Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 92644 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anisa Febrianti Rachmadani
"Dengan adanya tujuan untuk menegaskan kembali komitmen untuk membentuk rezim perdagangan internasional yang liberal, fasilitatif, kompetitif serta dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi global, negara-negara anggota ASEAN bersama dengan Selandia Baru, Australia, China, Jepang dan Korea Selatan menandatangani perjanjian Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) pada tanggal 15 November 2019 secara virtual pada Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN ke-36 yang diselenggarakan di Vietnam. Bersama dengan negara Filipina yang telah resmi bergabung menjadi anggota dan meratifikasi perjanjian RCEP pada tanggal 21 Februari 2023 lalu, perjanjian yang memuat pengaturan mengenai pengurangan pajak tarif kepabeanan ini diharapkan dapat merealisasikan intensi utamanya dalam mengurangi hambatan kegiatan transaksi perdagangan internasional. Keberhasilan eksistensi dari RCEP sangatlah berpangkal pada rincian substansi perjanjian yang ekstensif maupun fasilitatif dan aturan penyelesaian sengketa yang akan ditemui. Sedangkan berbeda dengan perjanjian perdagangan bebas multilateral pada umumnya, RCEP tidak memuat mekanisme penyelesaian sengketa antara investor dengan negara tujuan investasi (host country). Sebagai perjanjian yang mencakup seperempat dari Foreign Direct Investment (FDI) dunia, pengaturan mengenai investasi asing menjadi penting dan perlu diperhatikan.

With the sole purpose as to reaffirm their commitment to form a liberal, facilitative, and competitive international trade regime that can furthermore contribute in the interest of global economic growth and development, ASEAN member countries along with New Zealand, Australia, China, Japan and South Korea through its delegates signed the Regional Comprehensive Economic Partnership agreement on November 1th 2019 virtually at the 36th ASEAN Summit hosted by Vietnam. Together with the Philippines which has officially joined as a member and ratified the RCEP agreement that covers provisions concerning the reduction of customs tax rates on February 21st 2023, RCEP is expected to achieve its main objective in reducing barriers to international trade. The default of the existence of RCEP is very much based on the details of the substance of the provisions in terms to provide an extensive and facilitative substance of the agreement, as well as the dispute resolution mechanism that will be encountered in the future. Whereas, in contrast to multilateral free trade agreements in general, RCEP does not include a dispute resolution mechanism between investors and host country. As an agreement that covers a quarter of the world’s Foreign Direct Investment (FDI), regulations regarding foreign investment are essential and need to be paid attention to."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noudy Naufal
"Keputusan India untuk mengundurkan diri dari rangkaian perundingan (atau negosiasi) perjanjian perdagangan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) menjadi salah satu kebijakan yang mengejutkan dalam perkembangan perdagangan internasional. Selain menghambat pelbagai agenda regionalisme antara India dengan kawasan Asia Pasifik secara keseluruhan, keputusan tersebut juga dapat dianggap bertentangan dengan upaya-upaya India untuk mengarahkan kebijakan luar negerinya menuju kawasan timur terutama di wilayah Asia Timur dan Tenggara (terutama dengan tersusunnya pelbagai free trade agreement FTA yang dilaksanakan oleh India). Tulisan ini mencoba untuk mencari penyebab mundurnya India dari meja perundingan pembahasan RCEP, dengan menunjukkan bahwa tekanan domestik memberi dorongan bagi India untuk menarik diri dari negosiasi RCEP dibandingkan melalui faktor eksternal (baik melalui tekanan aktor negara lain maupun dari institusi internasional).
Pada penelitian ini, penulis menggunakan kerangka konsep yang disusun oleh Thomas Risse Kappen mengenai penggolongan aktor-aktor domestik penentu pada kebijakan luar negeri suatu negara melalui sistem politik (dan birokrasi) serta kelompok masyarakat dalam memahami aktor-aktor domestik yang memberikan pengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap pengambilan keputusan pada kebijakan luar negeri India. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa selain kepentingan ekonomi India yang dianggap tidak menguntungkan jika bergabung dalam RCEP, tekanan kuat serta demonstrasi terutama dari aktor aktor kelompok nasionalis Hindu (terutama melalui Rashtriya Swayamsevak Sangh RSS) sebagai induk pendukung utama dari partai pemerintah yang dipimpin oleh perdana menteri Narendra Modi (Partai Bharatiya Janata BJP) menjadi pendorong dalam negeri utama untuk memahami akar mundurnya India dari perundingan RCEP."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Yudia Mustikasari
"Thesis ini mengangkat isu mengenai peninjauan kembali Analisis Konsistensi Penerapan Prinsip Fair and Equitable Treatment ( FET ) terhadap Putusan Arbitrase atas Investor-State Dispute Settlement ( ISDS ) serta eksistensinya dalam Perjanjian Investasi Internasional yang terdapat dalam Bilateral Investment Treaties (BITs). Isu eksistensi dan inkonsisten ISDS saat ini telah memicu perdebatan mengingat banyaknya gugatan yang diajukan oleh korporasi (MNC/TNC) yang dalam hal ini sebagai investor kepada negara tuan rumah (host state) yang dianggap merugikan host state dalam menjalankan kebijakan di negaranya. Kekurangan-kekurangan yang ada pada ISDS telah membuat hilangnya kepercayaan publik dan karenanya, dibentuklah investment Court System ( ICS ) sebagai sebuah alternatif mekanisme penyelesaian sengketa yang lebih kredible dengan mencantumkan prinsip-prinsip International Arbitrator Independence. Prinsip Fair and Equitable Treatment (FET) merupakan salah satu prinsip utama dalam hukum investasi internasional, dimana negara tempat investasi ditanamkan (host state) berkewajiban untuk menjamin perlakuan yang adil dan setara terhadap investasi yang dilakukan oleh investor asing. Dalam perkembangannya, terdapat perdebatan dalam mendefinisikan prinsip FET.

This research pose an issue concerning of reviewing the Consistency Analysis in the Application of the Fair and Equitable Treatment (FET) Principle to the Arbitration Award of the Investor-State Dispute Settlement (ISDS) and existence which are accommodated in International Investment Agreements contained in Bilateral Investment Treaties (BITS). The of the existence and incosistency of the current ISDS has sparked an intense debate considering a lot of a lawsuit filed by the corporation (MNC/TNC) which in this case as an investor to the host state were considered detrimental to the them in running the domestic. The shortcomings of ISDS have caused a loss of public confidence and hence, an Investment Court System (ICS) was formed as an alternative to a more credible dispute resolution mechanism by including the principles of the International Independence Arbitrator. The principle of Fair and Equitable Treatment (FET) is one of the main principles in international investment law, where the country where investment is invested (host state) is obliged to guarantee fair and equal treatment of investments made by foreign investors. In its development, there is a debate in defining the principle of FET."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T52754
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Divka Talulla
"Indonesia telah menyampaikan kekhawatirannya terhadap mekanisme penyelesaian sengketa investor dengan negara (Investor State Disputes Settlement atau ISDS), yang dinilai merugikan. Indonesia meninjau dan tidak memperpanjang beberapa Perjanjian Perlindungan Penanaman Modal (P4M) untuk menegosiasikan perjanjian baru yang lebih sesuai. Gugatan balik oleh negara dapat menyeimbangkan posisi dalam ISDS yang tidak simetris. ICSID dan UNCITRAL telah mengatur mekanisme gugatan balik, tetapi kasusnya masih jarang. Banyak gugatan balik ditolak karena tidak memenuhi persyaratan kesepakatan kedua pihak dan keterkaitan dengan klaim utama. Di Indonesia, dua kasus penting terkait gugatan balik adalah Amco Asia Corporation and others v. Republic of Indonesia dan Hesham T. M. Al Warraq v. Republic of Indonesia. Majelis arbitrase mengakui yurisdiksi Indonesia untuk mengajukan gugatan balik tetapi menolak gugatan karena gagal dalam substansi. Indonesia dapat menggunakan gugatan balik untuk mengurangi risiko dan biaya ISDS serta memastikan kepatuhan investor terhadap peraturan. Implementasi gugatan balik di Indonesia masih terbatas dan memerlukan reformasi. Meskipun banyak perjanjian investasi memungkinkan gugatan balik, keberhasilannya bergantung pada substansi dan landasan hukum yang kuat. Reformasi ISDS di Indonesia dapat memasukkan mekanisme gugatan balik untuk mencapai keseimbangan antara hak dan kewajiban negara dan investor asing.

Indonesia has expressed its concerns about the Investor-State Dispute Settlement (ISDS) mechanism, which is considered disadvantageous. Indonesia has reviewed and decided not to renew several Bilateral Investment Treaties (BITs) to negotiate new agreements that are more suitable. Counterclaims by the state can balance the asymmetrical positions within ISDS. ICSID and UNCITRAL have established counterclaim mechanisms, but such cases are still rare. Many counterclaims are rejected because they do not meet the agreement requirements of both parties and the connection with the main claim. In Indonesia, two significant cases related to counterclaims are Amco Asia Corporation and others v. Republic of Indonesia and Hesham T. M. Al Warraq v. Republic of Indonesia. The arbitration tribunal recognized Indonesia's jurisdiction to file counterclaims but rejected them due to lack of substance. Indonesia can use counterclaims to reduce the risks and costs of ISDS and ensure investor compliance with regulations. The implementation of counterclaims in Indonesia is still limited and requires reform. Although many investment treaties allow for counterclaims, their success depends on strong substantive and legal foundations. ISDS reform in Indonesia can include counterclaim mechanisms to achieve a balance between the rights and obligations of the state and foreign investors."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yetty Komalasari Dewi
[Fakultas Hukum Universitas Indonesia;Badan Penerbit FH UI, Badan Penerbit FH UI],
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Christopher Michael
"Skripsi ini memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai bagaimana suatu sengketa yang timbul akibat interpretasi dan pelaksanaan perjanjian-perjanjian ekonomi ASEAN diselesaikan dengan ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism 2004 dan ASEAN Comprehensive Investment Agreement 2009, berikut dengan penerapan dari kedua instrumen tersebut sejauh ini. Penulis melakukan perbandingan dari kedua instrumen tersebut dengan penyelesaian sengketa yang terdapat dalam World Trade Organization, dan International Centre for Settlement of Investment Disputes, dikarenakan mekanisme penyelesaian sengketa yang terdapat dalam ASEAN Comprehensive Investment Agreement 2009 dan ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism 2004 memiliki kesamaan dengan mekanisme penyelesaian sengketa yang terdapat dalam International Centre for Settlement of Investment Disputes dan World Trade Organization, keempat mekanisme penyelesaian sengketa yang disediakan oleh masing-masing instrumen / organisasi tersebut dapat digunakan untuk menyelesaikan sengketa di bidang investasi.Dalam melakukan penelitian ini, Penulis menemukan bahwa sebenarnya ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism2004 menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa yang terdapat dalam World Trade Organization sebagai model pembentukannya, begitu pula dengan penerapan dari ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism2004 dan mekanisme penyelesaian sengketa ASEAN Comprehensive Investment Agreement 2009 di ASEAN sejauh ini yang belum terwujud sesuai dengan yang diharapkan. Penulis juga menemukan bahwa ternyata penyelesaian sengketa yang disediakan oleh ASEAN Comprehensive Investment Agreement 2009 lebih variatif dibandingkan dengan yang disediakan dalam International Centre for Settlement of Investment Disputes.
The focus of this mini-thesis is to give a comprehensive explanation on how does a dispute, which arises from ASEAN economic agreements, are settled using ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism 2004 and ASEAN Comprehensive Investment Agreement 2009, as well as the application of both instruments, dispute settlement wise, in ASEAN by far. This study also compares the dispute settlement mechanisms provided in ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism 2004 and ASEAN Comprehensive Investment Agreement 2009, with the dispute settlement mechanisms provided in the World Trade Organization and International Centre for Settlement of Investment Disputes, based on the fact that all of the dispute settlements above are applicable for investment dispute.In working on this research, it was revealed that the ASEAN Protocol on Enhanced Dispute Settlement Mechanism 2004 models on the dispute settlement mechanism in World Trade Organization, it was also found that the application of both instruments, dispute settlement wise, is so far, not as expected as it would’ve been. The thesis also reveals that the dispute settlements provided by ASEAN Comprehensive Investment Agreement 2009 are more variative than the dispute settlements provided in International Centre for Settlement of Investment Disputes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S54307
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Chintya Pramasanti
"Penelitian ini bertujuan menganalisis manfaat keikutsertaan Indonesia dalam rencana aksi Base Erosion Profit Shifting (BEPS) nomor 15 Multilateral Instrument on Tax Treaty /MLI) yang mencakup mengenai latar belakang bergabungnya Indonesia dalam MLI, manfaat posisi Indonesia dalam MLI, implikasi MLI terhadap Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) Indonesia yang berlaku saat ini dan juga kecukupan posisi Indonesia di MLI dalam kaitannya untuk menangkal praktik BEPS. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan teknik analisis data kualitatif. Indonesia bergabung dalam MLI adalah wujud komitmen Indonesia sebagai anggota G-20, langkah efisien untuk menerapkan rencana aksi BEPS yang terkait dengan P3B, memperbaiki ketentuan penyalahgunaan P3B dengan memasukkan ketentuan anti avoidance rule berupa Principle Purpose Test (PPT) dan juga memperbaiki ketentuan P3B Indonesia yang dicakup dalam MLI dengan rekomendasi MLI. Dengan menandatangani naskah MLI, maka P3B Indonesia yang tercakup dalam MLI akan dimodifikasi dengan rekomendasi MLI dengan cara mengganti atau menambahkan ketentuan P3B Indonesia yang berlaku saat ini. Posisi Indonesia dalam MLI dinilai cukup ekstensif jika dibandingkan dengan negara lain sehingga dianggap relatif optimal untuk menangkal praktik BEPS di Indonesia melalui jalur P3B. Namun demikian, diperlukan perubahan ketentuan domestik agar dapat MLI diimplementasikan secara maksimal.

This study aims to analyze the benefits of Indonesias participation in the Base Erosion Profit Shifting (BEPS) action plan 15 (Multilateral Instrument on Tax Treaty/MLI) which covers the rationals of Indonesias joining the MLI, the benefits of Indonesias position in the MLI, MLIs implications for the current Indonesias Double Tax Avoidance Agreement (DTA) and also the adequacy of Indonesias position at the MLI in relation to counter the practice of Base Erosion Profit Shifting (BEPS). The method used in this study is descriptive qualitative with qualitative data analysis techniques. Indonesia joined MLI as a manifestation of Indonesias commitment as a member of the G-20, an efficient way to implement BEPS action plans related to DTA, avoiding improper use of DTA by including the provisions of the Anti-Avoidance rule in the form of Principle Purpose Test (PPT) and also improving the current Indonesian DTA which covered in MLI with MLI recommendations. By signing the MLI, the Indonesian DTA covered in MLI will be modified by the MLI recommendation by replacing or adding to the current Indonesian DTA provisions. Indonesias position in MLI is considered quite extensive when compared to other countries, so it is considered relatively optimal to counter the BEPS practice in Indonesia in the context of DTA. However, changes in domestic regulations are needed for MLI can be well-implemented."
[Depok;Depok, Depok]: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abraham Hugo Pandu Wicaksono
"Tesis ini berusaha melihat pengaruh opini publik terhadap dalam proses perumusan kebijakan luar negeri Indonesia. Tesis ini berusaha menjawab pertanyaan bagaimana pro-kontra RCEP di dalam negeri mempengaruhi keputusan Indonesia menyepakati RCEP walaupun terdapat protes dari Kelompok Masyarakat Sipil. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan metode pengumpulan dokumen berupa yang melaui desk study dan juga wawancara. menyepakati RCEP. Hasil Penelitian ini menyebutkan bahwa opini publik yang terbentuk di masyarakat justru didominasi positif. Walaupun demikian opini publik bukan satu-satunya yang membentuk kebijakan luar negeri Indonesia. Hal ini juga dipengaruhi sistem masyarakat sipil yang lemah. Hal ini didukung dengan sistem politik yang terpusat dan juga jejaring yang kuat antar elit politik dan juga bisnis dalam konteks pembuatan kebijakan bergabungnya Indonesia di dalam RCEP.

This thesis aims to see the influence of Indonesian public opinion in Indonesian foreign policy making. This thesis attempts to answer the question how various domestic opinions about RCEP affect Indonesia position to involve in RCEP. This research based on qualitative method by collecting documents by doing desk study and interviews. The results of this study finds that public opinion towards RCEP is dominantly positive. This caused by weak civil society system. This is supported by a centralized political system and also strong relationship between domestic business and political elites in the context of policy making for Indonesia's agreeing the RCEP."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anassari Salsabiil
"Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Australia (“IA-CEPA”), adalah perjanjian perdagangan yang baru-baru ini disimpulkan, yang mencakup ketentuan Persyaratan yang Adil dan Berkeadilan, Fair and Equitable Treatment, (“Persyaratan FET”)
sebagai standar perlakuan bagi investor asing, dan klausula Penyelesaian Sengketa Investor-Negara (“PSIN”) sebagai metode penyelesaian sengketa yang disepakati dalam hal timbul perselisihan di antara para pihak. Ada dua poin utama IA-CEPA yang dibahas dalam tesis ini.
Pertama, tesis ini meneliti perbedaan dalam menggunakan Hukum Kebiasaan Internasional tentang Perlakuan Standar Minimum (“PSM”),sebagai standar Persyaratan FET, dan Persyaratan FET hanya terbatas pada Penolakan Keadilan, sebagai dua standar yang
disebutkan dalam IA-CEPA. Kedua, penelitian tentang bagaimana efek yang berbeda dari Persyaratan FET akan mempengaruhi konsistensi antara Persyaratan FET dengan Klausa PSM di IA-CEPA. Melalui metode penelitian hukum normatif yuridis, ditemukan bahwa pertama, Hukum Kebiasaan Internasional PSM akan memberikan cakupan yang lebih luas dari Persyaratan FET di luar hanya penolakan keadilan, dan kedua, bahwa setiap perselisihan
sehubungan dengan Persyaratan FET di IA- CEPA terlepas dari formulasinya akan konsisten dengan Klausa PSIN di IA-CEPA. Dengan demikian, reformulasi tentang Persyaratan FET dalam IA-CEPA disarankan untuk menetapkan batasan yang jelas tentang ruang lingkup Persyaratan FET.

The Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement is a trade agreement recently concluded, which includes the provisions of Fair and Equitable Requirements (“FET Requirements”) as the standards of treatment for foreign investors, and Investor-State Dispute Settlement (“ISDS”) Clause as an agreed dispute resolution in the case that a dispute arise between the parties. There are two key points of the IA-CEPA that is discussed in this thesis. Firstly, this thesis researches the difference in using International Customary Law of the Minimum Standard Treatment as the standards of FET Requirements, and FET Requirements to only limited to a Denial of Justice, as the two standards mentioned in the IA-CEPA. Secondly, the researches on how the different effects of FET Requirements would affect the consistency between the FET Requirements with the ISDS Clause in the IA-CEPA. Through a juridical normative legal research method, it was found that first, the International Customary Law of MST would render a wider scope of FET Requirements beyond only denial of justice, and second, that any dispute in relation with the FET Requirements in the IA-CEPA irrespective of its formulation would be consistent with the ISDS Clause in the IA-CEPA. Thus, a reformulation on the FET Requirements in the IA-CEPA is suggested establish clear limitations on the scope of FET Requirements."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>