Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 207648 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adi Nugroho
"Noodtoestand atau keadaan darurat adalah keadaan di mana suatu kepentingan/kewajiban hukum terancam bahaya, yang untuk menghindari ancaman bahaya itu terpaksa dilakukan perbuatan yang pada kenyataannya melanggar kepentingan/kewajiban hukum yang lain. Alasan penghapus pidana ini diatur pada Pasal 48 KUHP Lama dan Pasal 42 KUHP Baru, dengan penjelasan-penjelasan lain yang termuat pada doktrin. Konsep ini dapat dihubungkan dengan penggunan ganja sebagai pengobatan (medical cannabis) pada penyakit kronis, karena dari satu sisi penggunaan Ganja dalam bentuk apapun berlawanan dengan kewajiban hukum mematuhi UU 35  tahun 2009 tentang Narkotika. Namun pada sisi lain, ada penyakit kronis yang dapat mengancam nyawa dan tidak dapat diobati dengan obat-obatan konvensional, seperti epilepsi dan penyakit pada sistem saraf pusat lainnya. Penggunaan ganja dalam kondisi darurat harus memenuhi prinsip proporsionalitas, subsidiaritas,culpa in causa, dan garantenstellung yaitu prinsip dalam keberlakuan daya paksa dan keadaan darurat. Konsep alasan penghapus pidan ini akan diteliti melalui membandingkan dengan Inggris karena kemiripan alasan penghapus di kedua negara, kasus-kasus yang serupa, dan perkembangan pengaturan ganja di Inggris yang mirip dengan Indonesia. Penelitian akan ditutup dengan analisis terhadap tiga putusan pengadilan di Indonesia mengenai penggunaan ganja untuk pengobatan, yaitu Kasus Liston Sembiring, Fidelis Arie Sudewarto, dan Dimas Muhammad Akmal.

Noodtoestand, or state of emergency, is a situation in which a legal interest or legal obligation is threatened by danger, and to avoid the threat of danger, a deed is committed which in fact violates another legal interest or obligation. This reason for criminal extinction is regulated in Article 48 of the Old Indonesia Criminal Code and Article 42 of the New Indonesia Criminal Code, with other explanations contained in the doctrine. This concept is closely related to the context of the use of marijuana as a treatment (medical cannabis) for chronic diseases because on the one hand, the use of Marijuana in any form is contrary to the legal obligation to comply with Law No. 35 of 2009 on Narcotics. However, on the other hand, there are chronic diseases that can be life-threatening and cannot be treated with conventional drugs, such as epilepsy and diseases of the central nervous system. The use of marijuana in an emergency must meet the principles of proportionality, subsidiarity, and culpa in causa, which are the principles of the validity of a state of emergency. The concept of this reason for criminal extinction will be examined by comparing it with England because of the similarity of the reasons for extinction in both countries, similar cases, and the development of marijuana regulations in England that are similar to Indonesia. The research will be concluded with an analysis of three court decisions in Indonesia regarding the use of marijuana for treatment, namely the Liston Sembiring Case, the Fidelis Arie Case, and the Dimas Muhammad Case."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfi Ariefandi
"Tulisan ini menganalisis penerapan diskresi pada masa pandemi COVID-19 untuk mewujudkan Good Governance serta upaya akuntabilitas pemerintah dalam menggunakan diskresi pada masa pandemi COVID-19 dalam melindungi hak-hak masyarakat Negara Indonesia. Akuntabilitas menimbulkan peran penting antara pemerintah dan masyarakat berdasarkan prinsip-prinsip good governance. Paradigma baru administrasi publik hadir dengan merumuskan serangkaian cita-cita dan praktik yang terkait dengan nilai dan norma tertentu dalam melaksanakan akuntabilitas pelayanan publik. Dalam pandangan terhadap HAM, kebijakan PSBB memiliki kontra mengingat Pembatasan Hak Bergerak dan Berkumpul yang merupakan hak asasi manusia yang dijamin dalam Konstitusi. Selain itu, terdapat dampak ekonomi dan Hak Atas Pekerjaan yang berpotensi merugikan hak asasi manusia terkait pekerjaan dan mata pencaharian. Lebih lanjut, kebijakan PSBB berpotensi melanggar hak privasi dan keamanan data. Sehingga pada praktiknya, Pemerintah dalam mengambil suatu keputusan atau diskresi perlu mendasari tindakan tersebut dengan data yang akurat, selain itu penerapan asas transparansi perlu diperhatikan, serta penerapan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan. Kedua, perlu ada pengawasan independen terhadap kebijakan pemerintah dengan melibatkan organisasi masyarakat sipil, media, dan akademisi.

This paper analyzes the application of discretion during the COVID-19 pandemic to realize Good Governance as well as the government's accountability efforts in using discretion during the COVID-19 pandemic to protect the rights of the people of Indonesia. Accountability creates an important role between government and society based on the principles of good governance. The new paradigm of public administration exists by formulating a series of ideals and practices related to certain values and norms in carrying out public service accountability. In view of human rights, the PSBB policy has its cons considering that it limits the rights to movement and assembly, which are human rights guaranteed in the Constitution. In addition, there are economic and Right to Work impacts that have the potential to harm human rights related to work and livelihoods. Furthermore, the PSBB policy has the potential to violate the right to privacy and data security. So in practice, when making a decision or discretion, the government needs to base these actions on accurate data. Apart from that, it is necessary to pay attention to the application of the principle of transparency, as well as the implementation of accountability in decision making. Second, there needs to be independent monitoring of government policy by involving civil society organizations, media, and academia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dani Firmansyah
"Gerakan dan organisasi untuk melegalisasikan ganja muncul di Indonesia yang selama ini menempatkan ganja sebagai jenis narkotika golongan I yang hanya digunakan untuk pengembangan ilmu pengetahuan, tidak untuk terapi dan berpotensi tinggi adiktif. Tesis ini ditulis dengan tujuan untuk menelusuri munculnya legalisasi ganja dalam sejarah narkoba, kemudian mengenal gagasan legalisasi ganja di Indonesia melalui pengambilan data primer dari pimpinan Lingkar Ganja Nusantara serta legalisasi ganja dalam pandangan Ketahanan Nasional. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan teknik deskripsi analitik. Hasil penelitian bahwa berdasarkan pendekatan sejarah, orang terdahulu mencari obat berasal dari bahan alam. Pemanfaatan tanaman obat makin berkembang dan sampai pada pemanfaatan obat yang dikategorikan sebagai narkotika. Dengan intervensi politik dan pertimbangan moral, tanaman obat yang dianggap berdampak buruk dilakukan pelarangan oleh negara. Pada era sekarang nuansa lama tanaman sebagai obat, khususnya ganja, dimunculkan kembali, termasuk di Indonesia, dengan tujuan pemanfaatan medis, pemanfaatan industri dan kebutuhan rekreasi. Konsekuensi nasional dan global secara keseluruhan digambarkan bahwa kelemahan dasar dari legalisasi ganja adalah dampak buruk terhadap kesehatan sebagai akibat dari ketersediaan ganja legal, mesk ipun diatur dan dalam pengawasan pemerintah. Potensi perdagangan gelap dan penyelundupan ganja juga masih selalu ada. Berkaca pada Cocaine War di Amerika Latin, sistem Ketahanan Nasional kita seharusnya dapat menahan gempuran intervensi negara lain dalam penyusunan kebijakan nasional mengenai narkotika. Sistem Ketahanan Nasional harus mempertimbangkan dinamika yang ada di masyarakat dengan bersumber pada nilai- nilai Pancasila untuk mencapai cita-cita dan tujuan bangsa. Legalisasi ganja perlu mendapat perhat ian dengan mempertimbangkan nilai- nilai yang ada di masyarakat tanpa ada intervensi politik dari pihak luar manapun. Rekomendasi dari penelitian ini adalah bahwa perlu dilakukan kajian lebih lanjut mengenai legalisasi ganja dengan menghubungkan dengan variabel lain seperti pajak pemasukan ganja bagi negara, dampak terhadap demand penggunaan ganja, dana penegakan hukum yang terselamatkan, serta tingkat penyelundupan ganja lintas negara.

Movements and organization to legalize cannabis has been appeared in Indonesia, which has been put cannabis as a Schedule I of Narcotic that are only used for the development of science, not for therapy and high addictive potential. This thesis was written with the aim to explore the emergence of the legalization of cannabis in a drug history, then get to know the idea of legalizing cannabis in Indonesia through primary data collection from Lingkar Ganja Nusantara and the legalization of cannabis in the view of National Resilience. This study used a qualitative approach and used a analytical description technique. The results of research that is based on the historical approach, the former seeking drug derived from natural materials. Utilization of medicinal plants growing and to the use of drugs that are categorized as narcotics. With the intervention of political and moral considerations, medicinal plants are considered to be bad to prohibit the state. In the current era feel of the old plant as a medicine, in particular cannabis, raised again, including in Indonesia, with the purpose of the medical utilization, utilization of industrial and recreational needs. National and global consequences as a whole is described that the basic weakness of the legalization of cannabis is harmful health effects as a result of the availability of legal cannabis, although regulated and under government supervision. Potential illicit trade and smuggling of cannabis is still always there. Reflecting on Cocaine War in Latin America, the National Resilience system we should be able to withstand the onslaught of the intervention of other countries in the formulation of national policies on drugs. National Resilience system must consider the dynamics that exist in society, referring to the values of Pancasila to achieve the ideals and goals of the nation. Legalizing cannabis need attention by considering the values that exist in society without any political intervention from any outside parties. Recommendations from this study is that it is necessary to study more about the legalization o f cannabis by connecting with other variables such as income tax cannabis for the country, the impact on demand use of cannabis, law enforcement funds are saved, and the level of cross-border cannabis smuggling."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Syamsuddin
"Penyelesaian kasus pers dan kasus yang menyangkut pers di indonesia memiliki dua pilihan penting. Pilihan tersebut antara lain menyelesaikan kasus pers dan kasus yang menyangkut pers melalui pemberitaan atau yang disebut sebagai penyelesaian dengan Mekanisme Hak Jawab menurut UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers dan/atau Penyelesaian dengan penerapan ketentuan hukum pidana sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabita ada pelanggaran ataupun kejahatan yang dilakukan dalam kegiatan pers dan diselesaikan melalui mekanisme Hak Jawab maka penyelesaian tersebut adalah penyelesaian dengan pemberitaan sedangkan penyeiesaian menurut KUHP adalah penyelesaian menurut ketentuan hukum publik yaitu bila ada tindakan pidana maka harus ada sanksinya bisa berupa hukuman kurungan atau denda.
Tindak Pidana yang sering terjadi daiam kegiatan pers adalah tindak pidana yang dalam KUHP disebut sebagai penghinaan. Kansep dan pengertian penghinaan diarur dalam Bob XVI Buku H KUHP, yang mengatur mengenai beberapa bentuk tindak pidana penghinaan seperti 'pencemaran (smaad)' vide Pasal 310 KUHP, 'fitnah (laster)' Pasal 311 KUHP, dan 'benghinaan sederhana' (eenvoudige helediging). Tindak Pidana Penghinaan (belediging) yang sangat erat kaitannya dengan pers adalah Delik pencemaran Pasal 310 KUHP yang unsur-unsurya terdiri dari unsur menyerang nama baik dan kehormatan; unsur kesengajaan; unsur di depan umum yang karenanya memiliki syarat publikasi. Selain pencemaran, ada detik fitnah (laster) Pasaf 311 KUHP. Seiain itu masih ada banyak tindak pidana penghinaan lainnya yang tersebar di dalam KUHP dan banyak pula tindak pidana yang bukan penghinaan tetapi berkaitan dengan berita bohong dan sebagainya.
Namun, tindak pidana penghinaan Pasa! 310 KUHP ini dihapus hukumannya apabila kegiatan pers tersebut diiakukan demi kepentingan umum, Kepentingan umum seperti apa yang dapat dijadikan alasan penghapus atas kejahatan penghinaan di atas adalah kepentingan umum yang memang diemban oleh pers dalam fungsi dan perannya. Unsur ?kepentingan umum" yang harus ditafsfrkan sebagai afasan penghapus pidana dalam Pasol 310 ayat (3) adalah unsur kepentingan umum yang berkaitan dengan kegiatan pers terutama pemberitaan yang sesuai dengan UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ)/Kade Etik Wartawan indonesia (KEWI). Pemberitaan yang dapat menggunakan dalil 'kepentingan umum" sebagai a!asan penghapus pidana (strafuitsluitingsgrond) hanyalah pemberitaan pers yang memenuhi semua persyaratan yaitu kebenaran, kewajaran, kepantasan, kualitas (profesfonal), kejujuran, obyektivitas, ketidakberpihakan, keseimbangan, dan keterjangkauan. Dengan kriteria kepentingan umum Pasa! 310 KUHP yang mernenuhi semua persyararan di atas, maka sebuah pemberitaan pers jelas-jelas telah menjalankan fungsi dan perannya sebagai lembaga sosial dan ekonomi menurut aturan yang berlaku. Pemberitaan yang telah memenuhf semua persyaratan tersebut di atas merupakan penjelmaan dari penerapan prinsip-prinsip kernerdekaan pers yang bertanggung jawab.

The settlement of press cases and cases related to press in indonesia has two key choices. The choice, among other things, is to settle press cases and cases related to press by means of press news or called as Settlement through the Mechanism of Right to Respond pursuant to Law No. 40 of 1999 on Press and/or Settlement with the application of provisions of the criminal law as regulated in the Criminal Code. ln the event of violation or criminal act committed in press activities and it is settled through the mechanism of Right to Respond then such settlement is a settlement by means of press news, whereas the settlement pursuant to the Criminal Code is a settlement that is in accordance with the provisions of public law namely when a criminal act is committed then it must be subject to sanction either in the form of sentence to imprisonment or a fine.
A criminal act which frequently occurs in press activities is a criminal act which is in the Criminal Code referred to as humiliation. The concept and interpretation of humiliation is regulated in Chapter XV! Book ll of the Criminal Code which regulates on some forms of criminal act of humiliation such as ?aspersion (smaad)? vide Article 310 of the Criminal Code "calumny (laster)" Article 311 of the Criminal Code, and ?plain insult (eenvoudige be!ediging)". The criminal act of humiliation (belediging) which greatly relates to press is Offense of Aspersion as set forth in Article 310 ofthe Criminal Code of which elements consist of the element of attacking the good reputation and honor; the element of deliberateness; the element of before the public that makes it have a publication condition. ln addition to aspersion, there is an Offense of calumny (laster) of Article 311 of the Criminal Code. Besides, there are still other humiliation criminal acts set forth in the Criminal Code and there are also other criminal acts which are non-humiliation but being correlated with fake/ false news/ report and others.
Yet, criminal act of humiliation in Article 310 of the Criminal Code has its punishment eliminated when such press activity is performed for the sake of the public interest. What kind of public interest which may become the reason of eliminating the crime of humiliation as mentioned above is the public interest that is indeed performed by press in its function and role. The element of ?public interest? which must be construed as the reason of the criminal elimination in Article 310 paragraph (3) is the element of public interest relating to press activities especially the press which is in accordance with Law on Press and Journalistic Ethic Code (KEJ)lindonesian Journalists Ethic Code (KEWI). The press that may use the argumentation of ?public interest? as the reason of eliminating the criminal act (strafuitsluitingsgrond) is only the press news meeting all conditions namely truthfulness, fairness, appropriateness, quality (professional), honesty, objectivity, nonalignment, balance, and achievability. With the criteria of public interest of Article 310 of the Criminal Code which meets all of the aforesaid conditions, press news has obviously performed its function and role as a social and economic institution pursuant to the applicable rules. The press news which has met all aforesaid requirements is the realization of the application of independence principles of the accountable press.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
D928
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ary Widyoseno
"Skripsi ini membahas tentang bagaimana strategi advokasi Lingkar Ganja Nusantara dalam usaha pemanfaatan ganja di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan bagaimana strategi advokasi Lingkar Ganja Nusantara dalam usaha pemanfaatan ganja di Indonesia dan faktor pendukung dan penghambat yang mempengaruhi advokasi. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan studi deskriptif melalui studi literatur dan wawancara yang dilakukan pada tahun 2021 ditengah situasi pandemi serta berlokasi di Sekretariat LGN, BNNK Depok, dan beberapa tempat dalam proses pengambilan data. Hasil penelitian ini menunjukan adanya dua pandangan terhadap ganja yang saling bertolak belakang antara pemanfaatan atau penggolongan narkotika, dan temuan pada strategi advokasi LGN dengan cara mengedukasi masyarakat dan mempengaruhi pembuat kebijakan. Kesimpulan pada penelitian ini adalah LGN telah menggunakan strategi advokasi seperti prinsip-prinsip dan tahapan advokasi. Faktor pendukung berasal dari dukungan publik, LGN regional, dan Koalisi Masyarakat Sipil. Sedangkan, faktor penghambat berasal dari pemerintah yang menjadi hambatan utama dan internal dari LGN itu sendiri.

This research discusses about the advocacy strategy of Lingkar Ganja Nusantara for cannabis utilization in Indonesia. The purpose of this study is to explain how the Lingkar Ganja Nusantara advocacy strategy in the business of using cannabis in Indonesia and the supporting and inhibiting factors that influence advocacy. This research is a qualitative research with a descriptive study through literature studies and interviews conducted in 2021 in the midst of a pandemic situation and located at the LGN Secretariat, BNNK Depok, and several places in the data collection process. The results of this study indicate that there are two conflicting views on marijuana between the use or classification of narcotics, and findings on LGN's advocacy strategy by educating the public and influencing policy makers. The conclusion of this study is that LGN has used advocacy strategies such as principles and stages of advocacy. Supporting factors come from public support, regional LGN, and the Civil Society Coalition. Meanwhile, the inhibiting factor comes from the government which is the main and internal obstacle for LGN itself."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Fakhira
"Pemilikan hak atas tanah di Indonesia memandatkan kepada pemiliknya untuk memiliki tanah secara yuridis dan menguasainya secara fisik. Akan tetapi, pada faktanya pemilikan hak atas tanah dan penguasaan secara fisik dapat dilakukan oleh 2 (dua) subjek yang berbeda. Penguasa fisik dalam hal ini memanfaatkan dan menikmati tanah, padahal ia bukanlah pemilik hak atas tanah. Secara normatif, Indonesia tidak mengenal pemisahan pemilikan hak atas tanah secara yuridis dan penguasaan secara fisik. Hal ini berbeda dengan di Inggris yang mengakui pemilikan secara yuridis dan secara fisik tersebut. Inggris menerapkan konsep trust yang membuat pemilikan tanah dapat dipisah, yaitu pemilikan secara hukum (legal right) yang dipegang oleh trustee dan pemilikan manfaat (equitable right) yang dipegang oleh beneficial owner. Hak penguasaan secara fisik oleh beneficial owner ini tidak didaftarkan, namun tetap dilindungi oleh hukum dan equity apabila tanah yang dihuni hendak dijual atau dialihkan. Selain itu, pembeli tanah yang hendak membeli tanah yang di atasnya terdapat beneficial owner pun juga terlindungi melalui konsep overreaching. Skripsi ini membahas 2 (dua) hal, yaitu: (1) pengaturan beneficial owner dalam konteks pertanahan di Indonesia; dan (2) fisibilitas penerapan overreaching untuk melindungi kepentingan pembeli tanah dan penguasa fisik tanah. Penelitian terhadap 2 (dua) masalah tersebut dianalisis menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perbandingan hukum. Indonesia pada hakikatnya tidak mengenal konsep beneficial owner dalam konteks pertanahan. Akan tetapi, nuansanya dapat dilihat dari beberapa pengaturan hak terhadap tanah. Terakhir, konsep overreaching dari Inggris dapat diterapkan di Indonesia mengingat diaturnya pranata serupa trust dalam KUHPerdata dan dianutnya asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding beginsel). Perlu adanya penyesuaian apabila konsep overreaching ini diadopsi ke dalam hukum Indonesia sehingga esensi dan semangat perlindungan overreaching dapat tercipta

Land ownership in Indonesia mandates the owner to own the land juridically and possess it physically. However, in fact the ownership of land rights and physical possession can be vested in 2 (two) different subjects. The subject who is vested the physical right utilizes, benefits, and enjoys the land, notwithstanding s/he is not the legal owner of the land. By law, Indonesia does not recognize the separation of the land ownership which is different in the UK that is recognized the land ownership legally and physically. The UK applies the concept of trust that makes land ownership separateable, i.e. legal rights held by trustees and equitable rights held by beneficial owners. The right of physical possession by the beneficial owner is not registered but is still protected by law and equity if the land occupied is to be sold or transferred. In addition, land buyers who want to buy land on which there is a beneficial owner are also protected through the concept of overreaching. This thesis discusses 2 (two) things, namely: (1) beneficial owner arrangements in the context of land in Indonesia; and (2) the feasibility overreaching to protect the interests of land buyers and physical landlords. Research on these 2 (two) problems was analyzed using normative juridical methods with a comparative legal approach. Indonesia basically does not recognize the concept of beneficial owner in the context of land. However, the nuances can be seen from several arrangements for land rights, considering that Indonesia adheres to the principle of horizontal separation (horizontale scheiding beginsel). Lastly, the concept of overreaching from the UK can be applied in Indonesia taking into account the regulation of trust-like is stipulated in the Civil Code. An adjustment is needed if the concept of overreaching is adopted into Indonesian law so that the essence and spirit of overreaching protection can be created."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Raihan Putra Safiandi
"Skripsi ini membahas anticipatory breach sebagai bentuk wanprestasi dalam perjanjian dengan fokus pada perbandingan hukum di Indonesia, Inggris, dan Singapura. Anticipatory breach adalah pelanggaran kontrak yang terjadi sebelum kewajiban kontraktual jatuh tempo atau dilanggar secara aktual, memberikan pihak yang dirugikan hak untuk segera mengambil tindakan hukum. Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif, yang melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, serta literatur hukum terkait. Di Indonesia, anticipatory breach belum diatur secara eksplisit dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yang mensyaratkan wanprestasi hanya dapat terjadi setelah kewajiban jatuh tempo. Sebaliknya, Singapura dan Inggris, yang menganut sistem common law, mengakui anticipatory breach sebagai prinsip hukum, memungkinkan pihak yang dirugikan untuk mengajukan tuntutan lebih awal. Penelitian ini menganalisis putusan pengadilan terkait di ketiga yurisdiksi untuk mengeksaminasi penerapan doktrin ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anticipatory breach telah sejak lama diterapkan di Inggris dan Singapura dan memberikan perlindungan lebih baik kepada pihak yang dirugikan dibandingkan sistem hukum Indonesia. Namun, adaptasi prinsip ini ke dalam hukum Indonesia terhambat karena keberadaan pasal 1238 jo. pasal 1243 jo. pasal 1269 KUHPerdata. Penelitian ini memberikan rekomendasi untuk menerapkan doktrin anticipatory breach dalam sistem hukum Indonesia guna mendukung perkembangan penyelesaian sengketa perjanjian yang semakin modern.

This thesis examines anticipatory breach as a form of default in contracts, focusing on a comparative legal study between Indonesia, England, and Singapore. Anticipatory breach refers to a contractual violation that occurs before the contractual obligations are due or breached in actuality, granting the aggrieved party the right to take immediate legal action. This study employs a normative-juridical research method, analyzing legislation, court decisions, and relevant legal literature. In Indonesia, anticipatory breach is not explicitly regulated in the Indonesian Civil Code (Kitab Undang-Undang Hukum Perdata or KUHPerdata), which requires default to occur only after the obligation becomes due. In contrast, Singapore and England, which adhere to the common law system, recognize anticipatory breach as a legal principle, enabling the aggrieved party to file claims earlier. This research analyzes court decisions in the three jurisdictions to examine the application of this doctrine. The findings reveal that anticipatory breach has long been implemented in England and Singapore, offering better protection to the aggrieved parties compared to Indonesia’s legal system. However, the adaptation of this principle into Indonesian law faces challenges due to the provisions of Articles 1238, 1243, and 1269 of the Civil Code. This study provides recommendations to adopt the doctrine of anticipatory breach into the Indonesian legal system to support the evolving resolution of contractual disputes in modern times."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bobby Ari Laksana
"Trust merupakan suatu Konsep Hukum yang berasal dari Negara dengan Sistem Hukum Common Law. Namun di Indonesia juga diterapkan konsep Hukum Trust. Namun secara dalam segi implementasi dan praktik Trust di Indonesia sangat berbeda dengan Trust yang diterapkan di Negara Inggris yang merupakan Negara Common Law. Dalam segi praktek di Indonesia trust hanyalah sebuah jasa oleh bank sesuai denga napa yang telah diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Sedangkan dalam praktik di Inggris Trust merupakan sebuah ekuitas yang berdiri sendir. Dalam segi pengaturan jika dibandingkan di Indonesia tidak se komprehensif dengan apa yang diatur di Inggris. Dalam praktiknya trust di Indonesia juga sudah digunakan oleh beberapa sektor dan sudah dijalankan oleh tiga bank dan tidak menutup kemungkinan dengan adanya bank lain yang akan menggunakan atau menerapkan praktik Trust. Maka dengan kondisi tersebut masih perlu pengembangan pengaturan di Indonesia yang mengatur mengenai Trust yang akan bertindak sebagai payung hukum

Trust is a legal concept originating from the State with the Common Law Law System. However, Indonesia also applies the concept of Trust Law. However, in terms of the implementation and practice of Trust in Indonesia, it is very different from the Trust which is applied in the England, which is a Common Law Country. In terms of practice in Indonesia, trust is only a service by a bank in accordance with what has been regulated in the Financial Services Authority Regulation. Whereas in practice in the England Trust is an equity that stands alone. In terms of regulation, compared to Indonesia, it is not regulated by what is regulated in the England. In practice, trust in Indonesia has also been used by several sectors and has been carried out by three banks and it is possible that other banks will use or implement Trust practices. So under these conditions there is still a need for legal development in Indonesia which talks about Trust which will act as a legal umbrella"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dania Fatmawati Putri
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara tingkat penggunaan ganja dan aspek-aspek fungsi psikososial (self-esteem, depresi, kecemasan, pengambilan keputusan, permusuhan, pengambilan risiko, konformitas dan masalah-masalah saat kecil). Penelitian dilakukan dengan pendekatan kuantitatif terhadap 120 orang pengguna ganja yang diperoleh melalui teknik accidental sampling. Pengukuran tingkat penggunaan ganja dilakukan dengan alat ukur The Cannabis Use Disorders Identification Test - Revised (CUDIT-R) (Adamson et al., 2010), sedangkan aspek-aspek fungsi psikososial diukur dengan TCU Psychosocial Functioning Scale (Knight et al., 1994).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara tingkat penggunaan ganja dan salah satu aspek fungsi psikososial, yaitu kecemasan (r=0.322; p=0.000, signifikan pada L.o.S 0.01). Akan tetapi, ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat penggunaan ganja dan selfesteem, depresi, pengambilan keputusan, permusuhan, pengambilan risiko, konformitas serta masalah-masalah saat kecil.

The aim of this study was to determine the relationship between level of cannabis use and aspects of psychosocial functioning (self-esteem, depression, anxiety, decision-making, hostility, risk-taking, conformity and childhood problems). This study conducted with quantitative approach to 120 cannabis users that acquired through accidental sampling technique. The level of cannabis use measured by The Cannabis Use Disorders Identification Test - Revised (CUDIT-R) (Adamson et al., 2010), while the aspects of psychosocial functioning measured by TCU Psychosocial Functioning Scale (Knight et al., 1994).
Result indicated that there was a significant positive correlation between level of cannabis use and anxiety (r = 0322; p = 0.000, significant at the L.o.S. 0.01). However, it was found that there was no significant correlation between level of cannabis use and self-esteem, depression, decision-making, hostility, risk-taking, conformity and childhood problems.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Raihan Al Hadi Nst
"Konflik di Papua telah berlangsung berpuluh-puluh tahun, bahkan sejak masih dikenal dengan nama Irian Jaya. Sejarah panjang proses integrasi Papua yang bermasalah telah melahirkan konflik yang hingga kini tidak kunjung mencapai kata selesai. Dalam perkembangannya, kini ancaman tidak hanya datang dari kelompok bersenjata yang menginginkan kemerdekaan Papua. Studi terbaru juga menunjukkan besarnya potensi konflik, baik di antara orang Papua itu sendiri, maupun antara orang Papua dengan penduduk pendatang. Untuk menangani situasi di Papua, pemerintah telah melakukan tindakan-tindakan yang patut diduga membatasi Hak Asasi Manusia, seperti pengerahan aparat bersenjata dan pembatasan akses terhadap informasi dan media. Pada masa orde baru, secara faktual Papua bahkan pernah menjadi Daerah Operasi Militer. Uniknya, terlepas adanya indikasi kedaruratan yang nyata, pemerintah tidak pernah mendeklarasikan keadaan darurat secara resmi berdasar hukum. Padahal, menurut doktrin Hukum Tata Negara Darurat, tindakan-tindakan khusus yang membatasi Hak Asasi Manusia tersebut hanya dapat dilakukan dalam suatu keadaan darurat yang dideklarasikan secara resmi. Melalui studi pustaka, penelitian ini berusaha menelusuri norma pembatasan hak asasi manusia dalam keadaan darurat, baik dalam teori, hukum positif di Indonesia, dan pengaturannya dalam konstitusi negara-negara lain. Uraian-uraian menyangkut konflik yang terjadi di Papua juga disajikan untuk menambah pemahaman terhadap persoalan yang ada. Penelitian ini menemukan bahwa penggunaan tindakan-tindakan khusus yang dilakukan dalam penanganan konflik di Papua telah bertentangan dengan asas proklamasi yang dikenal dalam Hukum Tata Negara Darurat. Selain itu, kasus-kasus pembunuhan di luar proses hukum dan penyiksaan juga menunjukkan pelanggaran serius terhadap non-derogable rights yang dijamin Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 dan Pasal 4 International Covenant on Civil and Political Rights. Lebih-lebih lagi, ketiadaan pengawasan oleh parlemen dan pengadilan menyebabkan tidak terdeteksinya tindakan-tindakan lain yang patut diduga tidak beralasan dan tidak proporsional terhadap ancaman bahaya yang ada.

The conflict in Papua has been ongoing for decades, dating back to when it was known as Irian Jaya. The troubled integration process has led to a conflict that remains unresolved. Recently, studies have shown that threats come not only from armed groups seeking Papuan independence. Recent studies also show the potential conflicts, both between Papuans themselves, and within the Papuan community and between Papuans and the migrant population. The government's efforts to handle the situation, including the deployment of armed forces and restrictions on information access and the media, have raised concerns about human rights restrictions. Despite indications of an emergency, the government has never officially declared a state of emergency based on law, as required by the Emergency Constitutional Law doctrine. This study aims to explore how human rights restrictions during state of emergency in theory, Indonesian law, and in the constitutions of other countries. In addition, it presents descriptions of conflict in Papua to shed light on existing problems. The research reveals that the special measures used to manage the conflict in Papua conflict with the proclamation principle outlined in the Emergency Constitutional Law doctrine. Furthermore, cases of extrajudicial killings and torture demonstrate serious violations of the non-derograble rights guaranteed by the Article 28I of Constitution of the Republic of Indonesia and the Article 4 of the International Covenant on Civil and Political Rights. The absence of oversight by parliament and the courts has led to the failure to detect other actions alleged to be unreasonable and disproportionate to the gravity of the events."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>