Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 76307 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widia Trisna
"Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah lahir dalam rangka memenuhi kebutuhan terhadap suatu lembaga jaminan yang kuat dan mampu meberikan perlindungan dan kepastian hukum terhadap para pihak yang terlibat didalamnya. Perampasan terhadap objek hak tanggungan oleh negara karena terkait dengan tindak pidana korupsi menyebabkan beralihnya objek hak tanggungan yang semula berapa di tangan pemegang hak tanggungan kepada negara. Hal ini berpengaruh terhadap kedudukan pemegang hak tanggungan sebagai kreditur preferen dan kekuatan eksekutorial sertifikat hak tanggungan yang objeknya disita tersebut.Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan peraturan perundang-undangan dan pendekatan kasus.Perampasan terhadap objek hak tanggungan karena terkait dengan tindak pidana korupsi seharusnya tidak dilakukan jika terdapat hak pihak ketiga yang beritikad baik dirugikan.Pemenuhan hak negara untuk mendapatkan penggantian kerugian akibat tindak pidana korupsi dapat dilakukan dalam bentuk sita penyesuaian. Sita penyesuaian menempatkan pemegang hak tanggungan tetap berkedudukan sebagai kreditur preferen, sehingga memiliki kekuasaan untuk menjual objek hak tanggungan apabila pemberi hak tanggungan cedera janji. Kewenangan tersebut menunjukkan bahwa sertifikat hak tanggungan yang objeknya dirampas oleh negara karena terkait dengan tindak pidana korupsi tetap memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan keputusan yang memiliki kekuatan hukum tetap.Pelaksanaan perampasan terhadap objek hak tanggungan yang masih kerap terjadi menunjukkan perlunya pengaturan yang tegas dalam Undang-Undang Hak Tanggungan terkait dengan larangan meletakkan sita diatas objek hak tanggungan, di samping itu, agar negara tetap dapat memperoleh uang pengganti terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi, hakim dapat meletakkan sita penyesuaian pada objek hak tanggungan tersebut.

Law Number 4 of 1996 concerning Mortgage Rights on Land and Objects Related to Land was born in order to meet the need for a strong guarantee institution that is able to provide protection and legal certainty to the parties involved in it. The confiscation of the object of mortgage by the state because it is related to a criminal act of corruption causes the transfer of the object of mortgage which was originally in the hands of the mortgage holder to the state. This affects the position of the mortgage holder as the preferred creditor and the executive power of the mortgage certificate whose object is confiscated.The research method used in this study is a normative juridical research method with a statutory and case approach.The confiscation of the object of mortgage because it is related to a criminal act of corruption should not be carried out if the right of a third party in good faith is harmed. The fulfillment of the state's right to obtain compensation for losses due to corruption can be carried out in the form of confiscation of adjustments. The adjustment confiscation places the mortgage holder in the position of the preferred creditor, so that he has the power to sell the mortgage object if the mortgage provider breaks his promise. This authority shows that the mortgage certificate whose object is confiscated by the state because it is related to a criminal act of corruption still has the same executive power as a decision that has permanent legal force. he implementation of confiscation of dependent objects that still occur frequently shows the need for strict regulations in the Morgage Rights Law related to the prohibition of confiscation of dependent objects, in addition, so that the state can still obtain compensation for losses caused by corruption crimes. , the judge may place an adjustment seizure on the object of the liability."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Fauzi
"Susu merupakan komoditi yangsangat penting artinya, baik bagi produsen maupun bagi konsumen. Perkembangan produksi dan harga susu menunjukkan komoditi yang penting, hal mana ditandai dengan peningkatan jumlah produksi disertai dengan fluktuasi harga yang semakin berarti. Peningkatan produksi susu, tidak dapat dilepaskan dengan perkembangan Koperasi Primer/KUD Unit Sapi Perah & Susu, peternak dan usaha-usaha dari pemerintah untuk memajukan hal itu.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan faktor-faktor Kekuasaan Paksaan dan Kekuasaan Non Paksaan dalam hubungannya dengan konflik, kerja sama dan keberhasilan (penjualan) susu dalam jalur pemasaran dari peternak ke KUD."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sampit Karo Karo
"ABSTRAK
Koperasi Indonesia adalah salah satu badan usaha ekonomi yang mempunyai kedudukan yang strategis baik ditinjau dari Konstitusi UUD-1945 pasal 33, Budaya bangsa maupun Idiologi bangsa Indonesia. Hal ini tegas tersurat pada penjelasan UUD-1945 pasal 33, alinea pertama :
-perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah Koperasi".
Budaya bangsa Indonesia yang suka bekerjasama dan bergotong royong terpencar dimana- mana terutama dalam kehidupan didesa-desa. Secara filsafat dijelaskan oleh Ir. Supomo dan disetujui oleh para pembentuk negara Republik Indonesia, bahwa Dasar negara Pancasila menganut pola berpikir Integralistik, dimana asas kekeluargaan adalah implementasinya dalam lingkup kecil dan nyata.
Atas dasar pemikiran diatas maka sewajarnyalah antara badan usaha Koperasi, badan usaha Swasta dan badan usaha milik negara juga berlaku jalinan asas kekeluargaan ini. Didalam kenyataan usaha Koperasi makin lama semakin jauh ketinggalan dari usaha Swasta begitu pula dari usaha milik negara. Padahal dapat disadari bahwa ketiga badan usaha yang ada hidup dan berkembang dalam ruang yang sama, berarti dipengaruhi oleh aspek alamiah dan aspek sosial yang sama (Trigatra dan Pancagatra), serta pengaruh dari luar (Idiol.ogi/budaya asing).
Oleh karena itu ketertinggalan usaha koperasi ini akan membahas kondisi astagatra dalam mendukung koperasi itu sendiri. Begitu pula pengaruh-pengaruh lingkungannya yaitu :
a. Usaha,Swasta yang lebih berorientasi kepada pasar babas.
b. Usaha negara yang menguasai cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hidup orang banyak.
c. Para birokrat yang terkait dalam pembinaan koperasi.
d. Rakyat golongan ekonomi lemah yang seharusnya memerlukan usaha koperasi.
Oleh karena usaha koperasi adalah usaha ekonomi yang berwatak sosial dan merupakan kumpulan orang-orang maka untuk mengetahui penyebab ketertinggalan usaha koperasi perlu dibahas mengenai Keanggotaan Koperasi yang relatif masih kecil, usaha koperasi yang jauh ketinggalandan persepsi rakyat terhadap koperasi. Ketiga topik bahasan ini mempunyai hubungan yang erat satu dengan yang lain. Apabila keanggotaan besar jumlahnya maka koperasi akan kuat, persepsi orang terhadap koperasi akan lebih baik. Apabila usaha koperasi berkembang pesat, maka akan menarik bagi masyarakat berarti keanggotaan akan bertambah, demikian pula persepsi rakyat akan lebih baik. Apabila persepsi rakyat terhadap koperasi baik maka dapat diharapkan keanggotaan koperasi akan mudah meningkat dan usaha koperasi lebih mudah berkembang.
Untuk mendapatkan jawaban terhadap rumusan masalah yang telah ditentukan maka penelitian dan analisa dilakukan terhadap data primer dan sekunder. Untuk mendapatkan data primer dibuat skala pengukur (Kuestioner) yang diuji terlebih dahulu baik validitasnya maupun realibilitasnya, barulah dioperasikan terhadap sampel yang ditentukan secara random.
Dari hasil pembahasan dan analisa maka ditemukan bahwa : (sebagai kesimpulan penelitian).
a. Keanggotaan koperasi yang relatif masih kecil adalah disebabkan oleh :
1)Faktor ketidak-tahuan,. karena kurangnya pendidikan/penataran dan informasi.
2) Faktor kesempatan yang kurang, karena jauh dari KUD/kope rasi (jauh dalam arti fisik maupun jauh karena perasaan).
b. Ketertinggalan usaha koperasi dari usaha swasta adalah karena :
1) Faktor modal anggota yang kurang.
2) Faktor geografi yang belum dimanfaatkan dengan baik, se hingga ada anggota yang merasa kejauhan ke KUD/koperasi serta pengaruh cuaca/alam belum diinformasikan dengan baik kepada rakyat dalam kaitan pencapaian hasil produksi yang optimum.
3) Belun adanya undang--undang yang mengatur secara integral ketiga badan usaha yang ada, sehingga satu dengan yang lain dapat tarik menarik untuk mencapai tujuan bersama.
4) Tanggapan dan peran pemerintah yang terlalu besar dalam gerakan koperasi.
5) Undang-undang nomor 12 tahun 1967 tentang Pokok-pokok Perkoperasian Indonesia masih mengalami banyak kelemahan-kele mahan.
c. Persepsi rakyat Sidoarjo terhadap koperasi mempunyai nilai diatas bagus (4,12): Nilai persepsi terendah terdapat pada pengusaha Swasta/BUMN dengan nilai hampir Bagus (3,94). Berarti koperasi masih disukai oleh rakyat Sidoarjo.
d. Untuk meningkatkan Ketahanan Daerah/Nasional di Sidoarjo rnaka kelemahan-kelemahan pada titik a, b dan c perlu diatasi. Apabila tidak diatasi akan dapat memperlebar kesenjangan ekoncmi dan sosial di masyarakat dan lebih lanjut dapat mengarah kepada pertentangan rasial antara rakyat golongan ekonomi lemah dan golongan ekonomi kuat.
Berdasarkan hal-hal diatas semua maka ditentukan saran-saran perbaikannya demi pengembangan usaha Koperasi sekaligus untuk meningkatkan Ketahanan Daerah/Nasional di Sidoarjo."
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Gunarti
"Isu yang banyak berkembang di tengah masyarakat adalah pertumbuhan pasar modern (dalam hal ini hypermarket asing) yang seolah-olah mematikan usaha kecil. Banyak dari pelaku dunia usaha skala kecil mendapat imbas langsung dengan kehadiran pasar modem seperti hypermarket.
Permasalahan yang muncul yaitu lemahnya posisi tawar dari pemasok terhadap peritel besar sehingga mengakibatkan perilaku yang tidak adil bagi pemasok tersebut (abuse of dominant position). Kekuatan pasar (market power ) yang dimiliki peritel asing menimbulkan ketergantungan bagi para pemasok untuk masuk ke gerai mereka.
Dominasi peritel asing terhadap pemasok dilakukan melalui cara hubungan usaha jual beli produk yang menggunakan sistem jual putus. Hubungan usaha tersebut dituangkan dalam perjanjian tertulis yang dinamakan National Contract yang memuat syarat perdagangan (trading terms) yang dapat dinegosiasikan dengan pemasok, antara lain listing fee, fixed rebate, minus margin, term of payment, regular discount, common assortment cost, opening cost/new store.
Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam penelitian ini akan dilakukan kajian terhadap kompleksitas strategi aliansi yang dilakukan peritel asing dan bagaimana pengaruhnya terhadap tingkat komitmen kerjasama pemasok UKM sebagai mitra dalam membangun bisnis ritel di Indonesia.
Hubungan antara strategi aliansi dengan komitmen kerjasama diungkapkan oleh Caughlan et al (2001:316). Menurut Caughlan di dalam strategi aliansi, dua atau lebih organisasi yang memiliki hubungan (hukum, ekonomi atau interpersonal) diantara mereka akan memiliki persepsi terhadap kepentingan pribadi yang berkaitan dengan kerjasama mereka. Di dalam aliansi dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, termasuk di dalamnya hubungan yang erat (close relationship), rekanan (partnerships), hubungan kepemerintahannya (relational governance), hybrid governance, vertical quasi-integration, dan komitmen kerjasama (committed relationship). Di dalam industri distribusi, aliansi antara perusahaan diwujudkan dalam sebuah wujud komitmen yang tulus (genuine commitment). Artinya komitmen muncul ketika sebuah perusahaan merasakan hubungan kerjasama yang tidak terbatas. Sehingga, komitmen kerjasama merupakan sebuah wujud yang dihasilkan dari aliansi yang dibentuk dari dua atau lebih organisasi.
Penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk menganalisis pelaksanaan strategi aliansi peritel asing dengan komitmen kerjasama pemasok lokal skala UKM, dilakukan dengan menggunakan metode survey kepada 100 responden pemasok lokal skala UKM yang berlokasi di DKI Jakarta.
Sedangkan teknik penelitian dilakukan dengan menyebarkan kuisioner kepada responden dan dianalisa dengan analisis statistik korelasi Product Moment dan Regresi untuk mengetahui derajat hubungan dan tingkat perubahan variabelnya. Analisis Hasil Penelitiannya yaitu:
1. Pelaksanaan strategi aliansi yang dilakukan oleh peritel asing begitu kompleks dan memberatkan pemasok yang berskala kecil. Artinya peritel asing belum memiliki konsep strategi aliansi kepada UKM dalam membangun bisnis ritel di Indonesia. Peritel asing menempatkan mitra bisnisya (dalam hal ini adalah UKM) bukan sebagai mitra strategik yang turut mendukung pertumbuhan dan pengembangan bisnis retail di Indonesia. Melainkan mereka hanya menempatkan UKM sebagai bagian kecil sebagai pemasok sebagai rangkaian hubungan jangka pendek saja;
2. Tingkat komitmen kerja sama pemasok UKM kepada peritel asing telah cukup tinggi. Namun konsep kerja sama yang dijalankan saat ini belum memberikan hasil yang baik bagi UKM;
3. Pelaksanaan strategi aliansi yang dijalankan oleh Peritel Asing memberikan hubungan dan pengaruh yang signifikan terhadap tingkat komitmen kerjasama UKM kepada Peritel Asing. Semakin baik pelaksanaan strategi aliansi yang diterapkan peritel asing maka akan semakin tinggi tingkat komitmen kerjasama yang akan dilakukan pemasok skala UKM, dan demikian sebaliknya. Sehingga saat ini pemasok kecil dalam menjalankan kerjasama dengan peritel asing dengan unsur keterpaksaan karena kurangnya jalur pemasaran produk mereka, bukan karena mereka memang berkeinginan untuk menjalin kerjasama dengan peritel asing.

A popular oppinion currently evolving within our community is that foreign hypermarkets are to blame for taking businesses away from small scale retailers. Many small scale retailers suffers significant loss in their revenues due to this.
Other problems arises from this is the weakening of suppliers bargaining position relative towards major suppliers resulting in a phenomena called the abuse of dominant position. Market power possessed by foreign retailers created a high dependency of suppliers on foreign retailers demand.
The domination of foreign retailers towards their suppliers takes form in the written purchase agreement called National Contract signed by both parties which incorporate negotiable trading terms covering listing fee, fixed rebate, minus margin, term of payment, regular discount, common assortment cost, opening cost/new store and penalty.
In relation to the fact outlined above, this study is aimed to identify strategies adopted by foreign retailer and their impact on the level of partnership commitment of SME scale suppliers.
The relationship between alliance strategy and partnership commitment was introduced by Caughlan et al (2001:316). According to Caughlan in an alliance, two or more organizations having relationship with one another (legal, economic or interpersonal) will possess perception of their own self interest in relation to their partnership. Alliance can be forged into a variety of forms including close relationship, partnership, relational governance, hybrid governance, vertical quasi-integration and commited relationship. In the distribution industry, alliance between companies take the form of genuine commitment, a commitment that is born when a company felt the need to establish and maintain an unlimited partnership with its counterpart. Therefore partnership commitment is the product of an alliance forged between two or more organizations.
This research is aimed to analyze the implementation of an alliance strategy initiated by a foreign retail company and its impact on the company's SME scale supplier's partnership commitment. The research is conducted using a survey method with a sample of 100 local suppliers located within DKI Jakarta.
The results of this are describe as follows :
1. The implementation of alliance strategy by the company is perceived to be complex and burdening by small and medium scale suppliers. This entail a lack of alliance strategy concept applicable in Indonesia. Foreign retailer placed their small and medium scale suppliers not as strategic partners in developing its business in Indonesia but merely as suppliers who play a small and relatively short term role;
2. Partnership commitment of small and medium scale suppliers towards their foreign counterpart receive a significant score, meaning that most small and medium scale suppliers possess a high level of commitment in developing partnership with foreign retailers, although the partnership concept currently exist does not yield a significant returns to the small and medium scale suppliers;
3. A significant relationship and influence exist between the implementation of alliance strategy by a foreign retailer and the partnership commitment level of a small and medium scale suppliers. The better implementation of alliance strategy by foreign retailer the higher the level of commitment relationship by Small Medium Entreprise Supplier and vice versa. However at present the small supplier is doing bossiness with foreign retailer because the lag of distribution channel not because they want to have bussiness relation with foreign retailer.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2006
T21973
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Abraham BM
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1993
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Agung
"Dalam pasal 33 UUD'45 ayat 1 ditegaskan, bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. Cita-cita konstitusional itu kemudian oleh sementara pihak diterjemahkan ke dalam bentuk koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dan perlu ditumbuhkembangkan menjadi soko-guru perekonomian nasional jangka panjang.
Seiring dengan itu, pemerintah Orde Baru memberikan pula komitmen "tinggi" terhadap upaya menumbuhkembangkan bangun usaha koperasi, yang diperlihatkan melalui:
- pembentukan Departemen Koperasi dibawahi seorang Menteri;
- pembentukan Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin);
- dikeluarkannya UU No. 12 Th. 1967 Tentang Perkoperasian, yang kemudian diperbaharui dengan UU. No. 25 Th. 1992;
- dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 2 Th 1978 Tentang BUUDIKUD;
- dan lain-lainnya.
Perjalanan koperasi dalam era Orde Baru telah berlangsung lebih dua dasa warsa, namun masih memperlihatkan hasil yang belum memuaskan. Peran koperasi dalam memberikan sumbangan kepada pendapatan nasional masih kecil, serta tertinggal dari bangun usaha lain (perusahaan negara dan perasahaan swasta).
Lalu, masih perlukah mewujudkan cita-cita menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional jangka panjang? Komitmen pemerintah untuk tetap mempertahankan departemen tersendiri yang diajukan khusus menangani masalah perkoperasian memasuki era PJPT II menunjukkan, bahwva masih terdapat komitmen karat untuk menumbuhkembangkan bangun usaha ini di bumi Indonesia. Namun seyogyanya komitmen tersebut perlu didukung oleh kondisi obyektif, bahwa koperasi benar-benar dapat diandalkan guna mencapai tujuan tersebut. Untuk itu koperasi harus berhasil, dalam arti mewujudkan berbagai kontribusi kepada berbagai pihak, yakni anggota, masyarakat, konsumen, bangun usaha lain, dan pemerintah.
Implisit, untuk menrenuhi cita-cita konstitusional, koperasi bukan hanya dituntut tumbuh berkembang di nusantara, tetapi memperlihatkan indikasi perkembangan usaha dan mewujudkan kontribusi sebagaimana halnya suatu bangun usaha yang tergolong berhasil. Pemenuhan persyaratan itu sekaligus akan berkonsekuensi terhadap pembentukan Ketahanan Wilayah/Daerah di mana bangun usaha koperasi itu berada, terutama dalam lingkup Kecamatan. Lebih lanjut, tumbuh suburnya koperasi di negara kita dan mewujudkan kontribusinya tendensi akan memperlihatkan pula kemampuannya dalam membentuk kondisi Ketahanan Nasicncrl yang tangguh.
Berdasarkan pernyataan terakhir di atas penelitian ini dilaksanakan, yakni ingin mengetahui penyelenggaraan koperasi di Indonesia. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah. "sejauhmana konirihusi yang diwujudkan oleh koperasi, implikasi terhadap pembentukan Ketahanan Wilayah/Daerah, serta kemampuannya dalam mendukung kondisi Ketahanan Nasional? "
Penelitian dilaksanakan terhadap dua koperasi yang menyelenggarakan kegiatan usaha dengan benluk komoditi berbeda, yakni Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) - Pengalengan di Kabupaten Bandung - Jawa Barat, dan Primer Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Primkopti) - Pedan di Kabupaten Klaten - Jawa - Tengah . Kedua 'Koperasi dinilai berhasil oleh pihak yang berkompeten, dan menyandang predikat Koperasi Teladan Utama.
Data Penelitian dikumpulkan melalui teknik kuesioner , wawancara , dan studi dokumentasi . Teknik kuesioner terutama dil jukan untuk memperoleh data dari anggota Koperasi melalui sarnpel responden , yakni sebanyak 90 orang untuk responden KPBS-Pengalengan dan 45 orang responden Primkopti-Pedan yang diperoleh secara creak (random sampling). Teknik wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi dari Pengurus dan Pelaksana Koperasi, Tokoh Masyarakat, dan lain-lainnya. Studi dokumentasi, khususnya digunakan untuk memperoleh data-data tentang penyelenggaraan kegiatan usaha kedua koperasi obyek penelitian.
KPBS - Pengalengan didirikan tahun 1969, sedang Primkopti - Pedan tahun 1982. Inisiatif pendirian kdua Koperasi tampak memiliki alasan yang sama, yakni didasarkan alas kondisi kehidupan Peternak sapi perah di sekitar Kecamatan Pengalengan maupun Pengrajin Tahu-Tempe di sekitar Kecamatan Pedan yang memprihatinkan. Bedanya, jika pembentukan KPBS - Pengalengan diprakarsai oleh pemerintah daerah setempat, sedangkan Primkopti-Pedan olch seorang warga anak dari salah satu keluarga pengrajin.
Penyelenggaraan kegiatan usaha kedua koperasi , sampai tahun 1994 lalu memperlihatkan perkembangan yang menyolok, baik dari segi anggota, hasil produksi, Modal Usaha , Simpanan Anggota , dan sebagainya. Dari segi anggota , pada mula berdirinya KPBS-Pangalengan hanya berjumlah 616 orang, tetapi tahun 1994 telah mencapai 7.996 orang. Di Primkopti - Pedan yang semula hanya memiliki anggota 63 orang , tahun 1994 telah berjumlah 282 orang. Dari segi produksi, hasil produksivusu ternak sapi anggota KPBS-Pengalengan hanya kurang dari 1,5 juta kilogram. Hasil produksi Primkopti-Pedan pada tahun 1982 hanya mencatat sekitar 1000 ton, dan tahun 1994 telah mencapai sekitar 11.600 ton. Tetapi tahun 1994 telah mencapai 55 juta kg.
Dari segi modal usaha, jumlcrh modal usaha semula KPBS-Pangalengan hanya sekitar Rp. 5 juta, dan tahun 1994 telah melebihi Rp. 18 milyar. Primkopti-Pedan pada rival berdirinya hanya memiliki modal sekitar Rp. 10 juta, dan tahun 1993 telah mencatat hampir mendekati Rp. 1,5 milyar. Sejalan dengan itu, jumlah simpanan anggota yang tercatat di KPBS-Pangalengan pada tahun 1969 hanya sebesar Rp. 706 ribu, tetapi tahun 1994 meningkat drastis menjadi Rp. 5 milyar. Di Primkopti-Pedan, simpanan anggota pada tahun 1982 sekitar Rp. 1,8 juta, dan tahun 1993 meningkat menjadi Rp. 77, 7 juta.
Data di atas nrenunjukkan perkembangan kegiatan usaha dari kedua koperasi obyek pembahasan. Bagaimana dengan kontribusi yang diwujudkan?
Dalam memusatkan perhatian kepada anggota dari ketua koperasi tersebut, penelitian ini menghasilkan, bahlva keseluruhan responder, (anggota koperasi) menjawab "koperasi tempat mereka bergabung bermanfaat dalam kehidupan mereka". Kedua koperasi telah memberi kepastian, bahwa beternak sapi perah maupun kerajinan tahu) tempe, dapat diandalkan sebagai pekerjaan tetap dan tumpuan kehidupan keluarga. Pekerjaan itu membahva perolehan pendapatan tetap setiap bulannya, sehingga memungkinkan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, baik yang bersifat ekonomis maupun non-ekonomis. Kontribusi kedua koperasi juga diwujudkan melalui unit usaha logistik (KPBS-Pangalengan) maupun Toko Serba Ada (Primkopti-Pedan) sebagai wvadah pemenuhan kebutuhan konsumsi anggota dengan cara pembayaran angsuran. Dari segi kesehatan, kontribusi kepada anggota itu tercermin pula melalui kerja sama KPBS-Pangalengan dengan Tenaga Medis setempat melalui kegiatan Asuransi Kesehatan (Dana Kesehatan Ternak), maupun penyediaan fasilitas Klinik Kesehatan oleh Primkopti-Pedan kepada anggotanya.
Penelitian juga menghasilkan, kedua koperasi dapat mewujudkan kontribusi kepada masyarakat di sekitarnya, antara lain berupa penciptaan dan penyerapan tenaga kerja, baik langsung maupun tak langsung. Kedua koperasi telah menyerap sejumlah orang sebagai karyawan di dalam organisasi usahanya, serta membuka peluangpeketjaan akibat keberadaannya. Kontribusi lain adalah turut andilnya kedua koperasi dalam kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial, seperti bantuan dana renovasi tempo, ibadah, sarana pendidikan, dan sebagainya.
Kontribusi lain, yakni kepada konsumen, kedua koperasi obyek pembahasan memperlihatkan wujud yang berbeda. Khususnya di KPBS-Pangalengan, kontribusi kepada konsumen yang bersifat non-kelembagaan meliputi tiga jenis kegiatan usaha, yaitu di bidang persusuan, Bank Perkreditan Rakyat (PT. BPR; dan Kepariwisataan. Di bidang persusuan, kontribusi itu diwujudkan dengan penyediaan susu murni setiap harinya kepada konsumen rumah tangga di kota Bandung dan Jakarta melahri perwakilan koperasi. Di bidang perbankan, KPBS-Pangalengan memberikan bantuan pinjaman kepada warga masyarakat sekitar yang membutukan dana tertentu, seperti bantuan modal pengembangan usaha, biaya pendidikan, dan lain-lainnya. Di bidang Kepariwisataan, kontribusi itu terwujud melalui pemidkan Hotel di wilayah Kecamatan Pangalengan yang dapat digunakan oleh pendatang yang membutuhkan tempat bermalam.
Pada Primkopti-Pedan, kontribusi kepada konsumen diwz judkan melalui pemenuhan stock tempe dan produk aneka kripik. Produk tempe terbatas kepada pemasaran konsumen lokal, sedangkan aneka kripik lebih tersebar di 16 daerah (termasuk Kabupate Klaten) di pulau Jawa dan Bali.
Kontribusi kpbs-pangalengan kepada bangan usaha lain terwujud dalam dua bentuk, yakni koperasi mitra kerja dan perusahaan industri pengolahan susu (IPS). Koperasi ini tidak hanya menampung produksi susu dart anggotanya saja, tetapi juga produksi nun' dart anggota koperasi lain di sekitar wilayah propinsi Jawa Barat sebagai mitra kerja. Sampai tahun 1994 KPBS-Pangalengan telah menjalin hubungan dengan 17 koperasi peternak sapi perah mina kerja. Sebanyak 80 persen produk susu yang diolah dan dipasarkan oleh KPBS-Pangalengan merupakan hash produksi susu dart peternak sapi perah anggotanya, sedangkan 20 persen berasal dart anggota koperasi mitra kerja. Implisit, KPBS-Pangalengan memberi kontribusi jaminan pekerjaan dan penalehan pendapatan kepada anggota koperasi mitra kerjanya.
Kontribusi KPBS-Pangalengan ke perusahaan IPS terwujud dalam bentuk susu yang telah melalui milk treatment. Tercatat tiga perusahaan IPS yang selama ini men jadi penampung (baca: pembeli) praduksi KPBS-Pangalengan, yaitu PT. Indomilk, PT. Ultra Jaya, dan PT Frisian Flag Indonesia. Sejauh ini telah terjalin hubungan yang saling menguntungkan antar pihak koperasi dengan perusahaan IPS terrebut.
Akhirnya, kontribusi kedua koperasi obyek penrbahasan kepada pemerintah memiliki ujud yang berbeda pula. Pada KPBS-Pangalengan, kontribusi itu dapat dihedakan ke dalam tiga bentuk hirarkhi pemerintahan, yakni Kabupaten, Kecamatan, dan Desa. Dalam lingkup Kabupaten, terwujud melalui penarikan dana retribusi oleh Pemda setempat sebesar Rp. 2,- per liter susu yang terjual. Menurut informasi, himpunan dana retribusi ini menjadi salah satu sumber dana pembangunan, terutama ditujukan untuk membantu pelaksanaan pembangunan di Kecamatan lain yang tergolong "kurang maju ".
Dalam lingkup Kecamatan, kontribusi itu antara lain terwujud dari peranan KPBS-Pangalengan dalam mengisi pendapatan daerah Kecamatan Pangalengan khususnya. Berdasarkan perhitungan, sekitar 17,2 persen pendapatan Kecamatan Pangalengan pada tahun 1994 merupakan sumbangan KPBS-Pangalengan terhadap pendapatan anggatanya, dan sekitar 20,0 persen dari jumlah penduduk di wilayah ini bertumpu hidup dari pekerjaan peternakan sapi perah.
Dalam lingkup Desa, kontribusi yang diwujudkan oleh KPBS-Pangalengan adalah penyisihan dana dari warga masyarakat anggota koperasi sebesar Rp. 1,- per liter susu yang terjrral. Himpunan dana ini, menurut keterangan sejumlah aparatur desa setempat, dimanfaatkan untuk merenovasi Kantor Desa, pembangunan pos-pos kamling /pos ronda, dan lain-lainnya.
Pada Primkopti-Pedn, terutama dalam lingkup Kecamatan Peda, kontribusi koperasi ini terhadap pendapatan daerah mencalat sebesar 6.34 persen. Kontribusi lain adalah pembangunan tempat pengalahan limbah industri untuk menjaga keserasian dan kebersihan lingkungan, serta menjadi lumpuan hidup sekitar 1,23 persen dari jumlah penduduk di wilayah Kecamatan ini.
Uraian di atas memperlihatkan, bahwa kedua koperasi obyek pembahasan telah menunjukkan keberhasilannya sebagai bangun usaha, balk dari segi perkembangan usaha maupun kontribusi yang diwujudkan. Sejumlah faktor penunjang dapat di antisipasi dalam penelitian ini, antara lain:
- Tingkah laku ekonomi beternak sapi perch (KPBS-Pangalengan) maupun kerajinan tahu-tempe (Prinmkopti-Pedan) telah dikenal dan digeluti sejak lama oleh warga masyarakat di sekirarnya;
- Dukungan kondisi Iingkungan fisik sekitar, terutama dalam upaya melakukan pengembangan kegiatan usaha beternak sapi perah maupun kerajinan tahutempe;
- Keseriusan dan ketekunan Pengurus dan Pelaksczna dalam mengelola kegiatan usaha. Salah satu ha/ yang perlu dicatat, - pengelolaan kegiatan usaha sepenuhnya ditangani oleh Pelaksana (bukan Pengurus) melalui sistem perikatan;
- Dukungan sarana prasarana dan fasilitas yang memadai sesuai dengan tuntutan yang ada, seperti komputerisasi, pemakaian mesin-mesin pengolahan canggih, dan sebagainya;
- Kegiatan pemasaran yang berhasil memperpendek jarak, tanpa adanya ikut campur pihak "luar" yang terlalu jauh;
- Keterlibatan pemerintah dalam posisi yang " wajar ", dalam arti terbatas kepada proses penrbinaan saja, seperti organisasi usaha, manajemen, pembukuan keuangan, dan sebagainya, tanpa terlalu jauh ikut campur ke clalam pengelolcan kegiatan usaha, Di sisi lain, dalam kegiatan usaha yang digeluti kedua koperasi obyek pembahasan, pemerintah telah berhasil menciptakan iklim kondusif, salah satunya dengan dikeluarkannya Inpres No. 2 Th. 1985 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional, yang antara lain menghimbau kepada perusahaan IFS untuk mengutamakan pemakaian hasil produksi susu dalam negeri terlenih dahulu, dan barn melakukan impor terhadap kekurangan yang ada.
Perkembangan usaha dan perwujudan kontribusi kedua koperasi di atas berimplikasi terhadap pembentukan kondisi wilayah/daerah Kecamatan setempat khususnya. Dengan kcrta lain, kedrra koperasi telah menunjukkan peranannya dalam membentuk kondisi Ketahanan Wilayah/Daerah dalam lingkup Kecamatan (dan juga Kabupaten), terutama dalam aspek-aspek ideolagi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan, atau dikenal dengan sebutan Panca Gatra. Peranan tersebut antara lain:
Dari segi ideologis: Kedua koperasi obyek pembahasan telah rnemupuk nilai kebersamaan para anggotanya yang tercermin melalui sistem kerja berkelompok, penganrbilan keputrrsan secara bersama, dan sebagaina. Hal ini sejalan dan memperkuat nilai kebersamaan yang umumnya dianut oleh masyarakat Indonesia, ideologis Pancasila, serta cita-cita yang terkandung dalam pasal 33 UUD " 45.
Dari segi politik: Kedua koperasi telah mengenalkan dan menanamkan cascara berorganisasi modern, yaitu peranan dan fringsi bangun uscrha dalam mencapai peningkatan hidup anggota (dan keluarganya). Melalui pengelolaan usaha yang terorganisir secara baik, usaha yang dijalankan anggota dapat menjadi sumber penghasilan tetap yang lebih baik serta wahana peningkatan taraf hidup mereka. Di samping itu, melalui koperasi diintrodusir dan dikomunikasikan pula nilai-nilai demokratis sesuai dengan ciri yang disandang oleh bangun usaha koperasi;
Dari segi ekonomis: Kedua koperasi telah menjalankan peranan dalam meningkatkan pendapatan anggota, sehingga mereka memiliki kemampuan yang memadai untuk menrenuhi kebutuhan ekonomis sehari-hari. Bukan itu saja, kedua koperasi telah menciptakan dan menyerap tenaga kerja, baik langsung maupun tak langsung;
Dari segi sosial-budaya: Dampak dari perolehan pendapatan tetap yang meningkat, memungkinkan anggotanya untuk memenuhi kebutuhan lain, seperti biaya pendidikan anak, biaya kesehatan, dan sebagainya;
Dari segi pertahanan-keamanan: Karena kualitas penduduk yang meningkat serta pemahaman dan kesadaran akan nilai kebersamaan yang semakin kuat, mengakibatkan kesadaran terhadap keamanan lingkungan yang meningkat pula. Hal ini membawa kepada kondisi pertahanan-keamanan di wilayah sekitar yang semakin membaik atau tangguh. Salah satu wujud nyata adalah andil penyisihan sebagian hasil pendapatan anggota untuk kepentingan membangun pos-pos kamling I pos ronda, serta partisipasi aktif warga masyarakat terhadap gerakan sistem keamanan lingkungan (siskamling).
Berdasarkan hasil studi kepada kedua koperasi obyek pembahasan, tampak bahwva pada dasarnya koperasi dapat menunjang pembentukan kondisi Ketahanan Nasional yang tangguh. Namun persyaratan mana yang harus dipenuhi adalah, kemampuan itu baru akan terwujud apabila koperasi tumbuh subur di bumi nusantara serta mencapai keberhasilannya sebagaimana yang diperlihatkan oleh kedua koperasi obyek pembahasan. Permasalahannya adalah, bagaimana memenuhi persyaratan tersebut?
Dari pengalaman kedua koperasi di was, dapat dltarik beberapa pelajaran yang perlu diperhatikan dalam upaya menumbuhkembangkan bangun usaha koperasi agar dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan, yaitu:
- Kegiatan usaha yang dija/ankan bukan merupakan hal yang relatif "baru" dikenal, melalnkan telah ada sejak lama, terintegratif dalam drrr serta menjadi orientasi tingkah laku ekonomi warga masyarakat sehari-hari;
- Didukung oleh kondisi lingkungan sekitar, terutarna dalam upaya pengembangan usaha;
- Keseriusan dan ketekunan dari Pengurus don Pelaksana. Dalam hal ini harus dibedakan antara kedua pihak tersebut, pelaksanaan pengelolaan kegiatan usaha harus dijalankan sepenuhnya oleh Pelaksana (bukan Pengurus) yang diperoleh koperasi melalui sistem perikatan;
Sedapat mungkin memperpendek jarak pemasaran amara koperasi dengan konsumen, tanpa melibatkan pihak ketiga yang terlalu 'jauh " dalam kegiatan pengelolaan pemasaran tersebut;
Keterlibatan pemerintah perlu berada pada batas dan posisi yang "wajar ", dalam arti hanya dalam konteks pembinaan tanpa terlalu dadam mencampuri pengelolaan kegiatan usaha. Termasuk dalam pembinaan ini adalah upaya pemerintah untuk tetap mewujudkan iklim kondusif, misalnya dengan memberikan perlindungan kepada kegiatan usaha koperasi untrrk mencegah adanya tindakan intervensi oleh pihak swasta. Namun yang perlu diperhatikan, perlindungan itu haruslah disertai dengan upaya untrrk membuat koperasi menjadi mandiri dan kompetitif nantinya, dan bukan menjadi manja serta ketergantungan terhadap peran pemerintah tersebut."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Freddy Waibusi
"Pendahuluan
Upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pedesaan perlu diatur dalam wadah-wadah yang tepat. Salah satu wadah yang dimaksud adalah Koperasi Unit Desa (KUD). Dikemukakan dalam GBHN bahwa KUD adalah "wadah kegiatan ekonomi rakyat, yang diusahakan agar memiliki kemampuan menjadi badan usaha yang efisien dan menjadi gerakan ekonomi rakyat tangguh dan berakar dalam masyarakat (1993.71)".
KUD sebagai badan usaha perlu mandiri dan mampu memanfaatkan sumber daya nasional maupun regional untuk memajukan kesejahteraan ekonomi anggotanya_ KUD harus diberikan kesempatan seluas-luasnya berperan dalam pembangunan, untuk memeeahkan ketidak selarasan ekonomi di dalam masyarakat. Selain itu KUD merupakan langkah strategis dalam upaya memupuk pertumbuhan dan meningkatkan peranan serta tanggung jawab masyarakat golongan ekonomi lemah dalam kegiatan pembangunan.
Berbagai upaya pembinaan dan pengembangan KUD selama Pembangunan Jangka Panjang 25 Tabun yarig ke satu (PJPT I) 1967-1994 meliputi: pendirian lembaga-lembaga pendidikan dari tingkat sekolah lanjut atas (SHEA) sampai dengan perguruan tinggi (Akademi Koperasi) dan Bank Umum Koperasi Indonesia (BUKOPIN). Dengan adanya upaya tersebut, baik berupa pendidikan formal maupun nonformal agar dapat mencetak kader-kader atau pemimpin-pemimpin yang tangguh dalam pengelolaan manajemen koperasi. Begitu pula tersedianya Bukopin akan mempermudah proses pelayanan pemberian kredit kepada manyarakat.
Namun semua upaya pembangunan ini, belum memberikan harapan yang cukup bagi bangsa Indonesia, terutama rakyat di pedesaan. Hal ini, terlihat selama PJPT Kesatu ditargetkan koperasi harus mencapai 50.000 buah, ternyata baru mencapai 36.542 buah yang terdiri dari 8.349 buah KUD dan 28.193 buah koperasi bukan HUD. Sedangkan jumlah anggota ditargetkan mencapai 50 % dari jumlah penduduk Indonesia, ternyata baru mencapai 15 % yaitu berjumlah 29.134.000 anggota yang terdiri dari kurang lebih 18.000.000 anggota KUD dan sejumlah 11.000.000 anggota bukan KUD (Anoraga. P, 1992:174).
Kendala pembangunan HUD ini disebabkan berbagai masalah, baik yang bersumber dari dalam koperasi sendiri maupun yang bersumber dari luar. Kendala-kendala itu antara lain: yang pertama berkaitan dengan aspek kelembagaan.dan yang kedua berkaitan dengan aspek usaha maupun yang ketiga berkaitan dengan aspek lingkungan (Repelita RI 1989-1994:340).
Keadaan dan pengalaman upaya pembinaan dan pengembangan koperasi secara nasional tersebut di atas yang berjalan sangat lamban ini, terasa juga di Propinsi Irian Jaya. Dilihat dari kondisi objektif Irian Jaya yang masih terbatas sarana transportasi, komunikasi dan ketertinggalan keadaan sosial ekonomi masyarakatnya. Namun Pemerintah Daerah Irian Jaya dengan instansi terkait telah berupaya membina dan mengembangkan KUD ke daerah pedesaan.
Berbagai upaya pembinaan dan pengembangan yang dilakukan berupa: (a) pelatihan kepemimpinan koperasi, bagi beberapa anggota yang akan menjadi kader-kader KUD; (b) pelatihan anggota pengelolaan manajemen keuangan (bendaharawan) koperasi; (c) pembangunan sarana berupa gedung kantor, gudang, pertokoan, gedung pasar koperasi yang bersifat semi permanen dan permanen; (d) pemberian unit kendaraan roda empat kepada KUD untuk memperlancar terangkutnya hasil-hasil pertanian dari desa ke pasar; dan (e) pemberian modal berupa kredit kepada para anggota koperasi :
Sejak Repelita I sampai-dengan Repelita V, Daerah Irian Jaya ditargetkan 554 buah koperasi secara kuantitatif. Namun pada kenyataan koperasi yang didirikan hanya mencapai 275 buah, yang terdiri atas 74 buah KUD dan yang bukan KJD 140 bush_ Sedangkan keanggotaan KUD-nya berjumlah 12.629 orang dan yang bukan anggota KUD sejumlah 42.631 orang (Repelita Irian Jaya 1989-1994:196).
Ketidaktercapaian target tersebut di atas, disebabkan oleh tiga permasalahan sebagai berikut: yang pertama, berkaitan dengan aspek kelembagaan yang meliputi: (1) pembinaan di bidang organisasi, tatalaksana dan pengawasan; (2) pembinaan para anggota KUD agar membentuk dan mengembangkan unit usaha baru, (3) pembinaan penyelenggaraan latihan, penataran dan penyuluhan bagi pengurus.
"
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puspla Dirdjaja
"Dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah terjadi perubahan mendasar mengenai pengetahuan hubungan Pusat dan Daerah, khususnya di bidang Administrasi Pemerintahan rnaupun dalam hubungan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang dikenal sebagai Otonomi Daerah.
Dalam era Otonomi Daerah yang sekarang ini, Daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Tujuannya antara lain adalah untuk lebih mendekatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat, memudahkan masyarakat untuk memantau dan mengontrol penggunaan dana yang bersumber dari. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selain untuk menciptakan persaingan yang sehat antara daerah dan mendorong timbulnya inovasi.
Penyusunan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 yang kemudian keduanya dikenal sebagai Undang-undang otonomi Daerah, adalah dalam rangka mewujudkan pemerintahan daerah yang efisien, efektif, akuntabel.
Hal ini dapat diperhatikan dalam penjelasan Undangundang tersebut yang menyatakan bahwa penyelenggaraan otonomi daerah bertujuan untuk peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokratis, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar Daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam penyelenggaraan otonomi daerah perlu ada dukungan berupa kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di daerah secara proporsional yang diwujudkan dengan pengkturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, Berta perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Sumber pembiayaan pemerintahan daerah dalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
Konsekuensi dari penyerahan kewenangan yang demikian besar sudah barang tentu adalah tanggung jawab yang semakin besar pula terutama dalam hal penyelenggaraan seluruh kewenangan sehingga pemberdayaan, kreativitas dan inovasi menjadi kata kunci bagi setiap daerah otonom.
Kecuali dari dana perimbangan ataupun dana yang dikeluarkan Pemerintah Pusat, Daerah harus mampu mencari sumber-sumber pembiayaan melalui Sumber-sumber Pendapatan Daerah termasuk Pendapatan Asli Daerah. Disinilah sebenarnya terletak peluang bagi Pemerintah Daerah untuk mengoptimalkan pendapatan melalui salah satu Sumber Pendapatan Asia. Daerah (PAD) yaitu aset daerah. Penyerahan kewenagan yang berimplikasi pada membengkaknya aset daerah di satu sisi dapat menguntungkan Pemerintah Daerah, namun di sisi lain dapat menjadi beban bagi pemerintah jika tidak dikelola dengan baik.
Disinilah letak perlunya pengelolaan aset daerah secara hati-hati dan baik. Karena tak jarang dijumpai adanya pengelolaan aset seperti aset properti (tanah, bangunan dan infrastruktur) yang pada umumnya merugikan. Tantangan bagi Pemerintah Daerah untuk mengelola dan memastikan agar aset Pemerintah Daerah tidak lagi menjadi beban keuangan, tapi sebaliknya menjadi sumber pendapatan.
Oleh karena itu, diharapkan dengan adanya pelimpahan kewenangan yang telah diberikan sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang No. 22 Tahun 1999, maka dalam rangka memenuhi dari segi pembiayaan yang digunakan untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas di bidang pemerintahan tersebut, dapat terpenuhi dengan adanya kewenangan pemerintah daerah mencari sumber-sumber pembiayaan lain untuk pelaksanaannya yang didukung oleh perangkat peraturan Perundang-undangan Daerah yang berkenaan dengan hal dimaksud, terutama yang berkenaan dengan kerjasama dengan pihak ketiga, sehingga dapat mencapai hasil yang optimal, baik dari segi pemanfaatan aset maupun pemasukan terhadap pendapatan daerah."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T19864
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aderia Rintani
"ABSTRAK
Implementasi kebijakan kerja sama pelayanan darah (Quickwins) merupakan strategi
pemerintah menyelesaikan masalah tingginya kematian ibu dan terbatasnya ketersediaan
darah di Indonesia. Sejak diimplementasikan tahun 2015, masih terdapat kesenjangan
implementasi antar kabupaten/kota di Banten. Tesis ini membahas bagaimana dan apa yang
terjadi dalam implementasi kebijakan kerja sama pelayanan darah di Provinsi Banten Tahun
2018 ditinjau dari kemampuan petunjuk teknis dalam Permenkes no 92 tahun 2015
menstrukturisasi proses implementasi, mudah-sulitnya masalah teknis untuk dikendalikan,
lingkungan eksternal kebijakan, faktor pendukung dan penghambat implementasi.
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif menggunakan metode wawancara mendalam,
diskusi kelompok terarah dan telaah dokumen. Kriteria informan penelitian adalah unsur
pimpinan dan petugas pengelola kebijakan yang ada di Kementerian Kesehatan, Dinas
Kesehatan Provinsi Banten, Dinas Kesehatan Kota Cilegon, Puskesmas, UTD, dan RS.
Hasil penelitian menemukan bahwa hanya 1 dari 8 kabupaten/ kota di Banten yaitu Cilegon
yang memiliki nota kesepahaman (MoU) sesuai Permenkes No 92 Tahun 2015. Hal ini
karena belum dipahaminya urgensi nota kesepahaman oleh implementor, dan ada benturan
kepentingan dengan kebijakan lain. Hambatan teknis implementasi adalah kompleksitas
struktur implementor, anggaran untuk rekrutmen donor, mispersepsi di masyarakat, dan
kesulitan koordinasi akibat fragmentasi organisasi. Dari hasil disimpulkan bahwa ada
modifikasi dalam implementasi kebijakan kerja sama pelayanan darah di Provinsi Banten
menyesuaikan dengan kondisi dan kapasitas masing-masing kabupaten/kota. Perlu
dilakukan monitoring terhadap seberapa jauh modifikasi yang dilakukan, seberapa besar
efektivitasnya dan ada tidaknya penyimpangan dari tujuan. Implementasi kebijakan kerja
sama pelayanan darah perlu didukung dengan penguatan sistem rujukan dan pelayanan
kesehatan ibu yang adekuat agar dapat berdampak langsung terhadap penurunan AKI.

ABSTRACT
The policy implementation on blood service cooperation (Quickwins) is a government
strategy to solve the problem of high maternal mortality and limited blood availability in
Indonesia. Since it was implemented in 2015, there are still implementation gaps between
districts / cities in Banten. This study discusses how and what happened in the
implementation of blood service cooperation policy in Banten Province in 2018 in terms of
the ability of technical instructions in Minister of Health Regulation No. 92 of 2015 to
structure the implementation process, tractability of the problems, external policy
environment, supporting factors and barriers. This research is a qualitative study using indepth
interviews, focus group discussions and document review. The criteria of the research
informants were elements of the leadership and policy management officers in the Ministry
of Health, Banten Provincial Health Office, Cilegon City Health Office, CHC, BTC, and
Hospital. The study found that only 1 out of 8 regencies / cities in Banten, namely Cilegon,
had a memorandum of understanding (MoU) in accordance with Minister of Health
Regulation No. 92 of 2015. This was because the urgency of the MoU was not yet
understood, and there were conflicts of interest with other policies. Technical barriers to
implementation are the complexity of the implementor structure, the budget for donor
recruitment, misperception in the community, and coordination difficulties due to
organizational fragmentation. The result concluded that there was a modification in the
implementation of the blood service cooperation policy in Banten Province in accordance
with the conditions and capacities of each district / city. It is necessary to monitor how far
the modifications are made, how effective and whether there is a deviation from the goal.
The implementation of a blood service cooperation policy needs to be supported by
strengthening the referral system and maternal health services.

"
2019
T53120
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retno Hadiningtyas
"Tulisan ini menganalisis dan mengidentifikasi kedudukan Bank dalam kapasitasnya sebagai pemegang Hak Tanggungan yang telah disita oleh Negara sebagai akibat dari tindak pidana korupsi dan konsekuensi hukum apabila sita pidana dikecualikan dalam Putusan Tindak Pidana Korupsi. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, yang sumbernya berasal dari hukum positif. Dalam pemberian kredit, Bank mengharuskan adanya jaminan contohnya Hak Tanggungan. Bank sebagai pemegang jaminan mempunyai kedudukan sebagai kreditur separatis, yang mempunyai hak untuk mengeksekusi jaminan dan tidak boleh ada pihak yang menghalang-halanginya. Praktiknya, apabila terdapat Putusan Tindak Pidana Korupsi yang menyatakan adanya penyitaan atas seluruh aset milik terdakwa, menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum terhadap Bank sebagai pemegang jaminan yang beritikad baik. Adanya sita pidana di atas sita jaminan, kedudukan yang didahulukan adalah sita pidana karena hukum pidana merupakan ranah hukum publik sehingga kedudukannya harus diprioritaskan demi tercapainya unsur penegakkan hukum yang adil. Konsekuensi hukum yang terjadi apabila sita pidana dikecualikan adalah pertama, aset tersebut dapat dikembalikan kepada Bank sehingga Bank dapat mengeksekusi jaminan dengan cara melakukan upaya keberatan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara Penyelesaian Keberatan Pihak Ketiga Yang beritikad Baik Terhadap Putusan Perampasan Barang Bukan Kepunyaan Terdakwa Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi yang diharapkan dapat menciptakan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi Bank, kedua apabila upaya keberatan ditolak maka penyitaan atas aset yang sudah ditetapkan oleh pengadilan dapat dijalankan, dengan kata lain penyitaan secara pidana dapat dilakukan demi pemulihan kerugian Negara.

This paper analyzes the position of the Bank in its capacity as the holder of Mortgage Rights that have been confiscated by the State as a result of corruption and the legal consequences if criminal confiscation is excluded in a Corruption Decision. This paper is prepared using the doctrinal research method, whose sources are derived from positive law. In granting credit, the Bank requires collateral, for example Mortgage Rights. The bank as a security holder has a position as a separatist creditor, which has the right to execute the security and no party may obstruct it. Practice, if there is a Corruption Verdict that states the confiscation of all assets belonging to the defendant, it causes legal uncertainty for the Bank as a good faith security holder. The existence of criminal confiscation above security confiscation, the position that takes precedence is criminal confiscation because criminal law is the realm of public law so that its position must be prioritized in order to achieve elements of fair law enforcement. The legal consequences that occur when criminal confiscation is excluded are first, the asset can be returned to the Bank so that the Bank can execute the guarantee by making an objection as stated in Supreme Court Regulation Number 2 of 2022 concerning Procedures for Settling Objections from Third Parties in Good Faith to Decisions on the Forfeiture of Goods Not Belonging to the Defendant in Corruption Cases which are expected to create legal certainty and legal protection for the Bank, second, if the objection is rejected then the confiscation of assets that have been determined by the court can be carried out, in other words, criminal confiscation shall be carried out for the recovery of State losses."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>