Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 214658 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fitria Ninchy Octa Viarni
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui implementasi whistleblowing system di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Republik Indonesia. Konsep yang digunakan dalam penelitian adalah terkait dengan good governance yang berfokus pada akuntabilitas dan partisipasi, serta konsep whistleblowing system. Penelitian kualitatif ini melakukan pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan studi dokumen. Hasil penelitian ini menemukan bahwa implementasi whistleblowing system di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dilakukan melalui Sistem Pengaduan Masyarakat. Akuntabilitas dan partisipasi mempengaruhi penerapan whistleblowing system. Whistleblowing system di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai masih mengalami beberapa hambatan yang dihadapi dalam penerapan. Hambatan tersebut diakibatkan oleh tidak adanya panduan yang jelas dalam menindaklanjuti pengaduan, kurangnya sosialisasi, serta belum adanya evaluasi secara menyeluruh yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

This qualitative study describes the implementation of whistleblowing system in Directorate General of Customs and Excise. Concepts used in the study is related to concept of good governance that focuses on accountability and participation, as well as the concept of whistleblowing system. Data have been collected from in-depth interviews and studying related published document. This research finds that the implementation of whistleblowing system in Directorate General of Customs and Excise is conducted by Society Complain System. Accountability and participation affect the application of the whistleblowing system. Whistleblowing system at the Directorate General of Customs and Excise are still experiencing some barrier encountered in the implementation. Although the implementation of whistleblowing system is considered to have been effective when viewed from the achievement of the goal, but there are still some barriers faced. The barriers caused by the absence of clear guidance to follow up complaints, lack of socialization, as well as the lack of a thorough evaluation conducted by the Directorate General of Customs and Excise."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tito Febrian Nugraha
"Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) adalah salah satu unit kerja Eselon 1 di bawah Kementerian Keuangan yang memiliki tugas melayani dan mengawasi lalu lintas barang dari dan ke luar negeri serta barang kena cukai di dalam negeri. Data yang dihasilkan oleh DJBC sangat penting karena digunakan sebagai neraca perdagangan internasional yang termasuk dalam Sasaran Strategis DJBC tahun 2019-2024 serta digunakan untuk inisiatif strategis Kementerian Keuangan pada tema manajemen risiko surat keterangan asal dan deklarasi asal barang serta sistem analisis dan risiko targeting post clearance. Namun saat ini terdapat beberapa masalah terkait dengan data yang ada di DJBC, yaitu menurut hasil reviu tata kelola data oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan tahun 2021 menunjukkan bahwa pelaksanaan tata kelola data di DJBC belum dilaksanakan dengan memenuhi kaidah yang berlaku. Sebagai contoh, beberapa kegiatan pengelolaan strategi kualitas data belum dilaksanakan, data profiling, data assessment, dan data cleansing masih dilaksanakan secara ad-hoc, serta terdapat data operations yang dilaksanakan secara ad-hoc maupun belum dilaksanakan. Maka dari itu tujuan penelitian ini adalah merancang tata kelola data pada DJBC dengan menggunakan pedoman DAMA-DMBOK 2017. Penelitian ini dilakukan dengan metode wawancara, studi literatur dokumen internal dan eksternal, kuesioner, dan observasi untuk menjadi masukan analisis internal dan eksternal yang dilakukan. Hasil dari penelitian ini adalah nilai akhir Readiness Assessment sebesar 2,64 dari target 5 yang menunjukkan masih adanya gap. Analisis SWOT yang menghasilkan 6 strength, 6 weakness, 5 opportunity, dan 5 threat menjadi masukan untuk matriks TOWS yang menghasilkan 19 strategi. Visi dan misi tata kelola data dibuat untuk jangka waktu 5 tahun. Model operasional yang dipilih adalah hybrid/gabungan dan ada peran Chief Information Officer, Chief Data Officer, Data Owner, Executive Data Steward, Enterprise Data Steward, Business Data Steward, Domain Data Steward Technical Data Steward, dan Enterprise Application Owner. Peta jalan dijalankan dalam 2 tahun berdasarkan tahapan pelaksanaan strategi dan indikator kesuksesan dibuat berdasarkan 19 strategi yang dihasilkan dari matriks TOWS untuk penilaian 5 tahun sesuai visi dan misi tata kelola data. Rancangan tata kelola data ini dapat digunakan DJBC dalam penyusunan kebijakan di dalam organisasi.

The Directorate General of Customs and Excise (DGCE) is one of the Echelon 1 work units under the Ministry of Finance tasked with serving and overseeing the movement of goods into and out of the country as well as excisable goods domestically. The data produced by the DJBC is very important as it is used for the international trade balance, included in the DJBC's Strategic Goals for 2019-2024, and for strategic initiatives of the Ministry of Finance on themes such as risk management of certificates of origin and declarations of origin, as well as analysis systems and risk targeting post clearance. However, there are currently several issues related to the existing data at DJBC. According to a data governance review by the Inspectorate General of the Ministry of Finance in 2021, the implementation of data governance at DJBC has not been carried out in compliance with prevailing norms. For example, several data quality management strategies have not been implemented, data profiling, data assessment, and data cleansing are still performed on an ad-hoc basis, and there are data operations that are either performed ad-hoc or not performed at all. Therefore, the purpose of this research is to design data governance at DJBC using the DAMA-DMBOK 2017 guidelines. This research was conducted through interviews, literature studies of internal and external documents, questionnaire, and observations to provide input for internal and external analysis. The result of this research is a final Readiness Assessment score of 2.64 out of a target of 5, indicating there is still a gap. A SWOT analysis that produced 6 strengths, 6 weaknesses, 5 opportunities, and 5 threats provided input for a TOWS matrix that resulted in 19 strategies. The vision and mission for data governance were established for a 5-year period. The chosen operational model is hybrid/composite and includes roles such as Chief Information Officer, Chief Data Officer, Data Owner, Executive Data Steward, Enterprise Data Steward, Business Data Steward, Domain Data Steward, Technical Data Steward, and Enterprise Application Owner. The road map is implemented in 2 years based on the stages of strategy implementation and success indicators were based on the 19 strategies resulting from the TOWS matrix for evaluation over 5 years according to the vision and mission of data governance. This data governance design can be used by the DJBC in policy formulation within the organization."
Jakarta: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ihsan
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan whistleblowing system yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan. Whistleblowing System merupakan salah satu alat deteksi yang dapat mengungkap tindakan kecurangan di Kementerian Keuangan. Penelitian ini berfokus pada penerapan whistleblowing system yang dimiliki oleh Kementerian Keuangan serta bagaimana peranan whistleblowing system tersebut sebagai bagian dari pelaksanaan pengendalian intern serta sebagai upaya untuk mewujudkan good public governance di Kementerian Keuangan. Penerapan whistleblowing system di Kementerian Keuangan telah memenuhi unsur-unsur pedoman whistleblowing system serta asas-asas good public governance.

This study aims to analyze the implementation of a whistleblowing system ini the Ministry of Finance. The Whistleblowing System is one of the tools that can detect frauds at the Ministry of Finance. This study focussion on the whistleblowing system held by the Ministry of Finance and how is the role of whistleblowing system as part of internal control and also as an implementation of good public governance in the Ministry of Finance. The implementation of whistleblowing system in the Ministry of Finance has fulfilled the elements of the whistleblowing system guidelines as well as the principles of good public governance."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ditri Andita Anggariani
Atlantis Press, 2017
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
M Irsyad Hawari
"Skripsi ini membahas tentang evaluasi penerapan Whistleblowing System (WBS) dalam mendorong implementasi Good Public Governance (GPG) di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian). Penelitian ini menggunakan Pedoman Sistem Pelaporan Pelanggaran (PSPP) serta Pedoman Umum Governansi Sektor Publik Indonesia (PUGSPI) yang diterbitkan oleh KNKG sebagai kerangka evaluasi. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Data diperoleh melalui studi dokumentasi dan wawancara. Hasil penelitian menunjukan bahwa implementasi WBS di Kemenko Perekonomian dari beberapa aspek belum sepenuhnya sesuai PSPP. Aspek perawatan menjadi aspek yang implementasinya paling rendah, dibandingkan kedua aspek lainnya. Namun demikian, penelitian ini juga menunjukkan hasil implementasi WBS memberikan dampak positif bagi upaya tercapainya GPG di Kemenko Perekonomian sesuai kerangka PUGSPI. Untuk lebih meningkatkan efektivitas penerapan WBS dalam mendorong GPG, penelitian ini merekomendasikan agar Kemenko Perekonomian melakukan benchmarking sistem WBS ke Kementerian/Lembaga lain, menunjuk pegawai yang kompeten dalam mengelola WBS, melakukan sosialisasi rutin mengenai WBS, meningkatkan kewenangan unit pengelola WBS dan melakukan pelatihan pengelolaan laporan WBS secara berkala. Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu data laporan pelaksanaan WBS yang bersifat rahasia, keterbatasan dalam penilaian kompetensi anggota unit pengelola WBS serta potensi bias dari narasumber karena wawancara hanya dilakukan kepada pihak pengelola WBS dan internal Kemenko Perekonomian.

This study aims to evaluate the implementation of the Whistleblowing System (WBS) in encouraging the application of Good Public Governance (GPG) at the Coordinating Ministry for Economic Affairs (Kemenko Perekonomian). This research uses the Guidelines for the Violation Reporting System (PSPP) and the General Guidelines for Indonesian Public Sector Government (PUGSPI) issued by the KNKG as evaluation framework. The method used in this research is qualitative method with a case study approach. Data was obtained through documentation studies and interviews. The results showed that the implementation of WBS in the Coordinating Ministry for Economic Affairs, consisting of several aspects, was not fully compliant with the existing guidelines in the PSPP. Maintenance is the aspect with the lowest implementation in the Coordinating Ministry for Economic Affairs, compared to the other two aspects. However, this research also shows the results of the implementation of this WBS have positive impact on the attempts to achieve GPG at the Coordinating Ministry for Economic Affairs. To improve the effectiveness of WBS in encouraging GPG, this study recommends the Coordinating Ministry for Economic Affairs to benchmark the WBS System in other Ministries/Institutions, appoint employees who are competent in managing WBS, conduct routine campaign about WBS, increase the authority of WBS management units and conduct training about WBS management periodically. Limitations in this study are the confidentiality of WBS implementation report data, limitations in assessing the competence of WBS management unit members and potential bias from informants because interviews are only conducted to WBS managers and the internal Coordinating Ministry for Economic Affairs unit."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Handayani Gunawan
"ABSTRAK
Nama : Handayani GunawanProgram Studi : Pascasarjana Ilmu ManajemenJudul Tesis : Pengaruh Struktur Kepemilikan dan Tata Kelola Perusahaan terhadap Kemungkinan Penerapan Whistleblowing System di IndonesiaPembimbing : Dr. Cynthia Afriani S.E., M.ETesis ini bertujuan untuk melihat probability dari struktur kepemilikan serta corporate governance terhadap pengungkapan whistleblowing system di Indonesia. Dengan menggunakan binary logit model dimana variabel struktur kepemilikan memiliki probability bagi perusahaan untuk mengungkapkan whistleblowing system. Berdasarkan hasil yang didapatkan hanya variabel FOR struktur kepemilikan yang tidak memiliki nilai signifikan, sedangkan persentase kepemilikan lainnya signifikan. Variabel pada corporate governance dengan melihat boardroom characteristic dari perusahaan sampel setelah kebijakan whistleblowing system diberlakukan untuk setiap perusahaan, memiliki nilai yang signifikan kecuali untuk variabel BOC dan MEETING, dimana variabel tersebut memiliki pengaruh positif terhadap probability perusahaan memiliki whistleblowing system. Berdasarkan hasil yang didapatkan dari penelitian konsentrasi persentase kepemilikan saham sangat mempengaruhi probability adanya whistleblowing system pada perusahaan karena pemegang saham memiliki hak voting yang bisa mempengaruhi pengambilan keputusan terutama penetapan mekanisme corporate governance dalam penggunaan tool whistleblowing system pada laporan tahunan. Di samping itu, masih banyak perusahaan yang masih belum memenuhi kewajiban dalam memenuhi peraturan yang di Bapepam dan OJK pada pengungkapan whistleblowing system. Kata kunci:Struktur kepemilikan, corporate governance, whistleblowing, whistleblowing system

ABSTRACT
Name Handayani GunawanStudy Program Graduate Management ScienceTitle Ownership Structure, Corporate Governance, and Whistleblowing System in IndonesiaCounsellor Dr. Cynthia Afriani S.E., M.E This thesis aims to see the probability of ownership structure, corporate governance to disclosure about whistleblowing system in Indonesia. By using binary logit model where the ownership structure has probability to use whistleblowing system. Based on the result, only FOR variabel not significant but the others variable significant. Then the result for corporate governance by using boardroom characteristics after Bapepam and OJK made policy about whistleblowing system, only two variables have significant value and positively impact the probability of the company has whistleblowing system. Overall, the result shows that percentage of owenership from the company negatively impact the probability of the company to use whistleblowing system. Because majority shareholders have voting rights so they can decide the policy and make their own decision especially for corporate governance mechanism to use tool whistleblowing system at annual report. Most of the company from the sample still not implement the regulation yet. Keywords Ownership structure, corporate governance, whistleblowing, whistleblowing system"
2017
T50162
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vina Selistiawati
"Penelitian terhadap rerangka teoritis yang menguji sistem whistleblowing dalam kaitannya dengan risiko yang timbul akibat agency cost termasuk didalamnya risiko yang ditimbulkan informasi asimetris dan kemungkinan terjadinya kecurangan sangat jarang ditemukan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menguji efektivitas dari pengungkapan sistem whistleblowing dan kehadiran direktur independen dalam menurunkan risiko volatilitas tingkat pengembalian saham dengan menurunkan asymmetric information antara investor sebagai principal dan manajer sebagai agen. Subjek dari riset ini merupakan perusahaan manufaktur publik yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia selama periode 2013-2017, yang menghasilkan total observasi sebanyak 115. Regresi panel data dilakukan untuk pengujian hipotesis. Penelitian ini menemukan bahwa pengungkapan sistem whistleblowing memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap risiko, sedangkan direktur independen tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap risiko. Penelitian ini memiliki kontribusi terhadap literatur dengan menambahkan pengungkapan sistem whistleblowing pada perubahan tingkat risiko. Selain itu, penemuan dalam penelitian ini menghasilkan implikasi manajerial yang terkait dengan pentingnya pengungkapan sistem whistleblowing dalam mengatur risiko.

There is a paucity of theoretical framework examining the whistleblowing disclosure related to the risk faced by investor in the form of return volatility that is caused by agency problem. That also includes the risk imposed by asymmetric information and the possibility of fraud. The research objective is to examine the disclosure of whistleblowing implementation and the existence of independent director in reducing return volatility. The subject of this research was the public manufacturing companies listed on the Indonesian Stock Exchange during the period of 2013-2017, resulting the a total of 115 observation data. The panel data regression method was conducted to test the hypotheses. This research found that whistleblowing system has a negative significant effect on return volatility while independent director has a positive but insignificant effect on return volatility. This study contributes to the literature by adding the whistleblowing system disclosure in examining risk. Furthermore, the findings imply the managerial implications regarding the importance of a whistleblowing system disclosure in managing risk."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
T53878
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hidayatul Sakinah
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara religiositas dengan intensi melakukan whistleblowing. Islamic Religiosity Scale digunakan untuk mengukur tingkat religiositas dengan memisahkan antara dua dimensi yaitu kepercayaan terhadap Islam Islamic belief dan praktik perilaku berislam Islamic behavior . Untuk mengukur intensi seseorang dalam melakukan whistleblowing, digunakan tiga kasus yang diikuti oleh beberapa pertanyaan. Data dikumpulkan melalui penyebaran kuesioner terhadap 162 orang pekerja, baik di sektor publik maupun swasta, yang beragama Islam di Indonesia. Pengambilan data dilakukan selama satu bulan, selama bulan April 2018. Melalui regresi linier, didapatkan hubungan positif yang signifikan antara religiositas dengan dimensi kepercayaan terhadap Islam Islamic belief dan praktik perilaku berislam Islamic behavior terhadap intensi melakukan whistleblowing. Seseorang dengan tingkat religiositas yang lebih tinggi akan memiliki intensi yang lebih tinggi untuk melakukan whistleblowing. Sebaliknya, seseorang dengan tingkat religiositas yang lebih rendah akan memiliki intensi yang lebih rendah pula dalam melakukan whistleblowing. Penelitian ini memiliki implikasi berupa pertimbangan bagi para pemberi kerja agar mendukung dan melaksanakan berbagai upaya yang dapat meningkatkan religiositas karyawan, sehingga intensi karyawan untuk melakukan whistleblowing sebagai bentuk dari pengendalian anti kecurangan semakin besar.

ABSTRACT
This study aims to examine the relationship between religiosity towards whistleblowing intention. Islamic Religiosity Scale is used to measure the level of religiosity by separating the two dimensions, Islamic belief and Islamic behavior. To measure someone intentions in doing whistleblowing, three cases were followed by several questions. Data were collected through questionnaires distributed to 162 workers, both public and private, who were Muslims in Indonesia. Data were collected for one month during April 2018. Through linear regression, there was a significant and positive correlation between religiosity with the two dimensions, Islamic belief and Islamic behavior, towards whistleblowing intention. Someone with a higher level of religiosity will have a higher intention to do whistleblowing. Conversely, someone with a lower level of religiosity will have a lower intention to do whistleblowing. This study has implications in the form of consideration for employers to support and implement various efforts that can improve employees rsquo religiosity level, so that employees intention to do whistleblowing as a form of anti fraud control becoming higher."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Defiantoro
"Whistleblowing di sektor publik, walaupun berisiko, sangat krusial bagi akuntabilitas karena meningkatkan persepsi risiko terdeteksi bagi pelaku pelanggaran. Studi ini menyelidiki faktor-faktor penentu yang mempengaruhi niat whistleblowing, peran moderasi dari dukungan organisasi, dan pendekatan kelembagaan potensial untuk meningkatkan sistem whistleblowing. Kami membangun model PLS-SEM yang menggabungkan faktor-faktor situasional, individual, dan kultural tertentu untuk mengevaluasi niat whistleblowing. Faktor-faktor yang diperiksa meliputi keseriusan pelanggaran, posisi kuasa pelaku pelanggaran, locus of control, persepsi individualisme-kolektivisme, kecenderungan untuk melaporkan pelanggaran, persepsi kompleksitas sosial, dan persepsi keketatan budaya. Temuan kami mengungkapkan bahwa efek langsung dari keseriusan pelanggaran, kompleksitas sosial, keketatan budaya, dan kolektivisme terhadap niat whistleblowing tidak signifikan. Namun, semua faktor yang diperiksa menunjukkan efek total yang signifikan (p<0,05), dengan hasil f-test R² sebesar 0,555 untuk pelaporan internal dan 0,500 untuk pelaporan eksternal, dengan dukungan organisasi berperan sebagai moderator yang signifikan.
Untuk meningkatkan efektivitas whistleblowing di Indonesia, otoritas disarankan untuk mereformasi secara komprehensif agar memperkuat dukungan hukum, administratif, finansial, dan kultural, memastikan perlindungan dan insentif yang kuat bagi whistleblower. Mengembangkan kerangka institusional dan mengombinasikan regulasi formal dengan praktik budaya kerja, dengan menetapkan standar yang jelas, adaptif, dan dapat ditegakkan akan melindungi whistleblower dan mendorong pelaporan yang etis. Kerangka ini harus menyeimbangkan kerangka hukum dengan dinamika budaya, menciptakan lingkungan yang memprioritaskan transparansi, akuntabilitas, dan integritas. Kepemimpinan etis menjadi aspek kunci dalam mempromosikan kebijakan yang mendorong perilaku etis dan mengintegrasikan whistleblowing sebagai aspek sentral dari integritas sektor publik. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan efektivitas organisasi tetapi juga memastikan integritas etis dan transparansi, mendorong komitmen terhadap praktik etis di berbagai konteks budaya.

Whistleblowing in the public sector, while risky, is crucial for accountability as it heightens a wrongdoer's perceived risk of detection. This study investigates the determinant factors influencing whistleblowing intention, the moderating role of organizational support, and potential institutional approaches to enhance whistleblowing systems. We constructed a PLS-SEM model incorporating selected situational, individual, and cultural factors to evaluate whistleblowing intention. The factors examined include seriousness of wrongdoing, wrongdoer's power status, locus of control, perceived individualism-collectivism, propensity to blow the whistle, perceived social complexity, and perceived cultural tightness. Our findings reveal that the direct effects of seriousness of wrongdoing, social complexity, cultural tightness, and collectivism on whistleblowing intentions are insignificant. However, all examined factors demonstrated significant total effects (p<0.05), with an f-test result of R² of 0.555 for internal reporting and 0.500 for external reporting, with the organizational support serving as a significant moderator.
To enhance whistleblowing efficacy in Indonesia, authorities should implement comprehensive reforms strengthening legal, administrative, financial, and cultural supports, ensuring robust whistleblower protection and incentives. Developing institutional frameworks that merge formal regulations with cultural practices is crucial, establishing clear, adaptable, and enforceable standards that safeguard whistleblowers and encourage ethical reporting. These frameworks should balance legal mandates with cultural dynamics, fostering an environment that prioritizes transparency, accountability, and integrity. Ethical leadership is key in promoting policies that encourage ethical behaviors and integrate whistleblowing as a central aspect of public sector integrity. This approach not only enhances organizational effectiveness but also ensures ethical integrity and transparency, fostering a commitment to ethical practices across diverse cultural contexts.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>