Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172786 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Isqi Karimah
"Secondary traumatic stress (STS) merupakan hal yang sulit untuk dihindari bagi para petugas layanan kasus kekerasan anak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas intervensi dengan pendekatan MSC terhadap penurunan STS serta peningkatan mindfulness dan self-compassion pada para petugas layanan kasus kekerasan terhadap anak. Petugas layanan kasus kekerasan anak mencakup psikolog klinis, pekerja sosial/pendamping, konselor psikologi, konselor hukum, mediator dan pengadministrasi umum. Sebanyak 30 petugas layanan kasus kekerasan terbagi kedalam dua kelompok secara acak, yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol wait-list. Intervensi diberikan sebanyak 6 kali pertemuan dengan durasi 2-3 jam per sesi secara online. STS diukur menggunakan subtes STS pada ProQol-V, mindfulness menggunakan MAAS, dan self-compassion menggunakan SCS yang telah diadaptasi ke bahasa indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hasil yang signifikan pada penurunan STS, peningkatan mindfulness, peningkatan aspek self-compassion (yaitu common humanity), serta peningkatan kesejahteraan pribadi bagi para petugas layanan kasus kekerasan pada kelompok intervensi. Individu yang mengikuti intervensi memiliki mindfulness dan self-compassion yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol wait-list. Dapat disimpulkan bahwa intervensi MSC memberikan dampak positif pada petugas layanan kasus kekerasan anak, meskipun efek intervensi belum konsisten bertahan pada 2 minggu follow-up. Adanya pemantauan terhadap kondisi partisipan secara berkala, pelaksanaan intervensi secara offline atau mixed (offline dan online), serta pertemuan rutin antar petugas layanan diduga menjadi faktor yang dapat dilakukan mempertahankan konsitensi dampak positif intervensi MSC.

Secondary traumatic stress (STS) is a challenging phenomenon that is hard to avoid for child welfare service providers. This study aims to examine the effectiveness of an intervention using the Mindful Self-Compassion (MSC) approach in reducing STS and enhancing mindfulness and self-compassion among child welfare service providers. Child welfare service providers include clinical psychologists, social workers/counselors, psychological counselors, legal counselors, mediators, and general administrators. Thirty child welfare service providers were randomly assigned to either the intervention group or the wait-list control group. The intervention consisted of six online sessions lasting 2-3 hours each. STS was measured using the STS sub-scale on the ProQol-V, mindfulness was assessed using the MAAS, and self-compassion was measured using the SCS adapted to Bahasa Indonesia. The results showed significant decreases in STS, increases in mindfulness, improvements in the self-compassion aspect of common humanity, and enhanced personal well-being among the intervention group. Individuals in the intervention group exhibited significantly higher levels of mindfulness and self-compassion compared to the wait-list control group. In conclusion, the MSC intervention had a positive impact on child welfare service providers, although the effects were not consistently sustained at the 2-week follow-up. Regular monitoring of participants, consideration of implementing offline or mixed interventions, and routine meetings among service providers are suggested factors that may help maintain the consistency of the positive impact of the MSC intervention."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salma Qonita Thifal
"Skripsi ini membahas tentang analisis faktor risiko compassion fatigue (burnout & secondary tramatic stress) pada tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit Jabodetabek. Compassion fatigue adalah fenomena yang dapat terjadi pada tenaga kesehatan yang dapat memengaruhi pekerjaan maupun individu. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kuantitatif potong lintang dan teknik simple random sampling dan analisis menggunakan analisis Chi Square dan regresi logistik untuk mengetahui nilai OR. Instrumen yang digunakan adan Professional Quality of Life Scale Version 5 (ProQOL). Ditemukan bahwa faktor pekerjaan yang signifikan terhadap compassion fatigue (burnout dan secondary traumatic stress) adalah kelompok tenaga kesehatan, shift kerja, panjang shift, lama kerja per minggu, departemen/unit kerja dan pengalaman kerja. Faktor individu terdiri dari jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, status perkawinan, tingkat aktivitas fisik, dan kualitas tidur. Faktor individu lainnya yaitu anak dan status merokok juga signifikan terhadap burnout sebagai salah satu bagian dari compassion fatigue. Rumah sakit perlu menerapkan pengaturan kerja yang lebih baik untuk mengurangi risiko compassion fatigue pada tenaga kesehatan.

This research discusses the analysis of risk factors for compassion fatigue (burnout & secondary traumatic stress) in health care workers working in Jabodetabek hospitals. Compassion fatigue is a phenomenon that can occur in health workers and can affect work and individuals. This research was conducted using quantitative cross-sectional methods and simple random sampling techniques and analysis using Chi Square analysis and logistic regression to determine the OR value. The instrument used was the Professional Quality of Life Scale Version 5 (ProQOL). It was found that the work factors that were significant for compassion fatigue (burnout and secondary traumatic stress) were the group of health care workers, work shifts, shift length, length of work per week, department/work unit, and work experience. Individual factors consist of gender, age, education level, marital status, physical activity level, and sleep quality. Other individual factors, namely children and smoking status, are also significant in burnout as a part of compassion fatigue. Hospitals need to implement better work arrangements to reduce the risk of compassion fatigue among health workers."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Sukmaningrum
"Penelitian ini berangkat dari kenyataan bahwa pekerja kemanusiaan dapat mengalami dampak psikologis akibat pekerjaannya. Para pekerja kemanusiaan tersebut dalam penelitian ini disebut pendamping adalah ujung tombak dari upaya penanganan korban kekerasan, khususnya yangg dialami perempuan dan anak-anak. Di lain pihak, perhatian dan penghargaan yang diberikan institusi maupun masyarakat terhadap apa yang mereka lakukan dirasakan kurang. lsu mengenai kesehatan mental pada para pendamping itu sendiri juga masih sering terabaikan. Padahal mcreka yang berhadapan dengan kasus kekerasan ini sangat rentan terhadap berbagai dampak psikologis, yang pada akhirnya akan mengurangi kualitas dari pelayanan mendarnpingi klien.
Dampak psikologis yang telah terlebih dahulu dikenal dalam konteks pekerjaan sebagai pendamping adalah burnout. Namun sejak awal awal tahun 90-an bcrkembang. puia konstruk lain yang dianggap lebih menggambarkan dampak hubungan antara pendamping dengan trauma yang dialami oleh kliennya, yaitu secondary traumatic stress (STS) dan vicarious trauma (VT).
Penelitian yang komprehensif menyangkut kcligu dampak psikologis yang dialami pendamping - yaitu STS, VT dan burnout - masih dirasakan kurang terutama dalam konteks pekerja kemanusiaan di Indonesia. Sementara itu, ketiga istilah tersebut masih digunakan secara tidak tepat sehingga dapat menghambat penanganannya. Oleh karel.a itu, penelitian ini hendak memahami secara lebih utuh dinamika terbentuk dan berkembangnya STS, VT maupun burnout, termasuk factor-faktor penyebab dan upaya penanganannya.
Pemahaman yang lebih utuh akan ketiga dampak psikologis ltu berusaha dicapai melalui wawancara mendalam terhadap 6 orang partisipan. Para partisipan ini dipilih melalui proses seleksi terhadap 43 orang pendamping yang berasal dari 9 institusi pendampingan anak dan perempuan korban kekerasan di Jakarta. KeA3 orang calon partisipan tersebut diminta untuk mengisi kuesioner ProQoL Rill yang mengukur tingkat STS dan burnout serta kuesioner TSI Belief Scale yang mengukur VT. Dengan cara ini diharapkan akan tcrpilih partisipan yang mcmang mcngalami dmnpak psikologi yang ingin didalami, serta memaksimalkan variasi respon di antara partisipan dengan dampak yang berbeda.
Hasil analisis terhadap rcspon ke-6 partisipan peneUtian menunjukkan bahwa STS merupakan dampak dari keterpaparan pendamping pada malcri trauma klien, khususnya kekerasan yang ekstrim. Sedangkan VT, walaupun juga merupakan dampak dari kontak dengan materi trauma, tetapi baru dirasakan pendatnping setelah jangka waktu tertentu sejalan dengan proses akumulasi sejumlah pendampingan yang ditunjukkan dengan gangguan pada sejumlah kognitif. yaitu skema safety dan skema trust. Perbedaan lain antara STS dan VT juga tarnpak dari dampak jangka panjangnya. Bila dampak STS alum menghilang setelah waktu tertentu, VT akan cenderung bertahan pada pendamping karena telah terjadi perubahan skema kognitif tentang pandangannya terhadap "dunia". Berbeda dengan STS dan VT, burnout lebih merupakan dampak yang dirasakan akihat tekanan dari kondisi pekerjaan terlentu.
Namun, faktor sltuasi pekerjaan yang rnenyebabkan burnout juga dapat memperccpat terjadinya STS dan VT, Sedangkan STS, walaupun merupakan dampak yang wajar terjadi pada seseornng pendamping ketika ada pelibatan afektif pada masalah yang dialarni kliennya, tetapi dapat terakumulasi dan akhirnya menyebabkan VT, Dampak psikologis seperti STS, VT, dan burnout menjadi sesuatu yang bisa teramalkan, mengingat karakteristik pekerjaan mereka yang kompleks. Behan kerja yang beriebihan, tugas-tugas pendarnpingan yang beragam, jumlah dan jenis kasus yang berat disertai pula oleh kurangnya kompetensi dalam menangani kasus traumatik menyebabkan dampak semacam ini mungkin sekaii terkena pada pcndamping. Pada akhirnya memang dibuluhkan penanganan yang serius dan sistematis untuk meningkatkan kesejahteraan mental para pekerja kemanusiaan di Indonesia."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adinda Rizkia Putri Azahra
"Pekerja sosial rentan mengalami kelelahan dalam melaksanakan pekerjaannya, di mana salah satunya mencakup kelelahan empati. Apabila tidak ditangani dengan efektif, kelelahan empati dapat menyebabkan berbagai dampak negatif. Pekerja sosial yang merasakan kelelahan empati mengalami penurunan kinerja profesional hingga pengurangan kemampuan berempati secara fundamental. Penelitian ini mempelajari strategi resiliensi untuk mengatasi kelelahan empati pada pekerja sosial, terutama pekerja sosial di bidang perlindungan dan kesejahteraan anak, melalui tinjauan literatur dengan jenis tinjauan kritis. Temuan pada penelitian ini membuktikan bahwa strategi peningkatan resiliensi yang dapat dilakukan pekerja sosial dan lembaga pekerjaan sosial mencakup empat prinsip, yaitu lingkungan kerja yang sehat, perawatan diri, mekanisme koping stres, serta pelatihan dan persiapan kerja. Penelitian ini juga menemukan bahwa dukungan sosial dari supervisor maupun rekan kerja merupakan faktor penting yang mempengaruhi tingkat kelelahan empati, di mana dapat menjadi buffer atau penghalang tumbuhnya kelelahan empati.

Social workers are vulnerable in experiencing exhaustion while carrying out their work, which includes compassionfatigue. If not effectively addressed, compassion fatigue can lead to various negative impacts that may factor to a decline in professional performance and a reduction in fundamental empathetic abilities. This research examines resilience strategies to overcome compassion fatigue among social workers, particularly in the field of child protection and child welfare. This research is conducted through a literature review using a critical review approach with secondary data sources. The objective of this study is to describe the conditions and factors that lead to compassion fatigue and resilience strategies that can be implemented by social workers, especially in the field of child protection and welfare. The findings of this research demonstrate that resilience-enhancing strategies that can be undertaken by social workers and social work organizations encompass four principles: a healthy work environment, self-care, stress coping mechanisms, and training and preparedness. Additionally, this study found that social support from supervisors and colleagues is an important factor influencing the level of compassion fatigue, as it can serve as a buffer or barrier against the development of compassionfatigue. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chiquita Pramesta
"ABSTRACT
Ada berbagai faktor yang dipengaruhi oleh kesejahteraan psikologis, seperti usia, jenis kelamin, dan pengalaman hidup. Relawan dengan tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi memiliki risiko rendah mengalami stres traumatis sekunder setelah kembali dari lokasi bencana. Skala Ryff's Well-Being Psychological dan Secondary Traumatic Stress Scale digunakan untuk mengidentifikasi kesejahteraan psikologis dan stres traumatis sekunder pada relawan yang ditugaskan setelah Tsunami di Pandeglang, Banten. Desain penelitian cross sectional digunakan, teknik sampel menggunakan total sampling yang melibatkan 32 relawan, dan analisis data menggunakan chi square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada korelasi yang signifikan antara kesejahteraan psikologis dan stres traumatis sekunder (α = 0,001). Tingkat kesejahteraan psikologis yang tinggi dapat mengurangi stres traumatis sekunder (p = 18.701). Hal ini diperlukan untuk melakukan penyaringan kesejahteraan psikologis untuk mengurangi stres traumatis sekunder.

ABSTRACT
There are various factors that are influenced by psychological well-being, such as age, gender, and life experience. Volunteers with a high level of psychological well-being have a low risk of experiencing secondary traumatic stress after returning from the disaster site. The Ryff's Well-Being Psychological Scale and Secondary Traumatic Stress Scale are used to identify psychological well-being and secondary traumatic stress in volunteers assigned after the Tsunami in Pandeglang, Banten. The cross sectional research design was used, the sample technique used total sampling involving 32 volunteers, and the data analysis used chi square. The results showed that there was a significant correlation between psychological well-being and secondary traumatic stress (α = 0.001). A high level of psychological well-being can reduce secondary traumatic stress (p = 18,701). It is necessary to screen psychological well-being to reduce secondary traumatic stress."
2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Hajar Salawali
"Bencana alam tidak selamanya berdampak negatif tapi juga menimbulkan dampak positif. Posttraumatic growth adalah pertumbuhan pasca trauma sebagai hasil perjuangan individu melawan tarumatik. Remaja merupakan kelompok rentan yang mengalami masalah ketika terjadi bencana, namun dalam penelitian ini justru membuktikan bahwa remaja mampu untuk tumbuh ke arah positif melalui trauma yang disebabkan bencana. Tujuan penelitian untuk mengeksplorasi pengalaman PTG pada remaja penyintas bencana alam gempa bumi dan tsunami atau likuifaksi. Metode penelitian menggunakan studi kualitatif dengan pendekatan fenomenologi deskriptif. Penelitian ini menggunakan 16 partisipan berdasarkan kriteria iklusi yaitu usia 12-18 tahun, penyintas bencana alam gempa bumi dan tsunami atau likuifaksi, merupakan penduduk yang berdomisili di lokasi bencana, dan memiliki minimal skor 3 dari total maksimal skor 6 pada salah satu domain yang terdapat dalam instrumen posttraumatic growth inventory for children (PTGI-CR). Dalam pengumpulan data menggunakan in-depth interview dan dianalisis dengan metode Colaizzi (1978).
Penelitian ini menghasilkan 4 tema utama yaitu (1) Trauma menjadi pijakan untuk menyadari makna kehidupan, (2) Lepas dari bencana sebagai kesempatan kedua untuk hidup lebih baik, (3) Keluarga dan teman dekat menjadi dukungan sosial utama untuk tumbuh setelah bencana, dan (4) Berdamai dengan trauma melalui pendekatan religius. Posttraumatic growth adalah sebuah proses tumbuh yang perlu diupayakan. Bentuk upaya yang mesti dilakukan dengan menemukan makna hidup, memanfaatkan kesempatan kedua dengan rasa syukur dan berbuat banyak kebaikan, memiliki dukungan sosial dari keluarga maupun teman dekat sekaligus menghadirkan kekuatan dari dalam diri untuk tumbuh, dan terakhir menggunakan doa dan keyakinan terhadap Tuhan sebagai bentuk berdamainya diri dengan trauma. Peran tenaga perawat jiwa komunitas juga diperlukan sebagai praktisi keperawatan yang paling dekat dengan remaja karena berada di lingkungan komunitas sebagai bentuk upaya untuk membantu remaja penyintas bencana alam gempa bumi dan tsunami atau likuifaksi dalam menumbuhkan PTG pada dirinya melalui terapi spesialis seperti cognitive therapy (CT), cognitive behavioral therapy (CBT) dan acceptance and commitment therapy (ACT).

Natural disasters do not always have a negative impact but also have a positive impact. Posttraumatic growth is posttraumatic growth as a result of individual struggles against people. Adolescents are vulnerable groups who experience problems when a disaster occurs, but in this study it actually proves that adolescents are able to grow in a positive direction through trauma caused by disasters. The purpose of the study is to explore the experience of PTG in adolescents who survived earthquakes and tsunamis or liquefaction. The research method uses qualitative studies with a descriptive phenomenology approach. This study uses 16 participants based on the criteria of illusion, namely ages 12-18 years, survivors of earthquake and tsunami natural disasters or liquefaction, are residents who live in disaster locations, and have a minimum score of 3 of a maximum score of 6 in one domain contained in posttraumatic growth inventory for children (PTGI-CR) instrument. In collecting data using in-depth interviews and analyzed by the Colaizzi method (1978).
This research produces 4 main themes, namely (1) Trauma becomes the basis for realizing the meaning of life, (2) Remove from disaster as a second opportunity to live better, (3) Family and close friends become the main social support to grow after a disaster, and (4) Make peace with trauma through a religious approach. Posttraumatic growth is a growing process that needs to be pursued. The form of effort that must be done by finding the meaning of life, utilizing the second opportunity with gratitude and doing a lot of kindness, having social support from family and close friends while presenting inner strength to grow, and finally using prayer and belief in God as a form of peace with trauma. The role of community soul nurses is also needed as a nursing practitioner who is closest to adolescents because they are in a community environment as a form of effort to help adolescents surviving earthquake and tsunami natural disasters or liquefaction in growing PTG on themselves through specialist therapies such as cognitive therapy (CT), cognitive behavioral therapy (CBT) and acceptance and commitment therapy (ACT).
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
T53304
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mika Bintang Maharani
"Individu yang bekerja sebagai kru penerbangan berpotensi mengalami kejadian traumatis selama bekerja, khususnya kecelakaan udara. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran terkait coping yang dilakukan oleh para kru penerbangan yang pernah atau masih memiliki stres traumatis akibat kecelakaan yang membahayakan nyawanya. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif agar dapat melihat penghayatan pribadi yang mendalam atas kecelakaan serta bagaimana masing-masing partisipan mengatasi kejadian traumatis dari saat kecelakaan terjadi hingga saat ini. Partisipan penelitian terdiri lima orang kru penerbangan yang pernah mengalami kecelakaan dan mengalami dampak berupa stres traumatis akibat kejadian tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para partisipan menunjukkan gejala stres traumatis setelah mengalami kejadian traumatis. Lama partisipan mengatasi stres traumatis tersebut berbeda, mulai dari hitungan hari hingga tahun. Emotion focused coping, avoidance coping, dan religious coping merupakan teknik coping yang dilakukan oleh partisipan. Dalam menangani stres traumatisnya, para partisipan didukung oleh berbagai pihak eksternal dan juga bersandar pada kemampuan diri.  Meskipun mengalami kejadian yang traumatis, seluruh partisipan menganggap kejadian membawakan pengaruh positif dalam kehidupan yang membawanya pada posttraumatic growth.

Individuals working as flight crew members potentially experience traumatic events during their work, particularly air accidents. This study aims to examine the coping mechanisms used by flight crew members who have experienced or are still experiencing traumatic stress due to life-threatening accidents. Conducted through qualitative methods, the study seeks to understand personal experiences of the accidents and how participants has coped with the traumatic events from the time of the accident until now. The study consists of five flight crew members who have experienced accidents and suffered from traumatic stress as a result. Findings indicate that participants exhibited symptoms of traumatic stress from the accidents with duration of their recovery from traumatic stress varied, ranging from days to years. Emotion-focused coping, avoidance coping, and religious coping were techniques employed by participants. In handling their traumatic stress, participants received support from various external sources and also relied on their own coping abilities. Despite experiencing trauma, all participants perceived the events to have had a positive impact on their lives, leading them towards posttraumatic growth."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Dian Citra Ramadhanty
"ABSTRACT
Parental stress yang ada pada orang tua di keluarga miskin terbukti menjadi faktor risiko kekerasan pada anak. Penelitian ini ingin melihat peran moderasi dari dukungan sosial yang dipercaya dapat menurunkan parental stress dan potensi kekerasan anak pada orang tua. Partisipan pada penelitian merupakan 100 ibu dari keluarga yang masuk dalam kategori miskin menurut Badan Pusat Statistika dan juga memiliki anak berusia 3-6 tahun, Hasil pengujian moderasi menunjukkan bahwa dukungan sosial tidak memiliki peran moderasi dalam hubungan potensi kekerasan (t = 3,72, p = 0,0003, LLCI = -0,0105 ULCI = 0,019; R2 = 0,23) dan parental stress di ibu pada keluarga miskin. Hasil penelitian ini memberikan penemuan baru mengenai konsekuensi negatif dari dukungan sosial pada keluarga miskin.Parental stress in poor families has been proved to be one of the risk factors to child abuse. This research aims to see the moderation role of social support that is believed to be able to lower parental stress and potential of child abuse in parents. One hundred mothers from households that were below the poverty line with kids from the age of 3 - 6 years old were the participants of this study. Results show that social support does not have a moderation role in the relationship between child abuse and parental stress in mothers from poor families (= 3.72, = .0003, LLCI = -.0105 ULCI = .019; R> = .23). This research gives a new founding about the negative consequences of social support in poor families. "
[, ]: 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iletta Nathania Tjioe
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penerapan Resource Development and Installation (RDI) untuk menurunkan simtom trauma pada anak dengan Posttraumatic Stress Disorder (PTSD). Partisipan merupakan anak laki-laki usia 8 tahun yang mengalami trauma seksual. Intervensi dilakukan selama 7 sesi menggunakan 4 teknik yaitu Point of Power, Container, Pendulation Exercise, dan Four Field.
Tujuan dari penerapan teknik RDI yaitu untuk mengurangi simtom trauma dengan meningkatkan sumber daya positif dan menurunkan perasaan-perasaan negatif.
Hasil intervensi menunjukkan adanya penurunan simtom trauma, peningkatan sumber daya positif, dan penurunan perasaan negatif yang terlihat dari penurunan skor CRIES-13. Selain itu, terjadi perubahan perilaku anak menjadi lebih adaptif. Anak merasa lebih mampu meregulasi emosi negatifnya dengan menggunakan sumber daya positif yang telah dipelajarinya.

This study was conducted to determine the therapeutic application of Resource Development and Installation (RDI) to reduce trauma symptoms on a child with Posttraumatic Stress Disorder (PTSD). Participant was an 8 year old boy who?s experiencing sexual trauma. The intervention process was conducted in a total of 7 sessions using 4 RDI techniques including Point of Power, Container, Pendulation Exercise, and Four Field.
The purpose of RDI application was to reduce trauma symptoms by increasing positive resources and minimize negative cognitions.
The results showed decreasing of trauma symptoms and negative cognitions and an increase of positive resources and cognitions that is marked by lowering of scores obtained from CRIES-13. In addition, participant's behaviors were noted to be more adaptive. The participant felt that he?s able to regulate his negative emotion more using his positive resources.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
T46585
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chicester: John Wiley & Sons, 1999
616.89 POS
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>