Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 129695 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adzra Rayhana Kartiwa
"Model kerja sama operasi (joint operation) kerap menjadi pilihan umum dalam pengerjaan proyek bidang konstruksi di mana terdapat bentuk perkumpulan dua badan hukum atau lebih yang bergabung untuk menyelesaikan suatu proyek dengan jangka waktu tertentu hingga proyek tersebut selesai dilaksanakan. Dalam hal penyelesaian utang piutang, diperlukan pedoman proses dan sarana hukum yang mendukung bagi joint operation, demi penyelesaian yang adil, cepat, terbuka dan efektif. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) pun hadir sebagai solusi dengan cara memberikan kesempatan kepada Debitor dan Kreditor untuk melakukan perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran baik seluruh atau sebagian utangnya kepada Kreditor dengan syarat pengajuan adanya utang yang telah jatuh tempo dan harus terdapat 2 (dua) atau lebih Kreditor. Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU), belum dapat menjadi pedoman yang efektif bagi joint operation terutama yang berperan sebagai Kreditor dalam hal pengajuan permohonan PKPU. Hal ini dapat terlihat dalam Putusan Nomor75/Pdt.Sus/PKPU/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst di mana Pengajuan PKPU yang dilakukan oleh ADHI-KMN joint operation ditolak karena tidak terbukti adanya 2 (dua) atau lebih Kreditor. Dengan menggunakan bentuk penelitian yuridis-normatif, yakni mengacu pada norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, maupun norma-norma yang hidup di masyarakat, membahas mengenai bagaimana kedudukan hukum ADHI-KMN selaku Kreditor yang berbentuk joint operation dalam permohonan PKPU serta bagaimana akibat hukum apabila permohonan PKPU yang diajukan oleh ADHI-KMN terhadap PT Albok dikabulkan.

The joint operation model is often a common choice in construction projects where there is an association of two or more legal entities that join forces to complete a project for a certain period of time until the project is completed. In the case of settlement of debts and receivables, a process guideline and legal means that support the joint operation are needed, for a fair, fast, open and effective settlement. Postponement of Debt Payment Obligations (PKPU) is also present as a solution by providing opportunities for Debtors and Creditors to make peace which includes an offer to pay all or part of their debts to Creditors on condition that there is a debt that is due and there must be 2 (two) or more Creditors. Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Obligations for Payment of Debt (UUK-PKPU), has not been able to become an effective guideline for joint operations, especially those acting as creditors in terms of submitting PKPU applications. This can be seen in Court Ruling Number 75/Pdt.Sus/PKPU/2013/PN.Niaga.Jkt.Pst where the PKPU submission made by the ADHI-KMN joint operation was rejected because there were no proven 2 (two) or more creditors. By using a juridical-normative research form, namely referring to legal norms contained in laws and regulations, court decisions, as well as norms that live in society, discussing how the legal position of ADHI-KMN as Creditors in the form of a joint operation in the application PKPU and what are the legal consequences if the PKPU application submitted by ADHI-KMN against PT Albok is granted."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asril Ebab
"Proyek konstruksi yang bersifat multikomplek, berlangsung sekali lewat dalam waktu yang terbatas, banyak mengandung unsur ketidak pastian sehingga sering terjadi kegagalan dalam mewujudkan tujuan proyek yang telah ditetapkan. Penelitian ini mencoba untuk mengidentifikasi resiko-resiko yang harus diperhitungkan pada tahap penawaran baik faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam menentukan estimasi biaya proyek maupun faktor-faktor pelaksanaan yang dapat mempengaruhi biaya akhir proyek.
Sumber-sumber faktor resiko tersebut dikelompokan sesuai dengan karakteristiknya berdasarkan studi literatur dan jurnal jurnal yang ada. Resiko-resiko yang dibahas dalam tulisan ini adalah resiko-resiko yang disebabkan oleh faktor-faktor di luar kendali kontraktor (uncontrollable factors) yang dikelompokan kedalam faktor-faktor sumber resiko yang mempengaruhi estimasi biaya ( estimated cost), total biaya ( final cost ), faktor-faktor yang berhubungan dengan kontrak dan sumber-sumber resiko dibawah kendali kontraktor (controllable) yang dikelompokan kedalam faktor-faktor penyebab terjadinya non-excusable delay ( NED ).
Data-data diperoleh dengan menyebarkan kuesioner kepada para manajer yang terlibat dalam pengambilan keputusan. Data-data tersebut diolah dengan bantuan program statistik SPSS 9.5 dan simulasi sumber resiko dengan teknik Monte Carlo. Metoda statistik dan probabilistik berhasil mengidentifikasikan tingkat frekuensi kejadiannya, korelasi antar faktor-faktor sumber resiko tersebut secara sistematis. Hasil analisis data, didapatkan parameter sumber resiko antara lain, change order, kebutuhan akan pekerjaan. Analisis dengan menggunakan dummy variable telah mengidentifikasikan variabel tambahan yaitu pengalaman dengan proyek yang sejenis.
Pengaruh faktor-faktor resiko tersebut terbukti bermanfaat untuk meneliti base cost estimate sehingga berguna untuk menetapkan besarnya markup yang harus ditambahkan pada base cost estimate untuk mencegah terjadinya cost overrun pada pelaksanaan proyek. Analisis kontrak yang berlaku dengan kondisi pembayaran uang muka 10%, retensi 5% dan progres pekerjaan dibayar perbulan dalam rentang (range) probabilitas required rate of return (RRR) 12% - 36%, telah menghasilkan rentang (range) nilai markup sebesar 1.5% -- 4.4 % yang layak untuk menghindari terjadinya cost overrun bagi kontraktor. Sedangkan untuk kontrak tanpa uang muka dalam pelaksanaan proyek akan memerlukan nilai markup sebesar 2.3% - 7.1 %. Kedua kondisi kontrak tersebut, dapat digunakan sebagai pedoman oleh kontraktor untuk meningkatkan kinerja proyek dimasa mendatang."
2001
T1676
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Florentinus Nanda Wretta Mahardhika
"Proyek konstruksi adalah hasil kerja tim dari berbagai latar belakang berbeda. Tim Proyek yang efektif adalah salah satu syarat kinerja optimal dari proyek. Penelitian difokuskan pada Efektivitas Tim sebagai variabel pengaruh kepada Kinerja Biaya Proyek. Studi ini mengambil sampel Gedung Bertingkat dan dicari korelasinya antar Efektivitas dan Kinerja Biaya. Skripsi ini mendapatkan bahwa ada korelasi antara efektivitas tim proyek dengan kinerja biaya pada konstruksi gedung bertingkat. Ditemukan bahwa Tujuan Tim dan Lingkungan Tim memiliki pengaruh terhadap besar kinerja biaya.

Construction Project is a product of teamwork from different backgrounds. One of prerequsitions of successful project is having an effective project team. Research is focused into Team Effectiveness as influence factor to Project Cost Performance. This Study took High-Rise Building Construction as sample to find correlation between Effectiveness and Cost Performance. Research in this paper concludes that correlation exists between Effectiveness and Cost Performance. It also finds that Team Goals and Objectives and Team Environment has influence to Cost Performance amount.
"
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2014
S56683
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadine Valenia Narulita Hanggarjati
"Dalam kondisi keuangan yang berdampak pada ketidakmampuan seseorang atau suatu badan hukum dalam memenuhi kewajiban berupa pembayaran utang, maka Debitor dapat mengajukan suatu upaya berupa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang secara sukarela (voluntary petition). Pengajuan permohonan PKPU secara sukarela ini merupakan suatu bentuk itikad baik Debitor dalam melunasi utang-utangnya kepada Para Kreditor. Terlebih apabila dalam permohonan PKPU tersebut juga dilampirkan suatu rencana perdamaian berupa penawaran jadwal pembayaran dan nominal utang yang akan dibayarkan, maka sudah seharusnya dikabulkan sebagaimana diatur dalam Pasal 225 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Lain halnya dengan pengajuan permohonan PKPU yang diajukan secara sukarela oleh PT Duta Adhikarya Negeri, putusan ini ditolak karena pembuktian yang tidak sederhana. Hal ini disebabkan oleh bukti surat yang memperlihatkan keberadaan utangnya berupa copy dari fotocopy. Namun pada faktanya, bukti-bukti tersebut telah diakui dan tidak dibantah oleh pihak Kreditor. Pada penelitian ini, Penulis menggunakan metode penelitian yaitu yuridis normatif yang menghasilkan data yang bersifat deskriptif analitis. Penulis akan meneliti pertimbangan Majelis Hakim yang kurang cermat dalam memperhatikan substansi dari permohonan PKPU. Dalam UUK-PKPU tidak secara rinci diatur mengenai pembuktian sederhana dalam perkara PKPU, melainkan diatur dalam Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 109/KMA/SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Mengingat bahwa dikabulkannya suatu PKPU dapat memberikan kepastian hukum berupa kesempatan pada Debitor untuk melaksanakan kewajibannya dalam PKPU serta rencana perdamaian, maka sudah seharusnya pengadilan berfokus pada keberadaan utang yang ada pada bukti-bukti yang telah diakui oleh Para Kreditornya sehingga tidak terbantahkan dan menjadi sah di persidangan serta dikabulkan sebagaimana diatur dalam Pasal 225 ayat (2) UUK-PKPU.

In a financial condition that affects the inability of a person or a legal entity to fulfill obligations in the form of debt payments, the Debtor may submit a legal remedy in the form of a voluntary petition. Submitting a PKPU application voluntarily is a form of the Debtor's good faith in paying off his debts to Creditors. Especially if the PKPU request is also attached with a reconciliation plan in the form of offering a payment schedule and the amount of the debt to be calculated, then it should have been granted as stipulated in Article 225 paragraph (2) Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment obligations. Unlike the case with PT Duta Adhikarya Negeri submitting a PKPU application voluntarily, this decision was rejected because the evidence was not simple. This is caused by documentary evidence that reveals the existence of the debt in the form of a copy of the photocopy. However, in fact, this evidence has been acknowledged and not disputed by the creditors. In this study, the author uses research methods which is normative juridical which produces descriptive analytical data. The author will analyze the considerations of the Panel of Judges which are incomprehensive in paying attention to the substance of the PKPU petition. The UUK-PKPU does not stipulate in detail regarding simple proof in PKPU cases, instead it is regulated in the Decree of the Chief Justice of the Supreme Court of the Republic of Indonesia Number 109/KMA/SK/IV/2020 concerning Enforcement of the Handbook for Settlement of Bankruptcy Cases and Suspension of Obligations for Payment of Debt. Given that the granting of a PKPU can provide legal certainty in the form of an opportunity for the Debtor to carry out debt payment obligations in the PKPU as well as a composition plan, then it should be more focusing on the existence of the debts on evidence that has been acknowledged by the Creditors so that they cannot be disputed and become valid in court and granted as regulated in Article 225 paragraph (2) UUK-PKPU."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Wanty Octavia Veronica
"Penyusunan penelitian ini membahas mengenai penyebab perbedaan amar Putusan Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam perkara kepailitan atau PKPU perusahaan asuransi (studi kasus: PT Asuransi Jiwa Kresna dengan PT AIA Financial) yang diajukan tanpa melalui Otoritas Jasa Keuangan. Dalam hukum positif telah jelas mengatur bahwa pihak yang berwenang mengajukan permohonan pailit atau PKPU hanyalah Otoritas Jasa Keuangan. Adanya pembatasan subyek hukum yang dapat mengajukan permohonan ini dikarenakan perusahaan asuransi merupakan lembaga yang melakukan penghimpunan dana masyarakat dan pengelola risiko. Penulisan ini disusun menggunakan metode penelitian hukum doktrinal. Mengacu pada asas curia novit yaitu pengadilan tidak dapat menolak perkara memberikan dampak bagi pengadilan untuk memeriksa seluruh perkara yang didaftarkan meskipun telah disadari bahwa secara formil, pihak yang mengajukan permohonan tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Berkaitan dengan pengajuan permohonan Kepailitan atau PKPU perusahaan asuransi, pada dasarnya telah diatur secara jelas dalam hukum positif, namun dalam prakteknya terdapat beberapa putusan yang tidak sesuai dengan UU Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU yang mana hal tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum di masyarakat. Dalam rangka menyikapi hal tersebut, peranan Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi terhadap badan peradilan sangat penting untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap perilaku hakim yang tidak sesuai dengan ketentuan dan Kode Etik yang berlaku, yang mana peranan tersebut dapat bekerja sama dengan Komisi Yudisial. Selain pembinaan pengawasan, sosialisasi terhadap kebebasan hakim dalam menginterpretasikan peraturan seharusnya dilakukan limitasi yaitu terhadap peraturan yang secara gramatikal telah diatur secara jelas, sehingga terhadap peraturan tersebut tidak diperlukan penafsiran/interpretasi kembali.

The preparation of this research discusses the causes of differences in the decisions of Commercial Court Judges at the Central Jakarta District Court in bankruptcy or PKPU cases for insurance companies (case study: PT Asuransi Jiwa Kresna and PT AIA Financial) which were submitted without going through the Financial Services Authority. Positive law clearly stipulates that the only party authorized to file a bankruptcy application or PKPU is the Financial Services Authority. There are restrictions on legal subjects who can submit this application because insurance companies are institutions that collect public funds and manage risks. This writing was prepared using doctrinal legal research methods. Referring to the principle of curia novit, namely that the court cannot reject a case, giving effect to the court to examine all registered cases even though it is aware that formally, the party submitting the application does not comply with the applicable provisions. Regarding the filing of Bankruptcy or PKPU applications for insurance companies, basically it is clearly regulated in positive law, but in practice there are several decisions that are not in accordance with Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and PKPU, which creates legal uncertainty in society. In order to address this, the role of the Supreme Court as the highest institution of the judiciary is very important in providing guidance and supervision over the behavior of judges who do not comply with the applicable provisions and Code of Ethics, which role can be done in collaboration with the Judicial Commission. In addition to fostering supervision, socialization of judges' freedom in interpreting regulations should be limited, namely to regulations that have been clearly regulated grammatically, so that interpretation/re- interpretation of these regulations is not required."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farih Romdoni Putra
"Penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi hal-hal yang perlu direformulasi dalam ketentuan penundaan kewajiban pembayaran utang (“PKPU”) dalam Undang-undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU Kepailitan 2004”) agar kreditor dan debitor diberikan perlindungan yang seimbang. Secara spesifik penelitian ini fokus pada permasalahan pengajuan PKPU oleh kreditor, kedudukan kreditor separatis dan kreditor preferen dalam perdamaian, dan pembatalan perdamaian yang telah disahkan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketentuan PKPU dalam UU Kepailitan 2004 lebih cenderung melindungi kreditor daripada debitor. Berdasarkan penelitian ini dan perbandingan dengan hukum kepailitan Belanda, Singapura, dan Amerika Serikat, maka perlu dilakukan perubahan terhadap UU Kepailitan 2004 atas hal-hal sebagai berikut: (i) penambahan syarat bagi kreditor yang hendak mengajukan PKPU; (ii) pengaturan cramdown, (iii) hak suara kreditor preferen terhadap rencana perdamaian; dan (iv) pengaturan tentang pembatalan perdamaian perlu disesuaikan agar kelalaian pelaksanaan perdamaian tidak harus berujung pada kepailitan serta memberi kesempatan agar perdamaian dapat diubah berdasarkan kesepakatan para pihak dengan tetap di bawah pengawasan pengadilan niaga.

This research aims at identifying matters needed to be reformed in the suspension of debt payment obligations (“PKPU”) in Law No. 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations ("Bankruptcy Law 2004") so creditors and debtors have equal protection. Specifically, this research focused on the problem of PKPU's petition by creditors, the position of separatist creditors and preferred creditors in the plan, and the termination of a confirmed plan. This research was conducted using a normative juridical research method with a comparative approach. Results of this study indicated that the regulation of PKPU in Bankruptcy Law 2004 tends to protect creditors than debtors. Based on this research and the comparison with bankruptcy law in the Netherlands, Singapore, and the United States of America, Bankruptcy Law 2004 needs to be reformed on the following matters: (i)  the requirement of creditors who can submit PKPU petition; (ii) the regulation of cramdown; (ii) the voting rights of preferred creditors to composition plan; and (iv) the regulation of plan termination need to be reformed so that the failure of plan implementation doesn't have to end with bankruptcy, and also a chance to modify a confirmed plan based on the agreement of all parties under the supervision of a commercial court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Matthew Sebastian
"PKPU merupakan upaya hukum untuk mencegah pengadilan menetapkan kepailitan dengan mengajukan rencana perdamaian dan restrukturisasi utang, yang dapat diajukan oleh debitor atau kreditor sebelum putusan pailit diumumkan. Selama proses PKPU, kekayaan debitor dibekukan, kewajiban membayar utang dihentikan, dan tindakan eksekusi ditunda, sementara debitor tidak boleh mengelola asetnya. Penerapan PKPU penting untuk kelangsungan usaha debitor dan kreditor, namun sering terjadi kerancuan dalam penerapan hukum tentang penarikan penjamin sebagai termohon PKPU, seperti yang terlihat dalam Putusan Nomor 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn. Penulis menggunakan metode yuridis-normatif dengan pendekatan kualitatif dalam penelitian analisis-deskriptif untuk menganalisis permasalahan yang ada berdasarkan ketentuan yang berlaku. Hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa Pasal 254 UUK-PKPU mengatur bahwa penundaan kewajiban pembayaran utang tidak berlaku bagi keuntungan sesama debitor dan penanggung, namun ketentuan ini menimbulkan kerancuan dalam kasus PKPU yang melibatkan corporate guarantor. Dalam Putusan Nomor 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn, hakim memutuskan untuk mengikutsertakan corporate guarantor sebagai termohon PKPU yang mana telah mencampurkan konsep kepailitan di dalam perkara PKPU. Penulis menyarankan adanya pedoman tambahan, seperti Surat Edaran Mahkamah Agung, untuk memperjelas keikutsertaan personal, corporate, dan bank guarantee dalam proses PKPU demi menciptakan kepastian hukum.

PKPU is a legal measure to prevent the court from declaring bankruptcy by proposing a peace plan and debt restructuring, which can be submitted by the debtor or creditor before the bankruptcy decision is announced. During the PKPU process, the debtor's assets are frozen, debt payment obligations are halted, and execution actions are suspended, while the debtor is not allowed to manage their assets. The implementation of PKPU is crucial for the continuity of the debtor's and creditor's businesses, but legal errors often occur especially in Article 254 UUK-PKPU that explains about involving guarantors as PKPU respondents, as seen in Decision Number 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn. The author uses a juridical-normative method with a qualitative approach in descriptive-analytical research to analyze existing issues based on applicable regulations. The study found that Article 254 of the UUK-PKPU states that the postponement of debt payment obligations does not apply for the benefit of co-debtors and guarantors, but this provision creates confusion in PKPU cases involving corporate guarantors. In Decision Number 29/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN Niaga Mdn, the judge decided to include the corporate guarantor as a PKPU respondent, thereby mixing the concept of bankruptcy in the PKPU case. The author suggests additional guidelines, such as a Supreme Court Circular, to clarify the participation of personal, corporate, and bank guarantees in the PKPU process to create legal certainty."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairun Nisa
"Kepailitan dan Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang merupakan salah satu wadah yang disediakan oleh Hukum di Indonesia dalam menghadapi suatu keadaan tidak mampu membayar yang dihadapi oleh Debitor terkait dengan
utang-utangnya pada satu atau lebih dari satu kreditor, dimana dapat diajukan atas inisiatif Debitor sendiri maupun atas permohonan Kreditor. Apabila suatu entitas hukum dinyatakan pailit, bagaimanakah boedel pailit dapat dieksekusi secara benar sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Bila terjadi suatu keadaan dimana kreditor separatis mengeksekusi boedel pailit sebelum habis masa tunggu (stay) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban dan Pembayaran Utang pada Pasal 56, proses yang seperti apakah yang seharusnya dapat ditempuh bagi kreditor konkuren yang dirugikan atas eksekusi tersebut. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan spesifikasi penelitian deskriptif analitis.

Bankruptcy and Suspension of Obligations and Debt Payment is one of the containers provided by law in Indonesia in the face of a state unable to pay faced by the debtor related to debts of her on one or more than one creditor, which can be submitted at the initiative of the debtor itself or at the request of creditors. If a legal entity is declared bankrupt, how boedel bankruptcy can be executed properly in accordance with applicable laws and regulations. If there is a situation where separatist creditor executes boedel bankruptcy before the expiration of the waiting (stay) which is regulated in Law Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Obligations and Debt Payments on Article 56, the process as if that should be taken for creditors concurrent aggrieved over the execution. This research used normative juridical research with descriptive analytical research specifications."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T48894
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Michaell Yose Andersen
"Badan Usaha Milik Desa (BUM Desa) merupakan badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh desa melalui penyertaan langsung yang berasal dari kekayaan desa yang dipisahkan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat. Keberadaan BUM Desa tersebut diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa, Namun terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam pengaturan tentang BUM Desa dalam Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tersebut yakni terkait dengan konstruksi yuridis dari BUM Desa sebagai suatu subyek hukum di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dikarenakan dikarenakan penelitian ini mencoba untuk mengkaji norma hukum yang terdapat dalam peraturan-peraturan perundangan yang berlaku terkait dengan BUM Desa serta terkait dengan kepailitan badan usaha yaitu Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa dan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diperoleh kesimpulan bahwa: Pertama, BUM Desa merupakan badan usaha yang tidak berbadan hukum, namun dalam perkembangannya BUM Desa dapat menjadi badan usaha yang berbadan Hukum. Kedua, BUM Desa dapat diajukan Pailit berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepalitian dan PKPU.

Village Owned Enterprises (BUM Desa) are business entities whose capital is wholly or partly owned by the village through direct investment originating from separated village assets aimed at the welfare of the community. The existence of BUM Desa is regulated in Law Number 6 of 2014 concerning Villages. However, there is a legal deficiency or vacuum in the regulation regarding BUM Desa in Law Number 6 of 2014 which is related to the juridical construction of BUM Desa as a legal subject in Indonesia. . This study uses a normative juridical research method because this research tries to examine the legal norms contained in the applicable laws and regulations related to BUM Desa and related to bankruptcy of business entities, namely Law Number 6 of 2014 concerning Villages and Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations. The results of the research that has been carried out can be concluded that: First, BUM Desa is a business entity that is not a legal entity, but in its development BUM Desa can become a legal entity. Second, BUM Desa can be filed for bankruptcy based on Law Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Postponement of Debt Payment Obligations (Bankruptcy Law and PKPU.)"
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafia Rizky Hanifah
"Skripsi ini membahas mengenai penolakan pengesahan atau homologasi rencana perdamaian dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dialami oleh PT Korea World Center Indonesia (PT KWCI) yang berakhir pada kepailitan. Penulis melakukan tinjauan hukum mengenai isu tersebut mulai dari segi utang yang dimiliki Debitur sebagai syarat mengajukan permohonan PKPU ke Pengadilan Niaga hingga segi imbalan jasa Pengurus yang tidak dibayarkan atau tidak dijamin pembayarannya yang menyebabkan Debitur jatuh pailit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan dari pengertian utang menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 sebagai syarat permohonan PKPU dan mengetahui apakah Bilyet Giro dapat dianggap sebagai alat pembayaran maupun jaminan pembayaran bagi imbalan jasa Pengurus dalam perkara PKPU. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan metode penelitian yang bersifat kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan data yang bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif, di mana Penulis menggunakan sumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Dari penelitian ini diketahui bahwa Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) mendefinisikan utang secara luas, sehingga ganti kerugian materil atas putusan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht) dapat dikatakan sebagai utang sebagai syarat permohonan PKPU. Selain itu, diketahui pula bahwa Bilyet Giro dapat dianggap sebagai alat pembayaran maupun jaminan pembayaran bagi imbalan jasa Pengurus dalam perkara PKPU apabila penerbitan, pengunjukan, dan pemrosesannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

This thesis discusses the rejection of the ratification or homologation of the composition plan in the case of Suspension of Debt Payment Obligations Process (PKPU) experienced by PT Korea World Center Indonesia (PT KWCI) which ended in bankruptcy. The author conducts a legal review of this issue, starting from the aspect of debt owned by the Debtor as a condition for submitting a PKPU application to the Commercial Court to the aspect of Management fees that are not paid or the payment is not guaranteed which causes the Debtor to go bankrupt. The purpose of this study is to determine the application of the definition of debt according to Law No. 37 of 2004 as a requirement for PKPU application and to find out whether the Bilyet Giro can be considered as a means of payment or as a guarantee of payment for the Management's services in a PKPU case. The research method used in this research is a qualitative research method, namely research that produces data that is descriptive and analytical. This research is included in normative legal research, where the author uses sources from primary, secondary, and tertiary legal materials. From this research it is known that Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations Process (UUK-PKPU) broadly defines debt, so that material compensation for the decision on Unlawful Acts (PMH) which has permanent legal force (in kracht) can be said to be debt as a requirement for PKPU application. In addition, it is also known that Bilyet Giro can be considered as a means of payment as well as a guarantee of payment for Management's compensation in a PKPU case if the issuance, appointment and processing are in accordance with the prevailing laws and regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>