Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 123822 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Laksmi Senja Agusta
"Latar belakang. Pada pasien yang menjalani pembedahan, penilaian volume intravaskular sangat penting dan prediksi respons terhadap pemberian cairan seringkali tidak mudah. Terdapat peningkatan signifikan resiko morbiditas dan mortalitas pascaoperasi pada pemberian cairan yang restriktif dan liberal. Evaluasi indeks distensibilitas vena jugularis interna merupakan alternatif untuk menentukan status volume intravaskular karena kemudahan akses dan visualisasi dengan ultrasonografi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian metode pengukuran indeks distensibilitas vena jugularis interna dengan pengukuran isi sekuncup dengan ekokardiografi Doppler transtorakal dalam penilaian respons terhadap pemberian cairan pada pasien pembedahan elektif.
Metode. Penelitian ini merupakan uji diagnostik dengan rancangan penelitian potong lintang dan melibatkan 79 subyek yang menjalani pembedahan elektif di RSCM dengan anestesia umum. Pascainduksi anestesia, pengukuran indeks distensibilitas vena jugularis interna dan isi sekuncup dengan ekokardiografi transtorakal dilakukan sebelum dan sesudah pemberian cairan. Subyek yang mengalami peningkatan isi sekuncup lebih dari 10% dikategorikan sebagai responder. Data kemudian dianalisis untuk menilai kesesuaian variabel dalam prediksi respons terhadap pemberian cairan.
Hasil. Sebanyak 45 subyek (57%) merupakan responder. Berdasarkan analisis kurva ROC indeks distensibilitas vena jugularis interna terhadap respons pemberian cairan, nilai AUC didapatkan sebesar 0,871 (95% CI: 0,790–0,951). Nilai ambang batas optimal didapatkan pada nilai indeks distensibilitas >12,62% dengan sensitivitas 84,4% dan spesifisitas 79,4%.
Simpulan. Metode pengukuran indeks distensibilitas vena jugularis interna memiliki kesesuaian dengan pengukuran isi sekuncup melalui ekokardiografi Doppler transtorakal dalam penilaian respons terhadap pemberian cairan pada pasien pembedahan elektif.

Background. In patients undergoing surgery, the assessment of intravascular volume is crucial, and predicting fluid responsiveness is often uneasy. There is a significant increase in postoperative morbidity and mortality risks associated with both restrictive and liberal fluid administration. Evaluating the internal jugular vein distensibility index is an alternative method to determine intravascular volume status due to its ease of access and visualization using ultrasonography. This study aims to determine the correlation between the measurement of the internal jugular vein distensibility index and the measurement of stroke volume using transthoracic Doppler echocardiography in assessing fluid responsiveness of patients undergoing elective surgery.
Methods. This study is a diagnostic test with a cross-sectional design involving 79 subjects undergoing elective surgery under general anesthesia at RSCM. After anesthesia induction, measurements of the internal jugular vein distensibility index and stroke volume using transthoracic echocardiography were performed before and after fluid administration. Subjects experiencing an increase in stroke volume of more than 10% were categorized as responders. The data were then analyzed to assess the suitability of variables in predicting fluid responsiveness.
Results. A total of 45 subjects (57%) were responders. Based on the ROC curve analysis of the internal jugular vein distensibility index in relation to fluid responsiveness, an AUC value of 0.871 (95% CI: 0.790–0.951) was obtained. The optimal cut-off value was found at an internal jugular vein distensibility index >12.62% with a sensitivity of 84.4% and specificity of 79.4%.
Conclusion. Internal jugular vein distensibility index correlates with the measurement of stroke volume using transthoracic Doppler echocardiography in assessing fluid responsiveness in elective surgery patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Choirul Anam
"

Syok pada anak masih menjadi masalah utama karena mortalitas yang tinggi. Penilaian respons terhadap resusitasi cairan dapat menggunakan parameter klinis dan parameter hemodinamik invasif maupun non-invasif. Modalitas ultrasound cardiac output monitor (USCOM) pada populasi anak dengan syok memiliki korelasi yang baik dengan baku emas parameter hemodinamik invasif, tetapi memiliki beberapa keterbatasan. Modalitas lain yang semakin berkembang yaitu menggunakan point of care ultrasound (POCUS), dengan salah satu penilaian yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan indeks kolapsibilitas vena jugularis interna (IKVJI). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara stroke volume dengan IKVJI dalam menilai respons resusitasi cairan pada anak syok. Penelitian ini menggunakan desain observasional analitik, dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Maret hingga Juni 2024. Subyek penelitian adalah anak usia 1 bulan hingga 18 tahun yang mengalami syok yang memenuhi kriteria inklusi. Parameter klinis, penilaian stroke volume dengan USCOM dan IKVJI dinilai sebelum dan sesudah resusitasi cairan. Berdasarkan analisis studi didapatkan 47 subyek sampel penelitian, 27 orang perempuan (57,4%), dengan median usia 82,9 (4,0–212,0) bulan. Status gizi, terbanyak adalah gizi baik (42,6%). Diagnosis terbanyak adalah syok hipovolemik (74,5%) diikuti syok sepsis (25,5%). Sebanyak 2 pasien meninggal dalam 24 jam pertama.  Pemantuan post-resusitasi cairan menunjukkan perbaikan laju nadi, tekanan darah, dan mean arterial pressure (p<0,0001), peningkatan nilai stroke volume (p<0,0001), dan perubahan nilai IKVJI (p<0,0001). Korelasi delta stroke volume dan delta IKVJI adalah negatif lemah (r=-0,309, p=0,035). Korelasi MAP dan IKVJI juga negatif lemah  (r=-0,359, p=0,013).


Shock in children is still a major problem due to high mortality. Assessment of the response to fluid resuscitation can be done using clinical and hemodynamic parameters through invasive and non-invasive tools. The ultrasound cardiac output monitor (USCOM) among children with shock has a good correlation with the gold standard of invasive hemodynamic parameters but has some limitations. Another commonly used modality is point-of-care ultrasound (POCUS), with one of the assessments being the examination of the internal jugular vein collapsibility index (IJV-CI). The aim of this study is to determine the correlation between stroke volume and IJV-CI changes in order to assess fluid responsiveness in children with shock. Between March and June 2024, an analytical observational study was undertaken in the emergency department and pediatric intensive care unit of a tertiary referral hospital. The study subjects were children aged 1 month to 18 years who experienced shock and met the inclusion criteria. A thorough history taking, physical examination, and stroke volume assessment using the Ultrasonic Cardiac Output Monitor, and IJV-CI utilizing ultrasound before and after fluid resuscitation were conducted. This study included 47 subjects, of which there were 27 females (57.4%), with a median age of 82.9 (4.0–212.0) months. For nutritional status, most were normal (42.6%). The most common diagnosis was hypovolemic shock (74.5%) followed by septic shock (25.5%). Mortality in the first 24 hours was 2 patients. After fluid resuscitation, there was an improvement in pulse rate, blood pressure, and mean arterial pressure (p<0.0001), as well as increased stroke volume post fluid resuscitation (p<0.0001) and changes in IJV-CI post fluid resuscitation (p<0.0001). The correlation between stroke volume delta and IJV-CI delta was negative and weak (r=-0.309, p=0.035). The correlation between IJV-CI and MAP was also negative and weak (r=-0.359, p=0.013).

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yislam Aljaidi
"Penyakit jantung koroner (PJK) masih menjadi penyebab utama kematian, dan hasilnya masih belum memuaskan pada kelompok pasien yang berisiko tinggi. Tindakan intervensi pada arteri koroner left main (LM) dengan strategi provisional stenting adalah salah satu skenario yang menantang dalam menangani lesi bifurkasio kompleks ini. Intervensi koroner perkutan (IKP) dengan panduan ultrasonografi intravaskular (IVUS) telah terbukti memberikan hasil klinis yang lebih unggul dibandingkan dengan IKP dengan angiografi saja. Namun, data-data penelitian sebelumnya yang tersedia tidak adekuat dalam membahas keuntungan IVUS untuk pasien dengan lesi bifurkasio left main – left anterior descending (LM-LAD) kompleks yang menjalani IKP dengan pendekatan provisional stenting. Penelitian kohort retrospektif observasional ini dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita (PJNHK) Jakarta pada periode pengamatan Januari 2017 - Desember 2022, dengan didapatkan total sampel berjumlah 178 orang. Analisa statistik dilakukan untuk melihat perbedaan kelompok antara grup IVUS vs Angiografi pada pasien-pasien PJK dengan lesi LM-LAD yang dilakukan provisional stenting, terutama terhadap luaran klinisnya berupa KKM, serta analisa faktor-faktor yang berpengaruh terhadap KKM dari kedua kelompok. Dari 178 pasien yang menjalani IKP provisional stenting dengan mayoritas diagnosa pre-tindakan berupa chronic coronary syndrome (CCS) berjumlah 155 orang (86.6%), hanya didapatkan 27 orang (15.1%) yang mengalami luaran KKM tanpa adanya perbedaan signifikan antara kedua grup IVUS vs angiogafi saja (16.1% vs 14.1%, p = 0.714). Angka tindakan IKP provisional stenting didapatkan cukup berimbang antara grup IVUS vs Angiografi (48.6% vs 51.4%) selama periode pengamatan penelitian. Dari semua variabel faktor resiko yang diteliti, hanya variabel diabetes melitus (DM) yang memiliki pengaruh signifikan secara independen terhadap kejadian KKM (p = 0.016, OR 3.44, 95% CI 1.55-7.62) pada kedua grup. Dengan kesimpulan Tidak terdapat perbedaan signifikan untuk luaran klinis KKM antara ultrasonografi intravaskular dan angiografi pada pasien yang menjalani intervensi koroner perkutan (IKP) dengan provisional stenting pada lesi arteri koroner LM-LAD.

Coronary artery disease still represents the leading cause of mortality, with the outcome still unsatisfactory in high-risk subsets of patients. Percutaneous treatment of the left main coronary artery with provisional stenting strategy is one of the most challenging scenarios in interventional cardiology for treating this complex bifurcation lesion. Intravascular ultrasound-guided percutaneous coronary intervention (PCI) has been shown to result in superior clinical outcomes compared with angiography- guided percutaneous coronary intervention. However, insufficient previous study data are available concerning the advantages of IVUS guidance for specific patients with complex left main – left anterior descending (LM-LAD) bifurcation lesion undergoing PCI with provisional stenting approach. This observational retrospective cohort study was conducted at the National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) in the observation period between January 2017 - December 2022, with a total sample size of 178 participants. Statistical analysis was carried out to learn group differences between the IVUS vs Angiography-guided groups in CAD patients with LM-LAD lesions who underwent provisional stenting, especially regarding clinical outcomes in MACE, as well as analysis of factors that influenced the MACE from both groups. Of the 178 patients who underwent provisional stenting PCI with the majority of pre-operative diagnosis were chronic coronary syndrome (CCS) with total of 155 participants (86.6%), only 27 participants (15.1%) experienced MACE outcomes without any significant group differences between the two groups of IVUS vs Angiography-guided (16.1 % vs 14.1%, p = 0.714). There was quite balanced between the IVUS vs angiography-guided groups (48.6% vs 51.4%) for PCI imaging technique approach during the observation period. From all variables of risk factor studied, only diabetes mellitus (DM) had an independent significant impact on the incidence of MACE (p = 0.016, OR 3.44, 95% CI 1.55-7.62) in both groups. There is no significant difference in outcomes of MACE between IVUS and angiography- guided ultrasonography in patients undergoing PCI with provisional stenting in LM-LAD coronary artery lesions."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Susanti
"Latar Belakang: Pasien pascabedah abdomen mayor seringkali berhubungan dengan terjadinya general increase permeability sindrom akibat kelebihan cairan selama selama durante operasi dan pada saat perawatan pascabedah. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin membuktikan apakah keseimbangan cairan kumulatif, tekanan vena sentral dan rasio albumin-kreatinin urin dapat digunakan sebagai prediktor kebocoran kapiler.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort prospektif dengan subjek penelitian adalah pasien dewasa yang menjalani tindakan bedah abdomen mayor. Dilakukan pemeriksaan keseimbangan cairan kumulatif, tekanan vena sentral, rasio albumin-kreatinin urin dan indeks kebocoran kapiler, pada saat sebelum induksi anestesi, 48 jam dan 72 jam pasca bedah.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan nilai titik potong dari indeks kebocoran kapiler 155 (AUC 0,013, sensitifitas 100% dan spesifisitas 74,50%. Analisis dengan Generalized Estimating Equations didapatkan tekanan vena sentral menujukan hubungan tidak bermakna dengan indeks kebocoran kapiler (OR 1,62 ; CI 95% = 0,92 – 2,83), sedangkan keseimbangan cairan kumulatif dan rasio albumin kreatinin urin menunjukkan hubungan yang bermakna dengan indeks kebocoran kapiler (OR = 2,561 ; CI 95% = 1,352-4,850 dan OR = 2,017 ; CI 95% = 1,086-3,749). Faktor skor SOFA terkategori sepsis juga mempunyai hubungan dengan indeks kebocoran kapiler (OR = 2,764 ; CI 95% = 1,244-6,140).
Kesimpulan: Kelebihan cairan kumulatif, rasio albumin kreatinin urin dan skor SOFA terbukti dapat digunakan untuk memprediksi kebocoran kapiler.

Background: Patients after major abdominal surgery are often associated with the occurrence of general increase in permeability syndrome due to excess fluid during surgery and during postoperative care. The purpose of this study was to prove whether cumulative fluid balance, central venous pressure and urine albumin-creatinine ratio of urine can be used as predictors of capillary leakage.
Method: This study is a prospective cohort study with research subjects as adult patients undergoing major abdominal surgery. Cumulative fluid balance, central venous pressure, urine albumin-creatinine ratio and capillary leak index were examined, before anesthesia induction, 48 hours and 72 hours postoperatively.
Result: In this study, a cut-off point from the capillary leak index ≥155 (AUC 0.013, sensitivity 100% and specificity 74.50%) was obtained. Generalized Estimating Equations analysis showed that the central venous pressure showed no significant relationship with the capillary leak index (OR 1.62; 95% CI = 0.92 - 2.83), while cumulative fluid balance and urine albumin : creatinin ratio showed a significant association with capillary leak index (OR = 2.561; 95% CI = 1.352-4.850 and OR = 2.017; 95% CI = 1,086-3,749) Sepsis categorized SOFA score factors also have a relationship with capillary leak index (OR = 2.764; 95% CI = 1,244-6,140).
Conclusion: Cumulative fluid overload, urine creatinine albumin ratio and SOFA score have been shown to predict capillary leakage."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifah Maani
"DIC ialah suatu keadaan yang timbul karena terjadinya pembekuan di dalam pembuluh darah secara luas, yang menghasilkan deposit fibrin di dalam mikrosirkulasi sehingga mengakibatkan skernik dan kerusakan organ. DIC bukan merupakan penyakit tersendiri tetapi merupakan komplikasi dan berbagai penyakit atau keadaan yang dapat mencetuskan pernbekuan darah. Pada DIC akut manifestasi kiinis yang paling sering dijumpai adalah perdarahan mulai dari yang ringan sampai berat, sehingga memerlukan penanganan yang cepat dan tepat. Untuk dapat menangani DIC dengan baik seorang klinikus perlu memahami patofisiologi DIC serta mengenali kelainan laboratorium yang sangat diperlukan untuk menegakkan diagnosis. DIC terjadi karena adanya aktivasi sistem pembekuan darah baik melalui jalur intrinsik, ekstrinsik atau langsung ke F X, protrombin atau fibrinogen. Proses pembekuan darah akan diikuti dengan proses fibrinolisis sehingga aktivitas trombin dan plasmin meningkat. Pada DIC akut terjadi keadaan dekompensasi karena kecepatan produksi trombosit dan faktor-faktor pembekuan tidak dapat mengimbangi konsumsi yang meningkat sehingga akan ditemui penurunan jumlah trombosit dan kadar fibrinogen, pemanjangan TT, PT dan APTT, DP terutama fragmen D dimer positif seta tes parakoagulasi positif. Pada DIC kronis biasanya terjadi keadaan terkompensasi atau overkompensasi sehingga hasil pemeriksaan laboratorium bervariasi, dapat sedikit menurun, normal atau meningkat. Diagnosis DIC ditegakkan berdasarkan keaadaan klinis dan kelainan laboratorium. Prinsip pengobatan DIC adalah memperbaiki keadaan umum,
mengobati atau menghilangkan penyakit dasar. Bila perlu diberikan trombosit dan faktor pembekuan hepanin dan antifibrinolitik.
Dalam, makalah ini dikemukakan lima kasus DIC pada penderita DHF derajat III dan IV dengan berbagai tingkat perdarahan dan petekia sampai hematemesis-melena. Diagnosis ditegakkan berdasarkan klinis dan laboratori Kelainan laboratorium jelas menunjukkan penurunan Jumlah trombosit dan kadar fibrinogen, Pemanjangan PT, APTT dan TT serta fragmen D dimer positif di dalam darah. Pada sediaan hapus ditemukan sel burr dan limfosit atipik pada sebagian besar kasus. Dan kelima kasus, dua meninggal kemungkinan karena perdarah yang tidak dapat diatasi.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Bayu Alfarizi
"Latar belakang: Renjatan merupakan masalah utama di ruang emergensi dan rawat intensif anak. Resusitasi cairan pada renjatan hanya memberikan repons pada 50% pasien. Pemberian cairan yang berlebih akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Indeks dinamis memiliki keterbatasan dalam memprediksi fluid responsiveness. Left Ventricular End Diastolic Volume Index (LVEDVI) belum banyak diteliti dan dapat mengatasi keterbatasan indeks dinamis.
Tujuan: Mengidentifikasi peran LVEDVI sebagai prediktor fluid responsiveness terhadap pemberian cairan resusitasi pada anak dengan renjatan.
Metode: Ini adalah penelitian uji diagnostik-potong lintang pada anak dengan renjatan di ruang emergensi dan rawat intensif anak RSUPN Cipto Mangunkusumo Juni hingga November 2018. Pengukuran LVEDVI dilakukan menggunakan USCOM dan dibandingkan dengan peningkatan isi sekuncup ≥15% setelah fluid challenge sebagai kriteria fluid responsive. Sampel dimasukkan ke dalam kelompok fluid responsive dan fluid nonresponsive.
Hasil: Dari 40 subyek penelitian, didapatkan 60 sampel fluid challenge. Terdapat 31 sampel di kelompok fluid responsive dan 29 sampel di kelompok fluid nonresponsive. Tidak terdapat perbedaan bermakna rerata LVEDVI pada kedua kelompok (p=0,161). Nilai AUROC LVEDVI 40,9% pada titik potong 68,95 mL/m2, dengan sensitivitas 45,16% dan spesifisitas 44,83%.
Simpulan: Penelitian ini tidak dapat membuktikan LVEDVI dapat berperan sebagai prediktor fluid responsiveness.

Background: Shock is a major problem in the Pediatric Emergency and Intensive Care Unit. Fluid resuscitation for shock only provides response in 50% of patients. Excessive fluid administration will increase morbidity and mortality. Dynamic indexes have limitations in predicting fluid responsiveness. Left Ventricular End Diastolic Volume Index (LVEDVI) has not been widely studied and can overcome the limitations of dynamic indexes.
Objective: To identify LVEDVI as a predictor of fluid responsiveness in children with shock.
Method: This was a cross-sectional diagnostic study in children with shock in the emergency room and pediatric intensive care unit of Cipto Mangunkusumo Hospital RSUPN from June to November 2018. The LVEDVI measurements were performed using USCOM and compared with an increase in stroke volume ≥15% after fluid challenge as fluid responsiveness criteria. Sample then categorized into fluid responsive and fluid nonresponsive group.
Results: Of 40 subjects, 60 fluid challenge samples were obtained. There were 31 samples in the fluid responsive group and 29 in the fluid nonresponsive group. There was no significant mean difference of LVEDVI in the two groups (p=0.161). The AUROC of LVEDVI is 40,9% with cut off value of 68,95mL/m2. The sensitivity and specificity are 45,16% and 44,83% respectively.
Conclusion: This study cannot prove LVEDVI can act as a predictor of fluid responsiveness."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wuwus Ardiatna
"Ultrasound merupakan salah satu modalitas citra yang masih digunakan untuk mendeteksi dini kelainan ginjal. Proses diagnosa abnormalitas pada ginjal pada umumnya masih menggunakan pendekatan morfologi atau istilah radiologi untuk mendeskripsikannya. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan karakterisasi citra medis hasil ultrasound ginjal normal dan abnormal. Statistical Moment Descriptor merupakan teknik yang digunakan untuk mengkarakterisasi berdasarkan distribusi spasial piksel ultrasound B-mode. Teknik yang digunakan adalah dengan menghitung besarnya rerata, standar deviasi, skewness, kurtosis, entropi, median, dan rentang, serta dimensi ginjal pada region of interest ROI dari tiga area, yaitu area ginjal penuh, kortek, dan renal pelvis, dari total 50 data pasien dengan ginjal normal abnormal. Hasil yang diperoleh menunjukkan sebaran nilai piksel area penuh citra ginjal normal untuk parameter rerata 69 12,83, standar deviasi 41,77 5,66, skewness 0,87 0,28, kurtosis 4,12 0,88, entropi 6,02 0,27, nilai piksel median 75 15,77, range 253 3,18, sedangkan untuk citra ginjal abnormal sebaran nilai piksel dengan parameter rerata 103 31,96, standar deviasi 35,76 7,62, skewness 0,62 0,68, kurtosis 5,43 2,02, entropi 5,74 0,50, nilai piksel median 100 34,43, dan range 254 0. Parameter yang sangat signifikan berbeda terhadap nilai rerata dengan menggunakan uji t adalah standar deviasi, median, rentang, rerata, kurtosis, untuk entropi secara statistik berbeda signifikan, sedangkan skewness, secara statistik tidak begitu signifikan berbeda.

Ultrasound is one of the image modality that is still used for detect early kidney abnormalities. Morphological approach or radiology terms are still being used to describe it. The purpose of this research is to characterize normal and abnormal kidney medical ultrasound image. Statistical Moment Descriptor is a techniques that we used to characterize spatial pixels distribution of B Mode by define mean, standard deviation, skewness, kurtosis, entropy, median, range, and dimensions in three region of interest`s, full kidney, cortical, and renal pelvis area, from 50 total patients. The results obtained is that pixel values distribution of full normal kidney area for mean 69 12.83, standard deviation 41.77 5.66, skewness 0.87 0.28, kurtosis 4.12 0, 88, entropy 6,02 0,27, median 75 15,77, and range 253 3,18, for abnormal kidney, mean 103 31,96, standard deviation 35, 76 7.62, skewness 0.62 0.68, kurtosis 5.43 2.02, entropy 5.74 0.50, median 100 34.43, and range 254 0. Standard deviation, median, range, mean and kurtosis differences are considered to be very statistically significant by the t test, entropy is considered as significant, and skewness is considered to be not statistically significant."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T51574
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Asylia Dinakrisma
"Latar Belakang: Delirium pasca operasi merupakan salah satu komplikasi yang paling sering terjadi dan berdampak pada banyak luaran buruk. Pengkajian Paripurna Pasien Geriatri (P3G) dan stratifikasi risiko perioperatif pasien geriatri diperlukan sebagai strategi awal pencegahan serta model prediktor prognosis yang efisien dan aplikatif.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan mengetahui angka kejadian delirium pasca operasi dan mengembangkan model prediksi delirium pasca operasi elektif mayor non kardiak pada pasien lanjut usia berdasarkan faktor prediktor.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian kohort retrospektif menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien lanjut usia rawat inap yang menjalani pembedahan mayor elektif non kardiak di RS Cipto Mangunkusumo periode Januari 2020-Juni 2023.
Hasil: Didapatkan 370 subjek memenuhi kriteria dan dilakukan analisis. Kejadian delirium pasca operasi pada penelitian ini adalah 6,8% (IK 95%, 4,4%-9,8%). Faktor prediktor yang dianalisis yakni usia (HR=3,43; IK95% 1,544-7,635), status kognitif (HR=2,74; IK95% 1,156-6,492), dan status nutrisi (HR=3,35; IK95% 1,459-7,679). Model prediksi komplikasi delirium pasca operasi memiliki kalibrasi yang baik (p>0,05) dan performa skor sedang untuk memprediksi kejadian delirium pasien geriatri [AUC 0,750 (p<0,001; IK 95% 0,640-0,860)].
Simpulan: Usia, status kognitif, dan status nutrisi merupakan prediktor kuat delirium pasca operasi pada pasien lanjut usia yang menjalani pembedahan elektif mayor non kardiak.

Background : Postoperative delirium is one the most common complications and will impact many adverse outcomes. Comprehensive Geriatric Assessment (CGA) and perioperative risk stratification of geriatric patients are needed as an initial prevention strategy as well as an efficient and applicable prognosis predictor model.
Objective: This study aims to determine the incidence of post-operative delirium and develop a prediction model for delirium in elderly patients after major non-cardiac elective surgery based on predictor factors.
Methods: This research is a retrospective cohort study using secondary data from medical records of elderly inpatients who underwent major elective non-cardiac surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital between January 2020-March 2023.
Result: Total of 370 subjects that met the criteria were analyzed. The incidence of post-operative delirium was 6.8% ( 95% CI, 4,4% - 9,8%). The predictor factors analyzed were age (HR=3.43; 95%CI 1.544-7.635), cognitive status (HR=2.74; 95%CI 1.156-6.492), and nutritional status (HR=3.35; 95%CI 1.459- 7,679). The postoperative delirium complication prediction model had good calibration (p>0.05) and moderate score performance for predicting the incidence of delirium in geriatric patients [AUC 0.750 (p<0.001; 95%CI 0.640-0.860)].
Conclusion: Age, cognitive status, and nutritional status are strong predictors of postoperative delirium in elderly patients undergoing major non-cardiac elective surgery.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ismoyo Danurwindo
"

Laju pernapasan (respiratory rate) merupakan salah satu dari lima tanda vital pada tubuh manusia. Pengukuran laju pernapasan yang paling sering dilakukan ialah dengan menghitung banyaknya napas yang dilakukan seseorang dalam satu menit. metode ini dinilai bersifat subjektif yang mana masing-masing pengukuran hasilnya akan bergantung kepada pengukur. Metode lain yang dapat digunakan ialah dengan mengunakan metode kontak, seperti strain gauges or impedance methods, transcutaneous CO2 methods, oximetry probe (SpO2) methods, dan ECG derived respiration rate methods. Namun, penggunaan metode kontak dapat menimbulkan beberapa masalah, seperti rasa tidak nyaman, iritasi kulit karena penggunaan elektroda, dan surface loading effect. Oleh karena itu, pada penelitian ini dirancang bangun sebuah sistem pengukuran laju pernapasan nonkontak berbasis sensor ultrasonik.

Pengukuran dilakukan dengan menghitung perubahan jarak antara area thoracoabdominal depan dengan sensor. Hasil pengukuran kemudian diolah menggunakan metode gaussian filter dan transformasi wavelet diskrit (TWD). Berdasarkan hasil pengolahan data, diperoleh hasil bahwa metode pengukuran ini memiliki simpangan kesalahan rata-rata terkecil sebesar 4,48 menggunakan metode penyaringan gaussian filter dan menggunakan metode perhitungan pendekatan FFT. Oleh karena itu, metode ini dapat digunakan untuk mengukur laju pernapasan, tetapi perlu dilakukan beberapa peningkatan untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal.


The respiratory rate is one of the five vital signs in human body. The measurement that is most often done is by counting the amount of breath a person does in one minute. This method is considered to be subjective in which each outcome measurement will depend on the counter. Other method that can be used are by using contact method, such as strain gauges or impedance methods, transcutaneous CO2 methods, probe oximetry (SpO2) methods, and ECG derived respiration rate methods. However, the use of contact methods can cause several problems, such as skin irritation, and surface loading effect. Therefore, in this study a respiratory rate measurement system ultrasonic sensor based was designed.
Measurements were made by calculating the distance change between the front of thoracoabdominal area and the sensor. The results are then processed using the gaussian filter method and discrete wavelet transform (DWT). Based on the result of data processing, the result show that this measurement method has has the smallest error deviation of 4.48 using the gaussian filter filtering method and uses the FFT approach calculation method. Therefore, this method can be used to measure respiratory rate, but some improvement needs to be done to produce maximum results.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angela Christina
"Latar belakang: Penggunaan USG dalam kanulasi vena jugular interna meningkatkan kemampuan operator dalam menentukan lokasi vena jugular interna dan meningkatkan angka keberhasilan kanulasi vena sentral baik pada pasien dewasa maupun pediatri. Terdapat beberapa teknik kanulasi dengan pendekatan orientasi probe USG dalam membantu kanulasi vena sentral. Penelitian ini bertujuan membandingkan orientasi Oblique dengan Transversal terhadap keberhasilan kanulasi vena jugular interna pada pasien pediatri.
Metode: Penelitian ini adalah uji klinik acak tidak tersamar terhadap pasien yang menjalani bedah jantung pada bulan Februari-Mei 2021 di Ruang Operasi Pelayanan Jantung Terpadu di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. Setelah mendapatkan persetujuan izin etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan FKUI-RSCM, sebanyak 60 subjek dialokasikan ke dalam dua kelompok yaitu kelompok Oblique dan Transversal. Proporsi keberhasilan kanulasi sesuai randomisasi, keberhasilan pada usaha pertama, dan jumlah usaha, pada kedua kelompok kemudian dinilai.
Hasil: Dari 60 subjek, 30 subjek pada kelompok Oblique dan 30 subjek pada kelompok Transversal, yang berhasil menyelesaikan penelitian. Proporsi keberhasilan kanulasi pada usaha pertama pada kelompok Oblique 86.7% vs Transversal 73.3% (p>0.19). Pada kelompok Oblique didapatkan 1 subjek yang tidak berhasil dilakukan kanulasi sehingga keberhasilan kanulasi sesuai randomisasi sebesar 96.7%. vs Transversal 100% (p=1.00). Jumlah usaha pada kelompok Oblique maupun Transversal tidak berbeda bermakna (p>0.05), didapatkan proporsi pada kelompok Oblique : 86.7% masuk pada jumlah usaha 1 kali, 10% pada usaha 2-3 kali, dan 3.3% pada usaha lebih dari 3 kali. Sedangkan pada kelompok transversal 73.3% masuk pada jumlah usaha 1 kali, 23.3% pada usaha 2-3 kali, dan 3.3% pada usaha lebih dari 3 kali.
Simpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna antara orientasi Oblique dan Transversal dalam keberhasilan kanulasi vena jugular interna pada pasien pediatri. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara orientasi Oblique dan Transversal dalam keberhasilan pada usaha pertama, proporsi keberhasilan kanulasi antara kedua kelompok, maupun jumlah usaha kanulasi.

Background: Ultrasound-guided internal jugular venous access increases the rate of successful cannulation of internal jugular vein in adult and paediatric patients. This study aimed to compare oblique versus transverse orientation approach in jugular venous cannulation in term of cannulation success in pediatric heart surgery patients.
Methods: A prospective randomized clinical trial in paediatric patients (age 3 months to 12 years old) who undergo heart surgery in February-May 2021 in Operating Theatre Pelayanan Jantung Terpadu Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo. After obtained the approval from the Ethical Committee for Clinical Investigation FKUI-RSCM, 60 patients randomized into two groups, 30 patients in experimental group (oblique orientation) and 30 patients in control group (transverse orientation). The main outcome measure were the successful cannulation on first needle pass, successful cannulation with the designated approach, and the total number of attempt.
Results: In total 60 subjects were analysed, 30 patients in experimental group (oblique orientation) and 30 patients in control group (transverse orientation). Cannulation was successful on first needle pass in Oblique is higher 86.7% vs Transversal 73.3% (p>0.19). One subject form Oblique group was failure so the successful rate in designed approach in Oblique was 96.7%. vs Transversal 100% (p=1.00). There is no different in total number of attempt in both group1.3 vs 1.43 (p>0.05).
Conclusion: There is no different in Oblique vs Transverse orientation for internal jugular venous cannulation in paediatric heart surgery patients in term of successful cannulation on first needle pass, successful cannulation with the designated approach, and the total number of attempt in.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>