Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20538 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Manurung, Mega Anara
"Dampak disfungsi seksual pria (MSD) pada pasangan wanita sulit untuk dipahami. Disfungsi ereksi (DE) pria dan gangguan ejakulasi kemungkinan besar memengaruhi fungsi seksual wanita. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti prevalensi disfungsi dan gangguan seksual wanita serta hubungan antara persepsi MSD dan fungsi seksual wanita dengan menggunakan versi singkat dari Indeks Fungsi Seksual Wanita (FSFI-6) yang telah divalidasi dalam bahasa Indonesia. Penelitian cross-sectional ini dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia, dari Februari 2018 hingga Februari 2019. Sekitar 702 perempuan Indonesia yang sudah menikah, termasuk pasien, pengunjung, dan staf medis dan nonmedis, memberikan data sosiodemografi, FSFI-6, kualitas hidup, dan fungsi seksual (DE, gangguan ejakulasi, dan masalah hasrat), dan penyakit menular seksual (PMS). Hubungan antara variabel kategorikal dievaluasi menggunakan uji Fisher. Regresi logistik digunakan untuk analisis multivariat, dan nilai p-value 0,05 dianggap signifikan secara statistik. Di antara 702 wanita, sekitar 242 mengalami disfungsi seksual (34,5%), 20 mengalami gangguan seksual (2,8%), 172 mengalami hasrat rendah (24,5%), 72 mengalami gairah rendah (10,3%), 253 mengalami fungsi orgasme (36,0%), dan 575 mengalami nyeri seksual (81,9%). Para responden melaporkan adanya PMS, masalah hasrat, DE, dan gangguan ejakulasi pada pasangan mereka. Gangguan seksual wanita dan hasrat yang rendah dikaitkan dengan DE yang dirasakan. Gangguan seksual wanita dikaitkan dengan PMS (Wald = 10.3, p = 0.001) dan masalah hasrat (Wald = 6.89, p = 0.008). Tidak ada MSD lain yang dikaitkan dengan fungsi seksual wanita. Persepsi PMS dan masalah hasrat pria mempengaruhi gangguan seksual wanita.

Male sexual dysfunction (MSD)’s impact on female partners is challenging to understand. Male erectile dysfunction (ED) and ejaculation disorder likely affect female sexual function. This study aimed to examine the prevalence of female sexual dysfunction and disorder as well as the relationship between perceived MSD and female sexual function using the validated Indonesian short version of the 6-item Female Sexual Function Index (FSFI-6). This cross-sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia, from February 2018 to February 2019. About 702 Indonesian married women, including patients, visitors, and medical and nonmedical staff, provided the sociodemographic, FSFI-6, quality of life, and sexual function (ED, ejaculation disorder, and desire problems), and sexually transmitted disease (STD) data. The association between categorical variables was evaluated using Fisher’s test. Logistic regression was used for multivariate analysis, and a p-value of 0.05 was considered statistically significant. Among 702 women, about 242 had sexual dysfunction (34.5%), 20 had sexual disorder (2.8%), 172 had low desire (24.5%), 72 had low arousal (10.3%), 253 had orgasmic function (36.0%), and 575 had sexual pain (81.9%). The respondents reported their partners’ STD, desire problems, ED, and ejaculation disorder. Female sexual disorder and low desire were associated with perceived ED. Female sexual disorder was associated with STD (Wald = 10.3, p = 0.001) and desire problems (Wald = 6.89, p = 0.008). No other MSD was associated with female sexual function. Perceived STD and male desire problems affected female sexual disorder."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Narisa Nurazizah
"Tiap masyarakat tentunya berbeda-beda dalam mengonstruksi seksualitas mereka dan hal tersebut tercermin pada norma-norma yang berlaku di masyarakat tersebut. Saya berusaha menjelaskan hubungan antara konstruksi masyarakat Mekarwaru tentang seksualitas perempuan dalam titik ini pengawasan dan pengaturan seksualitas kepada perempuan. Penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi, metode life-history, observasi partisipan, dan wawancara mendalam dengan melibatkan tidak hanya para perempuan sebagai subjek yang diawasi dan diatur, tapi juga orang tua, aparat desa, remaja Karang Taruna, serta masyarakat sekitar yang saya kategorikan menjadi gossipers sebagai bentuk triangulasi. Berdasarkan hasil penelitian saya, ada dua hal yang menjadi alat untuk mengontrol seksualitas perempuan Mekarwaru, yakni pertalian rasa malu (kinship of shame) dan gosip. Rasa malu nyatanya tak dapat muncul begitu saja, tetapi diaktifkan menggunakan gosip. Tulisan ini juga ingin menunjukan bahwa aliran kekuasaan tidak melulu secara top-down ataupun bottom-up, tapi juga horizontal. Hal ini tercermin dari pelaksanaan apel malam serta bekerjanya pertalian rasa malu [kinship of shame] dan gosip sebagai praktik village biopower untuk mewujudkan performative regulation.

Each community constructs their ows sexuality, which could be reflected in their social norms that they carries and applies. Through this writing, I explained the connections between the social construction in the village of Mekarwaru regarding their women’s sexuality with the surveillance and sexuality regulation for women. I use ethnographic approach, life-history methods paired with participant observation and in-depth interview to not only the women as the subject that are being watched and regulated, but also their parents, village apparatus, Remaja Karang Taruna, and the community members that I categorizes as ‘the gossiper’ as a form of triangulation. My research shows that there’s two things that plays the role as a ‘tool’ to control Mekarwaru’s women’s sexuality, that are kinship of shame and gossip. The shame aspect could not stand by itself without the active role of gossip. Through this writing, I would also like to show that power flow is not as stagnant as ‘top-down’ or ‘down-top’, but could also be horizontal, which proven through the ’apel malam’ activity, and the work of kinship of shame with gossip as a practice of village biopower to manifest the performative regulation."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatiha Nefissa Kinandera
"This study investigates how construction of female sexuality is represented in the game VA11 Hall-A: Cyberpunk Bartender Action. Research on female sexuality and objectification in video games thus far has focused predominantly on visual aspects, which creates a research gap in language-based representations. Visual novel-type games are also seldom discussed using Critical Discourse Analysis (CDA) despite its predominantly text-based gameplay. The present study employs qualitative research methods, aided with Fairclough (2001)’s three-dimensional model of CDA and Nussbaum (1995)’s objectification theory. The study examines four thematically relevant dialogues from the game, predominantly from the perspective of female characters, with one dialogue including the perspective of a male character. The result of the analysis shows that the construction of sexuality in the game depicts emphasis on the female body in relation to physical attractiveness, as well as fragmenting body parts for the enjoyment of other characters in the game. Although the findings also show attempts to challenge patriarchal norms and stigma against women expressing their sexuality, further examination on the linguistic features in the game’s dialogues finds depictions that contradict this effort. The findings are interpreted as the game maker’s attempt to show charming and attractive characters to the players. The study believes that sexualised representation of female characters in the game is likely shaped by the dominant discourse on sexuality, and in turn, ultimately contributes to the perpetuation of this cultural phenomenon. This highlights the importance of scrutinising the representation of female sexuality, given the growing popularity of video games and ideological influence of pop culture in society.

Penelitian ini menyelidiki bagaimana konstruksi seksualitas perempuan direpresentasikan dalam game VA11 Hall-A: Cyberpunk Bartender Action (Valhalla). Penelitian-penelitian sejauh ini tentang seksualitas dan objektifikasi perempuan dalam video game baru berfokus pada aspek visual. Maka dari itu, terdapat kesenjangan penelitian dalam representasi berbasis bahasa untuk topik tersebut. Game berjenis visual novel juga jarang dibahas dengan menggunakan Critical Discourse Analysis (CDA) meskipun jenis game ini didominasi gameplay berbasis teks. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan model three-dimensional CDA oleh Fairclough (2001) dan teori objektifikasi Nussbaum (1995). Studi ini mengkaji empat dialog yang relevan secara tematis dari game tersebut, sebagian besar dari perspektif karakter perempuan, dengan satu dialog termasuk perspektif karakter laki-laki. Hasil analisis menunjukkan bahwa konstruksi seksualitas dalam game tersebut menggambarkan penekanan pada tubuh dan daya tarik fisik perempuan, serta fragmentasi bagian tubuh untuk kesenangan karakter lain dalam game tersebut. Valhalla menunjukkan upaya untuk menantang norma patriarki dan stigma terhadap perempuan dalam mengekspresikan seksualitasnya. Namun, penelitian lebih lanjut terhadap fitur linguistik dalam dialog game tersebut menemukan gambaran yang bertentangan. Temuan ini dimaknai sebagai upaya dari produser game untuk menampilkan karakter perempuan yang menarik kepada pemain game. Studi ini meyakini bahwa representasi seksualitas karakter perempuan dalam Valhalla dibentuk oleh pandangan normatif tentang seksualitas. Hal ini berkontribusi dalam melanggengkan representasi karakter perempuan yang konsisten dengan objektifikasi seksual. Penelitian ini menunjukkan pentingnya mengkaji kembali representasi seksualitas perempuan, terutama karena semakin populernya video game dan pengaruh ideologi yang terkandung dalam budaya populer."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nandipinta
"Keberhasilan penanggulangan penyakit menular seksual (PMS) tidak hanya tergantung pada mutu pelayanan, tetapi juga tergantung pada faktor manusianya terutama perilaku pencegahan dan perilaku pencarian pengobatan. Salah satu faktor yang panting diperhatikan adalah perilaku pencarian pengobatan, karena kegiatan penanggulangan PMS terutama adalah penemuan penderita secara dini dan segera diobati. Hal ini disebabkan karena PMS dapat bersifat merusak kesehatan dan dapat berakibat fatal serta komplikasi. Selain itu PMS mempermudah penularan virus HIV dari seorang ke orang lain. Sebaliknya infeksi HIV menyebabkan seseorang lebih mudah` terserang PMS dan lebih sukar diobati.
Dari beberapa hasil survei menunjukkan bahwa banyak penderita PMS yang tidak mencari pengobatan sehingga meinungkinkan terjadinya penularan kepada orang lain atau kepada pasangan mereka. Selain itu penderita yang tidak berobat memungkinkan terjadinya peningkatan kasus HIV. Penderita PMS yang mencari pengobatan sendiri memungkinkan terjadinya resistensi penyakit tersebut terhadap obat antibiotik yang digunakan secara tidak teratur, atau obat yang digunakan hanya antiseptik dan jamu diragukan kesembuhannya.
Tujuan penelitian untuk menentukan faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencarian pengobatan pada penderita PMS di Kabupaten Indramayu. Penelitian ini menggunakan jenis desain potong lintang (cross sectional), dengan sampel adalah sebagian dari pria/klien yang menderita penyakit menular seksual dalam 1 (sate) tahun. terakhir yang berkunjung ke lokalisasi/tempat prostitusi yang ada di wilayah Kabupaten Indramayu.
Dari basil penelitian diperoleh bahwa dari 384 responden yang pernah mengalami PMS dalam 1 (satu) tabu' terakhir sewaktu dilaksanakan penelitian, sebanyak 22 responden (5,7%) tidak mencari pengobatan dan 362 responden (94,3%) mencari pengobatan. Dari 362 responden tersebut pengobatan pertama yang dilakukannya adalah dengan melakukan pengobatan sendiri 121 responden (33,4%) dan yang ke pelayanan kesehatan 241 responden (66,6%).
Faktor-faktor yang berhubungan bermakna antara yang tidak mencari pengobatan dan yang mencari pengobatan adalah variabel persepsi sakit (OR 14,40; 95%CI 3,77-55,01) dan biaya pengobatan (OR 19,71; 95% CI 6,17-62,95). Faktor-faktor yang berhubungan bermakna antara yang mengobati sendiri dan yang ke pelayananan kesehatan adalah variabel-variabel status perkawinan (OR 2,27; 95 CI 1,11-4,64), persepsi sakit (OR 6,24; 95% CI 3,30 - 11,79), dan anjuran berobat (OR 2,11 ; 95% CI 1,30 -3,41).
Disarankan untuk meningkatkan pengetahuan penderita PMS dengan memberikan penyuluhan, terutama dalam meningkatkan pemahaman bahwa pengobatan dengan antiseptik dan jamu bukanlah obat yang tepat untuk pengobatan PMS. Selain itu perlu ditingkatkan penyuluhan tentang bahaya PMS dan upaya-upaya pencegahan yang mungkin dilakukan untuk mengurangi risiko penularan PMS. Melalui upaya pencegahan seperti menggunakan kondom, diharapkan dapat mengurangi biaya pengobatan.

Related Factors to Health Seeking Behavior on Sexual Transmitted Disease Clients That Visited to Prostitution Area in Indramayu District in Year 2000The successful prevention of sexual transmitted disease (STD) does not only depend on quality of services but also depends an human factors in particular health seeking behavior and prevention. One of the most important factors is health seeking behavior, because the most important STD prevention activity is to find patients and to cure them immediately. This is because STD could damage person health and could be fatal and complicated. Beside that, STD facilitate HIV including complication and fatal outcome. In contrary, HIV infection easily contracted to infected STD but difficult to cure.
Several surveys, show that many STD patients do not seek for treatment, and will infect to other person including their spouses. Beside that, untreated STD patients will increase the number of HIV cases. Patients who is seek self treatment will cause resistance STD drugs due to irregular intake. The patients only use antiseptic drugs and traditional medicine of which the efficacy is questionable.
The objective of this research is to analysis related factors to health seeking behavior in STD patients in Indramayu District. This research is based on cross sectional design method of patients with sexual transmitted disease that visited existing prostitution area in Indramayu District during one year.
In the study was found that 384 respondents has suffered from STD during the year 362 respondents (94.3%) did seek treatment and 22 did not (5.7%). 121 respondents (33.4%) preferred self-treatment initially and, 241 respondents (66.6%) went to health facilities.
Factors that significantly influence health seeking behavior (treatment or non treatment) are disease perception variable (OR 14.40; 95%CI 3.77-55.01) and treatment cost (OR 19.81; 95%CI 6.17-62.95). Related factors influencing the choice between and seeking treatment at health facilities are marital status variables (OR 2.27; 95%CI 1.11-4.64), disease perception (OR 6.24; 95%CI 3.30-11.79), and advice by others to take treatment (OR 2.11; 95%CI 1.30-3.41).
In conclusion, it is recommended to increase knowledge to STD patients by giving health education in particular to increase their understanding that antiseptic treatment and traditional medicine is not an appropriate method for STD treatment. Beside that it is necessary to increase knowledge on dangers of STD and intensify efforts to decrease the risk of STD infection (by condom use). These efforts will lower treatment costs.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2000
T5170
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kindy Aulia
"Pendahuluan dan tujuan: Meskipun prevalensi disfungsi seksual pada wanita tinggi, masalah seksual jarang menjadi fokus konsultasi klinis karena sifatnya yang intim dan pribadi. Di negara seperti Indonesia, lebih sulit lagi untuk mengatasi masalah ini, mengingat faktor budaya, etnis dan agama. Pengaruh kelelahan kerja di kalangan perawat di seluruh dunia terhadap disfungsi seksual jarang dipelajari. Dengan tingginya prevalensi burnout akibat pekerjaan perawat, disfungsi seksual bisa menjadi masalah signifikan yang dialami oleh perawat di seluruh negeri. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kelelahan kerja dengan disfungsi seksual pada perawat wanita Indonesia.
Metode: Sebuah studi cross sectional dilakukan di Rumah Sakit Umum Kardinah, Tegal, Jawa Tengah, Indonesia antara Januari 2022 dan Maret 2022 menggunakan kuesioner online yang dikelola sendiri dan bersifat anonim. Subjek penelitian kami adalah perawat wanita dari klinik rawat jalan, bangsal rawat inap, unit perawatan intensif/tinggi, unit gawat darurat, dan kamar operasi. Kami membagikan kuesioner online kepada perawat wanita yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Burnout pekerjaan di kalangan perawat dinilai menggunakan Copenhagen Burnout Inventory (CBI), sedangkan disfungsi seksual pada wanita dinilai menggunakan Female Sexual Function Index (FSFI). Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak IBM SPSS ver 25.0
Hasil: Sebanyak 285 perawat berpartisipasi sebagai sampel penelitian ini, 164 perawat (57,54%) berada pada kelompok beban kerja rendah dan 121 perawat (42,46%) pada kelompok beban kerja tinggi. Prevalensi disfungsi seksual pada perawat wanita dalam penelitian ini mencapai 87,7%, sedangkan kelelahan kerja pada perawat dengan beban kerja tinggi dan rendah dalam penelitian kami masing-masing adalah 42,2% dan 19,5%. Hasil analisis menunjukkan korelasi negatif yang signifikan antara skor CBI, sub skor, dan status burnout terhadap skor FSFI (p < 0,05) meskipun korelasi tersebut lemah. Data kami membuktikan bahwa tidak ada variabel independen yang dapat menjadi variabel predictor skor FSFI.
Kesimpulan: Perawat wanita yang sudah menikah memiliki tingkat kelelahan kerja yang relatif tinggi dan rentan terhadap disfungsi seksual. Studi ini menunjukkan korelasi yang signifikan secara statistik tetapi lemah antara kelelahan kerja dengan disfungsi seksual pada perawat wanita yang sudah menikah dari skor total CBI, subskor dan status kelelahan dengan skor total dan subskor FSFI dalam hal lubrikasi, orgasme, kepuasan, dan nyeri.

Introduction: Despite the high prevalence of female sexual dysfunction (FSD), sexual problems are rarely a focus of clinical consultation due to their intimate and private nature. In a conservative country like Indonesia, it is even more difficult to address these problems considering the culture, ethnic and religion factors. Therefore, this study aimed to see the correlation between occupational burnout and sexual dysfunction in Indonesian female nurses.
Methods: A cross-sectional study was conducted in Kardinah General Hospital, Tegal, Central Java, Indonesia between January and March 2022. We distributed online questionnaires to female nurses who matched our eligibility criteria. Occupational burnouts among nurses were assessed using Copenhagen Burnout Inventory (CBI), while Female sexual dysfunction (FSD) was assessed using Female Sexual Function Index (FSFI).
Results: A total of 285 nurses participated as samples of this study, 164 nurses (57,54%) were in the low workload group and 121 nurses (42,46%) in the high workload group. The prevalence of sexual dysfunction in female nurses in this study was as high as 87.7% While occupational burnout in high and low workload nurses in our study was 42.2% and 19.5%, respectively. The analysis shows a significant negative correlation between CBI score, sub scores, and burnout status to FSFI score (p < 0.05).
Conclusion: Married female nurses have a relatively high occupational burnout and are prone to sexual dysfunction. This study showed statistically significant but weak correlation between occupational burnout with sexual dysfunction in married female nurses from the CBI total score, subscores and burnout status with FSFI total score and subscores.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan Untuk mengetahui faktor-faktor risiko bakterial vaginosis (BV) pada perempuan Indonesia. Metode Penelitian ini merupakan studi deskriptif potong lintang yang melibatkan 492 perempuan yang berusia 15- 50 tahun. Sekret vagina diambil kemudian dilakukan tes Whiff dan tes Nugent untuk mengetahui ada atau tidaknya BV. Tempat penelitian adalah Puskesmas Karawang, Pedes, Cikampek, Tempuran, Klinik Batalyon 201 Cijantung, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Hasil Subjek memiliki usia 15-25 tahun (26,8%), 26 ? 40 tahun (59,1%), ¬> 40 tahun (14%). Usia rata-rata adalah 30.9 tahun. Status pernikahan subjek adalah belum menikah (16,9%), menikah 1x (76,4%), dan menikah > 1x (6,7%). Prevalensi bakterial vaginosis pada penelitian ini adalah 30.7% sesuai dengan skor Nugent. Usia >40 tahun (OR=3,15 95% CI = 1,15-1,48) dan pasangan yang tidak disirkumsisi (OR=6,25,95% CI=2,54-15,38) merupakan faktor determinan yang secara signifi kan berpengaruh terhadap kejadian BV (p<0,05). Kesimpulan Prevalensi BV pada penelitian ini adalah 30,7%. Faktor risiko BV adalah usia dan pasangan yang tidak disirkumsisi.

Abstract
Aim To identify risk factors for bacterial vaginosis (BV) among Indonesian women. Methods This is a cross sectional study involving 492 women with age ranged 15-50 years. Vaginal discharge was collected. Whiff test and Nugent scoring were utilized to identify BV. Settings are Puskesmas Karawang, Pedes, Cikampek,Tempuran, Batalyon 201 Clinic Cijantung, Faculty of Medicine University of Indonesia and Cipto Mangunkusumo Hospital. Results Age of the subjects were 15-25 years old (26,8%), 26 ? 40 years old (59,1%), and > 40 years old (14%). The mean age was 30.9 years. Marital status of the subjects were not-married (16,9%), married (76,4%), married more than once (6,7%). Prevalence of bacterial vaginosis in this study was 30.7% according to Nugent?s score. Age >40 years old (OR=3,15 IK 95% = 1,15-1,48) and uncircumcised couple (OR=6,25, IK 95% = 2,54 - 15,38) were independently and signifi cantly associated with incidence of BV (p<0.05) Conclusions Prevalence of BV in this study was 30.7%. Determinant risk factors of BV were age and uncircumcised sexual partner."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2010
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Prila Khairunnisa
"Infeksi menular seksual merupakan pintu masuk terjadinya infeksi HIV. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu di tahun 2013 ditemukan (9%) kasus baru IMS pada wanita usia subur (10-19 tahun), Di Ambon terjadi peningkatan kejadian IMS pada wanita usia subur (15-24 tahun) dari (28,67%) di tahun 2011 menjadi (32,53%) di tahun 2013. Tahun 2018 ditemukan (15%) kasus IMS di RSCM terdiri dari anak berusia (12-22 tahun). Penelitian ini bertujuan untuk mencari faktor yang berhubungan dengan risiko terjadi infeksi menular seksual pada wanita usia subur (15-24 tahun) di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan sampel 4.240 wanita usia (15-24 tahun). Data diperoleh dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2017 dan dianalisis menggunakan analisis multivariat cox regression. Analisis multivariat cox regression menunjukkan bahwa faktor risiko terjadi IMS pada wanita usia subur (15-24 tahun) adalah pengetahuan, usia dan usia pertama kali berhubungan seskual. Prediktor utama adalah pengetahuan remaja (PR 1,489; p: 0,000, CI 1,243-1,783) yang artinya wanita yang memiliki pengetahuan kurang baik tentang IMS berisiko terkena IMS sebesar 1,489 kali dibanding wanita yang memiliki pengetahuan baik. Menghilangkan stigma seksual adalah tabu dan terbatas pada pasangan sudah menikah serta promosi alat kontrasepsi kondom perlu ditingkatkan sehingga wanita memperoleh informasi tentang dampak dan pencegahan tertular IMS dengan lebih baik.

Sexually transmitted infections are the gateway to HIV infection. Based on the results of previous studies in 2013, new STI cases were found (9%) in women of childbearing age (10-19 years). in 2011 to (32.53%) in 2013. In 2018 it was found (15%) STI cases at RSCM consisted of children aged (12-22 years). This study aims to find factors associated with the risk of sexually transmitted infections in women of childbearing age (15-24 years) in Indonesia. This study used a cross-sectional design with a sample of 4,240 women aged (15-24 years). Data were obtained from the 2017 Indonesian Health Demographic Survey and analyzed using cox regression multivariate analysis. Multivariate cox regression analysis showed that the risk factors for STIs in women of childbearing age (15-24 years) were knowledge, age and age when they first had sexual intercourse. The main predictor was knowledge of adolescents (PR 1.489; p: 0.000, CI 1.243-1.783) which means that women who have poor knowledge about STIs are at risk of getting STIs by 1.489 times compared to women who have good knowledge. Eliminating sexual stigma is taboo and limited to married couples and the promotion of protective equipment needs to be increased so that women get better information about the impact and prevention of contracting STIs. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raina Nadila
"Female Genital Mutilation atau yang dikenal dengan sunat perempuan, merupakan praktik yang masih kental dilakukan. Tujuan makalah non seminar ini untuk memahami motif di balik praktik sunat perempuan. Penulisan menggunakan studi literatur sebagai sumber kajian. Hasil dari pengamatan ini adalah adanya nilai bahwa hak kebertubuhan perempuan untuk mencapai kepuasan seksual harus dibatasi. Hal ini lahir akibat konstruksi sosial patriarki yang mengharuskan perempuan tidak permisif dan lsquo;suci rsquo;. Secara medis, praktik sunat perempuan tidak membawa kemaslahatan apapun, bahkan cenderung lebih membahayakan nyawa perempuan. Kendati demikian, praktik ini masih dilakukan dikarenakan pemaknaan sunat perempuan bagi kehidupan sosial dipengaruhi oleh tradisi turun-menurun dan agama.

Female Genital Mutilation or known as female circumcision, is a practice that is still thick. The purpose of this non-seminar paper is to understand the motives behind the practice of female circumcision. Writing using literature study as a source of study. The result of this observation is the value that the right of women to reach sexual satisfaction must be limited. This is born due to patriarchal social construction which requires women not to be permissive and 39;holy 39;. Medically, the practice of female circumcision does not bring any benefit, even more likely to endanger the lives of women. Nevertheless, this practice is still done because the meaning of female circumcision for social life is influenced by the tradition of descent and religion. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Hannifah
"Infeksi Menular Seksual (IMS)adalah infeksi yang utamanya ditularkan melalui hubungan seksual (Kemenkes, 2023), kelompok remaja dan dewasa muda (usia 15 -24 tahun) merupakan kelompok umur yang berisiko paling tinggi untuk tertular IMS (Kemenkes, 2016). Bandung merupakan kota dengan prevalensi IMS terbanyak di Indonesia dengan gonorhea 37,4%, chlamydia 34,5% dan syphilis 25,2%. Estimasi jumlah PSP di Indonesia 230.000 orang, (Organisasi Perubahan Sosial Indonesia, 2019). Estimasi jumlah PSP di Jawa Barat adalah 31.375 orang, sedangkan jumlah PSP Kota Bandung : 3211 orang, 1710 PSP terjangkau, 54 % akses ke klinik. Jumlah PSP remaja kurang dari 24 tahun sebanyak 104 orang (3 %). PSP yang terinfeksi IMS, akan berupaya untuk mencari pengobatan. Tujuan penelitian ini untuk melihat fenomena Health Seeking Behavior IMS pada remaja PSP di Kota Bandung yang dipengaruhi oleh pemikiran dan perasaan (thoughts and feeling), pengalaman orang lain (personal reference), sumber daya (resources), dan  kebudayaan (culture).

Metode penelitian menggunakan metode kualitatif, desain phenomenology. Informan penelitian 8 orang, 5 informan utama remaja PSP online (apartemen dan kost) dan offline (lokalisasi, tempat hiburan, jalanan) berusia 10-24 tahun, serta 3 orang informan kunci yaitu mucikari, penghubung dan petugas lapangan. Pengumpulan data dengan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan informan tidak mengetahui dengan baik gejala dan penularan IMS, IMS merupakan hal yang menakutkan tetapi merupakan risiko pekerjaan. PSP memilih no action dan self-treatment jika gejala yang dirasakan ringan. Dukungan mucikari cukup membantu dengan syarat tidak merugikan mucikari. Pengaruh orang lain (personal reference) sangat besar bagi PSP mendorong upaya pengobatan sendiri (self-treatment). Sumber daya yang tidak dimiliki oleh PSP menjadi hambatan bagi PSP offline, yaitu dana yang terbatas, waktu buka layanan kesehatan formal yang tidak sesuai dengan jam kerja PSP, perlakuan stigma dan diskriminasi dari tenaga kesehatan klinik. Sedangkan bagi PSP online, hambatannya adalah kekurangan dana dan ketergantungan terhadap orang yang mengantar ke klinik. Budaya pengobatan turun temurun seperti jamu-jamuan atau ke dukun menjadi hambatan bagi PSP online dan offline.

Rekomendasi: meningkatkan KIE (komunikasi, informasi dan edukasi) pada remaja PSP, mucikari dan penghubung mengenai IMS, pengobatan yang benar dan pengunaan kondom; memperbaiki kualitas layanan IMS; evaluasi berkala terhadap layanan dan Petugas Lapangan PSP dalam program pencegahan IMS.


Sexually Transmitted Infections (STIs) are infections that are mainly transmitted through sexual contact (Ministry of Health, 2023), teenagers and young adults (aged 15 -24 years) are the age group at highest risk of contracting STIs (Ministry of Health, 2016). Bandung is the city with the highest prevalence of STIs in Indonesia with gonorrhea 37.4%, chlamydia 34.5% and syphilis 25.2%. Estimated 230,000 people Female Sex Worker (FSW) in Indonesia, (Indonesian Social Change Organization, 2019). The estimated number of FSWs in West Java is 31,375 people, in Bandung City is: 3211 people, 1710 FSWs are reach, and 54% have access to clinics. The number of FSW less than 24 years old was 104 people (3%). FSW who are infected with STIs will try to seek treatment. The aim of this research is to look at Health Seeking Behavior for STI among adolescents FSW in Bandung which is influenced by thoughts and feelings, personal references, resources and culture.

The research method used qualitative methods, with phenomenology design. The research informants were 8 people, 5 main informants were adolescent FSW who work online (apartments and boarding houses) and offline (localization, entertainment, and streets) aged 10- 24 years, and 3 key informants, pimps, liaisons and outreach worker. Data collection using in- depth interviews. The research results showed that informants did not know well the symptoms and transmission of STIs, STIs are terrible thing as an occupational risk. FSW chooses no action and self-treatment if the symptoms not serious. Pimps support is quite helpful as long as it doesn't cause harm. Personal reference influenced self-treatment for FSW.   The resources that FSWs do not have are obstacles for offline FSWs, namely limited funds, formal health service operational hours, stigmatized and discriminatory treatment from clinical providers. Meanwhile, for online FSW, the obstacles are lack of funds and dependence on people who accompany them to the clinic. The culture of traditional treatments such as herbal medicine or going to shamans is an obstacle for online and offline FSW.

Recommendations: improve IEC (communication, information and education) among adolescent FSW, pimps and liaisons regarding STIs, correct treatment and condoms use; improving the quality of STI services; continuous evaluation of services and FSW’s outreach worker in STI prevention program."

Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Handsfield, H. Hunter
New York: McGraw-Hill, 2011
616.951 HAN c
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>