Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 75293 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Christine Verawaty Sibuea
"kegagalan hati. Organoid hati dapat digunakan sebagai bahan untuk BAL. Organoid hati merupakan rekonstruksi hati kultur 3D dari sel punca dan sel-sel lainnya yang menyerupai mikrostruktur hati in vivo dan memiliki fungsi hati. Organoid hati juga dapat digunakan untuk uji obat dan sebagai model unutk mempelajari penyakit hati.
Metode : Organoid hati pada penelitian ini direkonstruksi dari hepatosit, sel stelata hepatika (LX2), sel punca mesenkimal asal tali pusat (UC-MSCs), dan sel punca hematopoiesis asal darah tali pusat (UCB-CD34+). Hepatosit primer tikus, LX2, UC-MSCs dan UCB-CD34+ diko-kultur dalam 11 formulasi rasio selama 2 hari. Formulasi rasio yang membentuk sferoid dikultur dalam 4 medium kultur selama 5 hari, dipanen dan dilakukan analisa viabilitas. Rasio dengan viabilitas tertinggi merupakan rasio optimal dalam medium kultur optimal untuk rekonstruksi organoid hati. Rasio hepatosit : LX2 : UC-MSCs : UCB-CD34+ optimal 5 : 1 : 2 : 2 diko-kultur dalam medium kultur optimal Williams E yang disuplementasi dengan PRP, ITS dan dexamethasone selama 14 hari dan dilakukan analisa morfologi, fungsi hati dan potensi angiogenesis.
Hasil : Viabilitas organoid bertahan hingga hari ke-14 dan ekspresi protein albumin, ekspresi protein GOT dan ekspresi protein CD31 cukup stabil hingga hari ke-14. Ekspresi gen Albumin meningkat hingga hari ke-14 sedangkan ekspresi gen GOT menurun hingga hari ke-14. Sekresi urea menurun hingga hari ke-5 dan sekresi albumin menurun hingga hari ke-7.
Kesimpulan : Organoid hati ini direkonstruksi dari hepatosit primer, LX2, UC-MSCs, UCB-CD34+ dengan rasio optimal 5 : 1 : 2 : 2 dalam medium kultur optimal sederhana dan ekonomis Williams E yang disuplementasi PRP, ITS dan dexamethasone. Organoid hati ini dapat mempertahankan viabilitas dan fungsi hingga hari ke-14. Organoid hati penelitian ini dapat digunakan sebagai model untuk uji obat dan dapat dikembangkan untuk menjadi bahan BAL.

Introduction : Bioartificial Liver (BAL) is being developed to be an alternative therapy for liver failure. Liver organoids can be used as prototype material for BAL. Liver organoids are 3D cultured liver reconstructions of stem cells and other cells that resemble the liver microstructure in vivo and perform liver function. Liver organoids also can be used for drug testing and as a model for liver disease pathogenesis.
Methods : Liver organoids in this study were reconstructed from hepatocytes, hepatic stellate cells (LX2), human umbilical cord-mesenchymal stem cells (UC-MSCs), and human umbilical cord blood (UCB) hematopoiesis stem cells CD34+. Rat primary hepatocytes, LX2, UC-MSCs and UCB-CD34+ were co-cultured in 11 ratio formulations for two days. The ratio formed spheroid were cultured in four culture medium for five days, harvested and analyzed for viability. The ratio with the highest viability was the optimal ratio in the optimal culture medium for hepatic organoid reconstruction. The optimal ratio 5 : 1: 2 : 2 of Hepatocytes : LX2 : UC-MSCs : UCB-CD34+ was co-cultured in optimal culture medium Williams E supplemented with PRP, ITS and dexamethasone for 14 days and analyzed for morphology, liver function and angiogenesis potential.
Results : Liver organoids viability maintained until day 14 and albumin protein expression, GOT protein expression and CD31 protein expression were quite stable until day 14. Albumin gene expression increased until day 14, while GOT gene expression decreased until day 14. Urea secretion decreased until day 5 and albumin secretion decreased until day 7. Conclusion : These liver organoids were reconstructed from optimal ratio 5 : 1 : 2 : 2 of primary hepatocytes, LX2, UC-MSCs, UCB-CD34+ in simple and economical optimal culture medium Williams E supplemented by PRP, ITS and dexamethasone. These liver organoids maintained viability and liver function until day 14. These liver organoids can be used as a model for drug testing and can be developed to become a BAL material for future application.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liza Tiara
"Isolasi dan ekspansi sel punca kanker payudara secara in vitro tanpa menghilangkan sifat pluripotensi sel sangat diperlukan untuk mempelajari karakteristik sel punca kanker payudara. Penelitian ini bertujuan untuk mencari suatu kondisi kultur terbaik dengan sistem ko-kultur untuk mempertahankan sifat pluripotensi. Sel tersebut diko-kultur dengan feeder layer yang terbentuk dari Mouse Embryonic Fibroblast (MEF). Pengukuran ekspresi penanda permukaan CD44+/CD24-menggunakan metode spektrofluorometri, sedangkan pengukuran ekspresi gen SOX2 dilakukan secara kuantitatif dengan metode real time polymerase chain reaction. Pada pengukuran ekspresi gen SOX2 dilakukan normalisasi menggunakan house keeping gene PUM1 sebagai kontrol dalam.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekspresi CD44+/CD24-pada sel punca kanker payudara yang diko-kultur dengan MEFs menggunakan media CM dan DMEM lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak diko-kultur dengan MEF menggunakan CM dan DMEM. Ekspresi gen SOX2 meningkat pada sel yang diko-kultur dengan MEF di CM dan sel yang diko-kultur dengan MEF dalam DMEM yaitu berturut-turut 83,28 dan 48,33 kali dari kontrol masing masing. Hasil penelitian menunjukan bahwa kondisi kultur terbaik untuk mempertahankan pluripotensi sel punca kanker payudara adalah ko-kultur dengan MEF menggunakan CM sebagai media.

In objective to understand the role and importance of breast cancer stem cells and the molecular and cellular events that occur during cancer development, it is essential to isolate and propagate breast cancer stem cells in long-term in vitro culture without loosing their pluripotency. This study aimed to find the best culture condition with co-cultured system to maintain the breast cancer stem cells pluripotency. The cell cultured on top of a feeder layer formed by mouse embryonic fibroblast (MEF). We observed the expression of breast stem cell markers CD44+/CD24-using spectrofluorometry and analyzed the expression of gene SOX2 using quantitative real-time polymerase chain reaction (qRT-PCR).
Fluorescence spectroscopy results showed that CD44+/CD24-expression of cancer stem cells co-cultured in CM and DMEM high glucose with MEF is higher than one cultured in CM or in DMEM high glucose without MEF only. After being normalized by using house keeping gene, PUM1, SOX2 gene expression levels in cells cultured in CM and DMEM with MEF i.e 83,28 and 48,33 times higher, respectively, compared to their control. Result showed that the best condition to maintain pluripotency of breast cancer stem cells was to co-culture the cells with MEF using CM as medium.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2011
S198
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyunia Likhayati Septiana
"ABSTRAK
Penggunaan sel punca sebagai anti fibrosis hati cukup menjanjikan. Sel punca CD34 asal darah tali pusat sudah banyak digunakan dalam studi anti fibrosis hati. Penelitian ini menjelaskan efek ko-kultur antara sel stelata hepatik HSC LX-2 dan sel punca CD34 asal darah tali pusat dalam morfologi sel dan ekspresi TGF-?, tenascin-C dan kolagen tipe 1A1. Metode : Sel CD34 diisolasi dari sel darah tali pusat manusia yang dikriopreservasi menggunakan separasi magnet. Sel HSC LX-2 dikultur sebagai kontrol monokultur. Sebagian dipanen dan dihitung untuk dilakukan ko-kultur dengan sel CD34 dalam rasio 1:1. Ko-kultur CD34 dan LX-2 dilakukan dengan metode kultur konvensional 2D dan 3D hanging drop. Hasil monokultur dan ko-kultur dipanen pada hari ke1, 2 dan 3 dan dilakukan pewarnaan imunositokimia tenascin-C ekstraksi RNA untuk analisis kuantitatif dengan real time PCR ekspresi TGF-? dan kolagen tipe 1A1.Hasil : Hasil menunjukkan perbedaan morfologi ko-kultur 2D dan 3D hanging drop dibandingkan kontrol monokultur. Pada ko-kultur 2D terdapat mikromassa, sedangkan pada monokultur 2D tidak ada mikromassa yang terbentuk. Pada ko-kultur 3D hanging drop, terdapat spheroid yang lebih kecil hambatan pembentukan spheroid dibandingkan monokultur 3D hanging drop. Sel CD34 memiliki efek direk terhadap aktivitas sinyal sel stelata hepatik dengan adanya kecenderungan penurunan ekspresi TGF-?. Analisis imunositokimia tenascin-C dalam mikromassa dan spheroid masih perlu dioptimasi. Ko-kultur 2D dan 3D hanging drop method sel punca CD34 asal darah tali pusat dan sel stelata hepatik memiliki efek terhadap penurunan ekspresi kolagen tipe 1A1.Kesimpulan : Sel punca CD34 asal darah tali pusat memiliki efek direk terhadap morfologi sel, inhibisi aktivitas sel stelata hepatik LX-2 yang ditandai dengan penurunan ekspresi TGF-beta dan inhibisi deposisi matriks ekstrasel yang ditandai penurunan ekspresi kolagen tipe 1A1.Kata kunci: sel punca asal darah tali pusat CD34 , sel stelata hepatik, liver fibrosis, TGF-beta, tenascin-C, kolagen 1A1.

ABSTRACT
Background The development of stem cell therapy antifibrotik placing as one of the promising therapy. Umbilical cord blood CD34 stem cells has been widely used in the study antifibrosis. This study describes the effect of co culture between hepatic stellate cells HSC LX 2 and umbilical cord blood CD34 stem cells on cell morphology and expression of TGF , tenascin C and collagen type 1A1.Method CD34 cells were isolated from thawed cryopreserved human umbilical cord blood cells using magnetic separation. LX 2 cells culture were harvested and counted. CD34 and LX 2 cells were mixed in suspension with 1 1 ratio v v . Cell suspension divided into 2 sets 2D co culture plated in standard well plate and 3D co culture as hanging drops. LX 2 monoculture, CD34 dan LX 2 coculture were harvested on day 1, 2 and 3 as sample for further analysis. Tenascin C expression was analysed by imunocytochemistry techniques. TGF Beta and collagen type 1A1 expression was analysed by qPCR.Result The result showed different morphology between co culture and monoculture on 2D and 3D hanging drop. The 2D co culture showed micromass formation, instead of no micromass formation on monoculture. The 3D hanging drop showed smaller spheroid formation spheroid formation inhibition compared with monoculture. CD34 cells showed direct effect on hepatic stellate cell signalling activity represented by the decrease in TGF beta expression, inhibition of extracellular matrix deposition represented by a decrease in Collagen type 1A1 expression.Conclusion UCB CD34 cells showed direct effect on cell morphology, inhibition of hepatic stellate cell LX 2 activity represented by a decrease in TGF beta expression, inhibition of extracellular matrix deposition represented by a decrease in collagen type 1A1 expression. "
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Darryl Darian Suryadi
"Pendahuluan Fibrosis hati adalah kondisi ketika hati mengalami cedera kronis dan terbentuk jaringan parut termasuk kolagen sehingga tidak lagi mampu berfungsi dengan baik. Terapi sel punca mesenkimal asal tali pusat merupakan terapi regeneratif yang dikembangkan untuk penyembuhan penyakit jejas hati kronis. Hasil penelitian terdahulu terhadap tikus yang diinduksi dengan 2AAF/CCl4 dan diberi sel punca mesenkimal asal tali pusat dosis 1 x 106 menunjukkan adanya perbaikan fibrosis hati yang ditimbulkan akibat pemberian 2AAF/CCl4 tersebut. Penelitian ini akan menggunakan CCl4, suatu zat yang akan merusak hati tikus secara akut dan akan membandingkan dua dosis sel punca mesenkim asal tali pusat yaitu dosis 1 x 106 dan 3 x 106. Metode Penelitian ini menggunakan bahan biologis tersimpan blok parafin dari jaringan hati tikus Wistar yang dipulas dengan pulasan khusus Masson’s Trichrome. Terdapat empat kelompok sampel yang digunakan, yaitu kelompok CCl4, kelompok 1 x 106 sel punca, kelompok 3 x 106 sel punca, dan kelompok kontrol sehat. Seluruh pulasan dari tiap kelompok difoto menggunakan kamera yang terhubung ke mikroskop. Derajat fibrosis pada setiap lapangan pandang dihitung menggunakan kriteria NASH beserta luas hati yang terkena fibrosis. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik untuk mengetahui dosis mana yang lebih baik untuk memperbaiki fibrosis hati.
Hasil Kelompok tikus dengan induksi CCl4 saja menunjukkan 100% sampel mengalami fibrosis, sedangkan kelompok sehat memperlihatkan hanya sekitar 30% sampel yang mengalami fibrosis. Kelompok tikus dengan induksi CCL4 dan diberikan 1 x 106 sel punca menunjukkan 71% sampel masih mengalami fibrosis, sedangkan pada kelompok dengan pemberian 3 x 106 sel punca jumlah sel yang mengalami fibrosis adalah 87%. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara derajat fibrosis di semua kelompok uji. Di sisi lain, pemberian 1 x 106 sel punca berhasil menurunkan luas hati yang terkena fibrosis.

Background Liver fibrosis is the excessive accumulation of extracellular matrix proteins including collagen that occurs in most types of chronic liver diseases. Previous studies have shown that the injection of mesenchymal stem cell is beneficial to alleviate liver fibrosis. However, the optimum dose of stem cell that must be administered is not yet fully understood. Previous research used 1 x 106 stem cells to treat 2AAF/CCl4 – induced rat liver which simulates a chronic liver injury. Results show that the degree of fibrosis was significantly reduced. In this study, only CCl4 will be used to simulate an acute liver injury and two doses of human umbilical cord-derived mesenchymal stem cell (hUC-MSC), 1 x 106 and 3 x 106, is used to analyze which dose is better to treat liver fibrosis. Methods This study uses archived biological materials on Wistar rat livers as formalin-fixed-paraffin-embedded (FFPE) which has been treated with Masson’s Trichrome staining. Four group samples were used in this study, which are the CCl4 group, 1 x 106 hUC-MSC group, 3 x 106 hUC-MSC group, and healthy control group. Slide samples were photographed using a microscope and the results collected. The degree of fibrosis is then investigated using the NASH criteria and the mean percentage affected area is calculated. Further statistical analysis is conducted to know which treatment is better at reducing liver fibrosis. Results The group with the highest degree of fibrosis is the CCl4 group with 100% of the samples experiencing fibrosis. On the other side, the healthy control group has the lowest degree of fibrosis where around 70% of the samples showing no fibrosis. Both the 1 x 106 and 3 x 106 hUC-MSC group show some samples having no fibrosis while the majority still had fibrosis of different degrees. Approximately 29% of the samples of the 1 x 106 hUC-MSC group did not show fibrosis while only 13% of the samples showed no fibrosis in the 3 x 106 hUC-MSC group. However, there were no statistical difference in the degree of fibrosis found in all the samples. On the contrary, analysis of the fibrosis affected area showed that the 1 x 106 group is beneficial to reduce the affected area of liver fibrosis. Conclusion The administration of 3 x 106 stem cells does not create a better outcome in terms of liver fibrosis. In contrast, the group which was treated with only 1 x 106 stem cells showed that there is a decrease in the affected area of fibrosis even if the degree of fibrosis was not significantly decreased."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyunia Likhayati S
"Latar belakang: Hati kelinci yang dideselularisasi sebagai perancah untuk kultur organoid hati telah menunjukkan hasil yang menjanjikan dalam meningkatkan viabilitas dan fungsinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan organoid dari kokultur sel yang dapat mendukung fungsi hati. Pemanfaaatan perancah hati yang dideselularisasi untuk mempertahankan viabilitas dan fungsionalitas hepatosit dan mengevaluasi organoid hati manusia yang ditransplantasikan ke model hewan coba dan mengetahui respons yang dimediasi sel imun.
Metode: Sel hepatosit yang berasal dari iPSC manusia dikokultur dengan tiga sel lain untuk membentuk organoid hati. Delapan belas belas kelinci putih berusia 3 bulan digunakan dalam percobaan ini dan dibagi menjadi empat kelompok: Kelompok sham-operated (n = 3), kelompok ligasi duktus biliaris (n = 6), kelompok eksperimen dengan ligasi saluran empedu diikuti oleh transplantasi organoid hati (kelompok jangka pendek, (n=5); kelompok jangka panjang, (n=4).
Hasil: Pada penelitian ini dilakukan analisis survival menggunakan metode Kaplan-Meier (KM) untuk menentukan probabilitas kumulatif kelangsungan hidup dari kejadian kematian pada kedua kelompok dengan dan tanpa transplantasi organoid hati. Hasil tes log-rank menunjukkan bahwa kemungkinan bertahan hidup secara keseluruhan antara kedua kelompok yang menerima perlakuan berbeda. (p=0,003). Kelompok jangka pendek menunjukkan peningkatan fungsi hati seperti albumin, CYP3A, dan tingkat AST yang lebih rendah daripada kelompok jangka panjang. Hati kelompok jangka pendek menunjukkan tingkat deposisi kolagen yang lebih rendah.
Kesimpulan: Transplantasi organoid hati kokultur manusia dalam perancah hati yang dideselularisasi ke hewan yang diligasi duktus biliaris dapat mendukung kelangsungan hidup hewan dan fungsi hati untuk jangka pendek. Studi ini menyoroti potensi transplantasi organoid hati untuk mendukung fungsi hati jangka pendek. Namun, fungsi dan penolakan organoid hati dapat membatasi penggunaan pada jangka panjang.

Background: Decellularized native liver scaffolds as a platform for liver organoid culture have shown promising results in improving their viability and function. This research aims to develop cocultured liver organoids that can recapitulate liver functions, utilize a decellularized native liver scaffold to maintain the viability and functionality of hepatocytes and evaluate human liver organoids transplanted into animal models to support liver function in two periods categories and immune-mediated response.
Methods: The hepatocyte-like cells derived from the human iPSCs were cocultured with three other cells to form liver organoids. Eighteen 3-month-old New Zealand White Rabbits were used in the experiment, divided into four groups: A sham-operated group (n=3), a bile duct ligation group (n=6), an experimental group with biliary duct ligation followed by liver organoid transplantation (short-term group, n=5; long-term group, n=4).
Results: We performed a survival analysis using the Kaplan-Meier (KM) method to determine the cumulative probability of survival from death events in both groups with and without liver organoid transplantation. The log-rank test results indicated a notable variation in the overall likelihood of survival between the two groups receiving different treatments. (p=0.003). The short-term group exhibited improved liver functions such as albumin, CYP3A, and lower levels of AST than the long-term group. The livers of the short-term group showed lower levels of collagen deposition.
Conclusions: Transplanting human coculture liver organoids in decellularized native liver scaffold into bile duct ligated animals could support the animal's survival and hepatic function for the short term. This study highlights the potential of liver organoid transplantation for short-term liver support. However, the functionality and rejection of liver organoids may limit their long-term use.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Okto Dewantoro
"ABSTRAK
Latar Belakang : Hepatocyte Progenitor Cell(HPC) merupakan stem cell dari hati yang akan muncul bila terjadi kerusakan hati yang kronis hingga sirosis hati seperti pada penderita hepatitis B kronik. Aktifnya HPC sebagai usaha untuk meregenerasi sel hati akan diikuti oleh migrasi dari Haematopoietic Stem Cell(HSC) ke sel hati dengan tujuan membantu proses regenerasi sel hati
Tujuan : Penelitian ini bertujuan mengetahui adakah korelasi antara HPC dan HSC pada derajat Metavir baik nekroinflamasi ataupun fibrosis sebagai dasar untuk melakukan terapi stem cell pada penderita hepatitis B kronik dengan menggunakan HPC dan HSC.
Metode : Penderita hepatitis B kronik yang sudah memenuhi kriteria inklusi dan sudah menjalani biopsi hati diperiksa parafin bloknya kemudian dibagi berdasarkan derajat metavirnya yaitu ringan-sedang dan berat. Kemudian dilakukan pewarnaan immunohistokimia untuk HPC dengan CK-19 dan HSC dengan CD34+. setelah itu dihitung jumlah HPC dan HSC dan kemudian dianalisis datanya.
Hasil : Didapatkan 17 penderita dengan fibrosis ringan-sedang dan 13 dengan fibrosis berat, serta 21 dengan nekroinflamasi ringan-sedang dan 9 dengan nekroinflamasi berat. Pada fibrosis ringan-sedang dan berat didapatkan perbedaan kadar HPC yang signifikan dgn p=0.003 dan perbedaan kadar HSC yang signifikan dengan p=0.001. Pada nekroinflamasi ringan-sedang dan berat didapatkan perbedaan kadar HPC yang signifikan dengan p=0.014 dan perbedaan kadar HSC yang signifikan dengan p=0.012. Hanya korelasi antara HPC dan HSC pada fibrosis ringan-sedang yang signifikan dengan p=0.003
Kesimpulan : Rerata HPC dan HSC pada nekroinflamasi berat lebih tinggi dibandingkan pada nekroinflamasi ringan-sedang. Rerata HPC dan HSC pada fibrosis berat lebih tinggi dibandingkan pada fibrosis ringan-sedang Tidak didapatkan korelasi antara HPC dan HSC pada nekroinflamasi ringan- sedang dan berat. Terdapat korelasi antara HPC dengan HSC pada derajat fibrosis ringan-sedang. Tidak didapatkan korelasi antara HPC dan HSC pada derajat fibrosis berat.

ABSTRACT
Background :
Hepatocyte progenitor Cell (HPC) is a stem cell from the liver that will arise in the event of chronic liver damage such as chronic hepatitis B to cirrhosis of the liver. HPC as an active attempt to regenerate liver cells followed by migration of Haematopoietic Stem Cell (HSC) to liver cells with the goal of helping the regeneration of liver cells.
Aims :
This study aims to determine the correlation between HPC and HSC as the basis for the conduct of stem cell therapy in patients with chronic hepatitis B by using the HPC and HSC.
Methods:
Patients with chronic hepatitis B who meet the inclusion criteria which had undergone liver biopsies examined paraffin blocks which divided by degrees of metavir as mild and severe. Then performed immunohistochemical staining for HPC with CK-19 and HSC with CD34+ .After the calculated amount of HPC and HSC and then analyzed the data.
Results:
There were 17 patients with mild-moderate fibrosis and 13 with severe fibrosis, and 21 with mild-moderate nekroinflamasi and 9 with severe nekroinflamasi. In mild- moderate and severe fibrosis obtained mean significant HPC with p = 0.003 and mean significant HSC with p = 0.001. In nekroinflamasi obtained mean mild- moderate and severe HPC significant with p = 0.014 and the mean HSC significant with p = 0.012. There is a statistically significant correlation between HPC and HSC on mild-moderate fibrosis with p = 0.003.
Conclusions:
Average of HPC and HSC in severe nekroinflamasi is higher than in mild - moderate nekroinflamasi . Average of HPC and HSC in severe fibrosis is higher than in mild - moderate fibrosis There were no correlation between HPC and HSC on nekroinflamasi mild- moderate and severe . There is a correlation between HSC and HPC in the mild - moderate fibrosis . There were no correlation between HPC and HSC on the degree of severe fibrosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zakiyah
"Hati merupakan organ yang memiliki kemampuan regenerasi tinggi setelah mengalami kerusakan. Sel punca mesenkimal asal tali pusat merupakan sumber progenitor hati yang dapat ditranplantasikan dan dapat digunakan pada kasus kerusakan hati yang parah. Kerusakan hati yang parah akan memunculkan sel oval sebagai pertahanan tingkat ke dua. Proses regenerasi hati yang diperantarai sel oval sangat kompleks karena melibatkan sitokin, faktor pertumbuhan, hormon dan morfogen. DLK1 (Delta-Like 1 homolog) merupakan salah satu morfogen yang diekspresikan kembali pada kasus kerusakan hati dengan kondisi proliferasi hepatosit yang dihambat. DLK1 diekspresikan oleh sel oval dalam jumlah yang terbatas.
Penelitian ini bertujuan mengetahui ekspresi DLK1 dan proliferasi hepatosit yang dinilai menggunakan Ki67 pada kerusakan yang diinduksi 2AAF/CCl4. Selain itu juga akan dinilai pengaruh sel punca pada ekspresi DLK1 dan proliferasi hepatosit yang dinilai menggunakan Ki67 pada saat proses regenerasi hati. Penelitian ini menggunakan 30 tikus jantan strain Wistar berusia 8 minggu yang dibagi menjadi 5 kelompok (n=6). Proses Induksi kerusakan hati menggunakan 2AAF/CCl4 selama 12 minggu kemudian diberikan injeksi sel punca mesenkimal asal tali pusat manusia dengan dosis 1x106 sel melalui vena ekor. Dua kelompok (kontrol dan induksi 2AAF/CCl4) diterminasi pada akhir minggu ke-12 sebagai model kerusakan hati sedangkan tiga kelompok lainnya (kontrol, kelompok dengan sel punca dan kelompok tanpa sel punca diterminasi pada akhir minggu ke-14.
Pada penelitian ini ditemukan bahwa terdapat perbedaan signifikan ekspresi DLK1 namun tidak terdapat perbedaan signifikan pada tingkat proliferasi hepatosit yang dinilai dengan Ki67 pada kerusakan hati yang diinduksi 2AAF/CCl4. Sedangkan pada regenerasi hati tidak ditemukan perbedaan signifikan ekspresi DLK1 dan Ki67 antara kelompok yang diberikan sel punca dan tidak diberikan sel punca.

The liver is an organ that has a high regeneration ability after being injured. Mesenchymal stem cells from the human umbilical cord are transplanted sources of liver progenitors and can be used in cases of severe liver injury. Severe liver damage will bring out oval cells as a second level defense. The process of liver regeneration which is mediated by oval cells is very complex because it involves cytokines, growth factors, hormones and morphogens. DLK1 (Delta-Like 1 homologue) is one of the morphogens that is expressed again in cases of liver injury with inhibited hepatocyte proliferation. DLK1 is expressed in subpopulation in oval cells compartement of rat liver.
This study aims to determine the expression of DLK1 and hepatocyte proliferation which was assessed using Ki67 in the 2AAF/CCl4 induced severe injury. It will also be assessed the effect of mesenchymal stem cells on DLK1 expression and hepatocyte proliferation which was assessed using Ki67 during the liver regeneration process. This study used 30 male 8-week-old Wistar strain rats divided into 5 groups (n = 6). The process of induction of liver injury using 2AAF/CCl4 for 12 weeks was then given mesenchymal stem cell injection from human umbilical cord at a dose of 1x106 cells through the tail vein. Two groups (control and 2AAF/CCl4 groups) were terminated at the end of the 12th week as models of liver injury while the other three groups (control, groups with stem cells and groups without stem cells were terminated at the end of week 14.
In this study it was found that there was a significant difference in DLK1 expression but there was no significant difference in the rate of hepatocyte proliferation assessed by Ki67 in 2AAF/CCl4 induced liver injury, whereas in liver regeneration there was no significant difference in DLK1 and Ki67 expression between groups given stem cells and not given stem cells.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R.R. Chrysna Winandha K.
"Gen SOX2 telah dilaporkan memegang peranan penting dalam menginduksi sel punca progenitor dari sel fibroblast manusia dewasa. Peningkatan ekspresi gen SOX2 berkorelasi dengan peningkatan tingkat keparahan kanker payudara. Namun, bagaimana SOX2 memiliki sifat onkogenik belum diketahui secara pasti. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai ekspresi gen SOX2 pada sel kanker payudara CD44+/CD24-dan CD44-/CD24-yang di ko-kultur dengan Mouse Embryonic Fibroblast (MEF) berdasarkan waktu pengkulturan sel sebagai upaya untuk mempelajari ekspresi gen dan sifat dari sel punca kanker payudara pada sel kanker payudara dari pasien kanker payudara wanita Indonesia.
Tingginya ekspresi gen SOX2 diasumsikan dapat menjadi indikasi untuk menentukan kondisi optimum pada kultur sel kanker payudara. Level RNA gen SOX2 diukur dengan menggunakan reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) dan dinormalisasi dengan menggunakan housekeeping gene PUM1 sebagai kontrol dalam. Hasil menunjukkan bahwa ekspresi gen SOX2 tertinggi di hari ketiga pada kultur sel punca kanker (CD44+/CD24-), demikian pula dengan kultur sel non punca (CD44-/CD24-), dan di hari pertama pada kultur sel kanker payudara (CD44/CD24).

SOX2 gene has been reported to play an important role in inducing stem cell progenitor cells from adult human fibroblasts. Increase in SOX2 gene expression known to correlate with the increase of breast cancer severity. However, the oncogenic properties of SOX2 has not been confirmed yet. This research aimed to obtain information about the level of SOX2 gene expression of breast cancer cells CD44+/CD24-dan CD44-/CD24-in co-culture with Mouse Embryonic Fibroblast (MEF) based on time of cell culture, in an attempt to study the gene expression and the nature of cancer stem cells in breast cancer cell in Indonesian female breast cancer patient.
High SOX2 gene expression was assumed as the indication of the optimum culture condition of breast cancer cell. SOX2 gene RNA level was measured performing reverse transcription-polymerase chain reaction (RT-PCR) and normalized using the housekeeping gene PUM1 as an internal control. Results showed that the highest SOX2 gene expression was found in day 3 for cancer stem cell cultures (CD44+/CD24-) as well as for non cancer stem cell cultures (CD44-/CD24-), and in day 1 for breast cancer cell cultures (CD44/CD24).
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2011
S359
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Chaidar Muttaqin
"Latar belakang: Terapi sel punca dikembangkan sebagai alternatif terapi gagal jantung akibat infark miokardium. Bermacam tipe sel dengan berbagai metode implantasi telah banyak dikembangkan tetapi belum mendapatkan hasil optimal. Sel h-AECs (Human Amnion Epithelial Stem Cells) memiliki sifat yang sangat mendukung sebagai sumber sel bagi terapi sel punca pada jantung. Teknologi rekayasa jaringan dengan melakukan ko-kultur kardiomiosit dan h-AECs pada biomaterial scaffold diyakini dapat menjawab permasalahan pada pengembangan terapi sel punca pada gagal jantung.
Metode: Penelitian ini adalah studi eksperimental in-vitro dengan penyemaian ko-kultur sel kardiomiosit dan h-AECs ke dalam scaffold patch. Kardiomiosit berasal dari otot ventrikel kanan pasien penderita penyakit tetralogy of Fallots yang dilakukan operasi koreksi TOF. Sedangkan sel h-AECs didapat dari epitel amnion yang merupakan limbah operasi seksio sesarea. Setelah dilakukan karakterisasi pada kardiomiosit dan h-AECs, dilakukan ko-kultur pada scaffold amnion dengan perbandingan densitas penyemaian 1:5 dan 1:6. Evaluasi hasil ko-kultur dilakukan dengan penilaian viabilitas sel, ekspresi gen spesifik kardiomiosit dan uji toksisitas patch.
Hasil: Hasil ko-kultur kardiomiosit dan h-AECs tidak terdapat perbedaan bermakna pada rerata jumlah sel viabel pada hari kedua dan kelima (p>0,05). Sedangkan pada hari kedelapan terdapat perbedaan bermakna pada jumlah sel viabel, rasio 1:5 menghasilkan jumlah sel viabel lebih baik dibanding rasio 1:6 (p=0,011). Ekspresi gen spesifik kardiomiosit konsisten tampak pada kelompok rasio 1:6 dan mulai menunjukkan signifikan pada hari kedelapan, terdapat perbedaan bermakna pada ekspresi gen di hari kedelapan, kelompok rasio 1:6 mengekspresikan gen cTnT dan ACTN2 lebih baik dibanding kelompok 1:5 (p=0,000 dan p=0,001). Pada uji toksisitas, tidak terdapat perbedaan bermakna pada jumlah ATP dan kadar TNFα antara kelompok 1:5 dan 1:6.
Simpulan: Teknik ko-kultur yang dikembangkan dapat menghasilkan sel kardiomiosit baru. Kelompok rasio 1:6 menghasilkan sel yang memiliki sifat spesifik kardiomiosit lebih baik dibanding kelompok rasio 1:5 tetapi menghasilkan jumlah sel viabel lebih sedikit. Patch hasil ko-kultur tidak bersifat toksik.

Background: Stem cell therapy was developed as an alternative therapy for heart failure due to myocardial infarction. Various types of cells with various methods of implantation have been developed but have not yet obtained optimal results. h-AECs (Human Amnion Epithelial Stem Cells) have very supportive properties as a source of cells for stem cell therapy in the heart. Tissue engineering technology by co-culturing cardiomyocytes and h-AECs on scaffold biomaterials is believed to be able to answer problems in the development of stem cell therapy in heart failure.
Method: This study is an in-vitro experimental study by seeding co-cultures of cardiomyocytes and h-AECs into the scaffold patch. Cardiomyocytes were derived from the right ventricular muscle of patients with tetralogy of Fallot disease who underwent TOF correction surgery. Meanwhile, the h-AECs cells were obtained from the amniotic epithelium which is the waste from cesarean section. After characterization of cardiomyocytes and h-AECs, co-culture was performed on amnion scaffold with seeding density ratio 1:5 and 1:6. Evaluation of co-culture results was carried out by assessing cells viability, expression of specific cardiomyocytes gen and patch toxicity tests.
Result: The results of co-culture of cardiomyocytes and h-AECs showed no significant difference in the mean number of viable cells on the second and fifth days (p>0.05). While on the eighth day there was a significant difference in the number of viable cells, a ratio of 1:5 resulted in a better number of viable cells than a ratio of 1:6 (p=0.011). Cardiomyocyte-specific gene expression was consistently seen in the 1:6 ratio group and began to show significantly on the eighth day, there was a significant difference in gene expression on the eighth day, the 1:6 ratio group expressed cTnT and ACTN2 genes better than the 1:5 group (p= 0.000 and p=0.001). In the toxicity test, there was no significant difference in the amount of ATP and TNFα levels between the 1:5 and 1:6 groups.
Conclusion: The developed co-culture technique can generate new cardiomyocytes. The 1:6 ratio group produced cells that had better cardiomyocyte-specific properties than the 1:5 ratio group but produced fewer cells. Co-culture of h-AECs and cardiomyocytes on patch was not toxic.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hardian Gunardi
"Latar belakang: Sel punca mesenkim (SPM) telah menjadi salah satu alternatif untuk menghambat proses fibrosis dan memperbaiki fungsi hati. Berbagai jalur dapat digunakan untuk pemberian SPM, namun belum banyak studi yang membandingkan jalur pemberian. Pada studi ini dibandingkan pemberian SPM intrahepatika dan intrasplenika terhadap fungsi hati dan derajat fibrosis hati Oryctolagus cuniculus ligasi duktus bilier.
Metode penelitian: Penelitian ekperimental dengan menggunakan model hewan kelinci (Oryctolagus cuniculus) yang dilakukan ligasi duktus bilier (LDB). Kelinci dibagi ke dalam 4 kelompok, yaitu kelompok sham surgery, LDB, injeksi SPM intrahepatika(LDB + SPM IH) dan injeksi SPM intrasplenika (LDB + SPM IS). Injeksi SPM tali pusat dilakukan pada hari kelima LBD, kemudian kelinci diobservasi sebelum diterminasi seluruhnya pada hari ke-14. Dinilai fungsi hati yang dinilai dengan kadar serum AST, ALT, bilirubin total dan direk, serta derajat fibrosis hati yang dinilai dengan skor Laennec.  
Hasil penelitian: Dari total 23 kelinci, dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu kelompok sham 2 ekor dan masing-masing 7 ekor untuk kelompok LDB, LDB + SPM IH, dan IS. Didapatkan mortalitas sebesar 57,1% pada kelompok LDB, mortalitas 14,3% pada kelompok LDB + SPM IH dan mortalitas 28,6 pada kelompok LDB + SPM IS sebelum penelitian selesai. Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna untuk fungsi hati seperti AST, ALT, bilirubin total, dan direk antarkelompok, namun terkesan median fungsi hati pada kelompok LDB lebih tinggi dibanding sham surgery, serta median kelompok LDB + SPM IH dan IS lebih menyerupai normal. Fungsi hati tampak lebih baik pada kelompok LDB + SPM IS dibanding LDB + SPM IH, meskipun secara statistik tidak bermakna. Pemeriksaan histopatologi kelinci yang dilakukan ligasi duktus bilier menunjukkan derajat fibrosis Laennec 4B, yang tidak berbeda antar ketiga kelompok. Area fraction fibrosis, jumlah hepatosit yang viabel dan nekrosis, serta jumlah sel progenitor dianalisis, tidak terdapat perbedaan yang ditemukan antara kelompok LDB + SPM IH dan LDB + SPM IS, namun kelompok yang diberikan SPM memiliki jumlah hepatosit viabel yang lebih banyak dibandingkan kelompok LDB.
Kesimpulan: Pemberian SPM intrahepatika dan intrasplenika tidak berpengaruh pada fungsi hati dan derajat fibrosis hati Oryctolagus cuniculus pascaligasi duktus bilier. Pemberian SPM akan meningkatkan jumlah hepatosit yang viabel pada model cuniculus pascaligasi duktus bilier.

Background: Mesenchymal stem cell (MSC) becomes an alternative to attenuate liver fibrosis and to improve liver function. A couple of administration route had been studied, but few compared one to another. This study aims to compare intrahepatic and intrasplenic route of administration of MSC in regards of liver function and degree of liver fibrosis in Oryctolagus cuniculus bile duct ligation model.
Method: This is an experimental study using rabbit (Oryctolagus cuniculus) bile duct ligation model. The subjects were randomized into 4 groups: sham surgery, bile duct ligation (BDL), intrahepatic route of MSC (BDL + MSC IH), and intrasplenic route of MSC (BDL + MSC IS). Umbilical cord MSC was administered in the fifth day of bile duct ligation, and the subject was observed until terminated on 14th day post BDL. The liver function, such as AST, ALT, total and direct bilirubin were evaluated, and the degree of fibrosis was evaluated with Laennec score. 
Result: The subjects were grouped into 4 group: 2 sham surgery, and each had 7 in BDL, BDL + MSC IH and BDL + MSC IH groups. Mortality rate in control group was 57,1%, mortality in BDL + MSC IH group was 14,3% and in BDL + MSC IS group was 28,6%. No significant difference was found regarding liver function in each group such as AST, ALT, total and direct bilirubin, but the median of liver function in BDL group seemed worse than in sham sugery group, and the median of liver function in BDL + MSC IH and BDL + MSC IS groups were closed to sham operated (normal). Liver function seemed to be better in BDL + MSC IS group compared to BDL + MSC IH group, but showed no statistical difference. Histopathology examination in subjects undergone bile duct ligation (regardless of MSC) show the degree of fibrosis of Laennec 4B. Fibrosis area fraction, the number of viable and necrosis hepatocyte, and progenitor cell are analysed; no significant difference was found between BDL + MSC IH and BDL + MSC IS group, but the group administered with MSC shows larger number of viable hepatocyte compared to BDL group.
Conclusion: Administration of intrahepatic or intrasplenic MSC did not show significant improvement the liver function and liver fibrosis in Oryctolagus cuniculus bile duct ligation model. Administration of MSC would increase the number of viabel hepatocyte in Oryctolagus cuniculus bile duct ligation model.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>