Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 69650 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nieken Kartika Yurida
"Artikel ini membahas mengenai simulasi dan hiperrealitas dalam fenomena manusia Barbie. Kesempurnaan boneka Barbie menimbulkan keinginan dari mereka yang menyukainya untuk mengubah dirinya menjadi seperti boneka. Metode penelitian yang digunakan dalam metode kualitatif dengan konsep simulasi dan hiperrealitas Jean Baudrillard sebagai alat pembacaan kritisnya. Kasus yang akan dibahas adalah kasus manusia Barbie Sarah Burge yang merombak tubuhnya melalui serangkaian operasi plastik sehingga ia membentuk dirinya menyerupai boneka Barbie. Hasil analisis memperlihatkan bahwa perkenalan dini atas prosedur operasi plastik menjadikan Sarah Burge percaya bahwa realitas penampilan fisik tubuh dan wajahnya dapat dibentuk sesuai dengan realitas lain yang dibayangkan. Boneka Barbie yang awalnya dibentuk dengan manusia sebagai referensinya, justru sekarang menjadi rujukan realitas kesempurnaan yang ingin dia bentuk dalam penampilan fisiknya. Operasi plastik yang telah semakin berkembang menjadi sarana simulasi yang memfasilitasi keinginan manusia untuk mengonstruksi realitas baru dalam penampilan fisiknya.

This article discusses simulation and hyperreality in the human phenomenon Barbie. The perfection of the Barbie doll raises the desire of those who love it to transform themselves into a doll. The research method used is a qualitative method with the concept of simulation and hyperreality by Jean Baudrillard as a means of critical reading. The case that will be discussed is the case of human Barbie Sarah Burge, who remodeled her body through a series of plastic surgeries so that she shaped herself like a Barbie doll. The results of the analysis show that the early introduction of plastic surgery procedures made Sarah Burge believe that the reality of the physical appearance of her body and face could be shaped in accordance with other imagined realities. Barbie doll, which was originally formed with a human as a reference, is now a reference to the reality of perfection that she wants to shape in her physical appearance. Plastic surgery has increasingly developed into a means of simulation that facilitates the human desire to construct a new reality in its physical appearance."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Galuh Adityas Marini
"Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan untuk meneliti Barbie sebagai ikon budaya (kecantikan dan budaya konsumerisme) dilihat pada konteks Indonesia. Untuk melihat ini digunakan iklan perawatan (pembentukan) tubuh yaitu iklan impressions yang selalu muncul dalam Majalah Kartini.
Kerangka pemikiran yang digunakan untuk melihat hal ini adalah Barbie Culture milik Mary F. Rogers, yang melakukan penelitian mengenai Barbie sebagai ikon budaya (kecantikan dan budaya konsumerisme). Shoemaker dan Reese untuk faktor-faktor yang mempengaruhi isi media, ideologi Althusser, pembacaan text Stuart Hall, dan feminis sosialis sebagai pisau analisanya. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, kepada pihak terkait dan studi literatur. Metode analisa datanya digunakan Critical Discourse Analysis Norman Fairdough untuk melihat produksi dan konsumsi teks.
Hasil yang didapat dari analisa dan diskusi yang dilakukan adalah dengan karakteristik tubuh plastiknya, Barbie bukan hanya merupakan ikon kecantikan dan ikon budaya konsumerisme (seperti yang dikatakan Rogers) tetapi Barbie juga bisa menjadi ikon visual kekerasan fisik bagi kecantikan ragawi perempuan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22609
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juwita Anindya
"Hampir semua orang tahu Barbie, sebuah boneka yang menunjukkan nilai-nilai budaya dan konsep kecantikan wanita. Bagaimanapun, Barbie hanya merepresetasikan satu budaya yang spesifik, yakni budaya kebaratan. Berbeda dengan budaya kebaratan, budaya ketimuran juga membutuhkan sebuah boneka yang dapat merepresentasikan budayanya. Kemudian muncullah Fulla sebagai representasi kecantikan budaya ketimuran. Fulla menunjukkan nilai-nilai budaya ketimuran serta konsep kecantikan baru yang berbeda dengan Barbie. Kemunculan Fulla memang dapat mempertegas perbedaan yang ada antara budaya kebaratan dan ketimuran, namun ia dapat memberi pilihan lain untuk membentuk pola pikir masyarakat mengenai adanya kecantikan budaya ketimuran. Dengan menggunakan teori Orientalisme Said penulis berharap dapat terbantu untuk mendukung argumen-argumen mengenai budaya ketimuran yang dapat menjadi kompetitor yang sama kuat dengan budaya kebaratan di masa sekarang ini.

Most people know Barbie, a doll that conveys some values about culture and about the concept of women?s beauty. However, Barbie only represents one specific culture, which is Western culture. Different with Western culture, Eastern culture needs a doll who can represent their values. Then, Fulla appears as the representative of Eastern beauty. Fulla conveys some values about Eastern culture and about the new concept of women?s beauty which are different from Barbie. Fulla?s appearance here is thought can emphasize the cultural differences among the society, but it can give another choice to shape people?s new thought about the beauty of Eastern culture. Using Said?s orientalism will help the writer to support the arguments about Eastern culture that can be an equal competitor to Western culture nowadays.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2013
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Alyssa Melita Rahmat
"Boneka Barbie selalu dikaitkan dengan hal-hal yang negatif dikarenakan standar kecantikan dan penampilannya yang tidak realistis. Oleh karena itu, Mattel membentuk sebuah kampanye baru, “You Can Be Anything”, dengan tujuan memotivasi para perempuan untuk bermimpi besar dan menjadi apapun yang mereka impikan. Salah satu cara untuk menyebarluaskan kampanye ini adalah dengan mengunggah beberapa video ke dalam channel YouTube Barbie. Artikel ini mendiskusikan bagaimana warna merah muda tidak hanya digunakan sebagai penanda feminitas tetapi juga sebagai pesan pemberdayaan. Akan tetapi, pesan ini justru menjadi ambigu terhadap tujuan dari kampanye ini. Maka, dengan menggabungkan analisis bagaimana pemberdayaan tersalur melalui program pembinaan perempuan dan konsep konotasi dan denotasi oleh Roland Barthes, artikel ini menunjukan bahwa kampanye YCBA menggambarkan keambiguitasan pada pemberdayaan perempuan, yang merupakan target utama pemasaran Barbie, dan kampanye ini juga menekankan bahwa perempuan masih membutuhkan kesetaraan di tempat kerja mereka maupun karir lainnya. Selain itu, artikel ini juga menemukan beberapa hal dalam kampanye Barbie yang menunjukan bahwa terkadang para perempuan tetap dipandang rendah dan masih didominasi oleh nilai-nilai patriakal.

The famous Barbie doll stereotypically being seen with negativity due to its unrealistic beauty standard and appearance. Therefore, Mattel created a new campaign, “You Can Be Anything”, to encourage young girls to have big dream and be whatever they want to be. One of the ways in which this campaign is being disseminated is by uploading the videos on the company’s YouTube channel. This article explores how the color pink is not only utilized as a signifier of femininity but also carries a message of empowerment. This eventually leads to an ambiguous interpretation of the campaign’s mission. Combining an analysis on how female empowerment works in this campaign through the depiction of female mentorship program and the concept offered by Roland Barthes on the level of connotation and denotation, the findings show that this YCBA campaign ambiguously portrays empowerment for young girls, which are the target markets of Barbie, and emphasizes on how girls are still in need of equality in the work place or any careers in general. However, there are still moments of disempowerment in which the campaign affirms to the dominant patriarchal values."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Chika Widyaputri Mulyono
"Riset ini bertujuan untuk melihat representasi diversitas pada mainan anak sebagai bagian dari budaya populer yaitu boneka Barbie People of Color Inspiring Women Series dalam membentuk citra keberagaman akan budaya, etnis, dan rasial, serta pekerjaan seorang perempuan. Barbie hingga kini masih menjadi ikon pop culture Amerika yang dijuluki perempuan berambut pirang bermata biru. Dalam melihat fokus tersebut, analisis ini akan menggunakan konsep representasi media, diversitas, dan mainan sebagai bagian dari budaya populer. Metode penelitian yang digunakan dalam riset ini yaitu studi literatur dan analisis semiotika Roland Barthes kepada tiga boneka Barbie yang diproduksi mengikuti tokoh perempuan berkulit berwarna (People of Color), yaitu Ibtihaj Muhammad, Frida Kahlo, dan Maya Angelou. Semiotika Roland Barthes akan membahas seputar signified (petanda) dan signifier (penanda) yang dikembangkan menjadi makna konotasi dan denotasi (Fiske, 2012). Berdasarkan temuan dari hasil riset ini, dapat disimpulkan bahwa Mattel sebagai produsen perusahaan mainan Barbie telah mengupayakan fokus mereka kepada seri Barbie Inspiring Women Series terutama pada tokoh People of Color yang mengandung pesan untuk mematahkan stereotip standar kecantikan Barbie menjadi lebih inklusif akan keragaman budaya dan lebih representatif untuk anak – anak di seluruh dunia.

This research aims to look at the representation of diversity in children's toys as part of popular culture, namely the Barbie People of Color Inspiring Women Series, which shaping the image of diversity in culture, ethnicity, and race, as well as woman’s occupation. Barbie is still an icon of American pop culture, represented as a blondehaired, blue-eyed woman. By looking through this focus, this analysis will use the concepts of media representation, diversity, and toys as part of popular culture. The research method used in this research is a literature study and semiotic analysis of Roland Barthes on three Barbie dolls produced following the People of Color female characters, namely Ibtihaj Muhammad, Frida Kahlo, and Maya Angelou. Roland Barthes' semiotics will discuss about signified and signifier which are developed into connotative and denotative meanings (Fiske, 2012). Based on the findings of this research, it can be concluded that Mattel as a producer of Barbie toy company has made efforts to focus their objectives on the Barbie Inspiring Women Series, especially on the People of Color character that contains a message to break the stereotype of Barbie's beauty standards to be more inclusive of cultural diversity and be more representative for children around the world."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Lintang Banun Nastiti Prayitno
"[ ABSTRAK
Semenjak kecil, anak-anak perempuan di seluruh dunia sudah mengenal dan
terbiasa dengan boneka Barbie. Tidak hanya anak perempuan, perempuan dewasa
pun senang bermain dan mengoleksi. Namun, beberapa orang lebih tertarik untuk
menjadi manusia Barbie dibandingkan menjadi “cantik” atau “keren” dengan
gayanya sendiri. Penelitian ini akan menjelaskan tentang fenomena manusia
Barbie dan efek dari fenomena ini berdasarkan beberapa konsep kemanusiaan dan
feminitas. Penelitian ini juga akan menunjukkan bagaimana Valeria Lukyanova
dan Justin Jedlica merubah diri mereka menjadi manusia Barbie dan apakah yang
mempengaruhi mereka sehingga merubah diri mereka menjadi “Barbie look
alike”. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan penjelasan mengapa
beberapa orang berkeinginan untuk merubah dirinya menjadi manusia Barbie.
Selain itu, penelitian ini juga akan membahas konstruksi sosial apa yang
membuat manusia Barbie ini merubah penampilan mereka. Berdasarkan konsep
identitas dan konstruksi kecantikan di masyarakat, penelitian ini akan menganalisa
alasan manusia Barbie merubah penampilan menjadi seperti Barbie.

ABSTRACT
From early childhood on, especially for almost the entire girl in the world, Barbie is well-known as
girls' toy. Barbie is a doll that almost all of the girls, even an adult, like to play and collect it.
However, some people tend to be like Barbie doll instead of being a “normal” people. This study
will explain about human Barbie phenomena and the effect of this phenomena towards some
concepts of humanity and feminism. This study also shows how Valeria Lukyanova and Justin
Jedlica become human Barbie and what kind of society and life that affect them to become Barbie
look alike. The purpose of this research is to give the explanation why people want to change their
identity into a Barbie. Thus, what kind of social construction that makes those people change their
appearance into a Barbie look alike. Based on identity concept and social construction of beauty,
this paper analyzes why the human Barbie changes their appearance into a Barbie., From early childhood on, especially for almost the entire girl in the world, Barbie is well-known as
girls' toy. Barbie is a doll that almost all of the girls, even an adult, like to play and collect it.
However, some people tend to be like Barbie doll instead of being a “normal” people. This study
will explain about human Barbie phenomena and the effect of this phenomena towards some
concepts of humanity and feminism. This study also shows how Valeria Lukyanova and Justin
Jedlica become human Barbie and what kind of society and life that affect them to become Barbie
look alike. The purpose of this research is to give the explanation why people want to change their
identity into a Barbie. Thus, what kind of social construction that makes those people change their
appearance into a Barbie look alike. Based on identity concept and social construction of beauty,
this paper analyzes why the human Barbie changes their appearance into a Barbie.]"
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-PDF
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Goldscheider, Gaby
Windsors: Berkshire Gaby Goldscheider, 1979
688.7 GOL d
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Hendrik Ibsen
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979
839.822 HEN r (2);839.822 HEN r (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Seoul: Hyung Mun, 1981
306.095 FAM
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fakhri Wibisono
"Dalam era digital, media sosial dan budaya populer memainkan peran signifikan dalam pembentukan persepsi realitas, sering kali menghasilkan hiperrealitas di mana informasi yang dimanipulasi menciptakan ilusi tentang dunia. Film Faust (2011) yang disutradarai oleh Alexander Sokurov mengilustrasikan konsep konstruksi ilusi dan hiperrealitas melalui karakter Mauricius (Mephistopheles) yang memanipulasi persepsi karakter Heinrich Faust mengenai realitas (Freedman, 2013). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana konstruksi ilusi yang ditunjukkan melalui karakter Mauricius dalam film Faust menggambarkan dan mengkritik fenomena hiperrealitas yang serupa dengan penyebaran berita hoaks di masyarakat modern, khususnya di Jerman. Dalam penulisan ini penulis menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan semiotika berdasarkan teori hiperrealitas Jean Baudrillard yang menyoroti teknik sinematografi seperti penggunaan lensa melengkung, pencahayaan unik, dan gambaran perspektif terdistorsi yang menciptakan suatu suasana yang mengaburkan batas antara realitas dan ilusi. Hasil analisis penelitian menunjukkan bahwa ilusi sihir yang digunakan oleh Mauricius mengarahkan Faust ke dalam dunia hiperrealitas, menggambarkan bagaimana manipulasi dapat memengaruhi moralitas dan persepsi realitas. Film ini juga memberikan kritik terhadap fenomena hiperrealitas dalam masyarakat modern, di mana informasi yang dimanipulasi dapat memengaruhi pandangan dan tindakan publik.
In the digital age, social media and popular culture significantly shape perceptions of reality, often generating hyperreality where manipulated information creates illusions about the world. Alexander Sokurov's Faust (2011) vividly illustrates the concept of illusory construction and hyperrealism through the character of Mauricius (Mephistopheles), who manipulates Heinrich Faust's perception of reality (Freedman, 2013). This study aims to analyze how Mauricius' construction of illusion in the film critiques the phenomenon of hyperreality, akin to the spread of fake news in contemporary society, particularly in Germany. Employing a qualitative methodology with a semiotic approach grounded in Jean Baudrillard's theory of hyperrealism, the study focuses on cinematic techniques such as the use of curved lenses, unique lighting, and distorted perspective imagery to create a surreal atmosphere and blur the line between reality and illusion. The analysis reveals that the magical illusions employed by Mauricius lead Faust into a hyperreal world, demonstrating how manipulation can impact morality and perceptions of reality. The film also critiques the phenomenon of hyperreality in modern society, where manipulated information can influence public views and actions."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>