Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 213197 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yusnoni
"Perilaku sopan santun menjadi hal mendasar yang dibutuhkan dalam aktivitas sosial masyarakat, termasuk di dalam persidangan. Mengenai pemaknaan kesopanan di persidangan sendiri tidak ada pemaknaan yang sama. Meskipun tidak ada pemaknaan yang sama mengenai definisi dari kesopanan terdakwa di persidangan sebagai pertimbangan keadaan yang meringankan. Namun secara umum, sikap sopan terdakwa di persidangan lebih menekankan pada penghargaan terhadap tata tertib persidangan. Beberapa putusan pengadilan ada yang menggunakan sikap sopan terdakwa sebagai faktor yang meringankan pidana. Meskipun tidak ada ketentuan yang secara khusus menyebutkan bahwa sikap sopan dapat menjadi dasar pertimbangan yang meringankan, beberapa putusan pengadilan telah menganggap sikap sopan terdakwa di persidangan sebagai keadaan yang meringankan pidana. Namun, hal ini masih menjadi perdebatan di kalangan masyarakat, karena ada anggapan bahwa hanya dengan bersikap sopan di persidangan dapat memperingan hukuman, hal tersebut dianggap tidak adil oleh sebagian masyarakat. Peraturan mengenai keharusan untuk bersikap sopan di persidangan diatur oleh Mahkamah Agung melalui protokol persidangan dan keamanan dalam lingkungan pengadilan. Dimana setiap orang yang berada di ruang sidang diwajibkan untuk menunjukkan sikap hormat terhadap peradilan, yang didalamnya termasuk untuk bersikap. Namun, mengenai apakah kesopanan terdakwa di persidangan dapat dipertimbangkan sebagai hal yang akan memperingan hukuman secara khusus tidak ada aturan yang mengatur bahwa sikap sopan terdakwa di persidangan dapat memperingan hukuman. Penentuan mengenai lamanya pidana penjara tidak diatur dengan kalkulasi yang baku, tetapi didalamnya hakim memiliki kebebasan untuk menentukan lamanya penghukuman. Pertimbangan hakim dalam menentukan penghukuman dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk didalamnya sikap terdakwa di persidangan. Namun, penggunaan sikap sopan terdakwa di persidangan sebagai faktor yang meringankan pidana dapat bervariasi antara putusan yang satu dengan putusan yang lain. Dalam penelitian ini, penulis menganalisis penggunaan sikap sopan terdakwa di persidangan sebagai pertimbangan dalam penjatuhan hukuman.

Polite behavior is a fundamental requirement in social activities within the community, including in the judicial process. However, there is no universal interpretation of courtroom decorum. Although there is no consensus on the precise definition of defendant's courtesy in court as mitigating circumstances, generally the behavior of defendants' courtesies emphasizes respect for courtroom decorum. Several court decisions have used the polite behavior of the defendant as a mitigating factor in sentencing. Even though there is no specific provision stating that politeness can be used as a basis for mitigating sentences, several court decisions considered the polite behavior of the defendant in court as a mitigating measure. However, this remains a matter of debate in society, as some people believe that simply behaving politely in court does not necessarily lead to a reduced sentence, which they consider unfair. The obligation of individuals to show respectful behavior in court is regulated by the Supreme Court through courtroom and security protocols. However, as to whether the modesty of the defendant in court can be specifically considered as a mitigating factor, there is no rule that the courtesy of the defendant in court can reduce the sentence. Determination of the length of imprisonment is not regulated by a fixed calculation, but at the discretion of the judge. The judge's consideration in determining the sentence is influenced by various factors, including the behavior of the accused in court. However, the use of the defendant's polite behavior in court as a mitigating measure may vary between decisions of different courts. In this study, the authors analyze the use of the defendant's polite behavior in court as a consideration in sentencing. Although there are no normative rules governing this, courtroom practice shows that the polite behavior of the accused in court can be considered a mitigating factor in sentencing. However, based on the findings of this study, the researcher concludes that "polite behavior of the accused in court" is not treated as a condition that automatically reduces criminal penalties, considering that behaving politely in court is an obligation for everyone present in the courtroom."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Weriansyah
"Pandangan hakim terhadap status kewarganegaraan asing pada penjatuhan pidana dalam perkara peredaran gelap narkotika di Indonesia masih belum konsisten. Dalam beberapa putusan, status kewarganegaraan asing dicantumkan sebagai keadaan yang memberatkan sedangkan pada beberapa putusan lainnya status kewarganegaraan asing tersebut tidak dipertimbangkan sama sekali bahkan terdapat putusan yang menjadikan faktor tersebut sebagai alasan meringankan. Melalui metode penelitian yuridis normatif, dengan pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan dan wawancara terhadap beberapa hakim di Indonesia, penelitian ini berupaya menjelaskan persoalan mengenai relevansi status kewarganegaraan asing dalam penjatuhan pidana ditinjau dari 3 (tiga) aspek yakni falsafah penjatuhan pidana, pengaturan penjatuhan pidana dalam perkara peredaran gelap narkotika dan perbandingannya terhadap Indonesia, Belanda, dan Amerika Serikat, serta pandangan hakim dari masing-masing ketiga negara tersebut. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa status kewarganegaraan asing terdakwa dapat dijustifikasi melalui general deterrence theory walaupun justifikasi melalui teori tersebut terbilang lemah. Selanjutnya, ditinjau dari pengaturan penjatuhan pidana, kendati tidak ditemukan status kewarganegaraan asing sebagai faktor yang relevan dalam penjatuhan pidana dari ketiga negara di atas, hakim masih memiliki diskresi untuk menentukan sendiri faktor-faktor yang relevan menurutnya, sehingga masih terbuka kemungkinan untuk faktor kewarganegaraan asing dipertimbangkan. Terakhir, penelitian ini menemukan bahwa hakim di Belanda dan beberapa hakim di Indonesia menilai status kewarganegaraan asing tersebut relevan untuk dipertimbangkan dalam penjatuhan pidana dengan alasan general deterrence theory dan beberapa alasan yang bersifat politis. Spesifik di Belanda, status kewarganegaraan asing juga dipertimbangkan dalam penjatuhan pidana karena terkait dengan adanya kendala eksekusi dalam beberapa jenis pidana tertentu. Namun, Amerika Serikat secara tegas menolak status kewarganegaraan asing untuk berpengaruh dalam penjatuhan pidana karena dipandang inkonstitusional.

The perspective of judges regarding foreign citizenship status in sentencing for drug trafficking cases in Indonesia remains inconsistent. In some decisions, the status of foreign citizenship is identified as an aggravating circumstance whereas in several other decisions it is not considered at all or may even be considered as a mitigating factor. Through normative juridical research method, which involves literature review and interviews with several judges in Indonesia, this research aims to elucidate the issue of the relevance of foreign citizenship status in criminal sentencing, considering three aspects: sentencing philosophies, the regulation of criminal sentencing in drug trafficking cases and a comparison with Indonesia, the Netherlands, and the United States, as well as the views of judges from each of the three countries. The research finding indicate that the defendant’s foreign citizenship status can be justified based on the general deterrence theory although the justification relatively weak. Furthermore, in terms of regulations on criminal sentencing, although foreign citizenship status is not recognized as a relevant factor in criminal sentencing from the three countries above, judges still have the discretion to determine the relevant factors themselves, so it is still possible for foreign citizenship factors to be considered. Finally, this study reveals that judges in the Netherlands and several judges in Indonesia considered the status of foreign citizenship relevant to be considered in sentencing for general deterrence theory and several political reasons. Particularly in the Netherlands, foreign citizenship status is also considered in sentencing due to execution constraints in certain types of punishment. However, the United States firmly rejects the notion that foreign citizenship status has an impact on criminal sentencing as it is deemed unconstitutional."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rompas, Kevin Bryan Simon
"Penelitian ini membedah tentang sewa pacar, dengan memulai dari sejarah dan perkembangan konsep dari pacaran sebagai objek yang disewakan dalam sewa pacar, lalu melanjutkan pada praktik sewa pacar itu sendiri dengan menggunakan ilmu kriminologi sebagai pisau bedahnya, kemudian melihat hasil dari pembedahan tersebut dengan menggunakan lensa politik hukum pidana dan lensa hukum pidana, juga menyarankan metode yang tepat untuk menanggulangi sewa pacar. Penelitian ini menggunakan gabungan dari metode penelitian non-doktrinal dan metode penelitian doktrinal. Sewa pacar dalam pembedahan secara kriminologis menghasilkan bahwa sewa pacar adalah kriminogen atau sesuatu yang menciptakan adanya tindak-tindak pidana dan menempatkan pemberi jasa sewa pacar sebagai pihak yang rentan terhadap kejahatan. Dalam pandangan lensa politik hukum pidana, sewa pacar telah bertentangan dengan tujuan dari politik hukum pidana yang selaras dengan tujuan dari keseluruhan politik kriminal Indonesia. Keseluruhan politik kriminal Indonesia atau disebut juga social defence planning merupakan bagian yang terintegrasi dengan politik sosial negara Indonesia. Politik sosial negara Indonesia diatur dalam Rencana Pembangunan Nasional (UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional), sehingga tujuan dari politik kriminal ini juga selaras dengan tujuan pembangunan nasional yang memperhatikan semua bidang kehidupan bangsa Indonesia. Sewa pacar menjadi bertentangan dengan politik hukum pidana karena keberadaan dari sewa pacar mengancam bidang kehidupan bangsa Indonesia. Dalam pandangan lensa hukum pidana, sewa pacar secara kualifikasi bukan merupakan tindak pidana, oleh sebab tidak adanya delik yang secara khusus mengatur tentang sewa pacar. Akan tetapi secara konseptual, unsur-unsur yang terkandung dalam sewa pacar seperti: menawarkan, menyepakati dan memberikan jasa seksual, itu ada diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama dan baru maupun peraturan perundang-undangan lain di luar KUHP, khususnya delik yang berhubungan dengan bidang kesusilaan masyarakat. Proses untuk menghubungkan antara sewa pacar dan tindak pidana dalam ilmu hukum pidana dilakukan dengan menggunakan metode penemuan hukum, yaitu penafsiran hukum.

This research dissects the phenomenon of renting a boyfriend/girlfriend starting from the history and development of the concept of dating as an object that is being rented out in said phenomenon, then continuing to the practice of renting a boyfriend/girlfriend itself using criminology as a scalpel to further looking at the results through the lenses of criminal law and political criminal law while also suggest appropriate methods for dealing with boyfriend/girlfriend rent. This research uses a combination of doctrinal and non-doctrinal research methods. Renting a boyfriend/girlfriend  analysed through criminological perspective resulting in it being a criminogen, something that concoct criminal acts and subjecting the perpetrator of renting a boyfriend/girlfriend  as a party vulnerable to crime. From the perspective of political criminal law, renting a boyfriend/girlfriend is contrary to the objectives of criminal legal politics which are in line with the objectives of the entire Indonesian criminal politics. The entire Indonesian criminal politics or also known as “social defence planning” is an integrated part of the social politics of the Indonesian state. The social politics of the Indonesian state are regulated in the National Development Plan (Law Number 25 of 2004 concerning the National Development Planning System), so that the goals of criminal politics are also in line with national development goals which pay attention to all areas of the life of the Indonesian nation. Renting a girlfriend is in conflict with criminal law politics because the existence of renting a boyfriend/girlfriend threatens the areas of life of the Indonesian. From a criminal law perspective, renting a boyfriend/girlfriend is not a criminal offence because there are no offences specifically regulating renting a boyfriend/girlfriend. However, conceptually, the elements contained in renting a boyfriend/girlfriend, such as: offering, agreeing to and providing sexual services, are regulated by the old and new Criminal Code (KUHP) as well as other laws and regulations outside the Criminal Code, in particular offences related to the field of public morality. The process of connecting between renting a girlfriend and criminal acts in criminal law is carried out using the legal discovery method, namely legal interpretation."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurfahmi Islami Kaffah
"Skripsi ini membahas mengenai dua pokok permasalahan: Pertama, bagaimana tinjauan hukum pidana Islam terhadap praktik suap-menyuap dalam tindak pidana korupsi. Kedua bagaimana penerapan hukuman takzir pada kepada pelaku tindak pidana suap menyuap dalam perpektif hukum pidana Islam. Korupsi dan praktik suap (ar-risywah)adalah perbuatan yang melanggar syariat. Syariat Islam pada hakikatnya diterapkan untuk mewujudkan kemaslahatan yang memelihara lima unsur dalam kehidupan manusia yang disebut al-maqosid as-syar'iyyah. Hukum Pidana Islam memasukkan Praktik suap-menyuap dalam kategori jarimah ta'zir. Ta'zir merupakan sanksi yang bersifat diskresi, memperbaiki, dan bertujuan untuk mencegah perbuatan kejahatan. Ta'zir di dasarkan pada konsesus dengan syarat sesuai dengan kepentingan-kepentingan masyarakat dan diserahkan kepada kompetensi hakim untuk memberikan pertimbangan dan putusan. Beberapa bentuk hukuman ta'zir antara lain: hukuman cambuk, pengasingan, penjara/kurunga n, pengumuman kepada public, pemboikotan, pembayaran kompensasi, bahkan hukuman mati.

This thesis is discussing about the two main issues: First, how the Islamic Criminal Law reviews the practice of Bribery in corruption. Seconds, how the implementation ta'zir punishment on the perpetrators of the crime of bribery in the perspective of Islamic criminal law. Corruption and bribery (ar-risywah) is an act that violates the law. Islamic Shariah essentially should be implemented to realize the benefit of maintaining the five elements in human life which is called almaqosid as-syar'iyyah. Islamic Criminal Law Practice classify bribery in the category jarimah ta'zir. Ta'zir is a sanction that is discretionary, repair, and aims to prevent the perpetration of crimes. Ta'zir is based on consensus with the requirements in accordance with the interests of society and the implementation of competence submitted to the judge for consideration and decision. Some forms of punishment Ta'zir among others: flogging, exile, imprisonment / confinement, an announcement to the public, boycott, payment of compensation, even the death penalty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S63360
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephen Antonius
"Dalam kehidupan manusia sehari-hari, peran korporasi sangatlah besar. Baik sebagai penyedia produk dan jasa bagi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu korporasi menjadi salah satu tonggak pergerakan ekonomi dunia. Meskipun demikian, bukan suatu hal yang tidak lumrah suatu korporasi terlibat dalam tindak pidana. Hal ini menjadi membingungkan jika berkaca kepada pendefinisian korporasi yang masih rancu di Indonesia. Setidaknya terdapat 4 (empat) definisi korporasi yang berbeda yang diatur melalui ketentuan perundang-undangan berbeda di Indonesia. Hal ini menjadi masalah karena sejatinya pendefinisian korporasi melalui peraturan perundang-undangan di Indonesia menyamakan semua badan usaha (tidak mempertimbangkan apakah badan usaha tersebut adalah (i) perkumpulan orang atau (ii) perkumpulan modal). Dengan kata lain, di depan mata hukum positif Indonesia, dalam hal terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh suatu Perseroan Terbatas ("PT") atau suatu Comanditaire Venotschaap ("CV"), mereka akan diperlakukan secara sama. Fenomena tersebut membawa suatu isu hukum yaitu pemrosesan perkara tindak pidana korporasi yang bertolak belakang dengan esensi dari pemidanaan korporasi itu sendiri karena parameter yang digunakan disama ratakan bagi seluruh bentuk badan usaha di Indonesia padahal masing-masing jenis badan usaha memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda-beda. Implikasi hukum yang muncul bagi fenomena tersebut salah satunya adalah pembebanan sanksi yang dibebankan kepada subjek hukum yang kurang tepat dan tidak tercapainya tujuan dalam memidana korporasi dalam hal terjadi suatu tindak pidana korporasi.

The role of corporation in human's life is very essential. Both as a provider of products and services for the needs of society. Therefore, corporation is one of the cornerstones of the movement of the world economy. Even so, it is not unusual for a corporation to commit or be involved in a crime. This becomes an issue as the definition of corporation in Indonesia is still ambiguous. There are at least 4 (four) different definitions of corporation which are regulated through different laws and regulations in Indonesia. This is a problem because actually the definition of a corporation through laws and regulations in Indonesia equates all business entities (without considering whether the business entity is (i) an association of people or (ii) an association of capital). In other words, in the eyes of Indonesia's positive law, in an event of a crime committed by a Limited Liability Company ("PT") or a Comanditaire Venotschaap ("CV"), they will receive the same treatment. A legal issue arises from this phenomenom, namely the processing of corporate criminal cases which is contrary to the essence of punishing a corporation itself because the parameters used are the same for all forms of business entities in Indonesia even though each type of business entity has different characteristics. One of the legal implications that arise for this phenomenon is the imposition of sanctions imposed on legal subjects that are not appropriate and the goal is not achieved in convicting corporations in the event of a corporate crime."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Iqbal Putra Sabila
"Hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil harus dipenuhi dalam melaksanakan penegakan hukum di Indonesia sehingga aparat penegak hukum tidak boleh melanggar hak siapapun dalam menjalankan kewenangannya. Salah satu metode yang melanggar hak seseorang adalah metode penjebakan dalam tindak pidana korupsi. Metode penjebakan dalam tindak pidana korupsi tidak memiliki ketentuan dalam ketentuan khusus tindak pidana korupsi dan metode tersebut melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 28 D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sehingga pertimbangan seorang hakim diharapkan dapat menilai metode tersebut dengan cermat. Metode penjebakan ditemui dalam putusan Nomor 03/PID.B /TPK/2005/PN. JKT.PST dan Nomor 34/Pid.Sus-TPK/2020/PN. Bdg disertai dengan pertimbangan hakim yang berbeda. Berdasarkan hal tersebut, tulisan ini akan menganalisis mengenai pertimbangan hakim pada kedua kasus tersebut terhadap pelaksanaan metode penjebakan dalam tindak pidana korupsi.

The right to obtain fair legal certainty must be ensured in the enforcement of law so the officials must not violate anyone's rights in carrying out their authority. One method that violates an individual's rights is the entrapment method in corruption offenses. The entrapment method in corruption offenses is unregulated for specific provisions of corruption offenses, and this method violates the rules stipulated in Article 28D of the UUD RI 1945, thus requiring a judge's careful assessment of such a method. The entrapment method found in the verdict with Case Number 03/PID.B/TPK/2005/PN. JKT.PST and Case Number 34/Pid.Sus-TPK/2020/PN. Bdg, accompanied by different considerations from the judges. Based on these issues, this paper will analyze the judges' considerations regarding implementation of entrapment method in corruption offenses."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Narisha Anindita
"Perkembangan teknologi yang pesat memberikan kemudahan akses ke informasi untuk semua orang dan mengaktifkan pengumpulan data secara pribadi oleh perusahaan dan pemerintah dalam database yang memiliki cakupan yang luas dan mendalam. Hal ini dapat menyebabkan masalah yang berkaitan dengan hak individu untuk menjaga kerahasiaan beberapa informasi, salah satu-satunya data pribadi individu dan menciptakan ancaman terhadap privasi individu dengan memberikan peluang besar bagi mereka yang memiliki akses ke informasi pribadi untuk menyalahgunakan data pribadi orang lain untuk kepentingan pribadinya. Indonesia belum memiliki undang-undang khusus yang mengatur perlindungan data pribadi dan peraturan yang melindungi data dan sanksi yang berlaku terhadap pelanggaran masih bersifat sektoral dan tersebar di lebih dari 30 undang-undang dan peraturan. Ancaman sanksi belum cukup kuat untuk pencegahan dan penindakan pelanggaran violations perlindungan data pribadi, masih ada beberapa celah yang dapat dimanfaatkan pihak yang ingin menyalahgunakan data pribadi untuk keuntungan mereka yang mengakibatkan pelanggaran terhadap perlindungan data pribadi masih beredar besar. Untuk mengatasinya, RUU Perlindungan Data Pribadi sedang disusun oleh pemerintah yang didalamnya terdapat berbagai jenis sanksi atas pelanggaran tentang perlindungan data pribadi, termasuk sanksi pidana. Penting untuk tagihan Perlindungan Data Pribadi harus diprioritaskan dalam merancang dan pengesahannya sebagai solusi dalam menjawab kebutuhan akan perlindungan data swasta di Indonesia.
Rapid technological developments provide easy access to information for everyone and enable data collection privately by companies and governments in a broad and in-depth database. This can cause problems related to the right of individuals to maintain the confidentiality of some information, one of which is the individual's personal data and create threats to individual privacy. by providing a great opportunity for those who have access to personal information to misuse other people's personal data for their personal interests. Indonesia does not yet have a specific law that regulates the protection of personal data and regulations that protect data and the sanctions that apply to violations are still sectoral in nature and spread across more than 30 laws and regulations. The threat of sanctions is not strong enough to prevent and take action against violations of personal data protection. To overcome this, the Personal Data Protection Bill is being drafted by the government which includes various types of sanctions for violations of personal data protection, including criminal sanctions. It is important for the Personal Data Protection bill to be prioritized in designing and ratifying it as a solution in responding to the need for private data protection in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marco Hardianto
"Salah satu asas dasar dalam hukum pidana adalah asas transitoir, yakni asas yang mengatur mengenai pemberlakuan hukum dalam hal terjadi perubahan perundang-undangan setelah suatu tindak pidana dilakukan. Terkait frasa ‘perubahan perundang-undangan’ dapat dibedakan antara 3 paham: paham formil (Simons, 1910), paham materiil terbatas (Van Geuns, 1919), dan paham materiil tidak terbatas (Hoge Raad, 1921). Ketiga paham ini berkembang sebelum dikenalnya pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi. Implikasi logisnya: Perubahan perundang-undangan dalam asas transitoir tidak mencakup hasil pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi. Lantas bagaimana implementasi perubahan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam asas transitoir dalam kaitannya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi? Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif terhadap putusan hakim pidana yang memaknai Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013. Penelitian ini memperlihatkan bahwa penerapan asas transitoir terhadap perubahan perundang-undangan yang diakibatkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi dapat dilakukan. Adapun penerapan asas transitoir dalam kaitannya dengan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam putusan di Indonesia masih sangat kabur. Oleh karena itu, sangat disarankan bagi Mahkamah Agung untuk memberikan suatu pedoman mengenai bagaimana hakim-hakim dalam peradilan pidana harus memaknai perubahan perundang-undangan yang diakibatkan oleh Mahkamah Konstitusi

One of the basic principles in criminal law is the principle of transitoir, namely the principle that regulates the enforcement of the law in the event of an amendment in legislation after a criminal act is committed. Regarding to the phrase 'amandment in legislation', there are three running doctrine: formele leer (Simons, 1910), beperkte materiele leer (Van Geuns, 1919), and onbeperkte materiele leer (Hoge Raad, 1921). These three doctrine developed prior to the recognition of judicial review by the Constitutional Court. Logical implication: Amendment in legislation as referred to in the principle of transitoir does not include amandment as the result of judicial review by the Constitutional Court. Hence the question: how is the implementation of amandment in legislation as referred to in the principle of transitoir in relation to Constitutional Court Verdict? This research was conducted with a juridial-normative approach to the verdict of criminal law judges which interpret the Constitutional Court Verdict No. 85/PUU-XI/2013. This study shows that the application of the principle of transitoir in relation to amendment in legislation as a result of the Constitutional Court Verdict can be done. However, it has to be noted that the application of the principle of transitoir in relation to the Constitutional Court Verdict in Public Court Verdict regarding criminal law in Indonesia is still very vague. Therefore, it is highly recommended for the Supreme Court to provide a guideline regarding how the judges in the Public Court should interpret the amendments to these laws as a result of the Constitutional Court Verdict."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stacia Faustine
"Hakim sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman bersifat independen sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Independensi hakim juga termasuk kebebasan untuk membuat hukum dalam putusannya (juga dikenal sebagai hukum yang dibuat hakim atau pembuatan hukum yudisial) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Peran dari hakim dalam pembuatan hukum yudisial semakin penting ketika hukum tidak jelas atau tidak lengkap. Peraturan pertanggungjawaban pidana perusahaan memiliki hubungan yang erat ketika itu sampai pada pembuatan hukum yudisial karena belum diatur dalam Pidana Indonesia Kode (KUHP). Penerimaan perusahaan sebagai subjek kriminal dan karenanya dapat pertanggungjawaban pidana yang terjadi secara bertahap dan simultan dalam tiga tahap dalam berbagai hukum di luar KUHP. Sehubungan dengan tindak pidana korporasi, para hakim di Pengadilan Tinggi Kasus Suwir Laut (2012) dan Indar Atmanto (2014) menjatuhkan sanksi pidana terhadap pihak yang tidak dikenakan biaya, yaitu Asian Agri Group dan PT. IM2, masing-masing. Itu keputusan dua kasus kriminal perusahaan telah mencapai tingkat kasasi dan memiliki kekuatan hukum permanen. Pada tahun 2017 dan 2018, Mahkamah Agung Indonesia mengeluarkan a pernyataan bahwa dua putusan, di mana perusahaan tidak dituntut tetapi dihukum, sebagai a bentuk pembuatan hukum yudisial. Penelitian ini berfokus pada dua perusahaan sebelumnya kasus pidana ketika dikaitkan dengan wewenang hakim untuk pembuatan hukum peradilan, peraturan mengenai pertanggungjawaban pidana perusahaan di Indonesia jika dibandingkan dengan Belanda dan Indonesia Inggris Raya, dan menganalisis pembuatan hukum peradilan oleh hakim dalam setiap kasus. Ini Penelitian adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode yuridis normatif, disertai dengan a pendekatan komparatif. Hasil penelitian pada kedua kasus menunjukkan bahwa ketidakjelasan dan ketidaklengkapan undang-undang di Indonesia telah mendorong hakim untuk membuat hukum dalam keputusan mereka ketika dihadapkan dengan kasus-kasus kejahatan perusahaan. Namun, hakim yang dibuat hukum dalam kasus pidana memiliki batasan dalam bentuk prinsip legalitas sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP dan pembatasan mayor-minor. Pengenaan keputusan pidana terhadap perusahaan yang bahkan tidak didakwa adalah hasil tidak hanya dari ketidakjelasan dan kekosongan hukum terkait dengan tindakan kriminal perusahaan, tetapi juga dari hakim kurangnya pemahaman dalam tanggung jawab pidana perusahaan dan adanya batasan pada pembuatan hukum yudisial itu sendiri. Hal ini menyebabkan para hakim akhirnya melampaui batas peradilan pembuatan hukum. Pada akhirnya, vonis terhadap korporasi yang tidak dituntut bukan merupakan bagian pembuatan hukum yudisial.

Judges as executors of judicial power are independent as regulated in Article 24 paragraph (1) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia. Independence of judges also includes freedom to make laws in their decisions (also known as laws made by judges or judicial making) as referred to in Article 4 paragraph (1), Article 5 paragraph (1), and Article 10 paragraph (1) of Law Number 48 of 2009 concerning Judicial Power. The role of judges in judicial lawmaking is increasingly important when the law is unclear or incomplete. The company's criminal liability regulations have a close relationship when it comes to making judicial law because it has not been regulated in the Indonesian Criminal Code (KUHP). The company acceptance as a criminal subject and therefore criminal liability that occur gradually and simultaneously in three stages in various laws outside the Criminal Code. In connection with corporate criminal acts, the judges in the High Court of the Suwir Laut Case (2012) and Indar Atmanto (2014) imposed criminal sanctions on parties who were not charged, namely the Asian Agri Group and PT. IM2, respectively. That decision of two criminal cases the company has reached the level of cassation and has permanent legal force. In 2017 and 2018, the Indonesian Supreme Court issued a statement that two decisions, in which the company was not prosecuted but were convicted, were a form of judicial law making. This research focuses on the two previous company criminal cases when linked to the judges authority to make judicial laws, regulations regarding criminal liability of companies in Indonesia when compared to the Netherlands and Indonesia Great Britain, and analyze judicial law making by judges in each case. This research is a qualitative research using normative juridical methods, accompanied by a comparative approach. The results of the research in both cases show that the unclear and incomplete laws in Indonesia have encouraged judges to make law in their decisions when faced with corporate crime cases. However, the judge made the law in a criminal case has limitations in the form of the principle of legality as regulated in Article 1 paragraph (1) of the Criminal Code and major-minor restrictions. The imposition of a criminal decision against a company which is not even charged is the result not only of obscurity and legal vacuum related to corporate criminal acts, but also from judges' lack of understanding of corporate criminal liability and limitations on the making of judicial law itself. This caused the judges to finally go beyond the judicial limits of lawmaking. In the end, a verdict against a corporation that is not prosecuted is not part of judicial law making."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Adiguna Bimasakti
"[ABSTRAK
Skripsi ini membahas keterkaitan antara akses kepada bantuan hukum bagi perempuan yang bermasalah dengan hukum pidana dengan proses beracara dalam peradilan pidana dengan sudut pandang pengalaman perempuan. Perempuan yang menjadi tersangka/terdakwa/terpidana, tidak dapat mengakses haknya untuk mendapatkan bantuan hukum karena adanya ketimpangan relasi kuasa dengan penegak hukum, serta dianggap sebagai kaum lemah. Terhalangnya akses kepada bantuan hukum ini mengakibatkan tersangka/terdakwa/terpidana tidak mendapatkan hak-haknya. Hak-hak yang dilanggar akibat terhambatnya akses kepada bantuan hukum ini beragam, mulai dari teknis pemeriksaan tersangka yang mengabaikan hak asasi manusia, peradilan yang tidak memberikan hak-hak terdakwa dalam persidangan, sampai hak-hak terpidana yang diabaikan.
ABSTRACT
This thesis is discussing about the relation between the accesses to legal aid, with the Process on the Criminal Procedure Law. As a vulnerable group in this case, women who are the suspect/defendant/convict due to no power and imbalance of power relations with law enforcement. Therefore, they are unable to get access to their rights for legal aid. The impacts of impeded access to legal aid are diverse. Start from the technical suspect inspection in which human rights ignored, justice does not give the defendant?s rights in the trial, until offenders? rights post- judicial verdict ignored.
;This thesis is discussing about the relation between the accesses to legal aid, with the Process on the Criminal Procedure Law. As a vulnerable group in this case, women who are the suspect/defendant/convict due to no power and imbalance of power relations with law enforcement. Therefore, they are unable to get access to their rights for legal aid. The impacts of impeded access to legal aid are diverse. Start from the technical suspect inspection in which human rights ignored, justice does not give the defendant?s rights in the trial, until offenders? rights post- judicial verdict ignored.
, This thesis is discussing about the relation between the accesses to legal aid, with the Process on the Criminal Procedure Law. As a vulnerable group in this case, women who are the suspect/defendant/convict due to no power and imbalance of power relations with law enforcement. Therefore, they are unable to get access to their rights for legal aid. The impacts of impeded access to legal aid are diverse. Start from the technical suspect inspection in which human rights ignored, justice does not give the defendant’s rights in the trial, until offenders’ rights post- judicial verdict ignored.
]"
Universitas Indonesia, 2016
S61689
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>