Ditemukan 174400 dokumen yang sesuai dengan query
Dinda Dwi Utari
"Ranji dalam bahasa Minangkabau merupakan silsilah keturunan dari nenek moyang. Ranji dibutuhkan apabila terjadi persengketaan tanah harta pusaka tinggi karena dijadikan sebagai penentu apakah tanah harta pusaka tinggi tersebut jatuh kepada seseorang yang tepat atau tidak. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana konsep ranji yang dijadikan sebagai dasar kepemilikan tanah harta pusaka tinggi dalam masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat, dan menganalisis kedudukan ranji sebagai alat bukti tertulis dalam penyelesaian sengketa tanah harta pusaka tinggi milik kaum Dt. Paduko di Nagari Batu Balang. Metode Penelitian yang digunakan adalah doktrinal, yang mengacu kepada norma hukum sebagai sasaran penelitian. Penelitian ini menggunakan data sekunder dengan metode analisis kualitatif. Hasil dari penelitian ini konsep kepemilikan tanah ulayat di Minangkabau yaitu berupa harta kekayaan yang tergolong pusaka tinggi yang kepemilikannya berasal dari seluruh keluarga besar dengan pemberian berupa adat diisi lumbago dituang, artinya mengerjakan sesuatu dengan menurut adat kebiasaan yang terpakai. Asas utama tanah ulayat Minangkabau adalah jua ndak makan dibali, gadai ndak makan sando.Tanah harta pusaka tinggi tidak bisa diperjual belikan baik secara lepas yang artinya telah habis kepemilikan untuk selama-lamanya, dan hanya boleh dijual atau digadaikan dengan cara digadai yang berupa tebusan anggota kaumnya. Namun dalam keadaan mendesak tanah harta pusaka tinggi dapat dialihkan atau dipindahkan dengan keadaan seperti mayik tabujua ditanga rumah, rumah gadang katirisan, gadih gadang indak balaki dan mambangkik batang tarandam (mayat terbujur diatas rumah, rumah gadang yang sudah bocor, perempuan yang sudah besar belum bersuami, membangkitkan marwah kepemimpinan. Kemudian konsep ranji yang dijadikan sebagai dasar kepemilikan atas tanah harta pusaka tinggi dalam masyarakat adat Minangkabau di Sumatera Barat merupakan sebagai data untuk menunjukkan bahwa masyarakat punya kepentingan terhadap objek. Kedudukan ranji sebagai alat bukti tertulis dalam penyelesaian sengketa tanah harta pusaka tinggi milik kaum Dt. Paduko Marajo berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2206 K/Pdt/2022 yaitu ranji tergolong salah satu alat bukti berupa surat yang kuat berbentuk akta dibawah tangan, dibuat oleh Mamak Kepala Waris dan diketahui oleh seluruh atau perwakilan anggota kaum dalam hal persetujuan anggota kaum dan dipakai dalam proses persidangan perkara harta pusaka tinggi dan sepanjang dapat dibuktikan kebenaran dari sebuah ranji maka hal tersebut akan menjadi bahan pertimbangan bagi majelis hakim dalam memutus sengketa yang terjadi.
Ranji in the Minangkabau language is a lineage of ancestors. Ranji is needed if there is a dispute of high heirloom land because it is used as a determinant of whether the high heirloom land falls to the right person or not. This research aims to analyze how the concept of ranji is used as the basis for ownership of high heirloom land in the Minangkabau community in West Sumatra, and analyze the position of ranji as written evidence in the settlement of high inheritance land disputes belonging to the Dt people. Paduko in Nagari Batu Balang. The Research Method used is doctrinal, which refers to legal norms as research targets. This research uses secondary data with a qualitative analysis method. The result of this research, the concept of ownership of ulayat land in Minangkabau, is in the form of a wealth that is classified as a high heirloom whose ownership comes from the entire extended family with a gift in the form of a custom filled with lumbago, pouring, meaning doing something according to the custom used. The main principle of Minangkabau customary land is that it does not eat in Bali, pawns does not eat sando. High heritage land cannot be traded either freely, which means that it has been owned forever, and can only be sold or mortgaged in the form of ransom for members of their people. However, in an urgent state, the land of high heritage assets can be transferred or moved with conditions such as mayik tabujua diateh rumah, rumah gadang katirisan, gadih gadang indak balaki and mambangkik batang tarandam (the corpse lying above the house, the gadang house that has been leaked, the woman who has grown up not married, awakens the dignity of leadership). The concept of ranji which is used as the basis for ownership of high heritage land in the Minangkabau indigenous people in West Sumatra is as data to show that the community has an interest in the object. The position of ranji as a means of written evidence in the settlement of the dispute of high inheritance land belonging to the Dt people. Paduko Marajo based on the Supreme Court's Decision Number 2206 K/Pdt/2022, ranji is classified as one of the evidences in the form of a strong letter in the form of a deed under the hand, made by the Head of the Inherits's Mother and known by all or the representatives of the members of the clan in the case of the agreement of the members of the people and used in the process of the high inheritance case trial and as long as the truth can be proven from a ranji, it will be a consideration for the panel of judges in deciding the dispute that has occurred."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Monicke Cintyara
"Dalam memanfaatkan dan menggunakan tanah, pemegang hak wajib memiliki bukti alas hak yaitu sertipikat. Namun, masih banyak masyarakat yang menguasai suatu tanah tanpa di dasari sertipikat. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai kedudukan hukum rincik sebagai alat bukti hak atas tanah serta pertimbangan hakim seharusnya dalam menjatuhkan putusan terhadap kedudukan rincik sebagai alat bukti hak atas tanah berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1765 K/Pdt/2022. Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut adalah dengan metode penelitian doktrinal. Hasil penelitian ini adalah kedudukan rincik sebagai alat bukti hak atas tanah tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat sebagai pembuktian kepemilikan suatu hak atas tanah. Kedudukan rincik tidak dapat disebut sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah karena tanda bukti kepemilikan yang diakui oleh peraturan perundang-undangan adalah sertipikat, serta menilai bahwa pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan belum sepenuhnya tepat karena tidak mempertimbangkan fakta tentang penguasaan tanah dalam jangka waktu 20 (duapuluh) tahun atau lebih yang hal ini berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah menegaskan seseorang yang menguasai fisik tanah selama kurun waktu 20 (dua puluh) tahun secara terus-menerus dapat mendaftarkan diri sebagai pemegang hak atas tanah tersebut.
In utilizing and using land, rights holders must have proof of the basis of rights, namely certificates. However, there are still many people who control a land without being based on a certificate. The issues raised in this study are regarding the position of detailed law as evidence of land rights and the judge's consideration should be in handing down a decision on the position of rincik as evidence of land rights based on Supreme Court Decision Number 1765 K / Pdt / 2022. The research method used to answer these problems is doctrinal research methods. The result of this study is that the detailed position as evidence of land rights does not have strong legal force as proof of ownership of a land right. The detailed position cannot be referred to as proof of ownership of land rights because the proof of ownership recognized by laws and regulations is a certificate, and considers that the judge's consideration in handing down the decision is not entirely appropriate because it does not consider the facts about land tenure within a period of 20 (twenty) years or more, which is based on Article 24 paragraph (2) of Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration confirms A person who has physical control of the land for a period of 20 (twenty) years can continuously register as the holder of the right to the land."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Sitompul, Helena Albright Tarabunga
"Tesis ini membahas mengenai kedudukan Surat Keterangan Riwayat Tanah (SKT) yang dijadikan sebagai bukti kepemilikan dan bukti hak dalam melakukan penguasaan atas tanah yang menjadi objek sengketa dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1606/K/Pdt/2022. Pokok permasalahan dalam tesis ini adalah perihal SKT yang menjadi alas hak dalam menguasai tanah, ternyata dikeluarkan pada saat telah terjadi sengketa diatasnya. Penulisan tesis ini dilakukan dengan metode penelitian hukum doktrinal dengan tipologi penelitian preskriptif analitis, jenis data berupa data sekunder, dengan alat pengumpulan studi dokumen, serta analisis dilakukan secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa SKT bukanlah bukti kepemilikan atas tanah, dan apabila merujuk pada Pasal 97 PP Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun dan Pendaftaran Tanah, dinyatakan bahwa SKT ataupun bukti surat sejenis lainnya sebagai keterangan penguasaan atas tanah hanya dapat menunjukkan bukti penguasaan atas tanah sebagai petunjuk dalam rangka pendaftaran tanah. Dasar penerbitan SKT salah satunya adalah dengan melampirkan surat pernyataan tidak sengketa. Dengan demikian, SKT yang terbit diatas tanah dalam status sengketa menjadi tidak sah dan dibatalkan.
This thesis discusses about legal strength of Land History Letter (SKT) used as proof of ownership and right in possession of the land, which was the object of dispute in the Supreme Court Decision No. 1606/K/Pdt/2022. The main problem in this thesis is the SKT, which is the basis of the right in possession of the land was made at a time when there was a dispute over the land. The writing of this thesis is done using doctrinal law research methods with analytical prescriptive research typology, data types as secondary data, with document study collection tools, as well as analysis performed qualitatively. The results of the research show that the SKT is not proof of ownership of land, and referring to Article 97 of the Civil Code No. 18 of 2021 on management rights, land rights, housing units and land registration, it is stated that SKT or other similar letter proof as evidence of possession of land can only indicate evidence of land possession as an indication in the framework of land Registration. One of the conditions to apply SKT to be publish is by attaching a letter of non-dispute of the land. Therefore, the SKT that was publish at the time when a land in dispute status, then the SKT must be declared invalid."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Jeva Fitri Fadilla
"Notaris menjalankan jabatannya dalam melayani masyarakat membuat akta autentik sebagai alat bukti yang bersifat mutlak dan diakui negara, tentunya diikuti dengan tanggung jawab yang penuh sebagai pejabat umum. Atas dasar tersebut, maka diperlukannya perlindungan hukum untuk melindungi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya apabila terjadi sengketa di kemudian hari. Dalam hal pembuatan akta perjanjian kerjasama, Notaris hanya menjalankan jabatannya untuk memberikan alat bukti yang dibutuhkan masyarakat. Dengan kata lain, dalam pembuatan perjanjian Kerjasama, berisi ketentuan yang merupakan kehendak para pihak yang dituangkan dalam akta autentik. Sehingga Notaris tidak bisa diikutsertakan menjadi pihak tergugat ketika perjanjian tersebut tidak terpenuhi, karena Notaris tidak bertanggung jawab atas jalannya kesepakatan dalam perjanjian. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini mengenai implikasi dan perlindungan hukum bagi Notaris; (1) Impikasi dan perlindungan hukum bagi Notaris sebagai tergugat dalam penyelesaian sengketa berkaitan dengan akta yang dibuatnya; (2) kedudukan Notaris sebagai tergugat dan akibat hukum terjadinya sengketa atas akta perjanjian berkenaan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 438 K/Pdt/2022. Untuk menjawab permasalahan tersebut pada penelitian ini menggunakan metode penelitian doctrinal dengan tipologi penelitian eksplanatori. Data yang digunakan ialah data sekunder dengan wawancara sebagai data pendukung. Metode analisis dalam penelitian ini bersifat kualitatif. Bentuk hasil penelitian ini berbentuk penelitian eksplanatoris-analisis. Hasil analisis (1) Notaris tidak berimplikasi atas akta yang dibuatnya serta perlindungan hukum bagi Notaris yaitu berupa hak dan kewajiban ingkar berdasarkan Pasal 4 ayat (2), Pasal 16 ayat (1) huruf f, Pasal 54 dan Pasal 66 UUJN; (2) tidaklah tepat menjadikan Notaris sebagai pihak tergugat karena Notaris terbukti telah menjalankan jabatan sesuai dengan peraturan jabatan yang ada, serta akibat hukum yang tepat ialah dapat dibatalkannya akta perjanjian yang bersangkutan.
Notaries carry out their duties in assisting the community to make authentic deeds for the purpose as evidence that is absolute and recognized by the state, of course, Notary followed by full responsibility as a public official. On this basis, legal protection is needed to protect Notaries in carrying out their duties incase there is a dispute in the future. In the case of making an agreement deed, the Notary is only carrying out his position to provide the evidence needed by the community. In other words, in making an agreement, it contains provisions which are the will of the parties as set forth in an authentic deed. Thus, the Notary cannot be placed as the defendant when the agreement is not fulfilled, because the Notary is not responsible for the implementation of the agreement stated on the deed. The issues raised in this study regarding the implications and legal protection for Notaries; (1) Implications and legal protection for a Notary as a defendant in disputes settlement related to the deed he made; (2) the position of the Notary as a defendant and the legal consequences of a dispute over the deed of agreement regarding the Supreme Court Decision Number 438 K/Pdt/2022. To answer these problems, this study uses a doctrinal research method with an explanatory research typology. The data used is secondary data with interviews as the supporting data. Analytical method in this study is qualitative. The results of this research are in the form of explanatory-analytic research. The results of the analysis (1) The notary has no implications for the deed he made as well as legal protection for the Notary, namely in the form of rights and obligations to disavow under Article 4 paragraph (2), Article 16 paragraph (1) letter f, Article 54 and Article 66 UUJN; (2) it is not appropriate to put a Notary as a defendant because the Notary is proven already carried out his position in accordance with the existing regulations, and the legal consequence that suitable is the deed of agreement can be cancelled (voidable)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Maxwell Kurniadi
"Pipil adalah salah satu bentuk dari surat pengenaan pajak atas tanah yang dianggap sebagai hak lama terhadap kepemilikan atas tanah sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria oleh masyarakat adat. Hak lama atas tanah yang minim informasi kepemilikannya dan tidak tercatat di Badan Pertanahan Nasional sering kali menjadi sasaran empuk bagi pelaku kejahatan untuk menguasai tanah secara “legal” dengan melakukan penipuan dalam pada salah satu syarat pendaftaran tanah untuk pertama kali. Perbuatan melawan hukum ini dilakukan pelaku dengan tujuan untuk meraup keuntungan melalui jual beli tanah kepada pihak ketiga selaku pembeli beritikad baik yang tidak mengetahui kebenaran sesungguhnya atas tanah tersebut dan mengakibatkan kerugian baik kepada pembeli maupun pemilik tanah sebenarnya. Oleh karena itu, tulisan ini menganalisis bagaimana kedudukan pihak ketiga beritikad baik dalam suatu sengketa jual beli tanah serta akibat hukum terhadap Sertipikat Hak Milik No. 1073/Desa Bunga Mekar dan Sertipikat Hak Milik No. 1074/Desa Bunga Mekar yang cacat hukum akibat penipuan pada pendaftaran pertama kali pada studi kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 3540M/Pdt/2019. Penelitian ini menggunakan metode penelitian ilmu hukum doktrinal yang bersifat preskriptif dengan menggunakan metode penelitian normatif kualitatif berdasarkan studi dokumen. Prinsip itikad baik memberikan suatu perlindungan hukum terhadap pihak yang menerapkannya dengan memenuhi persyaratan jual beli yang ditentukan oleh undang-undang telah dipenuhi walaupun pada kenyataannya jual beli tersebut mengandung cacat hukum. Hasil produk hukum berupa Sertipikat Hak Milik No. 1073/Desa Bunga Mekar dan Sertipikat Hak Milik No. 1074/Desa Bunga Mekar dibatalkan demi hukum karena terjadinya kecacatan hukum dan Pipil No. 936, Persil No. 127b, Klas III kembali menjadi satu-satunya hak atas tanah yang pada tanah tersebut.
Pipil is a form of tax imposition letter on land which is considered an old right to land ownership before the enactment of Law Number 5 of 1960 concerning Agrarian Principles by indigenous peoples. Old land rights with minimal ownership information and not registered with the National Land Agency often become easy targets for criminals to control land "legally" by committing fraud in one of the land registration requirements for the first time. This unlawful act was carried out by the perpetrator with the aim of making a profit through buying and selling land to a third party as a buyer in good faith who did not know the real truth about the land and resulted in losses to both the buyer and the actual land owner. Therefore, this paper analyzes the position of a third party in good faith in a land sale and purchase dispute and the legal consequences of the Certificate of Ownership No. 1073/Village Bunga Mekar and Certificate of Ownership No. 1074/Bunga Mekar Village which is legally flawed due to falsification of documents during the first registration in the case study of Supreme Court Decision Number 3540M/Pdt/2019. This research uses prescriptive doctrinal legal research methods using qualitative normative research methods based on document studies. The principle of good faith provides legal protection for parties who apply it by fulfilling the terms of sale and purchase determined by law even though in reality the sale and purchase contains legal defects. The resulting legal product is a Certificate of Ownership No. 1073/Village Bunga Mekar and Certificate of Ownership No. 1074/Desa Bunga Mekar was canceled by law due to legal defects and Pipil No. 936, Plot No. 127b, Class III again becomes the only land right on that land."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Rachel Christina Duma Purba
"Tesis ini membahas mengenai kuasa menjual yang seringkali disalahgunakan untuk melakukan eksekusi objek jaminan secara melawan hukum, terutama jika kuasa tersebut mengandung unsur cacat kehendak seperti kekeliruan, paksaan, penipuan, atau penyalahgunaan keadaan. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 22 K/PDT/2022, Nomor 3176 K/PDT/2020, dan Nomor 3324 K/PDT/2019 menggambarkan sengketa kepemilikan tanah yang bersumber dari kuasa menjual atau perjanjian peralihan hak yang diduga mengandung unsur cacat kehendak. Dalam kasus-kasus tersebut, para pihak bersengketa mengenai keabsahan peralihan hak atas tanah serta tuntutan ganti rugi akibat penyalahgunaan kuasa menjual. Penelitian ini menggunakan bentuk penelitian doktrinal dan menitikberatkan pada penelitian kepustakaan untuk mengkaji asas-asas hukum, sistematika hukum, dan sinkronisasi hukum berkaitan dengan kuasa menjual yang mengandung unsur cacat kehendak. Data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif kualitatif. Pembuatan kuasa menjual yang mengandung unsur cacat kehendak seringkali dimanfaatkan sebagai modus operandi penjualan objek jaminan secara melawan hukum. Untuk mencegahnya, diperlukan kehati-hatian dari pemberi kuasa, integritas penerima kuasa, serta peran aktif notaris dalam menggali kehendak para pihak. Akibat hukum dari kuasa menjual yang cacat adalah pembatalan kuasa beserta perjanjian turunannya, pengembalian objek kepada pemilik semula, serta kewajiban ganti rugi bagi penerima kuasa yang beritikad buruk. Kuasa menjual yang mengandung unsur cacat kehendak merugikan kepentingan pemberi kuasa dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Untuk itu, diperlukan penguatan regulasi, peningkatan peran notaris, edukasi masyarakat, serta penegakan hukum yang konsisten agar kuasa menjual dapat digunakan sesuai fungsinya sebagai instrumen pendukung transaksi yang sah. Putusan-putusan pengadilan dapat menjadi pedoman dalam memberikan perlindungan hukum yang optimal bagi pihak yang dirugikan akibat penyalahgunaan kuasa menjual.
This thesis discusses the power of sale that is often misused to execute collateral objects unlawfully, especially if the power of sale contains elements of will defects such as mistake, coercion, fraud, or abuse of circumstances. Supreme Court Decisions No. 22 K/PDT/2022, No. 3176 K/PDT/2020, and No. 3324 K/PDT/2019 illustrate land ownership disputes stemming from power of sale or title transfer agreements that allegedly contain elements of will defects. In these cases, the parties disputed the validity of the transfer of land rights and the claim for compensation due to misuse of the power of sale. This research uses a form of doctrinal research and focuses on literature research to examine legal principles, legal systematics, and legal synchronization related to the power of sale containing elements of will defects. The data obtained is analyzed descriptively qualitatively. The making of power of attorney to sell containing elements of defective will is often used as a modus operandi for the sale of collateral objects unlawfully. To prevent this, caution is required from the grantor, the integrity of the power of attorney recipient, and the active role of the notary in exploring the will of the parties. The legal consequences of a defective power of attorney to sell are the cancellation of the power of attorney and its derivative agreements, the return of the object to the original owner, and the obligation to compensate the recipient of the power of attorney for bad faith. Power of attorney to sell that contains elements of defective will harms the interests of the grantor and creates legal uncertainty. For this reason, it is necessary to strengthen regulations, increase the role of notaries, educate the public, and consistently enforce the law so that the power of sale can be used according to its function as a supporting instrument for legal transactions. Court decisions can serve as a guideline in providing optimal legal protection for parties harmed by misuse of the power of sale."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Patricia Pieter
"Tulisan ini menganalisis kekuatan pembuktian surat wasiat yang dibuat oleh WNI di luar negeri, serta akibat hukum dari pertimbangan hakim dalam putusan yang diangkat terhadap surat wasiat tersebut dan terhadap harta peninggalan pewaris. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Pasal 945 KUH Perdata menyatakan bahwa WNI yang berada di luar negeri tidak boleh membuat wasiat selain dengan akta autentik dan dengan mengindahkan formalitas-formalitas yang berlaku di negeri tempat akta itu dibuat. Berarti, KUH Perdata mengamahakan bahwa keabsahan wasiat ditentukan oleh persyaratan formil ini, yaitu harus dalam bentuk akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Padahal, pembuatan wasiat secara autentik bukanlah suatu kewajiban, melainkan opsi yang tersedia bagi yang menginginkan. Kasus dalam putusan melibatkan 2 (dua) wasiat, satu dibuat di hadapan Notaris sebelum pewaris menikah, dan satunya lagi dibuat di hadapan Attorney at Law di Amerika Serikat setelah pewaris menikah dan bertempat tinggal disana. Sepeninggalnya pewaris, ahli waris ab testamenter dari kedua wasiat menuntut haknya dan saling mempermasalahkan wasiat tersebut. Hukum Perdata Internasional di Indonesia mengenal prinsip lex patriae, locus regit actum, dan lex rei sitae. Ketika terjadi sengketa waris dimana terdapat unsur internasional seperti dalam kasus, maka selain merujuk pada KUH Perdata, prinsip-prinsip Hukum Internasional tersebut juga patut untuk dipertimbangkan. Dalam hal suatu dokumen tidak dapat dianggap autentik karena tidak dibuat di hadapan Notaris, maka dapat merujuk pada Hukum Acara Perdata, yang tidak hanya mengakui kekuatan pembuktian alat bukti berupa akta autentik, namun juga pada akta yang dibuat di bawah tangan. Oleh karena hakim dalam putusan yang diangkat hanya merujuk pada Pasal 945 KUH Perdata, maka wasiat yang pertama dibuat oleh pewaris di Indonesia berhasil mengalahkan wasiat terakhir yang dibuatnya di Amerika Serikat, serta obyek warisan tidak beralih kepada orang yang ditunjuk sesuai kehendak terakhirnya. Tidak adanya aturan khusus tentang hukum waris Indonesia yang dapat secara definit mengarahkan pembuatan wasiat bagi WNI telah menyebabkan penafsiran yang variatif dan akibatnya, kejadian seperti dalam kasus inilah yang akhirnya melemahkan hak berwasiat WNI yang bertempat tinggal di luar negeri.
The article analyzes the evidentiary strength of a testament made by Indonesian citizens abroad, as well as the legal consequences of judge's considerations in the court’s decision regarding the testament and the inheritance of the testator. This thesis uses doctrinal research methods. Article 945 of the Civil Code states that Indonesian citizens abroad may not make a testament other than with an authentic deed and by observing the formalities applicable in the country where the deed is made. It indicates that the Civil Code requires that the validity of a testament is determined by these formalities, that it must be in the form of a deed made by an authorized official. However in fact, a testament in the form of an authentic deed is not an obligation, but rather an option available for those who wish to. The case involved 2 (two) testaments, one made before a Notary before the testator married, and the other made before an Attorney at Law in the United States after the testator married and resided there. After the testator’s death, the testamentary heirs of both testaments claimed their rights and disputed each other's testaments. Private International Law in Indonesia recognizes the principles of lex patriae, locus regit actum, and lex rei sitae. When an inheritance dispute occurs with an international element, as in this case, apart from referring to the Civil Code, the principles of International Law are also worth considering. In an event where a document cannot be considered authentic because it was not made before a Notary, one can refer to the Civil Procedure Law, which not only recognizes the evidentiary power of evidence in the form of authentic deeds, but also privately made deeds. As a result of the court’s decision where the judges only referred to Article 945 of the Civil Code, the first testament that was made in Indonesia succeeded in defeating the last testament made in the United States, and the inheritance object did not pass to the person appointed according to testator’s last will. The absence of specific rules regarding Indonesian inheritance law that can definitively direct the making of testament for Indonesian citizens has led to varied interpretations and as a result, incidents such as in this case ultimately weaken the rights of Indonesian citizens residing abroad to write a testament."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Zerlina Jihan Deavinsa
"Akta autentik sebagai produk hukum Notaris merupakan bagian dari protokol Notaris yang harus dijaga dan disimpan oleh setiap Notaris. Protokol Notaris akan beralih kepada Notaris lain apabila Notaris pembuat protokol sudah tidak menjabat. Atas dasar tersebut, maka diperlukan perlindungan hukum untuk melindungi Notaris dalam menjalankan tugas jabatannya apabila terjadi sengketa atas protokol yang diterimanya. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini mengenai (1) Perlindungan hukum terhadap Notaris penerima protokol sebagai tergugat dalam penyelesaian sengketa atas akta yang dibuat oleh pemberi protokol; (2) Pertanggungjawaban Notaris pemberi protokol terhadap akta yang dibuatnya berkenaan dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1196 K/Pdt/2020. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penelitian ini menggunakan metode penelitian doktrinal dengan tipe penelitian eksplanatoris-analisis. Data yang digunakan ialah data sekunder dan wawancara sebagai data pendukung. Hasil analisis (1) Akta yang menjadi bagian dari protokol yang diserahkan sepenuhnya dibuat oleh Notaris pemberi protokol, sehingga Notaris penerima protokol tidak bisa diikutsertakan sebagai tergugat, karena Notaris penerima protokol tidak bertanggung jawab atas akta yang dibuat oleh pemberi protokol. Perlindungan hukum bagi Notaris penerima protokol yang dijadikan sebagai tergugat adalah berkaitan dengan rahasia jabatan Notaris, yaitu hak ingkar yang kemudian dapat ditafsirkan sebagai kewajiban ingkar berdasarkan Pasal 4 ayat (2) mengenai sumpah jabatan Notaris dan Pasal 16 ayat (1) huruf f UUJN yang memuat kewajiban Notaris; (2) Tanggung jawab berkaitan dengan pembuatan akta tidak dapat beralih kepada penerima protokol maupun kepada ahli waris, karena jabatan Notaris melekat subjektif pada diri Notaris, sehingga tanggung jawabnya tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Tanggung jawab Notaris pemberi protokol selaku pembuat akta tetap melekat meskipun protokol Notaris telah beralih berdasarkan Pasal 65 UUJN, dengan tetap memperhatikan daluwarsa gugatan perdata dalam Pasal 1967 KUHPerdata.
Authentic deed as a notary's legal product is part of the notary's protocol that must be maintained and kept by every notary. The Notary Protocol will be transferred to another Notary if the Notary that makes the protocol no longer serves as Notary. On this basis, legal protection is needed to protect the Notary in carrying out their duties in case of a dispute over the protocol they receive in the future. The issues raised in this study regarding (1) legal protection for the protocol receiver as a defendant in dispute settlement related to deeds made by the protocol giver; (2) the responsibility of the Notary protocol giver for the deed they made regarding the Supreme Court Decision Number 1196 K/Pdt/2020. To answer these problems, this study uses doctrinal research methods with explanatory-analytic research. The data used is secondary data and interviews as supporting data. The results of the analysis (1) The deed that is part of the transferred protocol is fully made by the Notary who gives the protocol, therefore, the Notary protocol receiver cannot be placed as a defendant, because the Notary protocol receiver is not responsible for the deed made by the protocol giver. Legal protection for the Notary protocol receiver as a defendant is related to the Notary’s professional confidentiality,specifically in the form of right to disavow that can be named as obligation to disavow under Article 4 paragraph (2) and Article 16 paragraph (1) letter f UUJN; (2) The responsibility related to the making of deeds cannot be transferred to the Notary protocol receiver or to the heirs, as the Notary’s position is inherently subjective to the Notary themselves. Therefore, the responsibility cannot be shifted to other people. The responsibility of the Notary protocol giver as the maker of the deed remains attached even though the protocol has been transferred based on Article 65 UUJN, whilst taking into account the expiration of civil lawsuits in Article 1967 of the Civil Code."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Arkan Arieftha
"Notaris menjalankan jabatannya memiliki kewenangan untuk membuat akta autentik untuk keperluan para pihak. Notaris wajib mengikuti tata cara yang terdapat dalam ketentuan perundang-undangan agar akta yang dibuatnya memiliki kekuatan hukum sebagai akta autentik. Tetapi adanya pembuatan akta dengan mempergunakan blangko kosong yang dapat mengakibatkan kekuatan pembuktian akta tersebut menjadi akta dibawah tangan. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini mengenai pembuatan akta oleh Notaris berdasakan Putusan Mahkamah Agung dan pertanggungjawaban Notaris atas pembuatan akta dengan blangko kosong sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3683/K/Pdt/2022. Metode penelitian yang digunakan doktrinal dengan tipe eksplanatoris analisis. Pendekatan kualitatif dalam penganalisisannya. Selain data sekunder penelitian ini didukung oleh wawancara dengan beberapa notaris untuk mengkonfirmasi atas data yang ada. Hasil penelitian menunjukan bahwa prosedur pembuatan akta diawali dengan pertemuan antara para penghadap dengan Notaris, yang dilanjutkan pembuatan akta oleh Notaris dan diakhiri dengan pembacaan dan penandatanganan akta, akan tetapi dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 3683/K/Pdt/2022 prosedur pembuatan akta dengan mempergunakan blangko kosong dan menyebabkan berubahnya autentisitas akta autentik menjadi akta dibawah tangan. Dan dalam kasus ini notaris hanya dikenakan sanksi secara perdata berupa ganti rugi, pengembalian sertipikat tanah, dan pengembalian biaya utang-piutang yang seharusnya notaris dapat juga dikenakan saksi berupa pemberhentian sementara dari jabatan maupun sanksi pidana yang berupa penyalahgunaan keadaan dan penipuan.
A notary carries out his duties with the authority to create authentic deeds for the parties involved. The notary is required to follow the procedures stipulated by the law to ensure that the deeds created have legal validity as authentic documents. However, the use of blank forms in creating deeds can result in the evidentiary strength of those deeds being considered as private documents. The issue addressed in this research pertains to the creation of deeds by Notary’s and the notary's responsibility for creating deeds using blank forms, as stated in Supreme Court Decision Number 3683/K/Pdt/2022. The research method employed in this study is doctrinal with an explanatory analysis type, utilizing a qualitative approach for analysis. In addition to secondary data, this research is supported by interviews with several notaries to confirm the existing data. The research findings indicate that the procedure for creating deeds begins with a meeting between the parties involved and the notary. The notary then proceeds with the preparation of the deed, which concludes with the reading and signing of the deed. However, according to Supreme Court Decision Number 3683/K/Pdt/2022, using blank templates in the deed creation process can result in a change in the authenticity of the authentic deed to that of an under-hand deed. In this case, the notary is subject to civil sanctions, such as compensation, the return of land certificates, and the reimbursement of debts and credits, which should also include potential temporary suspension from the position and criminal penalties for abuse of circumstances and fraud."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Indah Pratiwi Widyaningrum
"Dalam jaminan fidusia, terdapat pihak memberi jaminan (pemberi fidusia), pihak yang menerima jaminan (penerima fidusia), dan benda yang dijadikan objek jaminan fidusia. Kepercayaan antara pemberi fidusia dan penerima fidusia merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam praktek jaminan fidusia, dikarenakan benda yang dijadikan jaminan fidusia tetap berada dalam kekuasaan pemberi fidusia, dan untuk menjadikan suatu benda sebagai jaminan fidusia, benda tersebut harus benar-benar diserahkan ke dalam kepemilikan penerima fidusia. Untuk melakukan penyerahan ini, yang menyerahkan benda tersebut harus memiliki kewenangan untuk bertindak. Berdasarkan hal tersebut dapat didefinisikan bahwa pihak pemberi fidusia adalah pemilik dari benda yang akan dijadikan objek jaminan fidusia, hal ini dikarenakan kewenangan untuk menyerahkan hak kepemilikan benda hanya dimiliki oleh seorang pemilik benda. Namun pada prakteknya, dapat terjadi penyelewengan pada penjaminan fidusia dimana pemilik benda tidak mengetahui bahwa benda miliknya dijadikan jaminan fidusia oleh orang lain dalam suatu perjanjian fidusia. Fokus permasalahan yang diangkat pada penelitian ini adalah akibat hukum terhadap akta jaminan fidusia dengan objek jaminan fidusia bukan milik pemberi fidusia berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi 9/PDT/2022/PT BJM; dan perlindungan hukum terhadap pemilik benda yang benda miliknya dijaminkan sebagai objek jaminan fidusia. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode penelitian doktrinal, dengan melakukan analisis lebih lanjut terhadap data sekunder. Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan yang dilakukan dengan menghimpun data dengan mempelajari buku-buku, artikel, jurnal, serta peraturan-peraturan dan juga Undang-Undang yang berkaitan dengan jaminan fidusia. Hasil analisis pada penelitian ini menunjukkan bahwa akibat hukum terhadap akta jaminan fidusia yang identitas kepemilikan objek jaminan nya bukan milik pemberi fidusia adalah batal demi hukum. Karena tidak terpenuhi syarat sahnya perjanjian yang tercantum pada Pasal 1320 KUHPerdata yaitu suatu sebab yang halal, karena melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yaitu Pasal 1 ayat (5) dan Pasal 6 huruf (a) UUJF.
In fiduciary guarantee, parties included is the grantor of the fiduciary, the recipient of the fiduciary, and fiduciary guarantee object. Trust is important between parties in the practice of fiduciary guarantees, due to fiduciary guarantee remains in the control of the grantor of the fiduciary, and to make an object as fiduciary guarantee, it must be transferred into the ownership of the recipient of the fiduciary. The person who handed over the object must have the authority to act. According to that, it’s defined that the grantor of the fiduciary is the owner of the guarantee object, due to the authority to hand over ownership rights is only owned by the owner. However, in practice, fraud can happen where the owner of the object doesn’t know that his object used as fiduciary guarantee by someone else in a fiduciary agreement. The problem focus raised in this research is the legal consequences of a fiduciary guarantee deed with the object of the fiduciary guarantee not owned by the grantor of the fiduciary based on High Court Decision 9/PDT/2022/PT BJM; and legal protection for owners of objects whose objects are guaranteed as fiduciary collateral. This research was conducted using doctrinal research, by perform further analysis of secondary data. The data collection tool is a literature study, by collecting data from books, articles, journals, and regulations related to fiduciary guarantees. The analysis results in this research concluded that the legal consequences of a fiduciary guarantee deed whose identity of ownership of the collateral object does not belong to the grantor of the fiduciary is null and void. Because it is not fulfilled terms of validity of the agreement according to Article 1320, which is a lawful cause, on the account of violating Article 1 section (5) and Article 6 letter (a) UUJF."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library