Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114630 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budiani Christina Natalia Metrana
"Latar Belakang: Kegunaan laringoskop video untuk intubasi endotrakeal telah terbukti bermanfaat pada tatalaksana jalan napas normal ataupun sulit. Namun harga laringoskop video seperti McGrath MAC® yang mahal menjadi hambatan. Sebagai alternatif, dapat digunakan kamera portabel yang dipasangkan pada bilah Macintosh, dihubungkan via wifi ke telepon genggam, untuk membantu visualisasi laring seperti halnya laringoskop video. Sampai saat ini belum ada penelitian yang membandingkan waktu intubasi endotrakeal menggunakan modifikasi laringoskop Macintosh dengan laringoskop video McGrath MAC® pada populasi dewasa.
Metode: Uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 62 subjek penelitian untuk membandingkan waktu intubasi endotrakeal menggunakan modifikasi laringoskop Macintosh dengan laringoskop video McGrath MAC® pada populasi dewasa. Kriteria penolakan adalah sulit jalan napas, kehamilan, penyakit jantung iskemik akut, gagal jantung, blok jantung derajat 2 atau 3, sindrom Guillain Barre, myasthenia gravis.
Hasil: Median waktu intubasi A (waktu yang diukur saat laringoskop masuk melewati gigi sampai mendapatkan visualisasi glotis) menggunakan modifikasi Macintosh 18(6-65) detik dibandingkan McGrath MAC® 21(10-70) detik (p 0.652). Median waktu intubasi B (waktu yang diukur saat mendapatkan visualisasi glotis sampai ETT masuk ke dalam trakea) 39(20-101) detik dibandingkan 50(27-102) detik (p 0,003). Median waktu intubasi total 63 (27-114) detik dibandingkan 74 (40-133) detik (p 0,032). Selain itu juga dicatat angka keberhasilan intubasi pada upaya pertama menggunakan modifikasi laringoskop Macintosh 90,3%, angka visualisasi glotis skor POGO 100 67,7% dan skor POGO 75 29%, komplikasi takikardia dan laserasi mukosa jalan napas berupa abrasi ringan pada daerah orofaring. Secara keseluruhan, para pengguna modifikasi laringoskop Macintosh menganggap alat ini baik untuk digunakan, baik dari segi kemudahan insersi alat, kemudahan penggunaan alat, dan visualisasi glotis.
Simpulan: Intubasi endotrakeal menggunakan modifikasi laringoskop Macintosh membutuhkan waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan menggunakan laringoskop video McGrath MAC® pada pasien dewasa.

Background: The use of video laryngoscope has been proven to be beneficial for endotracheal intubation for normal and difficult airway management. But the problem with using a video laryngoscope is often the price of the tools. A widely used video laryngoscope, such as McGrath MAC® is expensive. As an alternative to help visualize the larynx like a video laryngoscope, we can use a portable camera placed in a Macintosh blade, then connected via wifi to a mobile phone. However, there is no available research that compares intubation time using modified Macintosh laryngoscope vs McGrath MAC® video laryngoscope in the adult population.
Methods: This study is a single-blinded randomized clinical trial of 62 subjects to measure the intubation time using modified Macintosh laryngoscope compared with McGrath MAC® video laryngoscope in the adult population. Exclusion criteria are difficult airway, pregnancy, acute ischemic heart disease, second or third-degree heart block, Guillain Barre syndrome, myasthenia gravis.
Results: Median intubation time A (time taken since laryngoscope passes the teeth until glottic visualization) using modified Macintosh and McGrath MAC® were 18(6-65)s and 21(10-70)s (p 0.652), consecutively. Median intubation time B (time taken since glottic visualization until tube insertion into the trachea) was 39(20-101)s and 50(27-102)s (p 0,003). Median total intubation time was 63 (27-114)s using modified Macintosh, compared with 74 (40-133)s (p 0,032) using McGrath MAC®. Besides that, we also noted the first attempt success rate in modified Macintosh was 90,3%, glottic visualization with POGO score 100 was 67,7% and POGO score 75 was 29%. The complications found in this study were tachycardia and airway mucosal laceration such as mild oropharyngeal abrasion. In conclusion, modified Macintosh users decide that this equipment is convenient, in terms of insertion easiness, usefulness, and glottis visualization.
Conclusion: Endotracheal intubation using modified Macintosh laryngoscope takes a shorter time compared with McGrath MAC® video laryngoscope in the adult population
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur’aini Alamanda
"Latar Belakang : Intubasi endotrakeal dan laringoskopi direk merupakan standar baku mas dalam tatalaksana jalan nafas baik pada keadaan emergency ataupun tidak. Peningkatan tanggapan kardiovaskular karena rangsangan simpatis merupakan komplikasi tersering saat intubasi. Tanggapan kardiovaskular ini dapat berbahaya bagi pasien-pasien yang berisiko, terutama yang memiliki masalah gangguan jantung dan serebrovaskular. Metode pemilihan bilah merupakan salah satu teknik non farmakologi yang digunakan untuk mengurangi tanggapan kardiovaskular yang timbul akibat intubasi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan tanggapan kardiovaskular dan kemudahan intubasi antara laringoskop McCoy dan Macintosh.
Metode : Uji klinis acak tersamar tunggal, dengan 78 pasien yang akan menjalani anestesia umum dengan intubasi endotrakeal dan dibagi ke dalam 2 kelompok, yaitu McCoy dan Macintosh. Kriteria inklusi adalah 18-65 tahun dengan status fisik ASA 1 dan ASA 2 tanpa penyulit jalan nafas. Midazolam 0,05mg/kgBB dan fentanyl 2mcg/kgBB diberikan 2 sebagai agen koinduksi. Induksi anestesia menggunakan propofol 2mg/kgBB, dilanjutkan dengan pemberian rocuronium 0,6mg/kgBB setelah dipastikan hilangnya refleks bulu mata. Tanggapan kardiovaskular yang diukur (tekanan sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata, dan laju denyut nadi). Intubasi dikatakan mudah bila dilakukan dalam waktu kuang dari 10 menit dan tidak lebih dari 3 kali percobaan.
Hasil : Pada menit pertama pasca intubasi, tekanan darah sistolik, diastolik, dan lau denyut nadi kelompok McCoy lebih tinggi dibandingkan Macintosh, dengan perbedaan tekanan sistolik -2,38 (-9,93-5,16), tekanan diastolik -1,07(-7,313-5,15 95%IK), laju denyut nadi 2,79(-2,69 – 8,28). Pada menit ke-3 pasca intubasi, tekanan sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata, dan laju denyut nadi kelompok McCoy tetap lebih tinggi dibandingkan dengan Macintosh, dengan perbedaan tekanan sistolik -1,23 (-8,51-6,05), tekanan diastolik -0,97(-6,69-4,75), tekanan arteri rerata -0,65(-6,27-4,97), dan laju denyut nadi 0,89(-3,99-5,78).
Kesimpulan : Intubasi dengan laringoskop McCoy tidak mampu menekan tanggapan kardiovaskular yang timbul akibat rangsang nyeri dan stimulasi simpatis.

Background : Endotracheal intubation with direct laryngoscopy is the gold standard of airway management. Increasing cardiovascular response due to sympathetic stimulation is the most common complication during intubation. This cardiovascular response can be dangerous for patients at risk, especially those who have cardiac and cerebrovascular disorders. The blade selection method is a non pharmacological technique that can be employed to reduce cardiovascular response of intubation. This study aims to compare the cardiovascular response and intubation ease between McCoy and Macintosh laryngoscopy.
Method : This is a single blind randomized clinical study on 78 adult patients undergoing endotracheal intubation for elective general anesthesia. Subjects are divided into 2 groups: McCoy and Macintosh. The inclusion criteria were age 18-65 years old with physical status ASA 1 and ASA 2 without airway difficulty. All patients received the same anesthesia regiment of midazolam 0,05mg/kg, fentanyl 2mcg/kg, propofol 2mg/kg, and rocuronium 0,6mg/kg. After loss of eyelash reflex, laryngoscopy was performed Cardiovascular response measured includes systolic pressure, diastolic pressure, mean arterial pressure, and heart rate. Intubation is considered to be easy if it is done in less than 10 minutes and not more than 3 trials.
Results: In the first minute after intubation, systolic, diastolic blood pressure, and heart rate in McCoy group were higher than Macintosh group, with a difference in systolic pressure of -2.38 (-9.93-5.16) mmHg, diastolic pressure -1.07 (-7.313-5.15 95% CI) mmHg, pulse rate 2.79 (-2.69-8.28) beats per minute. In the 3rd minute after intubation, systolic pressure, diastolic pressure, mean arterial pressure, and heart rate of McCoy group remained higher compared to the Macintosh, with a difference of systolic pressure -1.23 (-8.51-6.05) mmHg, pressure diastolic -0.97 (-6.69-4.75) mmHg, mean arterial pressure -0.65 9-6.27-4.97) mmHg, and pulse rate 0.89 (-3.99-5.78) beats per minute
Conclusion : Intubation with McCoy’s laryngoscope was unable to suppress cardiovascular response arising from pain and sympathetic stimulation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ananto Wiji Wicaksono
"Latar Belakang: Intubasi nasotrakeal adalah manajemen jalan napas yang banyak digunakan, terutama pada operasi di daerah oral. Beragam perangkat ditemukan untuk melakukan teknik intubasi, seperti video laringoskop. Penggunaan Video Laringoskop C-MAC® (CMAC) memungkinkan visualisasi glottis yang lebih baik bila dibandingkan dengan laringoskop Machintosh. Pada kasus jalan napas sulit, CMAC meningkatkan angka kesuksesan intubasi orotrakeal. Namun perangkat ini
tidak umum digunakan pada intubasi nasotrakeal. Metode: Uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 86 subjek penelitian untuk membandingkan keberhasilan intubasi dan durasi waktu intubasi nasotrakeal pada pasien dewasa ras Melayu antara penggunaan laringoskop video C-MAC® dengan penggunaan laringoskop konvensional Macintosh. Kriteria penolakan adalah sulit jalan napas, kehamilan, penyakit jantung iskemik akut, gagal jantung, blok derajat 2 atau 3, hipertensi tak terkontrol, Sindrom Guillen Barre, Myasthenia Gravis, dan
kontraindikasi intubasi nasotrakeal. Hasil: Penggunaan CMAC meningkatkan angka keberhasilan upaya pertama kali intubasi (RR 1,265, CI 95% (1.084-1.475)) dan membutuhkan durasi waktu
intubasi yang lebih singkat (nilai p<0,001) dibandingkan penggunaan laringoskop konvensional Macintosh pada populasi dewasa ras Melayu. Simpulan: Pada pasien dewasa ras Melayu, intubasi nasotrakeal lebih mudah dengan menggunakan video laringoskop CMAC dibandingkan dengan menggunakan laringoskop konvensional Macintosh. Kemudahan intubasi didefiniskan sebagai keberhasilan upaya pertama kali yang lebih sering dan waktu prosedur intubasi yang lebih singkat.

Background: Nasotracheal intubation is a widely used airway management, especially in oral surgery. Various devices were found to perform intubation techniques, such as video laryngoscopes. The use of the C-MAC® Video Laryngoscope (CMAC) enables better glottis visualization compared to the
Machintosh laryngoscope. In the case of a difficult airway, CMAC increases the success rate of orotracheal intubation. However, this device is not commonly used in nasotracheal intubation. Methods: A single blinded randomized clinical trial study of 86 subjects has been done to compare the success of intubation and duration of nasotracheal intubation
in adult Malay patients between the use of C-MAC® video laryngoscopes and the use of a conventional Macintosh laryngoscope. Exclution criteria are difficult airway, pregnancy, acute ischemic heart disease, heart failure, second or third degree block, uncontrolled hypertension, Guillen Barre syndrome, Myasthenia Gravis, and contraindications to nasotracheal intubation. Results: The use of CMAC increased the success rate of the first attempt at intubation (RR 1,265, 95% CI (1,084-1,475)) and required a shorter duration of intubation (p value <0.001) than the use of conventional Macintosh laryngoscopes in the adult Malay race population. Conclusion: In adult Malay patients, nasotracheal intubation is easier using the CMAC video laryngoscope compared to using a conventional Macintosh
laryngoscope. The ease of intubation is defined as the high rate of successful first attempt and the shorter time of the intubation procedure.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59142
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athari
"Latar belakang: Volume tiroid normal bermanfaat dalam menentukan diagnosis dan manajemen penyakit tiroid. Indonesia belum memiliki data mengenai volume tiroid normal pada populasi dewasa. Ultrasonografi adalah metode non invasif, praktis serta akurat untuk mengukur volume tiroid. Berbagai studi di negara lain mendapatkan volume tiroid yang berbeda dan terdapat hubungan dengan jenis kelamin.
Tujuan: menentukan volume tiroid normal populasi dewasa Indonesia asimtomatis berdasarkan pemeriksaan ultrasonografi dan hubungannya dengan jenis kelamin untuk membantu memberikan data referensi volume tiroid normal.
Metode: 104 pasien memenuhi kriteria penelitian dilakukan pengukuran volume tiroid selama bulan Maret 2023 hingga April 2023. Analisis deskriptif dilakukan pada volume tiroid dengan data dalam bentuk rerata dan standar deviasi. Variabel jenis kelamin menggunakan analisis uji T-test independen.
Hasil: Rerata usia adalah dewasa muda (usia 30.3 ± 3.2 tahun) dengan distribusi usia relatif sama, yaitu kelompok laki-laki usia 29.8 ± 3.2 tahun dan kelompok perempuan usia 30.8 ± 3.2 tahun. Rerata volume tiroid lobus kanan 4.0 ± 1.38 ml, volume tiroid lobus kiri 3.7 ± 1.05 ml dan volume total tiroid 7.6 ± 2.26 ml. Rerata volume total tiroid kelompok laki-laki 8.03 ± 2.18 ml dan kelompok perempuan 7.30 ± 2.30 ml.
Simpulan: Terdapat perbedaan signifikan pada volume lobus kanan tiroid yang disebabkan ukuran diameter AP (anteroposterior) yang menunjukkan parameter kedalaman lobus tiroid. Terdapat hubungan volume tiroid normal populasi dewasa Indonesia asimtomatis dengan jenis kelamin yang memperlihatkan perbedaan signifikan pada volume lobus kanan tiroid kelompok laki-laki yang menunjukkan volume lebih besar dibandingkan kelompok perempuan.

Background: Normal thyroid volume is useful in determining the diagnosis and management of thyroid disease. Indonesia does not have data regarding normal thyroid volume in the adult population. Ultrasound is a non-invasive, practical and accurate method of measuring thyroid volume. Various studies in other countries have found different thyroid volumes and there is a relationship with gender.
Objectives: to determine the normal thyroid volume of the asymptomatic Indonesian adult population based on ultrasound examination and its relationship to gender to help provide reference data for normal thyroid volume.
Methods: 104 patients fulfill the study criteria for thyroid volume measurement from March 2023 to April 2023. Descriptive analysis was performed on thyroid volume with data in the form of mean and standard deviation. Gender variable using independent t-test analysis.
Results: The mean age was young adults (age 30.3 ± 3.2 years) with relatively the same age distribution, namely the male group aged 29.8 ± 3.2 years and the female group aged 30.8 ± 3.2 years. The mean right lobe thyroid volume was 4.0 ± 1.38 ml, left lobe thyroid volume was 3.7 ± 1.05 ml and the total thyroid volume was 7.6 ± 2.26 ml. The mean total thyroid volume for the male group was 8.03 ± 2.18 ml and the female group was 7.30 ± 2.30 ml.
Conclusion: There is a significant difference in the volume of the right thyroid lobe due to the size of the AP (anteroposterior) diameter which indicates the depth of the thyroid lobe. There is a relationship between normal thyroid volume in the asymptomatic Indonesian adult population and gender which shows a significant difference in the volume of the right thyroid lobe in the male group which shows a larger volume than the female group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edi Darmawan
"Latar belakang: Laringoskopi dan intubasi endotrakeal adalah prosedur untuk memfasilitasi pengelolaan jalan nafas dan ventilasi pada anestesi umum. Prosedur ini dapat menyebabkan perubahan variabel hemodinamik akibat respon saraf simpatis. Fentanyl merupakan agonis opioid dengan onset cepat dan durasi pendek yang dapat menekan respon saraf simpatis. Oxycodone menjadi agonis opioid kuat dengan potensi mirip morfin dan onset mirip fentanyl. Laporan penggunaan oxycodone dalam menekan tanggapan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi pada pasien yang menjalani anestesi umum di Indonesia sampai saat ini belum banyak dilaporkan.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode uji klinis acak tersamar ganda pada 64 pasien yang menjalani operasi dengan anestesi umum menggunakan pipa endotrakeal. Pasien dibagi menjadi dua kelompok secara randomisasi blok; Grup A 32 pasien dan grup B 32 pasien. Sebelum induksi anestesi, Grup A diberikan fentanyl 2 µg/kg dan Grup B diberikan oxycodone 0,2 mg/kg. Penilaian hemodinamik menggunakan variabel sistolik, diastolik, MAP, dan denyut jantung pada saat sebelum diberikan premedikasi, sesaat sesudah diberikan premedikasi, dan setelah dilakukan laringoskopi dan intubasi. Variabel hemodinamik ini dicatat dan dianalisis dengan menggunakan uji T tidak berpasangan.
Hasil: Pada variabel denyut jantung menunjukkan perbedaaan yang signifikan antara kelompok fentanyl dan oxycodone pada saat sebelum dan setelah laringoskopi dan intubasi dengan nilai P < 0,05. Pada variabel sistolik, diastolik dan MAP menunjukkan tidak ada perbedaaan yang signifikan antara kelompok fentanyl dan oxycodone pada saat sebelum dan setelah laringoskopi dan intubasi dimana nilai P > 0,05.
Simpulan: Terdapat perbedaan efektivitas oxycodone dibandingkan fentanyl dalam mengurangi tanggapan hemodinamik akibat laringoskopi dan intubasi pada anestesi umum berupa denyut jantung, namun tidak dalam hal tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik dan MAP.

Background: Laryngoscopy and endotracheal intubation are procedures to facilitate the management of airway and ventilation in general anesthesia. These procedures can cause changes in the hemodynamic variables due to the sympathetic nerve response. Fentanyl is an opioid agonist with rapid onset and short duration that can suppress sympathetic nerve responses. Oxycodone becomes a strong opioid agonist with morphine-like potential and fentanyl-like onset. Reports of the use of oxycodone in suppressing the hemodynamic response due to laryngoscopy and intubation in patients undergoing general anesthesia in Indonesia have not been reported so far.
Method: This study used a double blind randomized clinical trial method in 64 patients who underwent surgery under general anesthesia using endotracheal tubes. Patients were divided into two groups with block randomization; Group A 32 patients and group B 32 patients. Before induction of anesthesia, Group A was given fentanyl 2 µg/kg and Group B was given oxycodone 0.2 mg/kg. Hemodynamic assessment uses the systolic, diastolic, MAP, and heart rate variables before premedication, shortly after premedication, and after laryngoscopy and intubation. These hemodynamic variables were recorded and analyzed using an unpaired T test.
Results: The heart rate variable showed a significant difference between fentanyl and oxycodone groups at the time of before and after laryngoscopy and intubation with the value of P < 0.05. In the systolic, diastolic and MAP variables showed no significant difference between the fentanyl and oxycodone groups at the time of before and after laryngoscopy and intubation with the value of P > 0.05.
Conclusion: There is a difference in the effectiveness of oxycodone compared to fentanyl in reducing hemodynamic responses due to laryngoscopy and intubation under general anesthesia in the form of heart rate, but not in terms of systolic blood pressure, diastolic blood pressure and MAP."
Jakarta: Universitas Indonesia, 2019
T58833
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gultom, Fransiska
"Jumlah penderita diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Makasar mengalami kenaikan dari tahun 2014 sampai 2016. Kelurahan Kebon Pala menjadi penyumbang terbanyak dari keseluruhan kasus diare. Jumlah penderita diare balita di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Kebon Pala tahun 2014 sebesar 182 kasus kemudian naik tahun 2015 sebesar 251 kasus dan mengalami penurunan pada tahun 2016 sebesar 238 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian diare pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kelurahan Kebon Pala. Disain penelitian yaitu case control, kasus adalah penderita diare yang tercatat dalam register puskesmas selama 14 hari terakhir waktu penelitian berlangsung dan kontrol adalah tetangga kasus. Jumlah sampel masing-masing kontrol dan kasus 60 responden. Pengumpulan data dengan wawancara langsung dan observasi menggunakan kuesioner. Kuesioner berisikan pertanyaan perilaku cuci tangan pakai sabun, pemberian ASI eksklusif, sumber air bersih, sarana jamban dan sarana pembuangan sampah. Penelitian ini didapatkan hasil adanya hubungan yang signifikan antara perilaku cuci tangan pakai sabun nilai p 0.005; OR 5,107 , pemberian ASI eksklusif nilai p 0,005; OR 4,030 , sarana jamban nilai p 0,022; OR 2,993 dan sarana pembuangan sampah niali p 0,003; OR 3,406 dengan kejadian diare pada balita.

The number of diarrhea sufferers in under five children in the working area of Puskesmas Kecamatan Makasar increased from 2014 to 2016. Kebon Pala village became the biggest contributor of all diarrhea cases. The number of diarrhea sufferers in the work area of Kebon Pala Public Health Center in 2014 amounted to 182 cases and then increased in 2015 by 251 cases and decreased in 2016 by 238 cases. This study aims to determine the risk factors of diarrhea occurrence in infants in the working area of Kebon Pala Public Health Center. The case study design was case control. The case was diarrhea sufferer recorded in the puskesmas register for the last 14 days while the study took place and the control was neighboring case. The number of samples of each control and case are 60 respondents. Data was collected by direct interview and observation using questionnaire. The questionnaire contains questions on handwashing behavior with soap, exclusive breastfeeding, clean water sources, toilet facilities and garbage disposal facilities. The results of this study showed that there was a significant relationship between handwashing with soap p 0.005, OR 5,107 , exclusive breastfeeding p value 0.005, OR 4.030 , toilet facilities p value 0.022, OR 2,993 and garbage disposal facilities Niali p 0,003 OR 3,406 with the incidence of diarrhea in infants."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2017
S68519
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Tegar Jelita
"Pendahuluan: Kebutuhan perawatan ortodonti seseorang dapat disebabkan oleh ketidak sesuaian gigi geligi, fungsi oral dan atau masalah psikososial. Sebelum melakukan perawatan ortodonti, perlu diketahui keinginan pasien. Kebutuhan perawatan ortodonti cukup tinggi pada usia remaja. Jakarta merupakan kota besar karena sebagai ibu kota negara, juga merupakan pusat pemerintahan. Jakarta berkembang sedemikian pesat sehingga terdapat pinggir kota Jakarta yang dikenal juga dengan kota penyangga. Selain faktor sosio-ekonomi maka kemungkinan terdapat perbedaan psiko-sosial antara remaja kota dan remaja pinggir kota yang dapat mempengaruhi pengetahuan terhadap masalah kesehatan gigi, khususnya tentang ortodonti. Tujuan: Mengetahui perbandingan kebutuhan perawatan ortodonti remaja perkotaan dan remaja pinggir kota. Metode: Dilakukan penelitian potong lintang pada siswa-siswi SMPN 11 Jakarta dan SMPN 2 Tangerang Selatan yang berusia 12-15 tahun. Diberikan kuesioner Indikator Kebutuhan Perawatan Ortodonti (IKPO). Hasil: Uji Mann Whitney nilai p>0.05 yang berarti tidak ada perbedaan bermakna secara statistik kebutuhan perawatan ortodonti antara remaja perkotaan dan remaja pinggir kota. Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan kebutuhan perawatan ortodonti antara remaja perkotaan dan remaja pinggir kota yang diukur Menggunakan Indikator Kebutuhan Perawatan Ortodonti (IKPO)
Kata Kunci: Kebutuhan perawatan ortodonti, Indikator Kebutuhan Perawatan Ortodonti (IKPO), Remaja perkotaan, Remaja pinggir kota

Introduction: A person's need for orthodontic treatment can be caused by dental malocclusion, oral function and / or psychosocial problems. Before orthodontic treatment, it is necessary to know what the patient wants. The need for orthodontic treatment is quite high in adolescence. Jakarta is a big city because as the capital city of the country, it is also the center of government. Jakarta grew rapidly so there is a suburb area of Jakarta. Beside socio-economic factors, it is possible that there are psycho-social differences between urban adolescents and suburban adolescents that can affect knowledge of dental health problems, especially regarding orthodontics. Objective: The aim of the study is to compare the orthodontic treatment needs of urban adolescents and suburban adolescents. Methods: A cross-sectional study was carried out on students of public Junior High School 11 Jakarta and public Junior High School 2 South Tangerang aged 12-15 years. Responden was given a questionnaire Indikator Kebutuhan Perawatan Ortodonti (IKPO). Result: Mann Whitney test p value> 0.05, which means there is no statistically significant difference in orthodontic treatment needs between urban adolescents and suburban adolescents. Conclusion: There is no difference in orthodontic treatment needs between urban adolescents and suburban adolescents.
Keywords: Orthodontic treatment needs, Indikator Kebutuhan Perawatan Ortodonti (IKPO), urban adolescents, suburban adolescent
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rialta Hamda
"Background. One way to reduce pain during epidural needle insertion is infiltration of lidocaine using a needle. However, infiltration of lidocaine using the needle alone is a painful process. Free needle infiltration of lidocaine can be an alternative to reduce epidural needle insertion pain. The study of Gozdemir et al. found that 10% lidocaine infiltration without needle was less painful than 2% lidocaine infiltration with a 27G needle with no significant difference in analgesia effect during epidural needle insertion. This study aimed to compare infiltration of lidocain with and without needle for epidural needle insertion in a double-blind study, using a Tuohy needle, Comfort-inTM injector, and wider surgical group as novelty from previous studies.
Methods. This study was a double blind randomized controlled trial. Data collection was carried out consecutively on 84 subjects with 42 subjects in each group of lidocaine infiltration without needles and lidocaine infiltration with 23G needles. The effectiveness of analgesia was assessed from three variables like pain with a Numeric Pain Rating Scale (NPRS) of 0 to 10 during lidocaine infiltration, pain with NPRS during epidural needle insertion, and patient movement during epidural needle insertion.
Results. Lidocaine infiltration without needle was less painful with an NPRS of 0 (0-6.0) than lidocaine infiltration with needle with an NPRS of 2.5 (0-7.0) with a p value of 0.0001. Epidural needle insertion was more painful for the lidocaine infiltration without needle group with an NPRS of 6.0 ± 3.1 than the lidocaine infiltration with needle group with an NPRS of 4.0 ± 3.6 with a p value of 0.007. There were 20 patients (47.6%) who moved during epidural needle insertion in the lidocaine infiltration without needle group and 12 patients (28.6%) in the lidocaine infiltration with needle group with a p value of 0.116. No patient experienced any side effects when lidocaine infiltration was performed. There was no significant difference between the two groups for satisfaction.
Conclusions. Infiltration of lidocaine without needle was shown to be ineffective as analgesia in epidural needle insertion because only one of the three variables of analgesia effectiveness were met in this study

Latar belakang. Salah satu cara untuk mengurangi nyeri saat insersi jarum epidural adalah infiltrasi lidokain menggunakan jarum. Namun infiltrasi lidokain menggunakan jarum sendiri adalah proses yang menimbulkan nyeri. Infiltrasi lidokain tanpa jarum dapat menjadi alternatif untuk mengurangi nyeri insersi jarum epidural. Penelitian Gozdemir menemukan bahwa infiltrasi lidokain 10% tanpa jarum lebih tidak nyeri dibanding infiltrasi lidokain 2% dengan jarum 27G dengan efek analgesia yang tidak berbeda bermakna saat dilakukannya insersi jarum epidural. Penelitian ini ingin meneliti perbandingan infiltrasi lidokain 2% tanpa jarum dan dengan jarum sebagai analgesia pada insersi jarum epidural dengan cara double blind, menggunakan jarum Tuohy, alat injektor Comfort-inTM, dan pada kelompok operasi yang lebih luas sebagai pembeda dengan studi yang sudah dilakukan sebelumnya.
Metode. Penelitian ini merupakan randomized controlled trial dengan double blind. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif pada 84 subjek dengan 42 subjek pada masing-masing kelompok infiltrasi lidokain tanpa jarum dan infiltrasi lidokain dengan jarum 23G. Efektifitas analgesia dinilai dari tiga variabel yaitu nyeri dengan Numeric Pain Rating Scale (NPRS) 0 sampai dengan 10 saat dilakukannya infiltrasi lidokain, nyeri dengan NPRS saat insersi jarum epidural, dan gerakan pasien saat dilakukannya insersi jarum epidural.
Hasil. Infiltrasi lidokain tanpa jarum lebih tidak nyeri dengan NPRS 0 (0-6,0) dibanding infiltrasi lidokain dengan jarum dengan NPRS 2,5 (0-7,0) dengan nilai p 0,0001. Insersi jarum epidural dirasakan lebih nyeri oleh kelompok tanpa jarum dengan NPRS 6,0 ± 3,1 dibanding kelompok dengan jarum dengan NPRS 4,0 ± 3,6 dengan nilai p 0,007. Pasien yang bergerak saat insersi jarum epidural pada kelompok tanpa jarum sebanyak 20 pasien (47,6%) dan kelompok dengan jarum sebanyak 12 pasien (28,6%) dengan nilai p 0,116. Tidak ada pasien yang mengalami efek samping saat infiltrasi lidokain dilakukan. Tidak ada perbedaan bermakna pada kedua kelompok untuk kepuasan.
Simpulan. Infiltrasi lidokain tanpa jarum terbukti tidak efektif sebagai analgesia pada insersi jarum epidural karena hanya satu dari tiga variabel efektifitas analgesia yang terpenuhi pada penelitian ini.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kade Yudi Saspriyana
"Tesis ini membahas manfaat pelatihan navigasi kamera laparoskopi di kotak pelvik dalam meningkatkan keterampilan navigasi kamera laparoskopi peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) 1 Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Juga untuk mengetahui hubungan faktor umur, jenis kelamin, minat, pendidikan, pengalaman, dan pengetahuan laparoskopi sebelum pelatihan terhadap perubahan keterampilan navigasi kamera laparoskopi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental (pre-post interventional study). Jumlah subyek 23 orang, intervensi berupa pelatihan navigasi kamera laparoskopi menggunakan kotak pelvik. Penilaian dikerjakan sebelum pelatihan, 1 minggu, 2 minggu, 3 minggu setelah pelatihan dengan menggunakan Objective Structured Assessment Of Camera Navigation Skills (OSA CNS) oleh dua orang Konsultan. Analisis data menggunakan perbandingan rerata 2 kelompok berpasangan, yaitu: paired-T test. Hasil penelitian: terdapat perubahan skor OSA CNS sebelum dan setelah penelitian yang bermakna secara statistik, di mana penilaian 3 minggu setelah pelatihan menunjukkan perubahan terbesar. Analisis lebih lanjut didapatkan bahwa jenis kelamin perempuan dan pengalaman merupakan faktor yang berhubungan dengan perubahan keterampilan navigasi kamera laparoskopi setelah pelatihan.
Kata kunci: kamera laparoskopi; keterampilan navigasi; OSA CNS; pelatihan

This research objective were to know benefits of laparoscopic camera navigation training in the pelvic box in improving laparoscopic camera navigation skills of participants in the Obstetric and Gynaecology recidency program Faculty of Medicine Universitas Indonesia. Other objective was to find out the relationship between age, sex, interests, education, experience, and laparoscopic knowledge before training on changes in laparoscopic camera navigation skills. This research was experimental study (pre-post interventional study). The number of subjects was 23 samples, the intervention was camera navigation training in the pelvic box. Assesment was carried out before training, 1 week, 2 week, 3 week after traing used Objective structured assessment of camera navigation skills (OSA CNS) by two consultants. Data analysis used mean comparison of 2 pair groups: paired-T test. Results: there was statistically significant different OSA CNS score before and after training, where asessment 3 weeks after training showed the greatest change. Further analysis revealed female gender and low experience were related to changes in laparoscopic camera navigation skills after training.
Keywords: laparoscopy camera; navigation skill; OSA CNS; training
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58690
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Lailan Safina
"Latar belakang: Prevalensi populasi gemuk dewasa terus meningkat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Hal ini penting terkait perkembangan penyakit degeneratif. Perbedaan perilaku adiposit dengan awitan obesitas yang dimulai sejak kecil atau sejak dewasa belum diketahui secara jelas. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis perbedaan jumlah, ukuran, tingkat hipoksia, glikolisis anaerobik, autofagi, biogenesis dan fungsi mitokondria adiposit viseral tikus coba.
Metode: Tiga puluh lima ekor tikus Sprague-Dawley jantan, usia 4 minggu, BB 65–110 gram, secara acak dibagi menjadi kelompok perlakuan 8 dan 28 pekan. Kelompok 8 pekan terbagi 3 kelompok: PRK8 (pakan rendah kalori 8 pekan), PTL8 (pakan tinggi lemak 8 pekan), PS8 (pakan standar 8 pekan) sebagai kontrol. Kelompok 28 pekan terbagi 4 kelompok: PRK28 (PRK 8 pekan + PTL 20 pekan), PS28 (PS 8 pekan + PTL 20 pekan), PTL28 (PTL 28 pekan) dan kontrol (PS 28 pekan). Jumlah dan ukuran adiposit dianalisis pada pekan 8 dan 28 (histopatologi). Pemeriksaan ekspresi mRNA Hif-1α, Hif-2α, Lc3 (RT-qPCR); kadar HIF-1α, HIF-2α, PGC1α, MnSOD, LC3 (ELISA); dan aktivitas LDH (pemeriksaan enzimatis) dilakukan pada akhir pekan 28.
Hasil: BB kelompok PRK8 lebih rendah dibandingkan PS8 (p = 0,008), BB kelompok PTL8 lebih tinggi dibandingkan PS8 (p = 0,008). Jumlah adiposit tidak berbeda bermakna, namun ukuran sel kelompok PRK8 lebih kecil dibandingkan PS8 dan PTL8 (p = 0,000). BB kelompok PRK28, PS28 dan PTL28 lebih tinggi bermakna dibandingkan kontrol. BB PTL28 didapatkan paling tinggi, namun kenaikan BB akibat pemberian PTL 20 pekan terjadi pada kelompok PRK28. Jumlah adiposit PRK28 paling sedikit namun paling hipertrofi. Kadar HIF-1α PRK28 meningkat dibandingkan PTL28 (p = 0,046) dan kontrol (p = 0,029). Kadar HIF-2α PRK28 meningkat dibandingkan PS28 (p = 0,045) dan PTL28 (p = 0,022). Adiposit PTL28 juga hipertrofi, disertai peningkatan ekspresi mRNA HIF-2α. Kadar PGC1α PRK28 meningkat dibandingkan PS28 (p = 0,000), PTL28 (p = 0,000) dan kontrol (p = 0,000). Aktivitas MnSOD PRK28 meningkat dibandingkan PTL28 (p = 0,038) dan PS28 (p = 0,015). Aktivitas LDH tidak berbeda bermakna pada seluruh kelompok. Ekspresi mRNA Lc3 PRK28 meningkat dibandingkan PTL28 (p = 0,037) dan kontrol (p = 0,047) namun tidak ada perbedaan pada kadar protein LC3.
Simpulan: Ditemukan perbedaan respons adiposit viseral pada kelompok tikus gemuk dewasa yang berbeda status gizi pada masa pertumbuhan. Adiposit tikus yang kurus pada masa pertumbuhan didapatkan hipertrofi dan hipoksia; disertai peningkatan gen autofagi, biogenesis dan fungsi mitokondria. Adiposit tikus yang gemuk sejak kecil didapatkan hipertrofi disertai peningkatan ekspresi gen hipoksia.

Background: The prevalence of obesity in adults is increasing worldwide. This is problematic since obesity is associated with degenerative diseases. Nowadays, Indonesia is facing an interesting phenomenon, where there are adults who have been obese since childhood and others who conversely were undernourished while young. The biological differences of these two types of obesities are not well understood. This study aims to analyse the difference in the size, number, hypoxic state, anaerobic glycolysis, autophagic activity, biogenesis and mitochondrial functions of rat visceral adipocytes that differ in nutritional state at youth.
Method: Thirty five four-week-old male Sprague-Dawley rats were randomly divided into 8-week and 28-week treatment groups. The 8-week groups consist of groups given a low-caloric diet (LCD8), a high-fat diet (HFD8), a standard chow diet (SD8) as control. The 28-week groups consist of groups given LCD for 8 weeks + HFD for 20 weeks (LCD28), SD for 8 weeks + HFD for 20 weeks (SD28), HFD for 28 weeks (HFD28), and SD for 28 weeks as control. The size and number of visceral adipocytes were analyzed at week 8 and 28 by histopathological examination. The levels of Hif-1α, Hif-2α and Lc3 mRNA (RT-qPCR), HIF-1α, HIF-2α, PGC1α, MnSOD, LC3 (ELISA); and the lactate dehydrogenase activity (enzymatic analysis) were analyzed at week 28.
Result: The LCD8 significantly had the lowest BW and the HFD8 had the highest. There was no difference in the number of adipocytes, but the LCD8 adipocytes were tiny in size. At week 28, there was a significant increase of BW in all the treatment groups compared to control. The highest BW was found in the HFD28 group, but the highest BW increase was found in LCD28. The LCD28 had the least amount of adipocytes, but the size was the largest, with the significant increase of HIF-1α and HIF-2α. Although the HFD28 adipocytes were hypertrophic, there was an increase in the Hif-2α mRNA expression but not in the protein level. The PGC1α level and the MnSOD activity of the LCD28 were significantly higher than the other groups. There was no difference in the lactate dehydrogenase activity between all groups. The Lc3 mRNA of the LCD28 was increased significantly, but not in the level of LC3 protein.
Conclusion: There were differences in the visceral adipocyte characteristics of obese adult rats which differ in nutritional state at a young age. Adipocytes of the obese adult rats which were undernourished were hypertrophic, hypoxic, and had increased autophagic gene expression, biogenesis and mitochondrial functions. The adipocytes of rats which were obese since young were hypertrophic and had increased hypoxic gene expression.
"
2019
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>