Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 186922 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alberta Prabarini
"Manusia tidak mungkin bisa terpisah dari alam di sekitarnya. Hal ini menjadi landasan dasar pemikiran culture-nature yang menekankan pada keterkaitan manusia dan alam yang sangat kuat, baik dalam hal resiprokal, beradaptasi, atau sesederhana tinggal dan hidup bersama. Oleh sebab itu, penghargaan pada keragaman makhluk hidup atau dalam unit kecil disebut spesies merupakan hal yang penting untuk ditelisik. Studi ini melihat bagaimana perempuan dan mangrove saling berinteraksi dalam kerangka multispesies dan gender. Penelitian ini dilakukan pada masyarakat Kampung Laut, Cilacap. Data dikumpulkan dengan teknik wawancara mendalam dan observasi partisipan. Temuan penelitian menunjukkan, bahwa perempuan Kampung Laut yang tinggal di daerah dengan dinamika kenampakan alam yang tinggi berimplikasi pada model interaksi yang dijalin dengan spesies di sekitarnya, termasuk mangrove. Beragam interaksi yang terjalin dari waktu ke waktu juga membentuk indentitas sendiri bagi keduanya. Lebih dari sekedar interaksi, namun keintiman yang dijalin membuat mereka memiliki identitas bersama dan saling menguatkan. Berdasarkan temuan penelitian ini, saya berargumentasi melalui perspektif etnografi multispesies, bahwa dalam melihat interaksi antara perempuan dan tumbuhan, tak bisa hanya melihat agensi dari perempuan sebagai manusianya saja melainkan juga tumbuhan. Sebab, bias manusiawi akan menghilangkan peran tumbuhan yang sebenarnya juga memiliki agensi. Hal ini pada akhirnya menjadi salah satu sumbangsih refleksi bagaimana manusia bisa menempatkan spesies lain sebagai bagian dari kehidupan masyarakat.

Human cannot be separated from their nature, this is the stepping stone of culture-nature logic, emphasizing the strong relationship between human and nature, be it reciprocal, adaptive, or as simple as cohabitation. Therefore, the appreciation for diverse kind of living beings or what we call species are very important things to scrutinze. This study see how women and mangrove interact in multispecies and gende framework. This research was done to the people of Kampung Laut, Cilacap. To gain the information and data needed, I use participant observation technique and in-depth interview. The findings show that women in Kampung Laut where natural appearances varies highly, resulted in a specific mode of interaction developed in the presence of various species, including mangrove. Various interactions that developed over time also establish a sense of identity for both the women and the mangrove species. More than interaction, they both carry a shared identity that strenghten their bonds. From multispecies ethnography prespective, i argue that in seeing the relationship between women and mangrove, we cannot be biased with the human agency, for mangrove as a species also have it righteous agency. In the end, this hopefully become a reflecting material on how human can include other species as a part of their social life."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tazkya Nadira
"ABSTRAK
Makalah ini berfokus untuk melihat fenomena pengelolaan perkebunan yang dilakukan oleh semua rumah tangga di Kampung Laut menggunakan perspektif interseksionalitas feminis-posthumanis. Tujuan dari perspektif interseksionalitas feminis-posthumanis adalah untuk melihat bagaimana ketidakseimbangan dalam kekuasaan dan akses antara pria dan wanita untuk pengelolaan sumber daya. Dalam pengelolaan perkebunan Albasia, pria dan wanita memainkan peran dan posisi yang berbeda, peran dan posisi yang berbeda terkait dengan interaksi antara pria dan wanita yang berbeda dari tanaman tertentu di perkebunan Albasia. Penggunaan perspektif interseksionalitas feminis-posthumanis dapat membantu menggambarkan bagaimana hubungan antara manusia berdasarkan berbagai dimensi sosial yang mereka miliki (gender, status, kelas) dapat mempengaruhi hubungan mereka dengan aspek-aspek non-manusia. Perspektif interseksionalitas feminis-posthumanis ini menekankan dua komponen, komponen pertama adalah melihat bagaimana hubungan gender-spesies terjadi antara pria, wanita dan tanaman di perkebunan albasia, dan komponen kedua adalah melihat bagaimana praktik sosio-spasial menunjukkan ketidakseimbangan antara wanita dan pria pada akses dan sumber daya ke perkebunan Albasia. Hubungan laki-laki, perempuan, dan tanaman tertentu melalui praktik sosio-spasial yang terjadi kemudian menciptakan tatanan hierarkis dalam pengelolaan perkebunan yang bertujuan untuk menjaga integritas dan keberlanjutan ekologi hutan sebagai tempat perlindungan bagi ketidakpastian sumber ekonomi karena perubahan di bentang alam terus terjadi di Kampung Laut.

ABSTRACT
This paper focuses on looking at the phenomenon of plantation management carried out by all households in Kampung Laut using the perspective of feminist-posthumanist intersectionality. The purpose of a feminist-posthumanist intersectionality perspective is to see how imbalances in power and access between men and women are for managing resources. In the management of Albasia plantations, men and women play different roles and positions, different roles and positions are related to interactions between men and women that are different from certain plants in Albasia plantations. The use of a feminist-posthumanist intersectionality perspective can help illustrate how relations between humans based on the various social dimensions they have (gender, status, class) can influence their relationship with non-human aspects. This feminist-posthumanist intersectional perspective emphasizes two components, the first component is looking at how gender-species relationships occur between men, women and plants on albasia plantations, and the second component is seeing how socio-spatial practices show an imbalance between women and men in access and resources southwest to the Albasia plantation. Relationships of men, women, and certain plants through socio-spatial practices that occur then create a hierarchical order in the management of plantations that aims to maintain the integrity and sustainability of forest ecology as a place of protection for uncertain economic resources because changes in the landscape continue to occur in Kampung Laut ."
2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Boyden, Stephen
Oxford: Oxford University Press, 1993
304.5 BOY w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Gianfranco Wahyu Setyo
"Konsep konservasi dalam penelitian sebelumnya tentang antropologi ekologi cenderung fokus pada upaya manusia untuk menjaga kelestarian lingkungan, dengan tujuan untuk alam kelestarian. Konservasi adalah solusi untuk degradasi lingkungan menurut perspektif antroposentris. Namun, program konservasi itu meminggirkan lokal masyarakat bukanlah solusi yang tepat. Konservasi semacam itu hanya bertahan dalam jangka pendek karena mereka dapat memicu konflik terjadi di komunitas lokal. Untuk
mengatasi masalah tersebut, dalam skripsi ini saya akan merekomendasikan penerapan perspektif multispesies untuk meninjau konsep konservasi yang mengisi kesenjangan dalam program konservasi sementara tidak membunuh masyarakat setempat. Multispecies etnografi adalah suatu pendekatan yang melihat alam tidak hanya sebagai alat hidup, tetapi juga sebagai a Pasangan yang harus diakui dan dipahami untuk membangun kehidupan yang harmonis antara manusia dan lingkungan alam. Penelitian ini mengamati masyarakat Kampung Laut, Segara Anakan, Cilcap, yang juga anggota Krida Wana Lestari, kelompok tani bakau lokal. Data dikumpulkan melalui peserta observasi dan wawancara mendalam. Temuan penelitian menunjukkan bahwa anggota PT Krida Wana Lestari berinteraksi dengan lingkungan setiap saat untuk berkolaborasi alam dan pohon bakau. Berbagai jenis mangove yang ditanam di Segara Anakan adalah tumbuh dengan baik karena hubungan emosional antara petani dan petani bakau. Hubungan emosional tidak akan tumbuh tanpa interaksi. Ini sebabnya program konservasi yang melibatkan pemangku kepentingan lokal seperti Krida Wana Lestari terus melanjutkan dalam jangka panjang. Berdasarkan temuan, saya berpendapat bahwa konsep konservasi seharusnya tidak hanya dipahami melalui perspektif antroposentris. Faktanya, ada pemahaman emosional dan timbal balik antara lingkungan dan lokal pemangku kepentingan. Ini membuat program konservasi terus berkembang.

The concept of conservation in previous research on ecological anthropology tends to focus on human efforts to preserve the environment, with a view to nature conservation. Conservation is a solution for environmental degradation according to anthropocentric perspective. However, the conservation program that marginalizes local communities is not the right solution. Such conservation only lasts in the short term because they can trigger conflicts in the local community. For Overcoming this problem, in this thesis I will recommend the application of a multi-species perspective to review conservation concepts that fill gaps in conservation programs while not killing local people. Ethnographic multispecies is an approach that sees nature not only as a tool of life, but also as a partner that must be recognized and understood to build a harmonious life between humans and the natural environment. This research observes the people of Kampung Laut, Segara Anakan, Cilcap, who are also members of Krida Wana Lestari, a local mangrove farming group. Data was collected through participant observation and in-depth interviews. The research findings show that members of PT Krida Wana Lestari interact with the environment at any time to collaborate with nature and mangrove trees. The various types of mangove planted in Segara Anakan are growing well due to the emotional connection between farmers and mangrove farmers. Emotional relationships will not grow without interaction. This is why conservation programs involving local stakeholders such as Krida Wana Lestari continue in the long term. Based on the findings, I think that the concept of conservation should not only be understood through an anthropocentric perspective. In fact, there is an emotional and reciprocal understanding between the environment and local stakeholders. This makes the conservation program continue to grow.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Handojo Adi Pranowo
Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1985
574.5 HAN m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Watson, Richard A.
New York: Harcourt, Brace and World, 1969
301.3 WAT m
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sumardi
"ABSTRAK
Kewang adalah lembaga sosial di desa-desa Pulau Saparua, yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap tindakan semena-mena dari penduduk luar desa maupun penduduk desa itu sendiri, terhadap segala yang tumbuh dan hidup di atas tanah-tanah desa yang merupakan lumbung alami dari masyarakat itu sendiri. Salah satu usaha Kewang dalam melaksanakan fungsinya, ialah menetapkan Sasi. Sasi adalah larangan untuk memetik hasil atau panenan dalam kurun waktu tertentu. Tujuannya agar tanaman dapat memberikan hasil yang optimal. Dalam melaksanakan fungsinya, Kewang berpedoman pada norma-norma pengendali (adat istiadat).
Lembaga social ini sudah ada sebelum bangsa-bangsa Eropa (Portugis, 1512; Belanda, 1599) menguasai Saparua. Maka tradisi Kewang ini sebenarnya telah lama berakar dalam masyarakat Saparua. Peranannya dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan juga tidak diragukan lagi. Tetapi seiring dengan perkembangan di dalam masyarakat, maka efektivitas fungsi Kewang ini terus merosot, sehingga banyak desa-desa di pulau Saparua yang meninggalkan tradisi Kewangnya.
Salah satu desa di pulau Saparua yang cukup lama mempertahankan fungsi Kewangnya adalah desa Ihamahu. Malahan atas keberhasilannya dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan di desanya, pada peringatan Hari Lingkungan Hidup 5 Juni 1982, Korps Kewang Ihamahu memperoleh penghargaan Lingkungan Hidup Nasional berupa pahatan Kalpataru tiga dimensi berlapiskan emas murni. Tampaknya saat itulah puncak keberhasilan Kewang desa Ihamahu, karena pada masa-masa berikutnya efektivitas fungsinya terus merosot, menyusul kewang-kewang lainnya di banyak desa desa dalam wilayah pulau Saparua.
Kenyataan sebagaimana diuraikan di atas telah mengundang pertanyaan, faktor-faktor apa sebenarnya yang bertanggung jawab terhadap makin melemahnya efektivitas fungsi Kewang di Pulau Saparua.
Dengan menggunakan desain survai dalam telaah korelasi, dipilih enam variabel yang akan diamati kaitan fungsionalnya. Variabel-variabel itu ialah: Tingkat Pendidikan, Kontak-kontak Dengan Dunia Luar, Fertumbuhan Penduduk, Efektivitas Fungsi Norma Pengendali, Sikap Pimpinan Desa, dan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
- Tingkat Pendidikan, Kontak-kontak Dengan Dunia Luar, dan Pertumbuhan Penduduk, tidak berkorelasi secara signifikan dengan Efektivitas Fungsi Norma Pengendali.
- Efektivitas Fungsi Norma Pengendali tidak berkorelasi secara langsung dengan Efektivitas Fungsi Kewang, tapi melalui Sikap Pimpinan Desa.
Maka dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan: Bahwa norma pengendali atau adat-istiadat tidak selalu dapat melakukan pengendalian sosial terhadap masyarakat. Sebaliknya keputusan-keputusan pimpinan formallah yang justru memegang peranan penting.
Berkenaan dengan itu, usaha pelestarian kemampuan lingkungan di desa oleh masyarakat tidak akan dapat diandalkan tanpa peranan aktif pimpinan desa. Berdasarkan kenyataan tersebut betapapun kedudukan dan peranan pimpinan formal yang didukung oleh sistem pemerintahan nasional masih lebih penting daripada pimpinan adat, walaupun seringkali kehadiran pimpinan formal itu menimbulkan kecemburuan sosial.

ABSTRACT
Kewang is a social institution in the villages of Pulau Saparua which functions as a controlling agent toward arbitrary action of inhabitants living outside the village as well as inhabitants of the village itself, toward all what grows and lives on village land which forms a natural rice-barn of the society itself. One of the efforts of Kewang in the performance of its function is to determine Sasi. Sasi is a prohibition to collect harvest in certain periods. The objective thereof is to facilitate the vegetation to provide its optimal yield.
In performing its function Kewang is guided by controlling norms based on customs and traditions.
This social institution existed already before European nations (Portuguese, 1512; Dutch, 1599), governed Saparua. Therefore this Kewang tradition is in fact rooted in the Saparuan society since a long time ago.
Its role the management of natural resources and environment is also not to be doubted any more. In line with the development in the society, however, the effectiveness of the Kewang function is ever declining so that many villages in Saparua leaves their Kewang tradition. One of the villages in Pulau Saparua which has maintained the Kewang function long enough is the village of Ihamahu. For its success in managing natural resources and environment .in its village, at the commemoration of Life Environment Day on 5 June 1982 Ihamahu Kewang Corps has obtained National Life Environment appreciation in the form of a Kalpataru three dimensioned carving with a lining of pure gold. It seems that it was the peak of successful Kewang achievement in the village of Ihamahu because at the therafter following periods the effectiveness of its function is ever declining, following other Kewang in many villages in the Pulau Saparua region.
The fact as described above has raised the question; what factors are really responsible for the weakening of the effectiveness of the Kewang function in Pulau Saparua. In the application of a survey design in a correlation research six variables were chosen of which the functional correlation ship will be observed. Mentioned variables are: Level of Education, Contact with the Outside World, Population Growth, Effectiveness of the Controlling Norm Function, attitude of the Village Headman, and the Kewang Effectiveness Function.
The investigation result shows that:
- Levels of Education, Contacts with the Outside World, and Population Growth have no significant correlation with Controlling Norm Effectiveness Function.
- Controlling Norm Effectiveness Function has no direct correlation with Kewang Effectiveness Function, but is the case via (through) the attitude of village headman.
Hence from the mentioned investigation result can be concluded that a Controlling Norm or Customs and Tradition is not always in a position to perform a social control on society. Contrariwise the decisions of the formal leading authority just play an important role. In connection thereof the effort to make an everlasting environment in the village by the society cannot be relied on without the active role of the village headman. Based on mentioned fact, however that may be, the position and the role of the formal leading authority backed (supported) by a national government system is more important than a backing adat authority, although the pretence of a formal leading authority often cause a social suspicion.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Otto Soemarwoto
Jakarta: Djambatan, 1983
574.5 OTT e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bates, Daniel G.
New York: McGraw-Hill, 1991
306 BAT h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987
304.2 LIN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>