Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 108439 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aulia Akbar Farras
"Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya digitalisasi perkembangannya sangat cepat pada saat ini. Perkembangan ini secara bertahap akan dapat mengungkapkan penipuan yang telah terjadi terhadap penciptaan nilai ekonomi. Dalam isu ini, Penulis akan membawa analisis tentang musik digital yang bernama spotify. Musik digital ini sedang digugat oleh penerbit musik besar dengan kerugian $ 1,6 miliar dan ganti rugi yangbernama wixen music publishing, yang mempunyai lisensi lebih dari 200 artis. Gugatan itu diajukan di California pada 29 Desember 2017, anggapan wixen adalah spotify melanggar pelanggaran hak cipta yang disebut hak mekanik, secara khusus menuduh spotify menggunakan ribuan lagu itu tanpa lisensi yang tepat dan izin dari wixen. Makalah penelitian ini dibuat dengan menggunakan metode yuridis normatif yang berarti kegiatan ilmiah berdasarkan metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau lebih fenomena hukum spesifik dengan cara menganalisis. Makalah penelitian ini dibuat dengan menggunakan metode yuridis normatif. Dalam makalah penelitian ini akan menganalisis penggunaan hak cipta spotify selama menjalankan bisnisnya sesuai dengan hukum, konvensi dan peraturan yang berlaku. Hasil dari makalah penelitian ini adalah untuk menarik kesimpulan tentang bagaimana spotify menghasilkan uang, legalitas fonogram digital dan menganalisis kasus spotify. Dengan melakukan hal itu diharapkan bahwa dalam makalah penelitian ini dapat memberikan saran untuk perbaikan pada penggunaan hak cipta musik digital dalam perspektif hukum hak cipta dan juga meningkatkan kesadaran masyarakat untuk menerapkan langkah-langkah pencegahan pelanggaran hak cipta dalam industri musik digital dalam Konvensi Internasional tentang Hak cipta dan hukum peraturan nasional No. 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta.

The advancement of science and technology especially the rapidly digitizing technology nowadays. The development of digitalization will gradually be able to reveal the fraud that has occurred so far against the creation of economic value. In this issue, Writer brings an analysis on digital music named spotify. This digital music is being sued by a major music publisher for $1,6 billion in damages and injuncitve named wixen music publishing, which licenses music from about 200 artists. The lawsuit was filed in California on December 29 2017, wixen assumption is spotify violates copyright infringement which called mechanical rights, specifically alleging spotify is using thousands of it is songs without a proper license and permission from wixen. This research paper is made by using normative judicial method which means a scientific activity based on method, systematics, and certain thoughts that aim to learn one or more specific legal phenomena by analyzing. In this research paper will analyze copyright use of spotify during running its business pursuant to prevailing laws, conventions and regulations. The result of this research paper is to draw a conclusion on how spotify makes money, the legality of digital phonogram and analyze spotify case. By doing so it is hope that in this research paper could provide any suggestion for the improvement on the copyright use of digital music in copyright law perspective and also increase people’s awarness to implement the preventive measures of copyright infringment in digital music industry in International Convention on Copyright and national regulation law no. 28 year 2014 on Copyright."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Defashah
"Sejak awal waktu, sudah menjadi sifat manusia untuk menemukan hiburan yang merangsang sistem indera manusia untuk mengisi kehidupan sehari-hari mereka. Salah satu bentuk hiburan yang paling umum adalah hiburan yang merangsang kesenangan pendengaran. Ada banyak catatan yang membuktikan keberadaan musik sejak peradaban manusia awal, bahkan sejak masyarakat Sumeria (c. 4500 – c. 1900 SM) (Farmer, H., 1939). Hal ini menunjukkan bahwa musik adalah bagian penting dari kehidupan. Di dunia modern, beberapa individu paling terkenal berasal dari industri musik, semakin menunjukkan seberapa besar industri ini. Dengan perkembangan teknologi, muncul perkembangan media melalui mana musik dinikmati. Akhir abad ke-19 melihat manifestasi pertama musik dalam bentuk fisik dengan lahirnya vinyl (Osborne, 2012). Sejak saat itu bentuk fisik musik berkembang menjadi berbagai jenis medium. Vinyl mencapai puncaknya pada 1950-an, kaset diperkenalkan pada 1960-an, dan CD mengambil alih pasar musik fisik pada 1990-an. Datang milenium baru dan digitalisasi massal barang-barang konsumen, media baru untuk konsumsi musik juga diperkenalkan. Napster adalah platform pertama yang memungkinkan konsumen mengunduh musik ke komputer pribadi mereka (Lee et al., 2020), memelopori digitalisasi musik . Berkaitan dengan itu, mengikuti gelombang perkembangan musik digital yang menjadikan layanan online streaming sebagai cara paling efisien untuk menikmati musik saat ini (Aguiar, 2017). Pada 2017 pendapatan industri musik digital adalah US$17,10 Miliar (Brand Essence Market Research, 2021).
Ada beberapa cara di mana musik digital dapat dikonsumsi. Salah satu parameter dalam mengkategorikan konsumsi musik digital adalah kepemilikan. Ada platform yang memungkinkan kepemilikan musik digital melalui konten yang dapat diunduh, ini dapat dianggap sebagai konsumsi berbasis kepemilikan. Perusahaan seperti Napster menyediakan layanan ini. Saat ini, Bandcamp adalah platform paling terkenal yang memungkinkan konsumsi musik digital berbasis kepemilikan. Ini dimulai sebagai bentuk perintis konsumsi musik digital. Namun, kategori kedua yang tumbuh pada akhir 2000-an telah mengambil alih pasar musik digital, yang didefinisikan sebagai konsumsi berbasis akses. Platform ini memungkinkan konsumen membayar biaya berlangganan untuk mendapatkan akses ke perpustakaan musik online. Dengan cara ini, konsumen tidak memiliki kepemilikan atas musik, yang juga dikenal sebagai konsumsi berbasis akses (Lee et al., 2020). Perusahaan terbesar yang menawarkan layanan ini adalah Spotify dan Apple.
Konsumsi musik telah berkembang dan mengambil banyak bentuk. Sebelum musik mengambil bentuk fisik apa pun, musik hanya dapat dinikmati melalui pertunjukan langsung. Pada abad ke-20 bentuk fisik musik mengambil alih industri, dan cara paling umum untuk mengkonsumsi musik adalah melalui berbagai platform digital online yang, seperti disebutkan sebelumnya, memiliki dua jenis kategori. Sebagai perbandingan, pada 2017 pendapatan Bandcamp adalah US$318 Juta (Diamond, 2018), dibandingkan Spotify yang menutup tahun dengan pendapatan US$4,9 Miliar. Perbedaan pendapatan sangat mengejutkan. Orang mungkin mempertanyakan alasan di balik perbedaan pendapatan tersebut. Meskipun sangat besar, konsumsi musik digital adalah industri yang relatif baru. Oleh karena itu, tidak ada banyak penelitian seputar dimensi dalam industri. Perbedaan antara pendapatan Bandcamp dan Spotify mungkin disebabkan oleh motivasi niat beli terhadap berbagai bentuk konsumsi musik digital. Tesis ini diharapkan dapat mengisi kesenjangan pengetahuan dalam industri. Untuk itu, tesis ini akan melakukan penelitian yang akan membedah berbagai aspek yang mempengaruhi konsumsi dalam musik digital.
Fenomena ini terjadi di seluruh dunia, dan di Indonesia ada beberapa entitas yang berupaya keras untuk berkiprah di industri musik digital, salah satunya adalah The Store Front. Sebuah website berbasis di Jakarta yang berfokus pada konsumsi musik digital berbasis kepemilikan. The Store Front merupakan platform terdepan di Indonesia yang menyediakan layanan ini bagi konsumen (Singh, 2021). Penciptaan Store Front juga dilatarbelakangi oleh dorongan untuk mendukung musisi independen dari Indonesia dan negara tetangga lainnya. Arahan utama situs web ini adalah untuk menyediakan platform bagi musisi independen dan label rekaman dan membantu mereka mendistribusikan musik mereka secara digital dan fisik dalam skala besar, di mana artis kemudian akan menerima 90% dari pendapatan. Tidak seperti perusahaan besar yang menyediakan layanan streaming, di mana metode share mereka dikritik oleh komunitas musik. Sebagai sebuah entitas, The Store Front dapat didefinisikan sebagai toko musik online sederhana, tetapi bagi musisi lokal, ini adalah platform di mana musik dibagikan secara adil dan legal. Dengan lahirnya The Store Front, hadir pasar baru bagi konsumen untuk membeli musik, dan dengan itu muncul pula perilaku baru dalam mengonsumsi musik digital untuk pasar Indonesia.
Alasan penulis memilih topik ini karena penulis melihat hal ini sebagai fenomena baru di Indonesia yang memiliki potensi pertumbuhan, baik bagi industri musik maupun bagi perekonomian. Dengan munculnya platform musik digital berbasis kepemilikan, pasar kini memiliki platform baru untuk mengakses musik, di mana mereka juga dapat secara langsung mendukung para musisi. Pendekatan ini telah menarik banyak musisi dan penggemar, untuk terus mendukung musisi lokal secara langsung daripada menggunakan platform musik digital berbasis akses yang, seperti yang telah dibahas sebelumnya, telah dikritik karena skema keuntungannya. Dengan fenomena baru muncul perilaku konsumen baru (Chandel et al., 2016). Dengan memahami perilaku konsumen, proses dimana konsumen membeli dan menggunakan barang dan jasa untuk memuaskan keinginan, keinginan, dan kebutuhan (Chandel et al., 2016), melalui niat beli dan bagaimana nilai yang dirasakan berpengaruh terhadapnya. Untuk lebih memahami fenomena platform musik berbasis kepemilikan pada perilaku konsumennya, variabel-variabel yang secara teori berpengaruh pada nilai nilai yang dirasakan yaitu kenikmatan yang dirasakan, manfaat yang dirasakan, teknis dan biaya yang dirasakan dapat dipelajari dengan cermat dengan mengkorelasikan setiap nilai variabel. pengukuran dan penerapannya pada perilaku konsumen dalam mengkonsumsi musik online (Wang et al., 2013). Ini karena keputusan pembelian konsumen didasarkan pada beberapa faktor yang, dalam banyak kasus, menyangkut evaluasi konsumen atas kepuasan yang akan mereka terima dengan membeli barang tertentu. Evaluasi tentang bagaimana hal itu dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka, melalui layanan yang diberikan secara efisien dan seberapa mudah bagi mereka untuk mencapai barang-barang tertentu. Karena penulis menggunakan toko musik online sebagai subjek utamanya, penting untuk diingat bahwa penelitian harus dilakukan dengan sudut pandang toko musik online untuk lebih memahami bagaimana berbagai aspek yang ditemukan pada toko online pada akhirnya dapat menjadi perhatian konsumen. keputusan untuk membeli di toko tersebut. Dengan memahami bagaimana masing-masing variabel dapat mendefinisikan nilai kepuasan yang berbeda bagi konsumen penulis berharap dapat memberikan data dan saran yang dapat lebih mengembangkan pertumbuhan musik digitalnya di Indonesia.

Ever since the beginning of time, it is within the nature of human beings to find entertainment that stimulates the human sensory system to fill their everyday lives. One of the most common forms of entertainment is one that stimulates the hearing pleasure. There are numerous records that prove the existence of music since early human civilization, even dating back to the Sumerian society (c. 4500 – c. 1900 BC) (Farmer, H., 1939). This demonstrates that music is a salient part of life. In the modern world, some of the most famous individuals are from the music industry, further evincing how big the industry is. With the development of technology, comes the development of the medium through which music is enjoyed. The late 19th century saw the first manifestation of music in a physical form with the birth of vinyl (Osborne, 2012). Since then the physical form of music has evolved into various types of mediums. Vinyl peaked in the 1950s, cassette tapes were introduced in the 1960s , and CDs took over the physical music market in the 1990s. Come the new millennium and the mass digitalization of consumer goods, a new medium for music consumption was also introduced. Napster was the first platform that allowed consumers to download music to their personal computers (Lee et al., 2020), pioneering the digitalization of music . Pertaining to that, a wave of development within digital music followed which led to online streaming services as the most efficient way to consume music today (Aguiar, 2017). As of 2017 the digital music industry’s revenue is US$17.10 Billion (Brand Essence Market Research, 2021).
There are several ways in which digital music can be consumed. One of the parameters in categorizing digital music consumption is ownership. There are platforms that allow for ownership of digital music through downloadable content, this can be considered as ownership-based consumption. Companies like Napster provide this service. Nowadays, Bandcamp is the most renowned platform that allows for ownership- based digital music consumption. This started out as the pioneering form of digital music consumption. However, the second category that sprouted in late 2000s has taken over the digital music market, defined as access-based consumption. These platforms allow consumers to pay a subscription fee in order to gain access to an online music library. This way, consumers do not have ownership over the music, also known as access-based consumption(Lee et al., 2020). The biggest companies that offer this service are Spotify and Apple.
Music consumption has evolved and taken many forms. Before music took any physical form it could only be enjoyed through live performances. In the 20th century the physical form of music took over the industry, and the most common way to consume music is through various online digital platforms that, as mentioned before, have two types of categories. For comparison, in 2017 Bandcamp’s revenue was US$318 Million (Diamond, 2018), compared to Spotify who closed the year with a revenue of US$4.9 Billion. The difference in revenue is astounding. One might question the reason behind such difference in revenue. Albeit gigantic, digital music consumption is a relatively new industry. Hence, there is not an abundance of research surrounding the dimensions within the industry. The difference between Bandcamp and Spotify’s revenues might be attributable to the motivation of purchase intention towards the different forms of digital music consumption. This thesis hopes to fill in the gaps of knowledge within the industry. In doing so, this thesis will conduct a research that will dissect the various aspects affecting the consumption in digital music.
This phenomenon is happening worldwide, and in Indonesia there are several entities that has made great efforts to take part in the digital music industry, one of which is The Store Front. A website based in Jakarta that focuses on ownership-based digital music consumption. The Store Front is the leading platform in Indonesia that provides this service for consumers (Singh, 2021). The Store Front’s creation is also motivated by the urge to support independent musicians from Indonesia and other neighbouring countries. The website’s prime directive is to provide a platform for independent musicians and record labels and help them distribute their music digitally and physically on a large scale, where the artist will then receive 90% of the revenue. Unlike large companies that provide streaming services, where their share method has been criticized by the music community. As an entity, The Store Front can be defined as a simple online music store, but for local musicians alike, it is a platform where music is shared fairly and legally. With the birth of The Store Front, comes a new marketplace for consumers to purchase music, and with that comes a new behaviour towards consuming digital music for the Indonesian market.
The reason the author chose this topic is because the author sees this as a new phenomenon in Indonesia that has potential growth, both for the music industry and for the economy. With the rise of ownership-based digital music platforms the market now has a new platform to access music, where they can directly support the musicians as well. This approach has attracted many musicians and fans alike, to keep supporting local musicians directly instead of using access-based digital music platforms that, as discussed before, has been criticised for its profit schematics. With a new phenomenon comes a new consumer behaviour (Chandel et al., 2016). By understanding the consumer behaviour, the process of which consumers purchases and use goods and services to satisfy desires, wants, and needs (Chandel et al., 2016), through purchase intention and how perceived value has an effect on it. To better understand the phenomenon of ownership-based music platforms on its consumers behaviour, variables that on theory have an effect on the value of perceived value which are perceived enjoyment, perceived usefulness, technicality and perceived fee can be studied carefully by correlating each variables value of measurement and applying it to the consumers behaviour on consuming online music (Wang et al., 2013). This is because a consumer’s’ purchase decision is based on several factors which, on most cases, concerns the consumer’s evaluation on the satisfaction they will receive by purchasing a specific good. An evaluation on how it can satisfy their needs and wants, through efficient services provided and how easily it is for them to attain specific goods. As the author uses an online music store as its main subject, it is important to remember that the research must be done with the point of view of the online music store to better understand how different aspects found on an online store can ultimately be a consumer’s decision to purchase on said store. By understanding the how each variable can define different values of satisfaction for consumer’s the author hopes to provide data and suggestion that could further develop the growth of digital music her in Indonesia.
"
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christine
"Tulisan ini membahas tentang asumsi adanya Galapagos Syndrome dalam strategi pemasaran musik Johnnys Jimusho. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk membuktikan pengadaan musik digital sebagai salah satu cara Johnnys Jimusho dalam melakukan ekspansi dan meninggalkan Galapagos Syndrome. Metode penelitian yang digunakan untuk tulisan ini adalah pendekatan kuantitatif dengan menganalisis data kuesioner. Penelitian ini menggunakan teori Galapagos Syndrome, Out of Touch consumer, dan Pop Cosmopolitanism. Hasil analisis menunjukkan bahwa pengadaan musik digital dapat menjadi cara yang efektif bagi Johnnys Jimusho dalam menggarap pasar potensial, salah satunya yaitu fandom Johnnys Jimusho di Indonesia.

This paper discusses writers assumption of existing Galapagos Syndrome in music marketing strategy of Johnnys Jimusho. The purpose of this paper is to proves that Johnnys Jimusho could expand and leave Galapagos Syndrome through digital music. The research method used for this paper is quantitative approach and analyzing questionnaires data. This study uses the theory of Galapagos Syndrome, Out of Touch consumer, and Pop Cosmopolitanism. The results of the analysis show that music digital would be effective for Johnny rsquo s Jimusho to get profit from Johnnys Jimusho fandom in Indonesia, which is categorized as a potential market. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stefanus
"ABSTRAK
Studi ini bertujuan untuk mengindentifikasi dan memodelkan faktor-faktor yang
mempengaruhi pembelian musik digital secara legal. Faktor-faktor yang
digunakan pada penelitian ini adalah faktor kenyamanan, norma subjektif, harga,
metode penyampaian, varietas, triabilitas, dan risiko yang diterima. Pemodelan
faktor-faktor ini dilakukan dengan metode Structural Equation Model (SEM).
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa faktor-faktor tersebut secara positif
mempengaruhi pembelian musik digital secara legal

ABSTRACT
The purpose of this study is to identify and model the factors that influence
Consumer in purchase digital music. Factors used in this study are Convenience,
Subjective Norm, Price, Delivery Mode, Variety, Triability, dan Perceived Risk.
Modeling method for these factors is Structural Equation Model (SEM). As a
result, all the factors have a positif value and influence the consumer in purchase a
digital music.
"
2016
S62977
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanang Hoesen Hidroes Abbrori
"Dalam industri musik terdapat tiga peran utama dari tujuh peran yang ada, yaitu pengguna, artis atau pencipta, dan label musik yang mempunyai pengaruh besar dalam transformasi musik digital. Transformasi musik digital mereduksi rintangan untuk masuk kedalam industri musik, dan juga mengubah bisnis tradisional menjadi model baru yang berpusat pada pelanggan dimana transaksinya tidak harus terikat oleh toko, tempat ataupun waktu.
Sayangnya, kekhawatiran industri musik terhadap pembajakan karya lagu masih membuat mereka tidak percaya dan enggan beradaptasi dengan perkembangan teknologi baru. Di lain sisi, penyedia jasa musik digital yang baru seperti Spotify dan yang lainnya mulai muncul dan bahkan mulai mendominasi.
Dengan adanya dominasi dari para pemain baru ini sepertinya label rekaman besar mulai ketinggalan zaman. Namun ternyata, label rekaman besar masih mendominasi. Sepuluh besar tangga lagu masi didominasi oleh mereka. Sumber daya yang besar dan tim yang kuat menjadi pembeda diantara mereka dan para musisi pendatang baru.
Layanan musik yang ada saat ini belum menjadi solusi terbaik untuk memenuhi keinginan dari tiga pemain utama di industri ini, yakni artis atau pencipta musik, kemudian pengguna, dan yang terakhir label musik. Melihat kondisi tersebut, peneliti berusaha menawarkan solusi terbaik untuk semua pihak, yakni dengan menciptakan suatu pasar digital baru yang bisa mengakomodir kebutuhan utama mereka, juga dengan memasukkan sifat barang fisik untuk meningkatkan nilai pasar yang ada. Kombinasi dari keduanya memungkinkan membuat orang untuk mencoba platform yang baru, karena memiliki nilai yang lebih baik dibandingkan dengan yang sudah ada, dan bisa secara perlahan menurunkan pembajakan.
Penelitian ini menggunakan metode campuran dengan kerangka Design Science Research yang bertujuan untuk membuat desain baru yang bisa memberikan nilai yang lebih dari yang sudah ada, dan juga bisa mengurangi pembajakan. Penelitian ini menggunakan teori Status Quo Bias (SQB) untuk mengevaluasi hasil keluaran dari DSR dan juga model seleksi Kano untuk membuat filter input sebagai kebutuhan prototyping. Dari proses penelitian terlihat bahwa kerangka DSR dapat digunakan untuk mengusulkan dan memberikan layanan musik digital yang lebih baik. Hasil evaluasi solusi pun menunjukkan pengguna menyukai model yang diusulkan dibandingkan dengan solusi saat ini maupun dengan pembajakan yang ada

There are three leading players from seven existing primary players: the consumers, artist creators, and the music label that play significant roles in digital music transformation. Digital music transformation can lessen the ‘barrier to entry’ in this industry. It transforms the business from a traditional shop-centric to a new customer-centric model.
Unfortunately, the worrying thing for everyone in the industry, which is piracy, does still exist. It makes the music companies doubt the new technological development. On the other hand, the new digital music services, such as Spotify, have risen and dominated.
It may seem that the old conventional record labels are obsolete. However, in reality, they still dominate the top ten charts. The successful supporting factor is that they have started having solid and good teams to manage, support, and produce good musicians and songs different from the new indie comers.
The latest music offering has not been able to find a well-integrated solution to meet the needs of the three pillars: the creators, users or customers, and the music labels. Furthermore, by seeing this condition, this research tries to propose the best solutions for all, by creating a new modified digital marketplace using physical traits that can incorporate all needs. Combining all the things should make people value more on the new platform as a good offering and deter piracy.
This research uses the mixed methods and the Design Science Research framework. The purpose is to build the proposed new design and provide some evidences about digital music piracy that will lead to a suitable prototype design for the new digital music solution. The research also uses the Status Quo Bias (SQB) theory, which evaluates the output and the Kano selection model to create the input filter for the prototyping requirement. The research result shows that the DSR Framework could propose and evaluate excellent digital music service, in conjunction with the Kano model and SQB Theory. The research result, evaluation, and feedback show users like the proposed model compared to the current solution and ongoing piracy.
"
Depok: Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Indira Kuswoayuning
"Melalui kemunculan beragam layanan music streaming seperti Apple Music, Spotify, Joox dan semacamnya, masyarakat dimudahkan dalam mengakses musik digital sebab layanan-layanan tersebut menawarkan opsi layanan yang gratis maupun berbayar. Namun, keberadaan layanan music streaming tidak serta merta dapat diakses oleh seluruh masyarakat sebab masih adanya kesenjangan digital yang dialami kelompok-kelompok tertentu. Dalam melihat fenomena konsumsi layanan music streaming, studi-studi sebelumnya banyak memfokuskan pada faktor-faktor yang memengaruhi seseorang dalam menggunakan layanan tersebut. Oleh karena itu artikel ini mencoba melengkapi studi-studi sebelumnya dengan membahas dari aspek akses terhadap layanan music streaming dan selera musik kaum muda yang merupakan kelompok paling terpapar oleh teknologi dan internet. Temuan hasil studi ini memperlihatkan bahwa kesenjangan digital dalam akses terhadap layanan music streaming berkontribusi terhadap pembentukan selera musik kaum muda. Artikel ini menggunakan metode kualitatif berupa wawancara mendalam terhadap kaum muda yang merupakan pengguna layanan music streaming dan kaum muda yang tidak pernah menggunakan layanan tersebut.

Through the emergence of a variety of streaming music services such as Apple Music, Spotify, Joox and the like, it becomes easier to access digital music as those services offer free and paid service options. However, the presence of music streaming services is not necessarily accessible to the whole community because digital inequality is still being experienced by certain social groups. In looking at the phenomenon of the consumption of music streaming services, previous studies have focused heavily on the factors that influence a person in using the service. This article therefore attempts to complement previous studies by addressing access to music streaming services and musical taste of the youth as the most exposed group to technology and the internet. The result of this study shows that digital inequality in the use of music streaming services contributes to musical taste of the youth. This article uses qualitative methods of in-depth interviews of young people who are users of music streaming services and young people who have never used the service.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Priancha
"Budaya pop Jepang adalah salah satu produk ekonomi kreatif yang terkenal di ranah internasional dan seluruh dunia. Didalam budaya pop jepang, dikenal sebuah konsep bernama ldquo;doujinshi rdquo;, sebuah kegiatan dari para pengemar karya kreatif terkenal untuk membuat karya derivative dari karya-karya yang mereka sukai. Tidak hanya membuat, para pembuat karya derivative juga menjual karya derivative mereka di acara konvensi doujinshi dari sejak tahun 1975 di Jepang dan 2012 di Indonesia. Walaupun kegiatan doujinshi ini sudah berjalan cukup panjang, kegiatan ini masih sering dipandang sebagai ldquo;zona abu-abu rdquo; didalam hukum hak cipta Indonesia dan Jepang. Ini dikarenakan para penggiat kegiatan doujinshi umunya melakukan kegiatanya tanpa mendapatkan izin dari pemilik hak cipta karya yang menjadi rujukan karya derivatif. Skripsi ini akan menganalisa mengenai bagaimana konsep doujinshi diatur dalam hukum hak cipta ke-dua Negara dan legalitas kegiatan doujinshi yang berfokus pada karya musik doujinshi.

Japan pop culture is one of the internationally known creative economic industry products across the globe. Among Japan pop culture, there are known the concept of ldquo doujinshi rdquo , a practice of fans creating derivative works from an existing creative works made by famous artist. Not only creating, the creator rsquo s of doujin works worldwide, sometimes they also sell their derivative works during a doujin convention since 1975 in Japan and starting at 2012 in Indonesia. Despite the long existence of doujinshi practice in Japan and Indonesia, the practice is still somewhat in the ldquo grey zone rdquo under the concept of both Indonesian and Japanese copyright law. This is because the doujinshi practice is commonly done without prior permits from the copyright holder. This thesis will analyze how the concept of doujinshi being regulated in both countries rsquo copyright law and the legality of doujinshi practices focusing on doujin musical works.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69520
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Athaya Anindita Trisaksono
"Perkembangan teknologi yang begitu pesat tentunya mempengaruhi banyak aspek kehidupan kita, termasuk hal-hal yang berkaitan dengan hukum kekayaan intelektual. Karena perkembangan teknologi, karya-karya baru yang tidak ada di masa lalu sekarang ada. Jenis pelanggaran baru yang bisa dilakukan di internet juga bertambah. Belakangan ini ada jenis lagu baru yaitu lagu remix. Lagu Remix adalah lagu yang dalam komposisinya telah dilakukan aransemen sehingga lagu yang dihasilkan menjadi versi yang berbeda genre dari aslinya. Dalam penelitian ini, Penulis akan fokus pada bagaimana implementasi lagu remix di Indonesia, yang mencakup praktik yang dilakukan oleh produser remix dan kepatuhannya terhadap Undang-Undang. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan bagi para produser dan pencipta lagu remix untuk mengetahui hak dan kewajibannya dalam menjalankan praktiknya. Penelitian ini dilakukan melalui studi normatif dan empiris yang diperoleh melalui studi pustaka dan juga wawancara yang dilakukan kepada pihak-pihak yang terkait dengan praktik lagu remix. Adapun kesimpulan yang dapat diambil adalah, dapat dipahami bahwa praktik lagu remix belum sepenuhnya dilakukan berdasarkan Undang-Undang. Namun, sebenarnya pencipta lagu tidak keberatan dan tidak merasa dirugikan dengan adanya lagu remix.

The vast development of technology certainly affects our life, including intellectual property law. Due to the development of technology, new kind of works that did not exist in the past now exist. A new type of infringement that can be done on the internet is now emerging. In recent days, there has been a new type of song, which is a remix song. A remix song is a song that has had arrangements in its compositions so that the song results in a different version from the original one. In this research, the Author will focus on how the implementation of remix songs in Indonesia, namely the practice done by remix producers and its compliance with the Law. Hopefully, this research can be a source of knowledge for remix producers and songwriters to know their rights and responsibilities in conducting their practice. This research is done through normative and empirical study, obtained through literature study and interviews with parties related to the practice of remixing songs. Then, it can be concluded that the practice of remixing songs has not been thoroughly conducted according to the Law. However, songwriters do not object to it as it brings no harm to them."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christoval Pratama Irawan
"Perlindungan Hak Cipta di Indonesia telah diatur dalam UU No. 28 Tahun 2014 yang merupakan wujud dari ikut sertanya Indonesia sebagai anggota World Trade Organization yang mencakup tunduknya pada Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights. Hadiurnya peraturan perundang-undangan tersebut menjadi suatu perlindungan atas Kekayaan Intelektual berupa Hak Cipta atas suatu Ciptaan, yang salah satunya adalah Ciptaan berupa karya lagu dann/atau musik dengan atau tanpa teks. Di era digital ini, manusia dapat dengan mudah memanfaatkan teknologi media internet untuk menjalankan kegiatannya sehari-hari. Namun, hal ini juga menimbulkan dampak negatif, salah satunya adalah dalam masalah pelanggaran Hak Cipta. Mudahnya penggunaan media internet untuk mengkomunikasikan suatu informasi menyebabkan mudahnya terjadi pelanggaran Hak Cipta atas suatu Ciptaam seperti lagu dan/atau musik. Permasalahan semacam ini dapat ditemukan dalam pelanggaran atas Hak Cipta lagu dan/atau musik di media sosial seperti TikTok. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, UU No. 28 Tahun 2014 telah membuka peluang bagi Pencipta, Pemegang Hak Cipta atau Pemilik Hak Terkait untuk mempertahankan hak-haknya apabila terjadi suatu pelanggaran. Selain itu, undang-undang tersebut juga memberikan kesempatan bagi Pemerintah untuk ambil peran dalam upaya pencegahan dengan melakukan koordinasi dengan pihak dalam maupun luar negeri dalam upaya terjadi suatu pelanggaran dalam suatu sistem informasi. Skripsi ini pada pokoknya membahas 3 (3) permasalahan, yaitu bagaimana pengaturan terkait Hak Cipta di dunia dan Indonesia, bagaimana pelaksanaan Hak Cipta di Indonesia, dan bagaimana penegakkan pelanggaran hak cipta lagu dan musik di Indonesia yang terjadi di media sosial TikTok. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah yuridis-normatif, yang menggunakan pendekatan norma hukum secara tertulis dan hasil penelitian mengenai perlindungan Hak Cipta. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa meskipun peraturan perundang-undangan di Indonesia masih dapat diandalkan untuk menangani permasalahan dalam hal terjadi pelanggaran Hak Cipta, namun dirasa perlu restrukturisasi atau penambahan ketentuan spesifik mengenai perlindungan Hak Cipta seperti Hak Cipta atas lagu dan musik di era digital dengan tujuan adanya upaya preventif yang lebih menjamin perlindungan dan menghindari adanya kerugian baik secara materiil maupun imateriil oleh banyak pihak, serta untuk menghindari adanya hambatan dalam pertumbuhan ekonomi nasional.

Copyright protection in Indonesia has been regulated in Law no. 28 of 2014, a manifestation of Indonesia's participation as a member of the World Trade Organization, which includes compliance with the Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights. The presence of these laws and regulations is protection for Intellectual Property in the form of Copyright on a work, one of which is a work in the form of a song and/or music with or without text. In this digital era, humans can easily use internet media technology to carry out their daily activities. However, this also has a negative impact, one of which is the issue of copyright infringement. The easy use of internet media to communicate information makes it easy for copyright infringement to occur on a work such as songs and/or music. This kind of problem can be found in infringement of Copyright of songs and/or music on social media such as TikTok. To overcome these problems, Law no. 28 of 2014 has opened up opportunities for Authors, Copyright Holders, or Related Rights Owners to defend their rights in the event of an infringement. In addition, the law also provides an opportunity for the Government to take a role in prevention efforts by coordinating with domestic and foreign parties to prevent a violation in an information system. This thesis basically discusses 3 (3) problems, namely how to regulate copyright in the world and Indonesia, how to implement copyright in Indonesia, and how to enforce song and music copyright infringement in Indonesia that occurs on TikTok social media. The research method used in writing this thesis is juridical-normative, which uses a written legal norm approach and the results of research on Copyright protection. The conclusion that can be drawn is that although the laws and regulations in Indonesia can still be relied upon to handle problems in the event of copyright infringement, it is deemed necessary to restructure or add specific provisions regarding Copyright protection such as Copyright on songs and music in the digital era with the aim of the existence of preventive measures that better guarantee protection and avoid material and immaterial losses by many parties, as well as to avoid obstacles in national economic growth."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairani Nurulshanty Rulyka
"Dengan perkembangan yang ada dalam industri musik, hubungan kontrak antara pencipta lagu dengan para pihak pelaku bisnis dalam industri ini terkhusus label musik nyatanya lebih banyak merugikan pihak pencipta dan menguntungkan pihak pelaku bisnis industri musik ini. Fakta tersebut berdampak negatif, dimana beberapa tindakan pelanggaran atas lagu yang merugikan pencipta di Indonesia semakin banyak ditemui. Untuk itu, penelitian ini akan menganalisis peraturan terkait atas hak dan kewajiban yang dimiliki pencipta serta batasan hak untuk Pelaku Industri Musik khususnya Label Musik didasari dengan adanya perjanjian lisensi atau perjanjian pengelolaan karya. Serta, penulis juga akan menjelaskan mengenai implementasi peraturan terkait serta upaya yang dapat dilakukan oleh Pencipta Lagu atas Pelanggaran yang dilakukan Label Musik atas ciptaannya. Adapun, penelitian ini bersifat normatif dengan penelitian preskriptif yang menggunakan metode analisis kualitatif serta disesuaikan dengan menggunakan sumber-sumber penelitian dan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah walaupun secara umum peraturan mengenai Perlindungan Hak Cipta untuk Pencipta telah termuat di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 (“UUHC”), namun peraturan tersebut belum memberikan pengaturan secara mendetail terhadap batasan - batasan yang seharusnya ditegaskan terutama dalam hubungan perjanjian dengan pelaku industri sehingga penciptalah seringkali dirugikan. Dengan demikian dikaitkan dengan kasus yang ada, perjanjian lisensi yang tersebut seharusnya hanya sebatas hak pengelolaan karya kegiatan komersial ciptaan saja bukan hak eksklusif layaknya seperti pengalihan hak cipta keseluruhan. Atas hal tersebut label musik telah melakukan pelanggaran hak cipta dan perlindungan serta upaya yang dapat dilakukan pencipta adalah dengan mengajukan gugatan.

With developments in the music industry, the contractual relationship between songwriters and business people in this industry, especially music labels, actually harms the creators more and benefits the other more. This fact has a negative impact, where several violations against songs that harm creators in Indonesia are increasingly being found. For this reason, this research will analyze regulations related to the rights and obligations of creators as well as rights limits for Music Industry Players, especially Music Labels based on a license agreement or work management agreement. Also, the author will also explain the implementation of related regulations and the efforts that can be made by the songwriter for violations committed by music labels on their creations. Meanwhile, this research is normative with prescriptive research using qualitative analysis methods and adjusted using research sources and data obtained through library research. The conclusion that can be drawn is that although in general regulations regarding Copyright Protection for Authors have been contained in Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 (“UUHC”), these regulations have not provided detailed arrangements regarding the limitations that should be emphasized, especially in relation to agreements with industry players so that creators are often harmed. Thus associated with the existing case, the license agreement should only be limited to the right to manage the work of commercial creations, not an exclusive right like having the entire copyright. For this reason, music labels have violated copyright and protection as well as efforts that can be made by creators by filing a lawsuit."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>