Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 112149 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zainul Abidin
"Kebijakan pengembangan daerah reklamasi adalah bagian penting dari tata ruang kota Jakarta. Kebijakan reklamasi pantai utara Jakarta dalam rezim perkotaan hampir tidak ada yang diteliti oleh para scholar, termasuk dinamika rezim perkotaan dalam tata ruang kota pada kebijakan pembangunan reklamasi pantura Jakarta. Dalam teori urban rezim, ada tiga tipologi rezim kota. Pertama, rezim instrumental. Tujuannya adalah mewujudkan program dan motifnya ialah hasil. Kedua, rezim simbolik. Tipologi rezim yang memiliki motivasi untuk mengekspresikan politik rezim. Ketiga, rezim organik. Tujuannya yaitu mengabadikan status quo. Dalam rezim perkotaan, efektivitas kebijakan rezim dipengaruhi oleh tindakan kekuasaan aktor pada rezim perkotaan. Agar efektif, pemerintah harus memadukan kapasitas mereka dengan berbagai aktor non-pemerintah. Akan tetapi dalam kebijakan reklamasi pantura Jakarta, aktor non-pemerintah lebih khusus pengembang sangat dominan dalam mengambil kebijakan politik penyelenggaraan pembangunan kawasan reklamasi. Dominasi dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan reklamasi oleh pengembang menciptakan konflik politik dan ekonomi yang luas, antara masyarakat, aktor, dan negara. Dampak dari dinamika tersebut menyebabkan kebijakan tata ruang kota di Jakarta tidak efektif. Kesimpulan dalam penelitian ini menguatkan teori urban regime Clerence Stone. Bahwa dominasi politik merupakan bagian masalah yang utama setelah menyatukan kapasitas kekuasaan antar aktor pada rezim perkotaan.

The policy of developing reclamation areas is an important part of the spatial layout of Jakarta. The policy of reclamation of Jakarta in urban regimes is almost nothing that is researched by scholars, including the dynamics of urban regimes in urban spatial city on the development of reclamation in Jakarta. In the urban regime theory, there are three typologies of the city regime. First, the instrumental regime. The aim is to realize the program and the motive is the result. Second, symbolic regime. The typology of the regime which has the motivation to express the regime's politics. Third, the organic regime. The goal is to perpetuate the status quo. In urban regimes, the effectiveness of regime policies is influenced by acts of actor power in urban regimes. To be effective, the government must integrate their capacity with various non-government actors. However, in the Jakarta reclamation policy, non-government actors, especially developers, are very dominant in taking political policies in the implementation of the construction of reclamation areas. Domination in the planning and implementation of the construction of reclamation by the developer creates a broad political and economic conflict between the community, actors and the state. The impact of these dynamics has led to ineffective urban spatial planning policies in Jakarta. The conclusions in this study reinforce the urban theory of the Clerence Stone. That political domination is a major part of the problem after uniting power capacity between actors in urban regimes."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jamalianuri
"Skripsi ini menjelaskan mengenai politik perkotaan dengan melihat relasi kuasa antara pemerintah provinsi DKI Jakarta dan warga dengan studi kasus penataan permukiman di Waduk Pluit. Skripsi ini menggunakan metode kualitatif. Penataan Waduk Pluit menjadi program penanganan banjir di DKI Jakarta harus merelokasi warga bantaran Waduk Pluit ke rumah susun yang disediakan pemerintah untuk diubah menjadi ruang terbuka hijau. Penataan Waduk Pluit melibatkan partispasi warga yang bergerak bersama Urban Poor Consortium (UPC) dan Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK) untuk melakukan penataan permukiman dengan membangun rumah susun yang dekat dengan Waduk Pluit. Skripsi ini menggunakan teori urban regime untuk menganalisis relasi kuasa antara pemprov dengan warga dan konsep partisipasi warga. Hasil temuan dari skripsi ini adalah pemerintah membuka ruang bagi adanya kerjasama dengan warga dan adanya partisipasi warga dalam tahap desain penataan permukiman di Waduk Pluit.

This undergraduate thesis explains urban politics and power relations between Jakarta government and its citizen, with a case study on settlement planning in Pluit Reservoir. This research uses qualitative methodology. The planning of Pluit Reservoir is one of the government programs to overcome flood and to create open green space. According to that goal, the government relocates the Pluit Reservoir's residents to the government flats. The planning involves citizens as well as Urban Poor Consortium and Network of Urban Poor People to plan and to build flats near the Pluit Reservoir. This research uses urban regime theory and participation concept to analyze the power relations between the government and the citizen. This research finds that the local government open citizens participation and space to work together in the level of settlement planning design in Pluit Reservo.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
S56522
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifa Fijriah
"Kepercayaan, dalam bentuk apapun, merupakan hal fundamental yang dimiliki oleh setiap makhluk berakal. Dalam kaitannya dengan manusia sebagai penghuni kota, tesis ini membahas kepercayaan para penghuni kota atau urban faith sebagai hal yang berpengaruh pada bagaimana ruang-ruang kota digunakan. Penggunaan tersebut secara sadar maupun tidak kemudian membentuk suatu pola dalam ruang kota. Pengamatan selanjutnya mengarah pada bagaimana pola atas dasar kepercayaan terwujud dalam ruang kota. Tebuireng – Jombang merupakan salah satu kawasan pendidikan dan wisata religi yang terbentuk dengan sangat kuat atas dasar kepercayaan sekelompok manusia. Dalam studi kasus pada kawasan tersebut, perwujudan urban faith dalam ruang kota dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap suatu pemahaman keagamaan, serta penghormatan kepada sosok kiai yang berstatus sebagai pemimpin dengan pemahaman agama tertinggi. Analisis menunjukkan bahwa mekanisme spasial konvergensi-subduksi serta pola tingkah laku kiai-santri ditemukan sebagai perwujudan fisik urban faith dalam ruang kota. Temuan ini kemudian mengantarkan pada metode merancang kota berbasis mekanisme swelling space (efek dari konvergensi-subduksi) dan bowing (dari pola tingkah laku kiai-santri).

Faith, in any form, is a fundamental matter that exists in every human being. In relation to human and citizenship, this thesis discusses urban faith as a matter that impresses how city spaces are used. The uses somehow create certain pattern in city spaces. Observation leads to how this faith-based pattern occurs. Tebuireng – Jombang is a very case of faith-based area which is mainly occupied for educational and religious tourism matters. In this case study, manifestations of urban faith in city spaces are influenced by religious doctrines and affection to kiai as a religious leader that holds qualified knowledge. The discussion denotes spatial mechanism of convergence and kiai-santris behavioural pattern as visible manifestations of urban faith in the city. This matter leads to initiate the mechanism of swelling space and bowing as approaches to redesign the area."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
T53365
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Habib Subagio
"Lahan basah adalah bagian penting yang terintegrasi dengan ekosistem global yang memiliki fungsi penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan seperti mencegah atau mengurangi dampak banjir, menampung air permukaan dan serta menyediakan habitat unik baik flora maupun fauna. Lahan basah perkotaan memberikan jasa ekosistem langsung bagi masyarakat sekaligus mendorong kelangsungan funsi ekologi kota. Upaya pengendalian ruang wilayah kota memerlukan instrumen yang mampu mengintegrasikan variabel lingkungan kompleks yang terdiri dari aspek biofisik, aspek sosial-kultur, dan aspek ekonomi. Perkembangan pemodelan dinamika spasial saat ini masih terkonsentrasi pada penggunaan driving factor biofisik, sementara kompeksitas dinamika alih fungsi lahan perkotaan tentu dipengaruhi oleh faktor pendorong selain biofisik.
Riset ini bertujuan; 1) menganalisis peran dari setiap faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan basah perkotaan berdasarkan hasil pemanfaatan penggalian data (data mining), 2) mengkontruksikan pemanfaatan penggalian data spasial untuk pemodelan dinamika spasial, dan 3) membangun model dinamika spasial untuk memproyeksikan komposisi spasial penggunaan lahan sebagai masukan dalam evaluasi keberlanjutan lahan basah perkotaan.
Metode yang dipakai adalah pemodelan dinamika spasial dengan mengintegrasikan model markov, model cellular automata, dan model driving factor yang dihasilkan dari analisis spasial multitemporal dan pemanfaatan penggalian data spasial. Riset menggunakan 17 data driving factor yang dikategorikan dalam 3 varibel yaitu biofisik, sosio kultur dan ekonomi. Riset mengadopsi 8 driving factor biofisik yang digunakan dalam riset-riset sebelumnya, semnetara itu hasil kontruksi penggalian data spasial menambahkan 9 driving factor yang mewakili variabel sosio-kultur dan variabel ekonomi. Peran dari variabel sosio-kultur dan variabel ekonomi secara mayoritas lebih besar dalam mempengaruhi dinamika spasial alih fungsi lahan basah perkotaan.
Hasil riset menunjukkan bahwa keberlangsungan lahan basah perkotaan wilayah riset masih dapat terus terjaga pada seluruh skenario model dengan tren luas lahan basah yang terus menurun. Skenario optimal merupakan pilihan terbaik dengan komposisi spasial yang rasional dan menunjukkan indikator penilaian lingkungan yang memiliki resiko paling rendah untuk indikator nilai koefisien limpasan rerata sebesar 0,458 lebih rendah dibandingkan skenario BAU dengan nilai koefisien limpasan rerata sebesar 0,462. Skenario optimal ini memiliki konsekuensi terjadinya fragementasi lahan basah yang lebih tinggi pada lahan basah yang terdapat pada alokasi lahan untuk permukiman dan lahan jasa perdagangan. Number of Patch (NP) pada skenario optimal pada tahun 2016 sebesar 105 meningkat menjadi 198 pada tahun 2034, lebih tinggi dibandingkan dengan skenario BAU yang menunjukkan NP sebesar 33 pada tahun 2016 dan NP sebesar 78 pada tahun 2034.

Wetlands are an important part that is integrated with global ecosystems that have important functions in maintaining environmental balance such as preventing or reducing the effects of flooding, storing surface water and as well as providing unique habitats for both flora and fauna. Urban wetlands provide ecosystem services directly to the community while promoting the sustainability of the city's ecological functions. Efforts to control spatial planning require instruments capable of integrating complex environmental variables consisting of biophysical aspects, socio-cultural aspects, and economic aspects. The development of spatial dynamics modeling is currently still concentrated on the use of biophysical driving factors, while the complexity of urban land use change is certainly influenced by driving factors other than biophysical aspects.
This research aims; 1) analyzing the role of each factor that influences the conversion of urban wetlands based on the results of the utilization of data mining, 2) constructing the utilization of spatial data mining for spatial dynamics modeling, and 3) building spatial dynamics models to project the spatial composition of land use as input in evaluating the sustainability of urban wetlands.
The method used is spatial dynamics modeling by integrating the Markov model, cellular automata model, and driving factor models resulting from multitemporal spatial analysis and the use of spatial data mining. The research uses 17 driving factor data which are categorized into 3 variables namely biophysical, socio-cultural and economic. The research adopted 8 biophysical driving factors used in previous research, while the results of the construction of spatial data mining added 9 driving factors representing sociocultural and economic variables. The role of socio-cultural variables and economic variables is predominantly higher in influencing spatial dynamics over the function of urban wetlands.
The results of the research show that the sustainability of urban wetlands in the research area can still be maintained in all model scenarios with a trend of decreasing area of wetlands. The optimal scenario is the best choice with a rational spatial composition and shows the environmental assessment indicators that have the lowest risk for the average runoff coefficient value of 0.458 lower than the BAU scenario with an average runoff coefficient of 0.462. This optimal scenario has the consequence of higher fragmentation of wetlands in the wetland area contained in the allocation of land for settlements and commercial areas. The number of patches (NP) in the optimal scenario in 2016 was 105 increased to 198 in 2034, higher than the BAU scenario which showed a NP of 33 in 2016 and a NP of 78 in 2034.
"
Jakarta: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2019
D2673
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Rajab
"ABSTRAK
Perbincangan tentang perkembangan kota tidak terlepas dari dinamika sosial dan budaya kehidupan masyarakat yang mendiaminya. Karenanya, keduanya adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Masyarakat Katobengke dalam penelitian ini merupakan masyarakat yang tergolong marginal dalam konteks politik, sosial, dan ekonomj. Perubahan sistem pemerintahan dalam masyarakat Buton diduga turut merubah paradigma penguasaan tanah. Perubahan paradigma ini kemudian akan merubah persepsi dan acuan cara bertindak mengenai pemaknaan tanah yang diwujudkan dalam bentuk perilaku spasial.
Dengan pendekatan kualitatifl penelitian ini berupaya untuk memahami dan mendeskripsikan secara lebih mendalam bentuk-bentuk perilaku penguasaan tanah beserta perubahannya termasuk didalamnya perilaku spasial yang terjadi pada Sebuah masyarakat marginal diperkotaan. Selain itu, penelitian ini berupaya untuk menjelaskan faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut Serta bagaimana bentuk-bentuk perilaku penguasaan tanah terwujud dalam penggunaan tanah sehingga membentuk pola spasial tertentu dengan pendekatan wilayah sosial. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa telah teijadi dinamika penguasaan tanah dalam masyarakat Katobengke. Dinamika tersebut selanjutnya mempengaruhi persepsi dan acuan dalam menentukan tindakan.
Kondisi demikian pada akhirya berujung pada perubahan perilaku rnasyarakat dalam hal penguasaan tanah dalam mengapreseasi ruang dalam hal ini tanah yang dimilikinya. Terdapat beberapa periode yang dapat menjelaskan bagaimana proses perubahan sistem pemerintahan dapat mempengaruhi perubahan perilaku penguasaan tanah dalam masyarakat Katobengke. Dalam proses perubahan tersebut teijadi perbedaan-perbedaan persepsi dan acuan yang membentuk perilaku penguasaan tanah. Perubahan sistem pemeriniahan adalah merupakan faktor utama yang dianggap penting dan memberikan sumbangsih besar terhadap perubahan periiaku spasial. Penggunaan tanah dalam masyarakat Katoengke membentuk dua pola persebaran ruang sosial sektoral dan pola persebaran ruang sosial diskrit.

ABSTRACT
A discussion on city development can not be detached from the social dynamics and lite culture of the various communities who dwell in that city. Both are simply inseparable. This research focuses on the Katobengke community, which is one of the marginalized communities in terms of political, social and economic context. The make over of the political system in Buton?s communities has shifted the paradigm of iand tenure. The paradigm shift obviously is affecting their thinking pattern a.nd reterence how to translating the meaning of land it is reflected in their spatial behavior.
Using a qualitative approach, this research attempts to gain a better understanding and to provide an in-depth description of the land tenure behavior occurring in a marginalized community in a city. Besides of that this research study attempts to explain the factors influencing land tenure behavior and how this land tenure behavior materialized in land use shapes the spatial pattem of land utilization and management amongst the Katobengke community with social space approach. The outcome of the analysis shows a changing value on how the Katobengke community perceives their land. The change has affected their thinking pattem and reference to determine their activity.
This conditions in the and pointed change of community behavior in case of land tenure. There are some period which can to explain how the change of political system influence the change of land tenure behavior to appreciate space including land in their own. In this change of process happen different thinking pattem and reference to shape land tenure behavior. Change of political system is the principal factor which the important thing and give the most big contribution toward land tenure behavior. Land use in Katobengke community shape the two spatial dissemination patterns, namely the social sectoral dissemination pattern and the social discrete dissemination pattem.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2010
T33377
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Damar Adhika Sari
"[ABSTRAK
Kemayoran telah mengalami transformasi fungsi kota. Bermula sebagai lahan berawa yang dijadikan kawasan bandara udara kemudian diubah menjadi kawasan perdagangan internasional yang dilengkapi area hunian didalamnya. Kebon Kosong menjadi kawasan hunian yang dilengkapi fasilitas publik di dalamnya. Dalam kehidupan, manusia senantiasa mencariketenangan dan kenyamanan jiwa melalui beragam aktivitas yang terwujud dalam kegiatan ritual. Sadar ataupun tidak warga kota menandai tempat tertentu berdasarkan interiority yang mereka rasakan untuk melakukan kegiatan ritual. Pembahasan aktivitas ritual dalam tesis ini terfokus pada kegiatan yang terjadi di ruang publik berdasarkan life cycle space. Life cycle space merupakan ruang gerak yang terbentuk dari aktivitas manusia berdasarkan kelompok usia tertentu. Setiap fase tumbuh kembang manusia memiliki radius gerak manusia yang terpaut dengan rumah tinggal. Area radius gerak manusia yang terjadi di ruang publik selanjutnya disebut sebagai ruang ritus kota. Berdasarkan analisis, ruang teduh menjadi tujuan warga kota untuk beraktivitas. Temuan ini mengantarkan pada metode merancang kota dengan permukaan bayangan.

ABSTRACT
Kemayoran has been a transformation in the city functions. Previously, this area was marshy land that once used the area airports and then transformed into an international trade, with a residential area. Kebon Kosong area has now become a residential area and has been equipped with public facilities. In life, people always seek tranquility and comfort the soul through a variety of activities embodied in ritual activities. Consciously or not, people mark certain places based interiority they feel to perform the ritual activities. Discussion of ritual activity in this thesis is focused on the activities that take place in public spaces based on life cycle space. Life cycle space is the space that is formed from human activities and based on a particular age group. Each phase of human growth and development has a radius of human motion adrift with their living places. Radius area of human motion that occurs in the public space will be referred to as a rite of urban space. Based on the analysis, a shady area becomes people?s aim for daily activities. The result of this thesis leads to a method of designing the city with a shadow surface.;Kemayoran has been a transformation in the city functions. Previously, this area was marshy land that once used the area airports and then transformed into an international trade, with a residential area. Kebon Kosong area has now become a residential area and has been equipped with public facilities. In life, people always seek tranquility and comfort the soul through a variety of activities embodied in ritual activities. Consciously or not, people mark certain places based interiority they feel to perform the ritual activities. Discussion of ritual activity in this thesis is focused on the activities that take place in public spaces based on life cycle space. Life cycle space is the space that is formed from human activities and based on a particular age group. Each phase of human growth and development has a radius of human motion adrift with their living places. Radius area of human motion that occurs in the public space will be referred to as a rite of urban space. Based on the analysis, a shady area becomes people?s aim for daily activities. The result of this thesis leads to a method of designing the city with a shadow surface., Kemayoran has been a transformation in the city functions. Previously, this area was marshy land that once used the area airports and then transformed into an international trade, with a residential area. Kebon Kosong area has now become a residential area and has been equipped with public facilities. In life, people always seek tranquility and comfort the soul through a variety of activities embodied in ritual activities. Consciously or not, people mark certain places based interiority they feel to perform the ritual activities. Discussion of ritual activity in this thesis is focused on the activities that take place in public spaces based on life cycle space. Life cycle space is the space that is formed from human activities and based on a particular age group. Each phase of human growth and development has a radius of human motion adrift with their living places. Radius area of human motion that occurs in the public space will be referred to as a rite of urban space. Based on the analysis, a shady area becomes people’s aim for daily activities. The result of this thesis leads to a method of designing the city with a shadow surface.]"
2015
T40875
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ngakan Gede Agung Khrisna Wiryananda
"ABSTRAK
Pesatnya perkembangan pariwisata dan pertumbuhan penduduk menimbulkan masalah pada pemanfaatan ruang Kota Denpasar. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis dampak pemanfaatan ruang Kota Denpasar pada aspek sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi serta merumuskan strategi pemanfaatan ruang kota berkelanjutan. Metode yang dilakukan yaitu metode gabungan kuantitatif dan kualitatif. Analisis yang dilakukan yaitu analisis spasial, analisis tren, menghitung indeks sosial budaya, lingkungan, dan ekonomi serta analisis deskriptif komparatif. Hasil penelitian menunjukkan pemanfaatan ruang belum sesuai dengan rencana tata ruang dan belum tertib dalam pengendalian ruang. Pemanfaatan ruang mengarah pada tidak berkelanjutan. Indeks sosial budaya tahun 2011 yaitu 1,038 turun menjadi 1,036 pada tahun 2015. Indeks lingkungan tahun 2011 yaitu 1,065 turun menjadi 1,056 pada tahun 2015. Indeks ekonomi tahun 2011 yaitu 1,012 turun menjadi 0,992 pada tahun 2015. Rumusan strategi pemanfaatan ruang Kota Denpasar berkelanjutan yaitu mengintegrasikan aturan adat ke dalam dokumen rencana ruang, merencanakan pembangunan vertikal, memperkuat peran adat, penerapan sawah abadi, pemanfaatan lahan kosong, dan pembentukan satuan tugas pengendalian ruang adat.

ABSTRACT
Rapid development of tourism and population growth caused problems in spatial utilization in Denpasar City. The purpose of this research is to analyze the impact of the spatial utilization in Denpasar City on the socio cultural, environmental and economic as well as to formulate sustainable urban spatial utilization strategy. The method used is a mix method with quantitative and qualitative. The analyzes were spatial analysis, trend analysis, to calculate the index of socio cultural, environmental and economic as well as an analysis of the comparative descriptive. The results showed that the spatial utilization has not been in accordance with the spatial plan and not yet orderly in the spatial control. Spatial utilization leads to unsustainable. Socio cultural index values tend to decrease which is 1,038 in 2011 to 1,036 in 2015. Environmental index values tend to decrease, which is 1,065 in 2011 to 1,056 in 2015. Economic index values tend to decrease which is 1,012 in 2011 to 0,992 in 2015. Strategy formulation of sustainable spatial utilization of Denpasar City, that are integrate traditional rules into spatial planning documents, plan vertical building, strengthen traditional roles, implementation of perennial rice field, utilization of vacant land, and establishment of task control unit of traditional village. "
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
David Saputra
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis upaya membangun collaborative governance dalam penataan ruang di Kota Depok. Penelitian ini menggunakan pendekatan post-positivist dengan metode pengumpulan data kualitatif. Pengumpulan data dengan: (1) data primer melalui wawancara mendalam dengan pihak Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang Kota Depok, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Depok, serta pihak pengembang perumahan atau stakeholders di Kota Depok yang terkait dengan permasalahan penelitian. Kemudian (2) data sekunder melalui literatur dan dokumentasi di lokasi penelitian.
Penelitian ini menunjukkan bahwa collaborative governance dalam penataan ruang di Kota Depok belum efektif, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (1) Tidak Adanya Insentif Stakeholders untuk Berpartisipasi; (2) Kepemimpinan Fasilitatif yang Tidak Efektif; (3) Desain Kelembagaan yang Kurang Inklusif; dan (4) Uncontrol Komersialisasi/ Privatisasi yang tinggi.
Untuk membangun collaborative governance dalam penataan ruang di Kota Depok sulit dilaksanakan, dikarenakan pemahaman stakeholders mengenai collaborative governance yang tidak merata. Upaya membangun kolaborasi dalam penataan ruang di Kota Depok dengan: (1) Melakukan dialog tatap muka secara berkala dan berkelanjutan setiap tahun untuk memastikan suara stakeholders terwakili dalam perumusan kebijakan; (2) Membangun kepercayaan antar stakeholders dengan adanya transparansi proses dari pemerintah maupun stakeholders, adanya sikap saling membutuhkan sehingga tidak ada yang terabaikan, serta sikap keprofesionalan dari stakeholders itu sendiri; (3) Membentuk komitmen pada proses kolaborasi dengan adanya kepercayaan antar stakeholders, sikap saling memiliki dan saling ketergantungan, adanya sikap saling menghormati hingga pemahaman bersama diantara stakeholders; (4) Dukungan politik menjadi sangat penting untuk melancarkan anggaran stakeholders dan pemerintah dalam mencapai tujuan bersama; (5) Dukungan masyarakat dengan  melibatkan dan memberdayakan masyarakat menjadi inti membangun kolaborasi; (6) Ketercukupan sumber daya menjadi objek yang krusial, tanpa sumber daya yang cukup, membangun kolaborasi susah terlaksana.

The aims of the study are to analyse efforts to build collaborative governance in spatial planning in the Depok city. This research used post-positivist approach with qualitative data collection method. The data consists of: (1) primary data were collected through in-depth interviews with Public Works and Spatial Planning Department, Development Planning Board, and the developer of housing or stakeholders in Depok related to the research problem, and (2) secondary data were collected through the literature and documentation at the research site.
This research indicates that the collaborative governance in Depoks spatial planning has not been built, which is influenced by several factors: there is no incentive for stakeholders to participate, ineffective facilitative leadership, not inclusive of institutional design, and the high of uncontrol commercialization.
To build a collaborative governance in spatial planning in Depok City is difficult to implement, it because understanding of stakeholders regarding collaborative governance is uneven. The efforts to build collaboration in spatial planning in Depok City can be done by: (1) Conducting regular and ongoing face-to-face dialogue for each stakeholder represented in policy formulation; (2) Building trust between stakeholders with the transparency of the parties concerned, interdependency behaviors so that none not neglected, and also professionalism of the stakeholders themselves; (3) Establish a commitment to the collaboration process with the existence of inter-stakeholders, mutual ownership and interdependence, mutual trust and mutual interest with stakeholders; (4) Political support becomes very important to strengthen stakeholders and government budgets in achieving common goals (5) Community support by involving and empowering the community becomes the core of building collaboration;  (6) The adequacy of resources becomes a crucial object, because without sufficient resources, building collaboration is difficult to implement.
"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emirhadi Suganda
"ABSTRAK
Indonesia saat ini mempunyai jumlah pulau sekitar 17.000 buah dan panjang pantai sekitar 81.000 km. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, setelah Canada. Bagi indonesia, sumberdaya kawasan perkotaan pantai sangat penting karena terdapat 140 juta penduduk atau 60% penduduk indonesia tinggal di wilayah ini dengan lebar 50 km dari garis pantai. Sampai tahun 2000, terdapat 42 kota besar dan 181 kabupaten berada di wilayah pantai yang menjadi tempat pusat pertumbuhan ekonomi, industri dan berbagai aktivitas lainnya. Wilayah perkotaan pantai sangat rentan terhadap perubahan lingkungan dan penerima dampak dari daratan. Hal ini karena letak wilayah pantai yang berada diantara daratan dan lautan, dan adanya keterkaitan serta saling mempengaruhi antara ekosistem daratan dan lautan. Daya dukung dan daya tampung wilayah perkotaan pantai sudah melampaui kapasitasnya, 80% masyarakat perkotaan pantai masih relatif miskin, berpendidikan rendah dan sering termarjinalisasikan (DKP, 2005).
Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah: "Pembangunan kawasan perkotaan pantai saat ini, merupakan salah satu penyebab degradasi lingkungan fisik dan sosial, yang mengakibatkan letidaksejahteraan masyarakat, khususnya petani dan nelayan". Penataan ruang yang diperuntukan bagi kawasan perkotaan pantai, jika dikaitkan dengan pembangunan berkelanjutan, mempunyai formula sebagai berikut:
a. Ditinjau dari aspek berkelanjutan, penataan ruang = f (X,Y,Z)
Penataan ruang adalah fungsi dari (lingkungan, ekonomi, sosial)
Dimana:
X = Lingkungan, berupa keseimbangan ekosistem
Y= Ekonomi, berupa adanya kesempatan pekerjaan.
Z = Sosial, berupa teratasinya masalah kependudukan.
b. Ditinjau dari aspek kawasan, keberlanjutan = f (P, Q)
Keberlanjutan adalah fungsi dari integrasi penataan ruang (kawasan daratan, pantai)
Dimana:
P= Penataan ruang di kawasan daratan
Q = Penataan ruang di kawasan pantai
Pertanyaan penelitian yang timbul dalam rangka pembangunan berkelanjutan di kawasan perkotaan pantai adalah: (i) Mengapa pembangunan di kawasan perkotaan pantai menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial; (ii) Tata ruang perkotaan pantai yang bagaimana, yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan dan fokus pada peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat?.
Tujuan yang dirancang adalah untuk mengantisipasi tantangan dan prospek yang ada di masa mendatang, sebagai berikut: (a) Menemukan kelemahan pembangunan di kawasan perkotaan pantai yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial, yang pada akhirnya menyebabkan ketidak berlanjutan (Lingkungan, Ekonomi & Sosial); (b) Menemukan dan menetapkan prinsip serta kriteria untuk penataan ruang kawasan perkotaan pantai dalam pembangunan berkelanjutan, yang dapat membuat masyarakat strata bawah dapat meningkatkan kesejahteraannya lahir dan batin (well being). Dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 1: Pembangunan kawasan perkotaan pantai akan berkelanjutan jika mengintegrasikan penataan ruang kawasan daratan dan pantai. Hipoesis 2: Penataan ruang kawasan perkotaan pantai yang melibatkan partisipasi dan menampung aspirasi masyarakat, akan meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian untuk mengeksplorasi dan mengembangkan teori/konsep yang sudah ada (Exploratory Research) dengan carapre-scriptif. Sedangkan metoda penelitian yang dipilih adalah berupa gabungan antara penelitian metode kualitatif (untuk ranah makna) dan penelitian metode kuantitatif (untuk ranah fakta).
Wilayah penelitian yang diambil adalah: Kecamatan Pulomerak sebagai lokasi yang sudah dikembangkan (Desa Mekarsari, Desa Tamansari, Desa Margasari, dengan jumlah total responden 97 Kepala Keluarga (KK). Sedangkan Kecamatan Bojonegara dipilih untuk lokasi yang akan dikembangkan (Desa Bojonegara, Desa Margagiri, Desa Puloampel, dengan jumlah total responden 95 KK). Adanya pembangunan, merupakan daya tarik internal bagi penduduk pendatang, karena Pulomerak-Bojonegara mempunyai fasilitas pusat jasa, pusat perekonomian and simpul transportasi. Sedangkan daya tekan eksternal adalah berupa kemiskinan dan pengangguran penduduk di luar kawasan. Pembangunan tersebut pada kenyataannya menimbulkan degradasi, baik lingkungan fisik maupun sosial, berupa ketidaksejahteraan penduduk lokal.
Kerangka konsep penelitian ini adalah: Pembangunan berkelanjutan dapat terlaksana dengan mempertimbangkan aspek penduduk, tata ruang dan sumberdaya alam. Pada kawasan penelitian pembangunan belum berkelanjutan, disebabkan oleh: tekanan jumlah penduduk (asli dan pendatang) yang mempengaruhi ketidakseimbangan daya dukung dan daya tampung; kemudian tata ruang yang ada belum dilaksanakan secara taat asas; sehingga menyebabkan degradasi lingkungan. Melalui studi kepustakaan, dihimpun data tentang pembangunan perkotaan pantai, teori pengembangan wilayah, permasalahan perkotaan pantai dan kemiskinan. Instrumen penelitian yang digunakan adalah Dynamic SWOT ( untuk mengetahui konsep strategi wilayah), analisis kebijakan Analytical Hierarchi Process (AHP). Untuk menganalisis daya dukung dan daya tampung, digunakan interpretasi superimposed data topografi berupa peta Rupabumi digital 1:25.000, melalui program GIS. Sedangkan untuk mengetahui data profil kependudukan diambil uji statistik dengan program Excell. Juga dilakukan observasi mendalam atas aspirasi penduduk tentang kesulitan, keresahan dan harapan hidup. Analisis dan sintesis dari proses penelitian tersebut di atas, diharapkan akan menemukan "Model Tata Ruang di Kawasan Perkotaan Patai dalam Pembangunan Berkelanjutan". Untuk kawasan perkotaan pantai, teori pengembangan wilayah yang akan dikembangkan adalah gabungan antara teori consensus planning, teori pola perkembangan lincar Branch; dan teori pendekatan normatif von thurunen. Pengembangan teori yang dipelajari dari studi kepustakaan di bidang kewilayahan/tata ruang, akan didasarkan pada Ecological Landscape Planning yaotu perencanaan dengan pendekatan ekologis, yang mempunyai fokus pada tiga perspektif yaitu perencanaan dengan pendekatan ekologis, yang mempunyai fokus pada tiga perspektif yaitu bio-fisik, masyarakat dan ekologi. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan pendekatan perencanaan tata ruang berbasis lansekap ekologi adalah perencanaan dengan menggabungkan subdisiplin ekologi dengan geografi, dengan penekanan pada daya dukung dan daya tampung. Teori Lansekap Ekologi menekankan peran dan pengaruh manusia pada struktur dan fungsi lansekap, serta bagaimana jalan keluar untuk merestorasi degredasi lansekap.
Tahapan penelitian dikembangkan dengan melihat beberapa indikator sebagai berikut: hasil indikator degradasi lingkungan, yang terdiri atas data erosi, sedimentasi, pencemaran dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi lingkungan pada kawasan penelitian. Untuk mengetahui besarnya lokasi perubahan penggunaan ruang/lahan, digunakan metoda GIS, yaitu dengan cara analisis superimposed dalam kurun waktu 10 tahun (1992-1997-2002). Kemudian hasil superimposed ini dibandingkan dengan peraturan yang berlaku antara lain acuan pada Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung. Berkurangnya lahan alamiah dan bertambahnya lingkungan buatan dari tahun 1992 s/d 2003, memperlihatkan adanya pengawasan pembangunan yan tidak terkendali dan tata ruang yang ada belum memasukkan konsep lingkungan hidup secara utuh, sehingga kepentingan pembangunan ekonomi lebih ditekankan dibanding kepentingan atas perlindungan dan kelestarian alam. Dilihat dari hasil indikator penggunaan ruang dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi lingkungan pada kawasan penelitian, dengan adanya penggunaan ruang secara berlebihan, dan terjadinya konvensi hutan lindung menjadi daerah terbangun. Dilihat dari hasil indikator kemiskinan, yang terdiri dari data indikator kemiskinan, Human Development Index (HDI), Millennium Development Goals (MDGs), Partisipasi masyarakat dan aspirasi ibu rumah tangga dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi sosial pada kawasan penelitian. Analisis SWOT yang didasarkan pada loika yang memaksimalkan kekuatan (stength) dan peluang (opportunity), namun secara bersamaan meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (treats). Untuk mengurangi terjadinya degradasi lingkungan, dan kesenjangan ekonomi-sosial, serta untuk memperkecil ancaman bagi kebijakan tata ruang yang belum mendukung, maka diperlukan penyempurnaan atas kebijakan tata ruang yang ada (strategi W1-T3). Hasil akhir kebijakan publik yang dipilih oleh para pakar melalui model AHP adalah kebijakan penataan ruang dengan pendekatan : ekologi/holistik, daratan & pantai, dengan pelaku masyarakat/ stakeholders, ekosentrisme sebesar 38% (new paradigm), lebih diutamakan dibanding dengan kebijakan ruang dengan pendekatan: mekanistik, daratan & pantai, pelaku pemerintah & industri swasta, biosentrisme sebesar 35% (bussines as usual plus), dan kebijakan penataan ruang dengan pendekatan: mekanistik, bias daratan, pelaku pemerintah, antroposentrisme sebesar 27% (bussines as usual). Perubahan kebijakan ini tidak dapat dilakukan secara instant, melainkan harus secara bertahap.
Kesimpulan penelitian:
a. Kelemahan pembangunan di kawasan Perkotaan Pantai saat ini, yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial, karena belum mengintegrasikan penataan ruang kawasan daratan dan pantai, dan pemerintah belum taat asas dalam perencanaan, pengendalian dan pelaksanaan pembangunannya.
b. Prinsip penataan ruang di kawasan perkotaan pantai adalah dengan menggunakan perencanaan tata ruang berbasis Lansekap Ekologi, yaitu perencanaan dengan menggabungkan subdisiplin ekologi dengan geografi, dengan penekanan pada daya dukung dan daya tampung.
c. Kriteria penataan ruang di kawasan perkotaan pantai adalah berdasarkan keberpihakan pada lingkungan yang pengembangannya menggunakan etika lingkungan ekosentrisme, dengan memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologi, keberpihakan pada ekonomi kemasyarakatan, dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang ditujukkan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat ; keberpihakan pada keadilan sosial.
d. UU Nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, perlu disempurnakan karena: () Bias pemerintah (seharunya perpihak pada pemerintah, pengusaha dan masyarakat sebagai kesatuan stakeholders), (ii) Bias kota (seharusnya dengan pendekatan perkotaan dan pedesaan), (iii) Bias daratan (seharusnya dengan pendekatan daratan, lautan dan udara), (iv) Belum menerapkan sanksi bagi pelanggaran pelaksanaan penataan ruang di lapangan.
e. Perencanaan tata ruang yang ada cukup baik sebagai payung normatif, namun untuk rencana detail tata ruang (RDTR) seperti yang digunakan di kota bojonegara perlu disempurnakan, khususnya peruntukan bagi kawasan pantai.
f. Degradasi lingkungan fisik dan sosial yang terjadi, disebabkan aparat pemerintah tidak taat asas dalam melaksanakan tata ruang di lapangan, khususnya yang berkaitan dengan bidang pemanfaatan dan pengendalian tata ruang.
g. Kemiskinan di kawasan penelitian terjadi karena pemerintah melaksanakan pembangunan ekonomi, lebih berpihak pada pelaku ekonomi (elit pengusaha), dibanding dengan berpihak pada masyarakat umum, termasuk petani dan nelayan.
h. Penetapan kebijakan baru dalam penataan ruang perkotaan pantai: yaitu model proses penataan ruang kawasan perkotaan pantai.
Saran penelitian
a. Perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian "Model Proses Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Pantai" sebagai konsep baru, harus disertai dengan tatanan baru pada proses pembuatan kebijakan dan kelembagaan penataan ruang Kebijakan berbasis bottom-up approach akan memperkuat landasan pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan. Sedangkan kelembagaannya dapat dikembangkan BKTRD) Badan Koordinasi Tata Ruang Daerah), yang secara normatif sebagai perwakilan BKTRN di pusat, namun mempunyai kewenangan otorisasi di daerah.
b. Pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan, tidak sekedar tataran peraturan dan konsep, namun lebih kearah kemauan politik dan budaya. Untuk itu diperlukan penelitian lanjutan untuk penataan ruang dalam pembangunan berkelanjutan, fokus pada pendekatan partisipasi politik (political Participation) dan pendekatan budaya (Cultural Vibrancy)."
2007
D623
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Emirhadi Suganda
"ABSTRAK
Indonesia saat ini mempunyai jumlah pulau sekitar 17.000 buah dan panjang pantai sekitar 81.000 km. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia, setelah Canada. Bagi indonesia, sumberdaya kawasan perkotaan pantai sangat penting karena terdapat 140 juta penduduk atau 60% penduduk indonesia tinggal di wilayah ini dengan lebar 50 km dari garis pantai. Sampai tahun 2000, terdapat 42 kota besar dan 181 kabupaten berada di wilayah pantai yang menjadi tempat pusat pertumbuhan ekonomi, industri dan berbagai aktivitas lainnya. Wilayah perkotaan pantai sangat rentan terhadap perubahan lingkungan dan penerima dampak dari daratan. Hal ini karena letak wilayah pantai yang berada diantara daratan dan lautan, dan adanya keterkaitan serta saling mempengaruhi antara ekosistem daratan dan lautan. Daya dukung dan daya tampung wilayah perkotaan pantai sudah melampaui kapasitasnya, 80% masyarakat perkotaan pantai masih relatif miskin, berpendidikan rendah dan sering termarjinalisasikan (DKP, 2005).
Rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah: "Pembangunan kawasan perkotaan pantai saat ini, merupakan salah satu penyebab degradasi lingkungan fisik dan sosial, yang mengakibatkan ketidaksejahteraan masyarakat, khususnya petani dan nelayan". Penataan ruang yang diperuntukan bagi kawasan perkotaan pantai, jika dikaitkan dengan pembangunan berkelanjutan, mempunyai formula sebagai berikut:
a. Ditinjau dari aspek berkelanjutan, penataan ruang = f (X,Y,Z)
Penataan ruang adalah fungsi dari (lingkungan, ekonomi, sosial)
Dimana:
X = Lingkungan, berupa keseimbangan ekosistem
Y= Ekonomi, berupa adanya kesempatan pekerjaan.
Z = Sosial, berupa teratasinya masalah kependudukan.
b. Ditinjau dari aspek kawasan, keberlanjutan = f (P, Q)
Keberlanjutan adalah fungsi dari integrasi penataan ruang (kawasan daratan, pantai)
Dimana:
P= Penataan ruang di kawasan daratan
Q = Penataan ruang di kawasan pantai
Pertanyaan penelitian yang timbul dalam rangka pembangunan berkelanjutan di kawasan perkotaan pantai adalah: (i) Mengapa pembangunan di kawasan perkotaan pantai menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial; (ii) Tata ruang perkotaan pantai yang bagaimana, yang sesuai dengan pembangunan berkelanjutan dan fokus pada peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat?.
Tujuan yang dirancang adalah untuk mengantisipasi tantangan dan prospek yang ada di masa mendatang, sebagai berikut: (a) Menemukan kelemahan pembangunan di kawasan perkotaan pantai yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial, yang pada akhirnya menyebabkan ketidak berlanjutan (Lingkungan, Ekonomi & Sosial); (b) Menemukan dan menetapkan prinsip serta kriteria untuk penataan ruang kawasan perkotaan pantai dalam pembangunan berkelanjutan, yang dapat membuat masyarakat strata bawah dapat meningkatkan kesejahteraannya lahir dan batin (well being). Dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: Hipotesis 1: Pembangunan kawasan perkotaan pantai akan berkelanjutan jika mengintegrasikan penataan ruang kawasan daratan dan pantai. Hipoesis 2: Penataan ruang kawasan perkotaan pantai yang melibatkan partisipasi dan menampung aspirasi masyarakat, akan meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian untuk mengeksplorasi dan mengembangkan teori/konsep yang sudah ada (Exploratory Research) dengan carapre-scriptif. Sedangkan metoda penelitian yang dipilih adalah berupa gabungan antara penelitian metode kualitatif (untuk ranah makna) dan penelitian metode kuantitatif (untuk ranah fakta).
Wilayah penelitian yang diambil adalah: Kecamatan Pulomerak sebagai lokasi yang sudah dikembangkan (Desa Mekarsari, Desa Tamansari, Desa Margasari, dengan jumlah total responden 97 Kepala Keluarga (KK). Sedangkan Kecamatan Bojonegara dipilih untuk lokasi yang akan dikembangkan (Desa Bojonegara, Desa Margagiri, Desa Puloampel, dengan jumlah total responden 95 KK). Adanya pembangunan, merupakan daya tarik internal bagi penduduk pendatang, karena Pulomerak-Bojonegara mempunyai fasilitas pusat jasa, pusat perekonomian and simpul transportasi. Sedangkan daya tekan eksternal adalah berupa kemiskinan dan pengangguran penduduk di luar kawasan. Pembangunan tersebut pada kenyataannya menimbulkan degradasi, baik lingkungan fisik maupun sosial, berupa ketidaksejahteraan penduduk lokal.
Kerangka konsep penelitian ini adalah: Pembangunan berkelanjutan dapat terlaksana dengan mempertimbangkan aspek penduduk, tata ruang dan sumberdaya alam. Pada kawasan penelitian pembangunan belum berkelanjutan, disebabkan oleh: tekanan jumlah penduduk (asli dan pendatang) yang mempengaruhi ketidakseimbangan daya dukung dan daya tampung; kemudian tata ruang yang ada belum dilaksanakan secara taat asas; sehingga menyebabkan degradasi lingkungan. Melalui studi kepustakaan, dihimpun data tentang pembangunan perkotaan pantai, teori pengembangan wilayah, permasalahan perkotaan pantai dan kemiskinan. Instrumen penelitian yang digunakan adalah Dynamic SWOT ( untuk mengetahui konsep strategi wilayah), analisis kebijakan Analytical Hierarchi Process (AHP). Untuk menganalisis daya dukung dan daya tampung, digunakan interpretasi superimposed data topografi berupa peta Rupabumi digital 1:25.000, melalui program GIS. Sedangkan untuk mengetahui data profil kependudukan diambil uji statistik dengan program Excell. Juga dilakukan observasi mendalam atas aspirasi penduduk tentang kesulitan, keresahan dan harapan hidup. Analisis dan sintesis dari proses penelitian tersebut di atas, diharapkan akan menemukan "Model Tata Ruang di Kawasan Perkotaan Patai dalam Pembangunan Berkelanjutan". Untuk kawasan perkotaan pantai, teori pengembangan wilayah yang akan dikembangkan adalah gabungan antara teori consensus planning, teori pola perkembangan lincar Branch; dan teori pendekatan normatif von thurunen. Pengembangan teori yang dipelajari dari studi kepustakaan di bidang kewilayahan/tata ruang, akan didasarkan pada Ecological Landscape Planning yaotu perencanaan dengan pendekatan ekologis, yang mempunyai fokus pada tiga perspektif yaitu perencanaan dengan pendekatan ekologis, yang mempunyai fokus pada tiga perspektif yaitu bio-fisik, masyarakat dan ekologi. Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan pendekatan perencanaan tata ruang berbasis lansekap ekologi adalah perencanaan dengan menggabungkan subdisiplin ekologi dengan geografi, dengan penekanan pada daya dukung dan daya tampung. Teori Lansekap Ekologi menekankan peran dan pengaruh manusia pada struktur dan fungsi lansekap, serta bagaimana jalan keluar untuk merestorasi degredasi lansekap.
Tahapan penelitian dikembangkan dengan melihat beberapa indikator sebagai berikut: hasil indikator degradasi lingkungan, yang terdiri atas data erosi, sedimentasi, pencemaran dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi lingkungan pada kawasan penelitian. Untuk mengetahui besarnya lokasi perubahan penggunaan ruang/lahan, digunakan metoda GIS, yaitu dengan cara analisis superimposed dalam kurun waktu 10 tahun (1992-1997-2002). Kemudian hasil superimposed ini dibandingkan dengan peraturan yang berlaku antara lain acuan pada Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Kawasan Lindung. Berkurangnya lahan alamiah dan bertambahnya lingkungan buatan dari tahun 1992 s/d 2003, memperlihatkan adanya pengawasan pembangunan yan tidak terkendali dan tata ruang yang ada belum memasukkan konsep lingkungan hidup secara utuh, sehingga kepentingan pembangunan ekonomi lebih ditekankan dibanding kepentingan atas perlindungan dan kelestarian alam. Dilihat dari hasil indikator penggunaan ruang dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi lingkungan pada kawasan penelitian, dengan adanya penggunaan ruang secara berlebihan, dan terjadinya konvensi hutan lindung menjadi daerah terbangun. Dilihat dari hasil indikator kemiskinan, yang terdiri dari data indikator kemiskinan, Human Development Index (HDI), Millennium Development Goals (MDGs), Partisipasi masyarakat dan aspirasi ibu rumah tangga dapat disimpulkan bahwa telah terjadi degradasi sosial pada kawasan penelitian. Analisis SWOT yang didasarkan pada loika yang memaksimalkan kekuatan (stength) dan peluang (opportunity), namun secara bersamaan meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (treats). Untuk mengurangi terjadinya degradasi lingkungan, dan kesenjangan ekonomi-sosial, serta untuk memperkecil ancaman bagi kebijakan tata ruang yang belum mendukung, maka diperlukan penyempurnaan atas kebijakan tata ruang yang ada (strategi W1-T3). Hasil akhir kebijakan publik yang dipilih oleh para pakar melalui model AHP adalah kebijakan penataan ruang dengan pendekatan : ekologi/holistik, daratan & pantai, dengan pelaku masyarakat/ stakeholders, ekosentrisme sebesar 38% (new paradigm), lebih diutamakan dibanding dengan kebijakan ruang dengan pendekatan: mekanistik, daratan & pantai, pelaku pemerintah & industri swasta, biosentrisme sebesar 35% (bussines as usual plus), dan kebijakan penataan ruang dengan pendekatan: mekanistik, bias daratan, pelaku pemerintah, antroposentrisme sebesar 27% (bussines as usual). Perubahan kebijakan ini tidak dapat dilakukan secara instant, melainkan harus secara bertahap.
Kesimpulan penelitian:
a. Kelemahan pembangunan di kawasan Perkotaan Pantai saat ini, yang menyebabkan terjadinya degradasi lingkungan fisik dan sosial, karena belum mengintegrasikan penataan ruang kawasan daratan dan pantai, dan pemerintah belum taat asas dalam perencanaan, pengendalian dan pelaksanaan pembangunannya.
b. Prinsip penataan ruang di kawasan perkotaan pantai adalah dengan menggunakan perencanaan tata ruang berbasis Lansekap Ekologi, yaitu perencanaan dengan menggabungkan subdisiplin ekologi dengan geografi, dengan penekanan pada daya dukung dan daya tampung.
c. Kriteria penataan ruang di kawasan perkotaan pantai adalah berdasarkan keberpihakan pada lingkungan yang pengembangannya menggunakan etika lingkungan ekosentrisme, dengan memusatkan etika pada seluruh komunitas ekologi, keberpihakan pada ekonomi kemasyarakatan, dengan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang ditujukkan untuk kesejahteraan semua anggota masyarakat ; keberpihakan pada keadilan sosial.
d. UU Nomor 24 tahun 1992 tentang penataan ruang, perlu disempurnakan karena: () Bias pemerintah (seharunya perpihak pada pemerintah, pengusaha dan masyarakat sebagai kesatuan stakeholders), (ii) Bias kota (seharusnya dengan pendekatan perkotaan dan pedesaan), (iii) Bias daratan (seharusnya dengan pendekatan daratan, lautan dan udara), (iv) Belum menerapkan sanksi bagi pelanggaran pelaksanaan penataan ruang di lapangan.
e. Perencanaan tata ruang yang ada cukup baik sebagai payung normatif, namun untuk rencana detail tata ruang (RDTR) seperti yang digunakan di kota bojonegara perlu disempurnakan, khususnya peruntukan bagi kawasan pantai.
f. Degradasi lingkungan fisik dan sosial yang terjadi, disebabkan aparat pemerintah tidak taat asas dalam melaksanakan tata ruang di lapangan, khususnya yang berkaitan dengan bidang pemanfaatan dan pengendalian tata ruang.
g. Kemiskinan di kawasan penelitian terjadi karena pemerintah melaksanakan pembangunan ekonomi, lebih berpihak pada pelaku ekonomi (elit pengusaha), dibanding dengan berpihak pada masyarakat umum, termasuk petani dan nelayan.
h. Penetapan kebijakan baru dalam penataan ruang perkotaan pantai: yaitu model proses penataan ruang kawasan perkotaan pantai.
Saran penelitian
a. Perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian "Model Proses Penataan Ruang Kawasan Perkotaan Pantai" sebagai konsep baru, harus disertai dengan tatanan baru pada proses pembuatan kebijakan dan kelembagaan penataan ruang Kebijakan berbasis bottom-up approach akan memperkuat landasan pelaksanaan kebijakan tersebut di lapangan. Sedangkan kelembagaannya dapat dikembangkan BKTRD) Badan Koordinasi Tata Ruang Daerah), yang secara normatif sebagai perwakilan BKTRN di pusat, namun mempunyai kewenangan otorisasi di daerah.
b. Pembangunan berkelanjutan berwawasan lingkungan, tidak sekedar tataran peraturan dan konsep, namun lebih kearah kemauan politik dan budaya. Untuk itu diperlukan penelitian lanjutan untuk penataan ruang dalam pembangunan berkelanjutan, fokus pada pendekatan partisipasi politik (political Participation) dan pendekatan budaya (Cultural Vibrancy)."
2007
D641
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>