Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 50938 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Caisa Aamuliadiga
"Konflik hukum kekayaan intelektual dengan hukum persaingan usaha dapat terjadi ketika pemegang hak kekayaan intelektual melakukan penolakan memberikan lisensi (refusal to license). Banyak perkara berkaitan dengan penolakan pemberian lisensi dibawa ke pengadilan di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Di Indonesia, hal ini secara tidak langsung diatur di dalam Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999 dan dijelaskan di dalam Peraturan KPPU No. 2 Tahun 2009. Penolakan pemberian lisensi menurut Peraturan KPPU tersebut hanya dapat diuji terhadap essential facilities. Padahal, disrupsi pasar tidak hanya terjadi pada fasilitas penting. Di sisi lain, Indonesia hanya memiliki satu perkara yang bisa dikaitkan dengan refusal to license, yaitu putusan KPPU Nomor 03/KPPU-L/2008. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini membahas apakah penolakan pemberian lisensi kekayaan intelektual dikecualikan menurut hukum persaingan usaha, bagaimana Amerika Serikat dan Uni Eropa mengatur penolakan pemberian lisensi, dan bagaimana analisis perjanjian lisensi dalam putusan KPPU a quo. Penelitian ini merupakan yuridis-normatif yang dilakukan terhadap peraturan, putusan, dan literatur terkait. Pengumpulan data dilakukan melalui studi kepustakaan. Hasilnya, penolakan pemberian lisensi di Indonesia dikecualikan hanya terhadap fasilitas penting. Hal yang sama juga terjadi di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Sementara itu, putusan a quo tidak melihat perjanjian tunggal sebagai pelanggaran hukum persaingan usaha dan hanya menyoroti proses perolehan lisensi. Sebagai saran atas temuan tersebut, hendaknya pengaturan refusal to license diatur secara tegas di dalam undang-undang. Hal ini juga perlu dilakukan di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Berkaitan proses perolehan lisensi dalam Putusan a quo, hendaknya KPPU mengatur secara tertulis agar terdapat kepastian hukum.

Conflict between intellectual property law and competition law arise while IP right holder refuse to license. Many cases pertaining to refusal to license were sent to court in United States and European Union. In Indonesia, this is implicitly regulated under Article 50 letter b of Law Number 5 of 1999 and detailed in KPPU Regulation Number 2 of 2009. According to the KPPU Regulation, refusal to license is only examined to essential facilities. Meanwhile, market disruption does not only happen to essential facilities. On the other hand, Indonesia only has one case related to refusal to license, that is KPPU decision Number 03/KPPU-L/2008. Hence, this research will discuss whether refusal to licen is exempted by competition law, how United States and European Union regulated refusal to license, and the analysist of license agreement in te decision. This is yuridical-normative reseach examining regulation, decisions and related literature. Data collection is done through library research. As result, refusal to license in Indonesia is exempted to essential facilites. The same thing can be seen in United States and
European Union. The decision does not see the license agreement as violation of competition law and only examine the license process. As suggestion, it is better to clearly regulate refusal to license in legislation. This also need to be done in United State and European Union. KPPU shall regulate competitive criteria in written law to achieve legal certainty"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dhimas Widyananda
"Munculnya kebijakan sertifikasi pusat perbelanjaan berbasis Kekayaan Intelektual (KI) oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) merupakan salah satu alasan utama dilakukannya penelitian ini. Secara sederhana, Hak kekayaan intelektual (HKI) dapat dimaknai sebagai suatu hak yang diberikan kepada individu atau organisasi atas ciptaan mereka. Hak ini memberi pemiliknya hak eksklusif untuk menggunakan, memproduksi, dan menjual ciptaan mereka untuk jangka waktu tertentu, serta melindungi ciptaan mereka dari penggunaan atau peniruan tanpa izin. Banyaknya pelanggaran atas KI, terutama Hak Cipta dan Merek, menunjukkan terdapat suatu urgensi yang harus disikapi secara tegas. Berdasarkan data, pelanggaran atas hak cipta dan merek sangat marak terjadi di pusat perbelanjaan. Dampak dari pelanggaran tersebut memberikan kerugian secara ekonomi, baik untuk pemegang hak eksklusif maupun negara. Adanya kebijakan sertifikasi yang diusung oleh DJKI tentu menjadi suatu terobosan yang sangat baik. DJKI tentu memiliki peran yang sangat krusial dalam proses penerapan kebijakan ini, baik dalam tahapan proses sertifikasi maupun pengawasan. Adapun Manfaat dari eksistensi kebijakan ini, diharapkan dapat memberikan kepastian hukum dan memberantas pelanggaran-pelanggaran HKI yang ada. Akan tetapi pada realitas penerapannya, masih banyak ditemukan pusat perbelanjaan yang memperjualbelikan barang yang melanggar ketentuan Hak Kekayaan Intelektual. Dalam proses penelitian, penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum secara doktrinal, yaitu metode penelitian dengan mengacu pada analisis teori hukum dan doktrin hukum yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih diperlukan suatu tindakan yang lebih represif untuk memberantas permasalahan hukum kekayaan intelektual. DKJI diharapkan dapat membentuk tim satuan khusus yang bekerja sama dengan instansi pain untuk menegakkan kebijakan ini secara masif.

The introduction of the shopping center certification policy based on Intellectual Property (IP) by the Directorate General of Intellectual Property (DGIP) is one of the primary reasons for conducting this research. Intellectual Property Rights (IPR) can be simply understood as rights granted to individuals or organizations over their creations. These rights give owners exclusive rights to use, produce, and sell their creations for a specific period, as well as protect them from unauthorized use or imitation. The prevalence of IP violations, especially in Copyrights and Trademarks, indicates a pressing urgency that must be addressed firmly. According to data, violations of copyright and trademark rights are rampant in shopping centers. The economic impact of these violations results in losses for both the exclusive rights holders and the nation. The implementation of the certification policy proposed by DGIP represents a significant breakthrough. DGIP plays a crucial role in the implementation of this policy, both in the certification process and in supervision. The benefits of this policy aim to provide legal certainty and eradicate existing IPR violations. However, in reality, many shopping centers are found to trade goods that violate Intellectual Property Rights regulations. In the research process, a doctrinal legal research method was utilized, which involves analyzing legal theories and legal doctrines. The research findings indicate that more stringent measures are still needed to address intellectual property law issues. DGIP is expected to establish a specialized unit in collaboration with relevant agencies to enforce this policy comprehensively."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tasyafa Aleysa Taufik
"Pesatnya perkembangan ekonomi kreatif di Indonesia berbanding lurus dengan kebutuhan para pelaku ekonomi kreatif untuk mendapatkan pembiayaan untuk menyokong keberlangsungan usahanya. Mendapatkan akses terhadap kredit perbankan merupakan hal yang penting agar dapat mencapai optimalisasi potensi dari pengembangan ekonomi kreatif melalui skema agunan berbasis kekayaan intelektual melalui jaminan fidusia. Pemerintah Indonesia telah mengakomodasi kebutuhan ini melalui lahirnya UU No. 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif serta peraturan pelaksanaannya pada PP No. 24 Tahun 2022. Agar skema tersebut dapat terlaksana secara efektif pada saat PP No. 24 Tahun 2022 berlaku pada Juli 2023, masih diperlukannya kejelasan terkait dengan penilaian agunan kekayaan intelektual, ketersediaan pasar sekunder, serta ketersediaan pihak penilai. Berangkat dari latar belakang tersebut, dilakukannya penelitian dengan rumusan masalah terkait dengan bagaimana pengaturan pemberian kredit bank bagi pelaku ekonomi kreatif serta bagaimana perlindungan hukum bagi bank terhadap pemberian kredit yang menggunakan kekayaan intelektual sebagai objek jaminan fidusia. Adapun tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui aturan serta analisis terkait dengan perlindungan hukum bagi bank yang memberikan kredit dengan jaminan atau agunan kekayaan intelektual. Penelitian ini dilakukan secara yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang didukung dengan wawancara. Berdasarkan penelitian ini, masih dibutuhkan adanya pengaturan serta regulasi terkait diterimanya agunan dalam bentuk kekayaan intelektual. Sehingga, pembentukan peraturan dari lembaga pengawas sektor keuangan sebagai serta peraturan pendukung dari dunia perbankan harus segera diakselerasi penyusunannya agar dapat menjadikan pembiayaan berbasis kekayaan intelektual terkhusus melalui pemberian kredit di Indonesia dapat terlaksana.

The demand for funding by creative economy promoter to finance their ongoing operations is strongly correlated with the rapid growth of the creative industry in Indonesia. Having access to credit banking is crucial to maximizing the creative economy's potential for growth through a fiduciary guarantee-based scheme for intellectual property-based collateral. With the introduction of Law No. 24 Year 2019 concerning the Creative Economy and its implementing rules in Government Regulation No. 24 of 2022, the Indonesian government has met this demand. Government Regulation No. 24 of 2022 must still be fully implemented by July 2023 in order for the system to function as intended in terms of intellectual property judgment, secondary market accessibility, and appraiser accessibility. In order for the scheme to be implemented effectively at the time of Government Regulation No. 24 of 2022 comes into effect in July 2023, it is still fully required related to intellectual property judgment, secondary market availability, and the availability of appraisers. Departing from this background, research was conducted with the formulation of issues, which is in terms of what is the regulation that regulates bank lending to creative economy promoter and how to provide legal protection for banks against granting credit that uses intellectual property as an object of fiduciary guarantees. The objective of this research is to comprehend the rules and analysis related to legal protection for banks that provide credit with guarantees or intellectual property guarantees. With the aid of interviews and secondary data, this study was done as juridical-normative research. According to this research, protocols and rules governing the acceptance of collateral in the form of intellectual property are still necessary. In order for Indonesia to be able to finance intellectual property, particularly through the provision of credit, it is necessary to hasten the creation of laws from agencies responsible for the financial sector as well as supporting regulations from the banking industry."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Tjokro
"Seiring dengan berkembang pesatnya perekonomian global, akuisisi menjadi salah satu langkah yang banyak dilakukan oleh pelaku usaha untuk mengembangkan usahanya. Penelitian ini membahas pengaturan akuisisi dalam hukum persaingan usaha Indonesia dan Singapura, serta membahas pengaturan PP No. 57 Tahun 2010 yang dinilai sudah tidak sejalan dengan keadaan yang ada saat ini. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan membandingkan perundang-undangan yang terkait di Singapura. Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa hingga saat ini pengaturan akuisisi dalam hukum persaingan usaha di Indonesia masih tidak efektif dan menimbulkan beberapa permasalahan dalam dunia usaha.

As global economic growth rapidly develops, acquisition has become a common thing for entrepreneurs who seek to develop their business. This research aims to give detailed explanations about the regulations of acquisition in Competition Law in Indonesia and Singapore, while also explaining PP No. 57 Tahun 2010, which is considered not compatible anymore in the current circumstances. This research uses the juridical normative method, by comparing the regulations which are applied in Singapore. Based on this research, it can be concluded that the regulations of acquisition in Competition Law of Indonesia are still ineffective and have caused several problems in the business world.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elva Monica Hubertina
"Tesis ini membahas pengalihan hak atas tanah yang merupakan harta bersama tanpa persetujuan dari pasangan. Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan mewajibkan pasangan suami istri yang hendak bertindak atas harta bersama harus mendapatkan persetujuan dari kedua belah pihak. Adapun permasalahan yang diangkat dalam tesis ini adalah pengalihan hak terhadap objek harta bersama yang dibuat oleh PPAT tanpa adanya persetujuan pasangan suami istri terhadap pihak ketiga. Permasalahan berikutnya adalah tanggung jawab PPAT atas jual beli tersebut. Penelitian ini menggunakan metode yang berbentuk Yuridis normatif dengan melakukan studi dokumen atas data sekunder. Analisis menggunakan pendekatan kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah dalam pengalihan hak atas tanah yang merupakan harta bersama tanpa persetujuan pasangan melalui akta jual beli yang dibuat oleh PPAT tidaklah sah karena tidak memenuhi syarat sahnya akta jual beli. Dengan tetap dibuatkannya akta jual beli tersebut terjadilah perbuatan melawan hukum sehingga akta tersebut batal demi hukum. Pembeli yang beritikad baik dalam melakukan jual beli harus dilindungi oleh hukum, PPAT harus mempertanggungjawabkan secara perdata dan administratif guna memberikan efek jera bagi PPAT karena jabatan PPAT merupakan jabatan kepercayaan sebagai perpanjangan tangan dari Badan Pertanahan Nasional

This thesis discusses the transfer of rights to land which is joint property without the consent of the spouse. Article 36 paragraph (1) of the Marriage Law requires that a married couple wishing to act on joint assets must obtain the consent of both parties. The problem raised in this thesis is the transfer of rights to objects of joint property made by Land Deed Official without the husband and wife's consent to a third party. The next problem is Land Deed Official's responsibility for the sale and purchase. This research uses a normative juridical method by conducting document studies on secondary data. The analysis uses a qualitative approach. The result of this research is in the transfer of rights to land which is a joint property without the partner's consent through a sale and purchase deed made by illegitimate because it does not meet the valid requirements of the sale and purchase deed. With the sale and purchase deed still being made, there is an act against the law so that the deed is null and void. Buyers who have good intentions in buying and selling must be protected by law, Land Deed Official must be accountable civil and administratively to provide a deterrent effect for Land Deed Official because the position of Land Deed Official is a position of trust as an extension of the National Land Agency
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Riansyah Putra
"Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) merupakan salah satu fasilitas kredit yang disediakan bank. Di dalam program KPA terdapat 3 (tiga) pihak yang terlibat yaitu konsumen (debitur), pengembang, dan bank sebagai kreditur. Didalam perjanjian kerjasama antara pengembang dengan bank, dimasukkan klausul buy back guarantee dari pengembang untuk menjamin terpenuhinya pembayaran hutang konsumen. Dari uraian tersebut, rumusan masalah yang dibahas dalam tesis ini adalah bagaimanakah pengaturan mengenai perjanjian Buy back guarantee ditinjau dari hukum jaminan di Indonesia dan bagaimanakah penerapan kalusul Buy back guarantee dalam perjanjian kerjasama antara bank dengan pengembang dalam rangka pembiayaan KPA. Untuk menjawab permasalahan tersebut, Penulis menggunakan bentuk penelitian yuridis normatif dengan tipologi penelitian bersifat deskriptif, Data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari kepustakaan yang digolongkan kedalam Sumber Primer, Sumber Sekunder, dan Sumber Tertier.
Dengan menggunakan metode penelitian tersebut penulis mengambil kesimpulan bahwa buy back guarantee belum diatur secara tegas dalam peraturan perundang undangan di Indonesia, dengan terpenuhinya unsur-unsur penanggungan dalam Pasal 1820 KUHPerdata buy back guarantee dapat dikatakan sebagai perjanjian penanggungan. Namun, buy back guarantee kurang memberikan kepastian hukum bagi kreditur dikarenakan tidak mempunyai kekuatan eksekutorial layaknya jaminan kebendaan. Dengan semikian saran yang dapat disampaikan adalah, Sebaiknya peraturan ataupun petunjuk tentang Buy Back Guarantee dibuat secara khusus, di mana hal ini diperlukan agar penerapan Buy Back Guarantee dapat terlaksana dengan baik.

Credit apartment ownership is one of credit facility provided by banks.In the program Credit apartment ownership three parties involved that consumers ( debtors ), developers, and bank as creditors. In continuation of the cooperation between the developer with a bank, a clause inserted it would buy back a guarantee from the developer to ensure their need for payment of a debt consumers. From the explanation is, the formulation problems discussed in the this is how setting commitment shares guarantee in terms of insurance law in indonesia and how the application of kalusul shares guarantee in agreement cooperation between bank and during to finance kpa. To answer these problems, the use writers the form of juridical research normative with research typologies descriptive in nature, the data used is taken from secondary data obtained from literature available were classified as into a source of primary, secondary sources, and source of tertier.
Using the methodology the writers draw conclusions that shares guarantee not clearly regulated in legislation in indonesia, with the fulfillment in article 1820 kuhperdata shares guarantee could be described as a treaty. But, shares guarantee do not take legal certainty for creditors because not have power eksekutorial like insurance. Thus advice that can be conveyed is, regulation or a clue about should it would buy back a guarantee made specifically, in which this is necessary it would buy back a guarantee that the implementation of the come to fruition.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T51250
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tomy Zulfikar
"Permintaan KPR menunjukkan perlambatan. Begitu juga, penjualan properti reidensial menunjukkan perlambatan. Seperti diketahui, mayoritas konsumen membeli properti residensial dibiayai oleh KPR. Melalui kebijakan LTV, Bank Indonesia ingin menstimulasi permintaan KPR dan juga penjualan properti residensial demi mendorong pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Pertanyaan apakah perubahan rasio LTV dapat mempengaruhi permintaan KPR dan apakah ada faktor lain yang mempengaruhi permintaan KPR. Penelitian ini melihat pertanyaan tersebut dengan mempertimbangkan bagaimana dampaknya di provinsi berpendapatan menengah-bawah dan menengah-atas.

Demand for mortgage finance showed a slowdown. And also, property residential sales showed a slowdown. As is well known, the most consumers buy property residential is fiananced by mortgage finance. Through LTV policy, Bank of Indonesia want to stimulate demand for mortgage finance and also property residential sales in order to could boost economic growth sustainably. A question whether changes in LTV ratio could boost economic growth sustainably and whether there are the other factors which are affecting demand for mortgage finance. This article sees the question by considering what the impacts are in both lower-middle income and higher-middle income provinces. By regressing statistical model Fixed Effect Model (FEM) and Random Effect Model (REM), the result shows that LTV policy is affecting positively towards demand for mortgage finance, particularly lower-middle income provinces. When LTV ratio increased, demand for mortgage finance in lower-middle income provinces is higher than demand for mortgage finance in higher-middle income provinces. Moreover, mortgage finance reflects normal good for higher-middle income provinces while reflects inferior good for lower-middle income provinces. On the other hand, higher mortgage interest lowers demand for mortgage finance, particularly in lower-middle income provinces."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, David
"Masalah Hak Atas Kekayaan Intelektual (HaKI) di Indonesia tidak hanya menyangkut tentang pemahaman masyarakat yang belum memadai, namun juga penegakan hukum yang dirasa masih lemah. Pelanggaran HaKI seperti pembajakan, pemalsuan, peniruan, pengakuan terhadap beragam hasil karya cipta milik orang lain atau institusi lain sering diidentinkkan dengan perilaku kriminal karena adanya kerugian secara ekonomi, padahal pelanggaranpelanggaran tersebut hanyalah sebagian saja dari fenomena HaKI yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan. Skripsi ini membahas mengenai penerapan aspek hukum oleh penyidik Polri dalam penanganan kasus tindak pidana di bidang merek, dan skripsi ini mengambil suatu studi kasus yaitu kasus Merek Bell 999 dan Prima Bell. Tindak pidana yang dibahas dalam skripsi ini merupakan tindak pidana tanpa hak menggunakan Merek Bell 999 dan Prima Bell 999 yang sama pada pokoknya dengan merek terdaftar milik Bambang Santoso dengan merek Bell + lukisan dan Super Bell + lukisan untuk barang dan atau jasa sejenis yang diproduksi dan atau diperdagangkan dengan tersangka : HAJI HERRY DJUWASA, yang dimana telah melanggar ketentuan sebagaimana diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 91 UU No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek. Penulisan Skripsi ini menyarankan kepada Pimpinan Polri, hendaknya melakukan kebijakan dalam memberikan petunjuk yang jelas kepada setiap penyidik Polri dalam menerima laporan polisi terutama yang berhubungan dengan tindak pidana dibidang merek, agar tidak bertentangan dengan Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2009 Tentang Pengawasan dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana di Lingkungan Kepolisian Negara RI, sehingga proses penyidikan tindak pidana merek dapat berjalan sesuai dengan ketentuan.

Problem of Intellectual Property Rights in Indonesia is not only connected with the lack of people?s understanding, but also the law enforcement. Breaking the rules of Intellectual Property Rights like piracy, counterfeit products, copying and claiming of other people?s or organization?s Property Rights usually identify as a crime because of the financial loss. On the other hand those crimes are only few of Intellectual Property Rights Phenomenon that become a current topic. This Undergraduate Thesis examines about The Law Implementation By POLRI Investigator in Trademark Crime Case Handling capturing the case study : Bell 999 and Prima Bell. The suspect, HAJI HERRY DJUWASA was using the same brand without right - Bell 999 and Prima Bell 999 - while the original brand is Bell + lukisan and Super Bell + lukisan owned by Bambang Santoso. The suspect was breaking the Regulation of Article 91 Law of Republic of Indonesia Number 15 Year 2001 Regarding Marks. This Undergraduate Thesis suggests that The Chief of POLRI to make specific regulation for POLRI Investigator to handle Trademark Crime. Therefore the investigator won't face the wrong way to handle the Trademark Crime having the reality that the Regulation of KAPOLRI Number 12 Year 2009 is not alligned with the Trademarks Regulation.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S271
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Figra Ardham
"ABSTRAK
Prinsip-prinsip perlindungan benda budaya pada masa konflik bersenjata merupakan
prinsip-prinsip lama yang telah dikodifikasikan dalam berbagai ketentuan hukum
perang dan hukum humaniter internasional yang saat ini berlaku seperti Convention
(IV) respecting to the Laws and Customs of War on Land 1907 dan The Hague
Convention for the Protection of the Cultural Property in the Event of Armed Conflict
1954. Prinsip-prinsip yang tercantum dalam ketentuan-ketentuan hukum tersebut
diaplkasikan dalam berbagai lembaga-lembaga peradilan internasional seperti The
International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia.(ICTY) Salah satu kasus
yang ditangani ICTY adalah kasus Jadranko Prlic et al yang berkaitan dengan
penghancuran benda budaya Stari Most di Mostar, Bosnia-Herzegovina.

ABSTRACT
The principles of the protection of cultural property during armed conflict is an
old principles that have been codified in various provisions of the laws of war and
international humanitarian law currently in force such as the Convention (IV)
respecting to the Laws and Customs of War on Land in 1907 and The Hague
Convention for the Protection of the Cultural Property in the Event of Armed
Conflict, 1954. The principles set forth in the provisions of the law in various
international judicial institutions such as the International Criminal Tribunal for
the Former Yugoslavia (ICTY). One of the cases handled by the ICTY is Jadranko
Prlic et al case relating to the destruction of cultural property Stari Most in
Mostar, Bosnia-Herzegovina."
2015
S58144
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yulia Faradhyta Dewi
"ABSTRAK
Persetujuan dari salah satu pihak dalam melakukan pengalihan harta bersama merupakan hal yang wajib dilakukan. Hal ini sudah diatur dalam Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Jika ditafsirkan secara a contrario Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan, melarang pengalihan harta bersama tanpa persetujuan dari pasangan suami/istri. Penelitian ini mengambil studi kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 463 PK/Pdt/2017. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah keabsahan peralihan hak dan peran PPAT terhadap harta bersama perkawinan dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 463 PK/Pdt/2017 dan kedudukan para pihak dalam memberikan persetujuan pengalihan harta bersama dalam Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 463 PK/Pdt/2017. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan menggunakan data sekunder. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah keabsahan peralihan hak milik terhadap harta bersama milik Tuan GOS dan Nyonya S yang dilakukan tanpa adanya persetujuan dari Nyonya S adalah tidak sah. Hal ini telah melanggar ketentuan dari Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan serta melanggar pula syarat sah perjanjian yaitu sepakat dan sebab yang halal yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Akibatnya perjanjian tersebut dapat dibatalkan atau batal demi hukum. Peran PPAT terhadap harta bersama adalah membuat alas hak terkait harta yang dialihkan yaitu membuat akta jual beli. Kedudukan para pihak dalam memberikan persetujuan pengalihan harta bersama dalam putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 463 Pk/Pdt/2017 sangat penting sebagaimana telah diatur dalam pasal 36 Undang-Undang Perkawinan.

ABSTRACT
The consent of one party to the transfer of community property is obligatory. This has been regulated in Article 36 Paragraph 1 Law number 1 of 1974 on marriage. If interpreted in a contrario Article 36 Marriage Act, transfer community property without the consent of the husband wife are prohibits. This research takes a case study of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 463 PK Pdt 2017. The formulation of the problem of this study is the validity of the transfer of rights and the role of PPAT on the property of the marriage in the Supreme Court Decision No. 463 PK Pdt 2017 and the position of the parties in granting the transfer of community property in the Supreme Court Decision No. 463 PK Pdt 2017. Research method used in this research is juridical normative by using secondary data. The conclusions in this research is the validity of the transfer of property right against join property of Mr. GOS and Mrs. S is invalid. This has violated Article 36 Paragraph 1 of the Marriage Act and also violates the validity of an agreement which is the concent and lawful cause who has been regulated in Article 1320 of The Civil Code. As a result, the agreement can be canceled or void by law. The role of PPAT on community property is to make a right of ownership related to the transfer of the property. The position of the parties in giving the consent of the transfer against community property in the decision of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 463 Pk Pdt 2017 is very important as has been regulated in Article 36 Paragraph 1 of The Marriage Act. "
2018
T51047
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>