24C Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Diantara kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi, kewenangan memutus pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dapat dikatakan sebagai kewenangan utama dari sisi teori dan sejarah. Dalam praktiknya, sejak berdirinya hingga sekarang Mahkamah Konstitusi telah memutus banyak perkara pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Akan tetapi tidak terdapat satu putusan yang mengabulkan pengujian undang-undang secara formil. Dalam penelitian ini menganalisis bagaimana penyelesaian pengujian formil undang-undang terutama melihat pertimbangan-pertimbangan Hakim Konstitusi dalam dalam memutus pengujian perkara secara formil. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan desain analisis deskriptif. Hasil penelitian menemukan bahwa dalam memutus perkara pengujian formil, Mahkamah Konstitusi tidak hanya mempertimbangkan aspek-aspek formil prosedural dari pembentukan undang-undang.

As a constitutional court, the Constitutional Court has four powers and one obligation as stipulated by Article 24C of the 1945 Constitution. Among the powers possessed by the Constitutional Court, the authority to decide judicial review of the Constitution can be said to be the main authority in terms of theory and history. In practice, since its establishment until now the Constitutional Court has decided many cases of judicial review against the Constitution. However, there are no decisions that grant formal judicial review. In this research, it analyzes how the completion of the formal judicial review, especially looking at the considerations of the Constitutional Justices in deciding formal judicial review. This research is a qualitative research with a descriptive analysis design. The research found that in deciding formal review cases, the Constitutional Court did not only consider formal procedural aspects of the formation of laws."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>