Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 146698 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yusrifat Taqirozan
"Kondisi dunia pada tahun 2020 mendorong masyarakat Indonesia untuk mencari sumber pendapatan alternatif, dimana salah satunya melalui pasar modal. Dalam dunia pasar modal Indonesia pada dasarnya terdapat tiga pihak yang berperan yakni investor, pemerintah, dan perusahaan yang melalui proses IPO untuk mendaftarkan dirinya sebagai perusahaan tercatat pada pasar modal. Pencatatan tersebut dapat berakhir karena beberapa faktor, salah satunya adalah kepailitan. Suatu emiten dapat dinyatakan pailit tentunya berdasarkan persyaratan yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan dan PKPU Indonesia, dimana Undang-Undang itu sendiri masih memiliki persyaratan yang terlalu umum untuk mengubah status emiten menjadi pailit. Dalam penelitian ini Penulis menilai bahwa UU K-PKPU belum memenuhi Doktrin Radbruch secara sempurna serta memberikan intervensi yang tidak perlu sehingga menimbulkan eksternalitas negatif terhadap kegiatan perdagangan dalam pasar modal. Eksternalitas negatif tersebut didasari oleh biaya informasi yang tinggi bahkan information asymmetry antara para investor dengan seluruh pihak yang terlibat dalam proses kepailitan. Akibatnya investor memberikan over reaction dalam pasar sehingga harga saham emiten turun kepada titik yang tidak wajar. Selain itu peraturan perundang-undangan pasar modal juga tidak memberikan ketentuan tambahan terkait hubungannya dengan Hukum Kepailitan Indonesia sehingga tidak dapat diandalkan sebagai bentuk intervensi pemerintah untuk meminimalisir biaya informasi tersebut. Hal ini dapat dilihat dari contoh kasus kepailitan PT. Cowell Development Tbk. sebagai emiten yang dipailitkan berdasarkan kepailitan, namun perusahaan tersebut masih memiliki aset yang lebih besar dibandingkan utangnya. Emiten yang telah dikenakan forced delisting akan mengalami kesulitan untuk mengembalikan harga sahamnya kepada titik wajar mengingat pasar negosiasi pada umumnya tidak mewajibkan suatu keterbukaan informasi. Sehingga penulis menilai diperlukan intervensi dari pemerintah melalui reformulasi peraturan perundang-undangan untuk memberikan ketentuan yang lebih mengerucut terhadap kondisi keuangan emiten sebagai termohon pailit serta pihak yang berwenang dan berkapasitas untuk mengevaluasi hingga mendistribusikan informasi tersebut untuk mencapai pasar modal yang lebih efisien.

Global condition in 2020 encourages the Indonesians to seek an alternative income, one of which is through the stock market. Basically, there are three parties involved in the Indonesia’s stock market realms, namely investor, government, and the corporation that listed itself through the process of IPO as an issuer. Said listing could be terminated based on several factors, one of which is bankruptcy. An issuer could be declared bankrupt, based on the requirements that are regulated in Indonesia's Bankruptcy Act, which in itself still has requirements that are far too general to shift the status of a debtor to a bankrupt. In this research, the author considers that the Indonesia’s Bankruptcy Act does not fulfill the Radbruch Doctrine perfectly and provides unnecessary intervention, rising negative externality on trading activities in the capital market. Said negative externality buttresses on the high information cost even an information asymmetry between investors and every other parties involved in the bankruptcy proceedings. Resulting an escalation of over-reaction from the investors in the stock market until the stock value of the issuer plummeted towards an unreasonable point. Apart from that, the stock market statutes also do not provide an additional provision regarding its relationship with Indonesia’s Bankruptcy Act so it cannot be relied upon as a form of government intervention to minimize said information cost. This can be seen from the bankruptcy case of PT. Cowell Development Tbk. as an issuer that has been declared bankrupt while its assets value still exceeds its debt value. An issuer that has been forced delisted will find itself in a tough situation to return its stock value to the reasonable point considering the negotiation market in general does not require information transparency. The author believes that intervention from the government is needed through the reformulation of statutes in order to provide provisions that are more focused on issuer's financial condition as bankruptcy respondent as well as parties that are both authorized and capable to evaluate and distribute said information to achieve a more efficient stock market."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asra
"Dimulai dengan terjadinya krisis ekonomi akibat turunnya nilai rupiah terhadap dollar Amerika Serikat (US $) secara tajam dan mendadak pada tahun 1998. Akibat dari krisis ini diperkirakan banyak perusahaan (Debitor) dalam keadaan pailit (Insolvency) atau tidak mampu membayar utang-utangnya (insolven). Untuk keperluan ini, hukum kepailitan (bunkrupcy law) sebagai sarana penagihan utang yang merupakan pelaksanaan pasal 1131 dan 1132 KUH. Perdata. Undang-undang Kepailitan yang diatur dalam Faillisements Verordenings stbl. 1905 No. 217 jo. 1906 No. 348 perlu difungsikan dan dirubah, maka lahirlah PERPU Nomor 1 Tahun 1998 tertanggal 22 April 1998, yang kemudian disahkan menjadi Undang-undang No. 4 Tahun 1998.
Sebagai sarana penagihan utang, hukum kepailitan harus dibedakan penggunaanya dengan gugatan perdata biasa, untuk membedakannya, maka secara umum dianut adanya keadaan Insolven (unable to pay) sebagai persyaratan atau merupakan indikasi adanya kepailitan. Tetapi PERPU No. 1 Tabun 1998 jo. Undang-undang No. 4 Tahun 1998 tidak mengandung persyaratan ini dan telah melahirkan putusan putusan yang mengundang perdebatan (debatable). Pasal 1 ayat (1) jo. Pasal 6 (3) PERPU No. 1 Tahun 1998 jo. Undang-undang No. 4 Tahun 1998 ini mengatur persyaratan pernyataan pailit, tetapi keadaan insolven tidak merupakan persyaratan. Dengan demikian, Dengan mudahnya Debitor dapat dinyatakan pailit dengan hanya memenuhi syarat-syarat: Adanya dua Kreditor, utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih dan dapat dibuktikan secara sederhana.
Menurut beberapa pakar hukum kepailitan, persyaratan yang termuat dalam pasal 1 ayat (1) Undang-undang kepailitan ini mempunyai kelebihan dan kecanggihan dibandingkan dengan hukum kepailitan negara lain yang mengharuskan adanya persyaratan insolven (unable to pay) dimana undang-undang ini diharapkan untuk menjangkau para Debitor yang tidak mau membayar utang (unwilling to pay), atau alias Debitor nakal walaupun Debitor tersebut masih solven (able to pay debts). Tetapi kenyataan tidak demikian. Salah satu contoh yang aktual adalah putusan perkara kepaitan PT. Manulife Indonesia, putusan ini dikritik oleh Pemerintah Canada.
Kritikan atau kecaman ini sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya semua pihak dapat memahami adanya perbedaan pengertian pailit dalam perspektif negara lain dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dimana di negara lain pailit berarti tidak mampu membayar (insolven), sedangkan pailit dalam pengertian Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 berarti tidak membayar utang, bila utang itu dibayar kepailitan itu tidak ada. Disamping itu, upaya hukum pengajuan permohonan Penundaan Pembayaran Utang (PKPU) dapat digunakan untuk melawan permohonan pernyataan pailit yang diajukan Kreditor terhadap Debitor di pengadilan niaga. Dan kepada hakim diharapkan dapat menerapkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1988 secara arif dan bijaksana."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T18950
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andri Suseno
"Dalam proses penanganan perkara kepailitan di Indonesia dewasa ini perkara kepailitan PT Telkomsel, sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut karena Telkomsel merupakan perusahan besar yang ada di Indonesia yang juga dimiliki oleh Pemerintah. Hanya saja patut disayangkan, bahwa Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai bentuk perbuatan hukum yang dapat dibuktikan secara sederhana. Sehingga dalam hal ini muncul permasalahan apa saja bentuk perbuatan hukum yang dapat dibuktikan secara sederhana dalam kepailitan.
Untuk memberikan jawaban masalah tersebut maka penelitian yang dilakukan dengan menggunakan metode yuridis normatif dengan tipe penelitan deskriftif. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa adanya inkonsistensi putusan majelis hakim Pengadilan Niaga dan majelis Hakim Mahkamah Agung dalam memeriksa permohonan pailit, terutama dalam mengartikan terbukti secara sederhana (sumir) tersebut.

In the process of handling bankruptcy cases in Indonesia today bankruptcy case PT Telkomsel, is very interesting to study further because Telkomsel is a big company in Indonesia which is also owned by the Government. It's just unfortunate, that the Act on Bankruptcy and Suspension of Payment does not provide a detailed explanation as to form a legal action can be proved simple. So in this case any problems arise form of legal action can be proved simply in bankruptcy.
To provide answers to these problems the research conducted using the normative method of descriptive research type. From the research that has been done, the result that there was an inconsistency decision of the judges of the Commercial Court and the panel of judges of the Supreme Court in checking for bankruptcy, especially in deciphering proven simpler (vague) is.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35841
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Hanibali
"Skripsi ini membahas tentang Pengalihan Participating Interest dalam Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi Setelah Pemberesan Harta dalam Kepailitan, serta membahas Participating Interest merupakan Aset dalam Harta Pailit. Dari hasil Penelitian ini bertujuan menemukan kejelasan atas cara pengalihan Participating Interest dalam kepailitan. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang betuknya penelitian preskriptif. Hasil penelitian menyatakan bahwa pengalihan Participating Interest dapat dilakukan dengan berbagai cara, tetapi harus melihat ketentuan dari pemegang Participating Interest di SKK Migas.

This thesis discusses the transfer of ownership of participating interest in the Upstream Oil and Gas in A company that is experiencing bankruptcy, as well as discuss a Participating Interest in Assets Assets Bankruptcy. From the results of this study aims to find clarity on how the transfer of Participating Interest in bankruptcy. This research is descriptive research betuknya prescriptive. The study states that the transfer of Participating Interest can be done in various ways, but must look at the provisions of the holders of Participating Interest in SKK Migas
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58288
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pakpahan, Calvin Nathanael
"Tulisan ini membahas tentang kepailitan BUMN menurut UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Untuk memahami cara mengajukan pailit pada BUMN di Indonesia, syarat permohonan pailit, jenis-jenis BUMN, karakteristik BUMN dan pihak-pihak yang dapat mengajukan pailit berdasarkan UU KPKPU juga dibahas. Tulisan ini ditulis dengan menggunakan metode penulisan hukum normatif untuk menghasilkan data deskriptif analitis. Selanjutnya, temuan penelitian ini menyimpulkan bahwa, kreditor selain Menteri Keuangan berdasarkan Pasal 2 ayat (5) UU BUMN, jika BUMN berbentuk perseroan terbatas, dapat langsung mengajukan kepailitan. Penelitian ini diharapkan mampu memberi jawaban mengenai kepailitan pada BUMN berdasarkan UU KPKPU.

This thesis discusses the bankruptcy of BUMN according to Law no. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations. To understand how to file for bankruptcy with BUMN in Indonesia, the requirements for bankruptcy applications, types of SOEs, characteristics of BUMN and parties who can file for bankruptcy under the KPKPU Law are also discussed. This paper was written using the normative legal writing method to produce analytical descriptive data. Furthermore, the findings of this study conclude that creditors other than the Minister of Finance based on Article 2 paragraph (5) of the BUMN Law, if the BUMN is in the form of a limited liability company, can immediately file for bankruptcy. This research is expected to be able to provide answers regarding the bankruptcy of BUMN based on the KPKPU Law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasmin Ghaisani Sya'bina
"Perikatan sebagai seorang personal guarantee atau penanggung utang (borgtocht) meletakkan diri pada kedudukan yang cukup berisiko. Pada dasarnya, seseorang memiliki tanggung jawab yang cukup besar dalam kapasitasnya sebagai personal guarantee. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1820 KUHPerdata, seorang personal guarantee berkewajiban untuk melakukan pelunasan atas utang seorang debitur yang tidak membayar utang-utangnya. Namun, dalam melaksanakan perikatannya, seorang personal guarantee diberikan hak istimewa oleh Pasal 1831 KUHPerdata berupa hak untuk menuntut penyitaan dan penjualan harta kekayaan debitur utama terlebih dahulu sebelum harta kekayaannya dieksekusi. Tanggung jawab yang diberikan oleh undang-undang tersebut tidak menutup kemungkinan bagi personal guarantee untuk dimintai pertanggungjawaban di muka Pengadilan. Bahkan, Pasal 1832 ayat (1) KUHPerdata yang mengatur mengenai pelepasan hak istimewa personal guarantee mengindikasikan adanya kemungkinan personal guarantee dijatuhkan pailit atas utang debitur utama, baik bersamaan maupun tanpa dipailitkannya debitur utama. Sayangnya, peraturan perundang-undangan tidak mengatur secara eksplisit mengenai kedudukan personal guarantee dalam ruang lingkup kepailitan. Oleh karena itu, pada praktiknya masih ditemukan perbedaan penafsiran pertanggungjawaban personal guarantee dalam kepailitan. Tulisan ini menganalisis bagaimana pertanggungjawaban jaminan perorangan (personal guarantee) dalam kepailitan dengan dikaitkan pada Putusan Nomor 6/Pdt.Sus-Pailit/2020/ PN.Niaga.Jkt.Pst.. Selain itu, tulisan ini juga memaparkan perbandingan dengan yurisprudensi yang bertolak belakang dengan putusan tersebut, yaitu Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Nomor 922 K/Pdt/1995. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan didukung oleh data sekunder.

Agreement as a personal guarantee (borgtocht) places oneself in a quite risky position. Essentially, an individual bears a significant amount of liability in their capacity as a personal guarantee. As regulated in Article 1820 of the Civil Code, a personal guarantee is obligated to pay off the debts of a debtor who fails to pay their debts. However, in carrying out the agreement, a personal guarantee is given a privilege based on Article 1831 of the Civil Code in the form of the right to demand seizure and sale of the principal’s assets first before executing the personal guarantee’s assets. The liability that is given by the law does not preclude the possibility for personal guarantees to be held accountable before the Court. In fact, Article 1832 paragraph (1) of the Civil Code which regulates the relinquishment of personal guarantee’s privilege indicated the possibility of personal guarantee being declared bankrupt for the principal’s debt, either with or without the principal being declared bankrupt as well. Unfortunately, statutory regulations do not explicitly regulate the legal standing of personal guarantee within the scope of bankruptcy. Therefore, in practice, there are still different interpretations of personal guarantee’s liability in bankruptcy. This article analyzes personal guarantee’s  liability in bankruptcy by reviewing Decision No. 6/Pdt.Sus-Pailit/2020/PN.NIAGA.Jkt.Pst.. Apart from that, this article also presents a comparison to a jurisprudence that is contrary to the decision, namely Jurisprudence of the Supreme Court of the Republic of Indonesia No. 922 K/Pdt/1995. This article is written using a normative juridical research method and supported by secondary data."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ngurah Indra Andhika
"ABSTRAK
Pelaksanaan Hukum Kepailitan di Indonesia, dalam beberapa perkara, kerap menarik perhatian para pelaku usaha nasional maupun internasional. Perhatian tersebut berkaitan dengan tidak terdapatnya norma yang melindungi perusahaan atau pelaku usaha dengan kondisi finansial yang sehat (solvent) dari kepailitan. Hal tersebut dapat dilihat melalui beberapa perkara kepailitan, seperti perkara PT. AJMI, PT. Prudential Assurance dan yang teranyar adalah perkara kepailitan PT. Telkomsel Seluler serta PT Eastwood Timber Industries. Rezim kepailitan Indonesia pasca terjadinya krisis moneter pada dasarnya membuka diberlakukannya upaya hukum kepailitan terhadap siapa pun sepanjang memenuhi persyaratan mengenai jumlah kreditor dan unsur utang yang bersifat luas. Prinsip utang yang bersifat luas tersebut kerap menjadi loophole penyebab terjadinya kepailitan yang mendera perusahaan atau pelaku usaha solvent. Oleh sebab itu, untuk memberikan perlindungan bagi perusahaan atau pelaku usaha solvent, solvency test seharusnya diadopsi kedalam Hukum Kepailitan nasional kedepan untuk menghindari digunakannya pranata hukum kepailitan secara tidak tepat. Penulisan tesis ini bermaksud untuk melihat bagaimana solvency test diberlakukan dalam hukum kepailitan di Amerika Serikat. Kemudian, melihat sejauhmanakah solvency test tersebut dikenal dalam proses peradilan kepailitan di Indonesia. Berkaitan dengan permasalahan tersebut, dua buah kasus kepailitan di Indonesia, masing-masing PT. Telkomsel Seluler Tbk dan PT. Eastwood Timber Industries, dianalisa untuk melihat pemberlakuan dari solvency test dan melihat sikap pengadilan mengenai hal tersebut.

ABSTRACT
The implementation of bankruptcy law in Indonesia has attracted attention among business people, nationally and internationally. The attention and discussion is of concern the absent of protection available for solvent company or business individuals from threats using bankruptcy regime. Since the enactment of bankruptcy law in 1998 several cases involving solvent companies had happened, such as the case of PT AJMI and PT. Prudential Assurance, which had been successfully bankrupted. Those two companies were considered solvent at the time the petition was filed by their creditors. Moreover, since the new bankruptcy regime has been amended with the new law of 37 of 2004, cases involving solvent company remain happened, inter alia: the case of PT. Telkomsel Seluler and PT Eastwood Timber Industries. Both company were solvent at the time the involuntary petition was filed by their creditors. The bankruptcy regime of 2004 clarifying claim (debt) shall be seen within a broad perspective. However, this resulted in complexity in the examination of such claims, as a result it will likely to be contradictive to the requirement stated in article 8 (2) bankruptcy law 2004. The broad perspective of claim is likely to be the loophole, causing solvent company open from the exposure of bankruptcy regime. Therefore, solvency test should be adopted into the Indonesian bankruptcy law. This Thesis comprise of a study on American Bankruptcy Code that set solvency test and also look at 2 (two) bankruptcy cases to see how the implementation of solvency test in America. Moreover, it also making an attempt to see how the commercial court in Indonesia treat argumentation using solvency test in 2 (two) cases, involving PT. Telkomsel Seluler and PT. Eastwood Timber Industries."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T42768
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.M. Naufal Dimasyah
"Tulisan ini membahas mengenai Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dalam hal ini PT. Indonesia Power (Persero) dalam hukum kepailitan. Analisis didasari oleh Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku di Indonesia seperti Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2016, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN dan peraturan-peraturan terkait lainnya. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, sedangkan metode analisis datanya adalah metode kualitatif. Kesimpulan dari penelitian ini adanya penerapan yang tidak sesuai dengan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 dalam Putusan Pengadilan Nomor 35/Pdt.Sus-Pailit /2021/Pn. Niaga. Jkt. Pst. Antara Konsorsium Kinarya Liman Margaseta sebagai Pemohon Pailit VS PT. Indonesia Power sebagai Termohon Pailit. Penerapan Pasal 2 ayat (5) UU No. 40 Tahun 2007 oleh Majelis Hakim belum dapat dikatakan diterapkan secara sempurna. Hasil penelitian menyarakan diperlukannya pedoman akan kepailitan Anak Perushaan BUMN. Kemudian perlu adanya peraturan yang mengatur khusus tentang kepailitan Anak Perusahaan BUMN dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang agar terjadi kepastian hukum.

This Paper discusses the Subsidiary of State-Owned Enterprises (BUMN) in this case PT. Indonesia Power (Persero) from the perspective of Bankrupcy Law. The analysis is based on the current laws and regulations in Indonesia such as Government Regulation No. 72 of 2016, Law No. 40 of 2007, Law No. 19 of 2003 concerning State-Owned Enterprises (BUMN) and other related regulations. The research method used in this paper is a normative judicial approach, while the data analysis method is a qualitative method. The conclusion of this research is that the application of Artice 2 paragraph (5) of Law Number 40 of 2007 in Putusan Pengadilan Nomor 35/Pdt.Sus-Pailit /2021/Pn. Niaga. Jkt. Pst. is not properly applied. The application of article 2 paragraph (5) of Law No. 40 of 2007 by the Judges cannot be said to be implemented perfectly. The results from this paper suggest the need for Bankruptcy guidance for subsidiaries of State-Owned Enterprise. Also there is a need for a specific regulations regarding the Bankruptcy of subsidiaries of State-Owned Enterprise in Law No. 40 of 2007 to ensure legal certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marleen Josephine
"Skripsi ini membahas mengenai permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek yang diajukan oleh Krediturnya, dengan studi kasus Putusan Nomor 4/PDT.SUSPAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST. Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Adapun ketentuan tersebut dimaksudkan untuk melindungi kepentingan pihak ketiga untuk berinvestasi melalui pasar modal. Kemudian, Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang mengatur bahwa panitera harus menolak permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek yang diajukan oleh pihak selain Otoritas Jasa Keuangan. Namun, pada praktiknya masih terdapat banyak pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek yang tidak diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan. Hal ini dapat dilihat pada Putusan Nomor 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST, yang mengabulkan permohonan pernyataan pailit Perusahaan Efek (PT Brent Securities) yang diajukan oleh Kreditornya karena izin usahanya telah dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap suatu Perusahaan Efek dan kewenangan Otoritas Jasa Keuangan dalam permohonan pernyataan pailit Perusahaan Efek dalam putusan Nomor 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST ditinjau dari Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian deskriptif. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek mutlak merupakan kewenangan khusus Otoritas Jasa Keuangan sebagai lembaga negara yang melakukan pengawasan terhadap Perusahaan Efek, sekalipun izin usahanya telah dicabut oleh Otoritas Jasa Keuangan. Kemudian, putusan Majelis Hakim pada Putusan Nomor 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST, yang mengabulkan permohonan pernyataan pailit terhadap Perusahaan Efek oleh Krediturnya, tidak sesuai dengan pengaturan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

This thesis discusses about bankruptcy against Securities Company filed by its Creditors, with a case study of Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST. Article 2 paragraph (4) of Law No. 37 year 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment states that the petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company may only be filed by the Financial Services Authority. The existence of these provisions is intended to protect the interests of third parties to invest through the capital market. Then, Article 6 paragraph (3) of Law No. 37 year 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment states that the principal registrar is required to reject a petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company if it’s filed by any other party besides the Financial Services Authority. However, in practice there are still many petitions for a declaration of bankruptcy against Securities Company that are not be filed by the Financial Services Authority. This can be seen on Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST, which granted the petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company (PT Brent Securities) that filed by its creditors due to its business license revoked by Financial Services Authority. This research aims to identify the mechanism of filing an application for a bankruptcy against Security Company and the authority of Financial Services Authority for the bankruptcy petition of Securities Company in Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST. based on Law No. 37 year 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment. Type of research applied in this research is normative juridical approach with a descriptive typology. The result shows that the petition for a declaration of bankruptcy against Securities Company is the exclusive power of Financial Services Authority as a state institution that supervises Securities Company, even though their business license has been revoked by Financial Services Authority. Then, the decision of The Judges on Verdict No. 4/PDT.SUS-PAILIT/2021/PN.NIAGA JKT.PST which granted the application for bankruptcy declaration against the Securities Company by its Creditors, was not in accordance with the regulations in Article 2 paragraph (4) of Law No. 37 of 2004 regarding Bankruptcy and Suspension of Payment."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Daniel Wiyarta Tenggara
"Amerika Serikat mengenal equitable subordination dan debt recharacterization sebagai doktrin yang bertujuan memastikan perlindungan bagi para kreditur dari tindakan tidak adil yang dilakukan oleh kreditur (terutama pemegang saham kreditur) lainnya. Di sisi lain, Indonesia tidak mengenal doktrin-doktrin ini. Namun, Mahkamah Agung dalam Putusan No. 1038 K/Pdt.Sus/2010 telah menerapkan doktrin debt recharacterization terhadap pinjaman pemegang saham dengan mengacu pada UU KPKPU dan, khususnya, Pasal 3 ayat (2) UU PT. Walaupun demikian, kedua instrumen hukum tersebut tidak mengatur secara eksplisit mengenai penerapan doktrin debt recharacterization. Oleh karena itu, penelitian ini akan menganalisis (1) pengaturan dan penerapan doktrin debt recharacterization di Indonesia; (2) pengaturan dan penerapan doktrin equitable subordination dan debt recharacterization di Amerika Serikat; serta (3) perbandingan pengaturan dan penerapan kedua doktrin tersebut di Indonesia dan Amerika Serikat. Melalui penelitian dengan metode yuridis normatif dan pendekatan kualitatif, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, hukum kepailitan di Indonesia memberikan perlindungan bagi para kreditur dalam memperoleh hak mereka dan pencegahan tindakan debitur yang merugikan kreditur. Dalam hal ini, penerapan doktrin debt recharacterization memberikan dimensi perlindungan tambahan, yakni pencegahan tindakan pemegang saham kreditur yang merugikan kreditur lainnya. Kedua, hukum kepailitan Indonesia tidak mengatur secara eksplisit mengenai doktrin debt recharacterization, tetapi Mahkamah Agung telah memastikan keberadaan doktrin tersebut dalam Putusan No. 1038 K/Pdt.Sus/2010. Adapun hukum kepailitan Amerika Serikat hanya mengandung pengaturan yang eksplisit mengenai doktrin equitable subordination, tetapi tidak mengenai doktrin debt recharacterization. Walaupun demikian, kedua doktrin tersebut telah dikembangkan oleh berbagai pengadilan di Amerika Serikat. Ketiga, pengaturan dan penerapan doktrin equitable subordination dan debt recharacterization di Amerika Serikat telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan di Indonesia. Walaupun demikian, terdapat beberapa kemiripan antara doktrin debt recharacterization yang terdapat di Indonesia dengan masing-masing doktrin equitable subordination dan debt recharacterization yang terdapat di Amerika Serikat.

The United States recognizes equitable subordination and debt recharacterization as doctrines aimed at ensuring protection for creditors from inequitable conduct by other creditors (especially shareholder-creditors). On the other hand, Indonesia does not recognize these doctrines. However, Mahkamah Agung in Putusan No. 1038 K/Pdt.Sus/2010 has applied the debt recharacterization doctrine to shareholder loans by referring to UU KPKPU and, in particular, Article 3 paragraph (2) of UU PT. Nevertheless, these legal instruments do not explicitly regulate the application of the debt recharacterization doctrine. Therefore, this study will analyze (1) the regulation and application of the debt recharacterization doctrine in Indonesia; (2) the regulation and application of the equitable subordination and debt recharacterization doctrines in the United States; and (3) the comparison of the regulation and application of these two doctrines in Indonesia and the United States. Through research using normative juridical method and qualitative approach, the following conclusions can be drawn. Firs, the bankruptcy law in Indonesia provides protection for creditors in obtaining their rights and preventing debtor actions that harm creditors. In this regard, the application of the debt recharacterization doctrine adds an additional dimension to that protection, namely preventing shareholder-creditors actions that harm other creditors. Second, Indonesian bankruptcy law does not explicitly regulate the debt recharacterization doctrine, but Mahkamah Agung has ensured the existence of this doctrine in Putusan No. 1038 K/Pdt.Sus/2010. As for the United States bankruptcy law, it only contains explicit regulations regarding the equitable subordination doctrine, but not regarding the debt recharacterization doctrine. Nevertheless, both doctrines have been developed by various United States courts. Third, the regulation and application of the equitable subordination and debt recharacterization doctrines in the United States have developed much more than in Indonesia. However, there are some similarities between the debt recharacterization doctrine in Indonesia and, respectively, the equitable subordination and debt recharacterization doctrines in the United States."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>