Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172636 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ferlina Vidyananda Susilo
"Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah kelainan struktur atau fungsi ginjal selama lebih dari 3 bulan. Penyakit dasar utama PGK adalah hipertensi dan diabetes melitus tipe 2. Masalah terkait obat antihipertensi dan antidiabetes yang tersering yaitu potensi interaksi obat, ketidaktepatan dosis, dan ketidaktepatan pemilihan obat. Hal ini memperparah kondisi medis pasien. Studi cross sectional ini menganalisis ketepatan pemilihan, dosis, dan potensi interaksi obat antihipertensi dan antidiabetes pasien rawat inap PGK dengan hemodialisis di Rumkital dr. Mintohardjo periode Januari sampai Desember 2022. Sampel diambil secara total sampling dengan total 101 pasien. Hasil penelitian adalah 98 pasien (97%) mendapatkan obat antihipertensi dan antidiabetes yang tepat pemilihan. Terdapat 2 obat antihipertensi yang tidak tepat, yaitu hidroklorotiazid dan captopril. Sebanyak 75 pasien (74%) mendapatkan dosis obat antihipertensi dan antidiabetes yang tepat. Terdapat ketidaktepatan dosis obat antihipertensi, terbanyak adalah carvedilol. Potensi interaksi obat antihipertensi dan antidiabetes ditemukan pada 91 pasien (90%), mayoritas bersifat moderat, membutuhkan pemantauan, dan memiliki mekanisme farmakodinamik. Faktor usia, jenis kelamin, jumlah obat, dan lama rawat inap tidak memiliki hubungan dengan ketepatan pemilihan obat antihipertensi dan antidiabetes (p > 0,05). Terdapat hubungan antara jumlah obat (p = 0,033) dan lama rawat inap (p = 0,024) dengan ketepatan dosis obat serta lama rawat inap dengan potensi interaksi obat antihipertensi dan antidiabetes (p = 0,040). Maka, disimpulkan bahwa terdapat masalah ketidaktepatan pemilihan (3 pasien; 3%), dosis (26 pasien; 26%), dan potensi interaksi obat (91 pasien; 90%) antihipertensi serta antidiabetes pada pasien rawat inap PGK dengan hemodialisis di Rumkital dr. Mintohardjo.

Chronic Kidney Disease (CKD) is an abnormality of kidney structure or function for more than 3 months. The main underlying diseases of CKD are hypertension and type 2 diabetes mellitus. The most common drug-related problems of antihypertensive and antidiabetic are potential drug interactions, inappropriate dosage, and inappropriate drug selection. This worsens patient’s medical condition. This cross-sectional study analyzed the appropriateness of selection, dosage, and potential drug interactions of antihypertensive and antidiabetic in CKD inpatients undergoing hemodialysis at dr.Mintohardjo Naval Hospital period January to December 2022. Samples were taken by total sampling with total 101 patients. Results showed 98 patients (97%) received appropriate antihypertensive and antidiabetic. There were 2 inappopriate antihypertensive, namely hydrochlorothiazide and captopril. As many as 75 patients (74%) received appropriate dosage of antihypertensive and antidiabetic. There were inappropriate dosages of antihypertensive drugs, the most common was carvedilol. Potential drug interaction of antihypertensive and antidiabetic was found in 91 patients (90%), majority being moderate, requiring monitoring, and having pharmacodynamic mechanism. Age, gender, number of drugs, and length of stay didn’t have relationship with appropriateness of antihypertensive and antidiabetic selection (p > 0,05). There was relationship between number of drugs (p= 0,033) and length of stay (p= 0,024) with appropriateness of dosage, also length of stay with potential drug interaction of antihypertensive and antidiabetic (p= 0,040). Conclusion, there are inappropriateness of selection (3 patients; 3%), dosage (26 patients; 26%), and potential drug interaction (91 patients; 90%) of antihypertensive and antidiabetic in CKD inpatients undergoing hemodialysis at dr. Mintohardjo Naval Hospital."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nusmirna Ulfa
"Latar Belakang: Prevalensi penyakit ginjal kronik (PGK) stadium akhir di Indonesia mengalami kenaikan setiap tahunnya dan biasanya mempunyai banyak komorbid seperti hipertensi, diabetes mellitus (DM) dan penyakit kardiovaskular. Selain itu pasien PGK juga berisiko mengalami komplikasi jangka panjang seperti anemia, gangguan mineral dan tulang, sehingga memerlukan pengobatan dengan beberapa jenis obat (polifarmasi). Obat-obatan pada pasien PGK digunakan dalam waktu jangka panjang sehingga berpotensi terjadi interaksi antar obat. Semakin banyaknya interaksi obat maka akan meningkatkan risiko efek samping obat (ESO). Pasien PGK juga sangat rentan mengalami peningkatan risiko akumulasi obat dan efek samping karena adanya perubahan parameter farmakokinetik dan farmakodinamik. Selain itu pada pasien PGK stadium 5 dengan hemodialisis (HD) terdapat beberapa obat yang terdialisis dalam proses HD sehingga dapat mengurangi efektivitas pengobatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola peresepan pada pasien PGK stadium 5 yang menjalani HD rutin serta kaitannya dengan potensi interaksi obat (PIO) dan kemungkinan ESO yang dapat diakibatkan oleh interaksi antar obat tersebut.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain potong lintang pada pasien PGK stadium 5 dengan HD rutin di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam periode Januari 2020 sampai dengan Juli 2021. Data diambil dari rekam medis unit HD, rekam medis pusat, electronic health record (EHR) dan hospital information system (HIS). Untuk mengetahui PIO dilakukan penilaian berdasarkan perangkat lunak Lexicomp dan penilaian kausalitas ESO dengan menggunakan algoritma Naranjo.
Hasil: Didapatkan 147 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan terdapat 101 jenis obat dengan 2767 kali peresepan dalam waktu 3 bulan. Proporsi pasien yang mengalami potensi interaksi antar obat sebanyak 89% pasien. Proporsi pasien yang mengalami potensi interaksi kategori mayor sebanyak 14% pasien, kategori moderat sebanyak 88% pasien, dan kategori minor sebanyak 37% pasien. Proporsi pasien yang dicurigai mengalami ESO akibat interaksi obat sebanyak 50% (66 pasien) dari 131 pasien yang mengalami PIO. Pada hasil multivariat, hanya komorbid DM yang memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan ESO yang dicurigai akibat interaksi obat.
Kesimpulan: Sebanyak 89% pasien PGK stadium 5 dengan HD mengalami potensi interaksi obat dan hipertensi merupakan efek samping terbanyak yang dicurigai akibat interaksi obat. Komorbid DM mempunyai peran yang cukup penting untuk terjadinya efek samping yang dicurigai akibat interaksi obat pada pasien PGK stadium 5 dengan HD

Background: The prevalence of end-stage renal disease in Indonesia has increased every year and usually has many comorbidities such as hypertension, diabetes mellitus (DM) and cardiovascular disease. In addition, there is also a risk of long-term complications, thus requiring treatment with several types of drugs (polypharmacy). The higher the frequency of drug interactions, the higher the risk of adverse drug reaction (ADR). Chronic kidney disease (CKD) patients are also very susceptible to an increased risk of drug accumulation and ADR due to changes in pharmacokinetic and pharmacodynamic parameters. In addition, CKD stage 5 patients with hemodialysis (HD) have several drugs that are dialyzed in the HD process so that it can reduce the effectiveness of treatment. The purpose of this study was to determine the prescribing pattern in stage 5 CKD patients on routine HD and its relationship to DDI and the possibility of ADR that could be caused by interactions between these drugs.
Methods: This was an observational study with a cross-sectional design in CKD stage 5 patients on routine HD at Cipto Mangunkusumo Hospital in the period January 2020 to July 2021. Data were taken from HD unit medical records. To determine the DDI, an assessment was carried out based on the Lexicomp software and ADR causality assessment using the Naranjo algorithm.
Results: A total of 147 patients met the inclusion criteria and there were 101 types of drugs with 2767 prescriptions within 3 months. The proportion of patients who received treatment with potential DDI is 89% of patients. The proportion of patients who received DDI in the major category was 14%, the moderate category was 88%, and the minor category was 37%. From 131 patients with DDI, the proportion of patients suspected having ADR cause by DDI is 50% (66 patients). Multivariate analysis found that only DM had statistically significant relationship with ADR that are suspected due to DDI.
Conclusion: In this study, 89% of patients received treatment with potential DDI and hypertension is the most suspected ADR due to drug interactions. Comorbid DM has an important role in the occurrence of ADR due to DDI in stage 5 CKD patients on HD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Guesvidha Nurhidayat As Putera
"Apoteker bertanggung jawab dalam memantau keamanan penggunaan obat di Puskesmas. Salah satu hal yang perlu dipantau adalah pasien dengan penyakit tidak menular (PTM). Penyakit ini tidak mudah menular dari orang ke orang dan seringkali berhubungan dengan faktor gaya hidup dan lingkungan. Beberapa contoh penyakit tidak menular yang umum meliputi penyakit jantung, stroke, diabetes, dan penyakit ginjal. Pemantauan obat pada pasien PTM sangat penting dalam pengelolaan penyakit pasien, hal ini terkait oleh efektifitas pengobatan, pengelolaan efek samping, kepatuhan penggunaan obat, pemantauan interaksi obat dan pemantauan kepatuhan gaya hidup. Metode pelaksanaan dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan penelusuran data. Data yang digunakan merupakan data rekam medik pasien poli PTM periode November 2022 – Desember 2022.Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui secara keseluruhan apakah terjadi interaksi obat yang diterima oleh pasien poli PTM (Penyakit Tidak Menular) yang berfokus pada pasien lanjut usia atau geriatri (≥60th). Didapatkan distribusi usia pada pasien yang masuk kriteria inklusi beragam, dimana jumlah pasien yang paling banyak berada di rentang 60-64 tahun sebesar (45,23%). pasien yang menerima obat sebanyak 3-4 macam berjumlah 23 pasien (54,76%), 5-7 macam berjumlah 17 pasien (40,47%) dan 8-10 macam berjumlah 2 pasen (4,76%). pasien yang mengalami interaksi obat sebanyak 20 orang (47,61%). Berdasarkan signifikasi interaksi obat atau tingkat keparahan interaksi mayor berjumlah 3 pasien (15%) dan interaksi moderat berjumlah 17 pasien (85%). Interaksi yang terjadi antara amlodipin dan simvastatin tidak dimasukkan kedalam kategori dikarenakan pada waktu pemberian jeda waktu sudah tepat, selain itu interaksi minor juga tidak dimasukkan kedalam kategori karena dianggap tidak berbahaya bagi pasien. potensi kejadian interaksi obat pada pasien lansia poli PTM di puskesmas kecamatan kalideres periode bulan November 2022 sampai Desember 2022 yang diambil dengan metode sampling random didapatkan sebanyak 20 pasien mengalami interaksi (74,61%) sedangkan 22 pasien tidak mengalami interaksi (52,38%) atau hanya mendapatkan interaksi minor. Berdasarkan persentase signifikasi klinis, didapatkan interaksi mayor berjumlah 3 pasien (15%) (diluar interaksi antara amlodiphine+simvastatin) dan interaksi moderat berjumlah 17 pasien (85%). Pasien dengan interaksi minor tidak dimasukkan kedalam kategori dikarenakan dianggap tidak memiliki bahaya yang signifikan terhadap pasien.

Pharmacists are responsible for monitoring the safety of drug use at the Community Health Center. One of the things that needs to be monitored is patients with noncommunicable diseases (NCDs). This disease is not easily transmitted from person to person and is often related to lifestyle and environmental factors. Some examples of common non-communicable diseases include heart disease, stroke, diabetes, and kidney disease. Drug monitoring in NCD patients is very important in managing the patient's disease, this is related to the effectiveness of treatment, managing side effects, compliance with drug use, monitoring drug interactions and monitoring lifestyle compliance. The implementation method was carried out descriptively qualitatively by tracing data. The data used is medical record data from NCD polyclinic patients for the period November 2022 – December 2022. This research aims to find out overall whether there are drug interactions received by NCD (Non-Communicable Disease) polyclinic patients which focus on elderly or geriatric patients (≥60 years old). ). It was found that the age distribution of patients who met the inclusion criteria varied, with the largest number of patients being in the 60-64 year range (45.23%). There were 23 patients who received 3-4 kinds of medication (54.76%), 17 patients (40.47%) with 5- 7 kinds and 2 patients (4.76%) with 8-10 kinds. There were 20 patients who experienced drug interactions (47.61%). Based on the significance of drug interactions or the severity of major interactions, there were 3 patients (15%) and moderate interactions, there were 17 patients (85%). The interactions that occurred between amlodipine and simvastatin were not included in the category because the time interval for administration was appropriate, apart from that, minor interactions were also not included in the category because they were considered not dangerous for the patient. The potential for drug interactions in elderly patients with PTM polyclinics at the Kalideres sub-district health center for the period November 2022 to December 2022, taken using a random sampling method, found that 20 patients experienced interactions (74.61%) while 22 patients did not experience interactions (52.38%) or only get minor interactions. Based on the percentage of clinical significance, major interactions were found in (15%) (excluding the interaction between amlodiphine+simvastatin) and moderate interactions in 17 patients (85%). Patients with minor interactions are not included in the category because they are not considered to pose a significant danger to the patient.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Utami Ratnaningsih
"Morbiditas pasien penyakit ginjal kronis memengaruhi jenis dan jumlah terapi obat yang potensial dapat menimbulkan beragam masalah terkait obat. Salah satu peran Apoteker adalah mengidentifikasi dan mencegah terjadinya masalah terkait obat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara polifarmasi dan masalah terkait obat serta mengevaluasi jenis dan jumlah masalah terkait obat pada pasien ginjal kronis di ruang rawat inap RS PMI Bogor. Penelitian ini menggunakan rancangan studi potong lintang. Data primer adalah data masalah terkait obat. Data sekunder dari formulir pemantauan terapi obat oleh farmasi klinik. Penelitian dilakukan di ruang instalasi farmasi RS PMI Bogor periode 28 September?05 Desember 2015. Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi frekuensi serta proporsi dari variabel yang diteliti. Analisis multivariat uji regresi logistik menguji hubungan variabel bebas, perancu, dan masalah terkait obat. Evaluasi dilakukan terhadap 682 terapi obat dari 92 orang pasien penyakit ginjal kronik. Persentase pasien dengan polifarmasi sebesar 83,7% dan pasien dengan masalah terkait obat sebesar 73,9%. Jumlah obat penyebab masalah terkait obat sebanyak 73 obat (55,3%). Jumlah masalah terkait obat dalam kategori masalah obat sebesar 207 masalah dengan persentase efek pengobatan yang tidak optimal sebesar 67,6%. Ada hubungan bermakna antara pasien yang mendapat obat polifarmasi dan kejadian masalah terkait obat (p=0,000). Pasien penyakit ginjal kronis dengan polifarmasi berisiko 21,67 kali mengalami kejadian masalah terkait obat.

Morbidity in patients with chronic kidney disease affects variety of types and number of drug treatment, then it is potential to cause variety of types and number of drug-related problems. Pharmacists play a role in identifying and preventing drug-related problems. This study aimed to determine the relationship between polypharmacy and drug-related problems, as well as evaluating the type and number of drug-related problems in chronic kidney disease inpatient in Indonesian Red Cross Bogor hospital. This study was retrospective cross sectional study design. The primary data was obtained by identifying drug related problems. The secondary data was taken from drug therapy monitoring form by the clinical pharmacy. The study was conducted at the hospital pharmacy at PMI Bogor hospital during 28 September to 5 December 2015. Univariate analysis was performed to get the distribution frequency and proportion of the variables, such as the characteristics of the patient and drug therapy, as well as the number and types of drug-related problems with the classification of Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE). Multivariate logistic regression analysis was conducted to test whether there was a relationship between the confounding variable with drug-related problems. An evaluation was taken on 682 drug treatment of 92 chronic kidney disease patients. The number of patients who experience polypharmacy was 83.7%. The number of patients experiencing drug-related problems was 73.9%. The number of problem in drug-related problems classification was 207 problems, with the nonoptimal treatment effect (67.6%). There was a significant association between patients who received polypharmacy and the incidence of drug-related problems (p=0.000). Chronic kidney disease patients who received polypharmacy had the risk of 21,667 times to experience drug-related problems."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nazma Indira
"Meningkatnya jumlah pasien lanjut usia dan pasien disfungsi imun berkontribusi terhadap tingginya beban infeksi jamur invasif di Indonesia. Keterbatasan informasi dan pedoman penggunaan antijamur sistemik di Indonesia menyebabkan penggunaannya berkaitan dengan masalah terkait obat (MTO). Di Indonesia, antijamur sistemik bentuk injeksi memiliki biaya yang tinggi dan ketersediaan yang terbatas. Penelitian cross-sectional ini bertujuan untuk mengevaluasi profil penggunaan dan MTO antijamur sistemik bentuk injeksi di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Gedung A periode Januari-Desember tahun 2022. Pengambilan sampel menggunakan metode quota sampling pada data sekunder berupa rekam medis. Analisis MTO terhadap regimen pengobatan pasien difokuskan pada ketepatan dosis, ketepatan durasi, potensi interaksi obat, dan efek samping obat. Flukonazol merupakan antijamur sistemik bentuk injeksi yang paling sering digunakan (63,6%) dengan indikasi penggunaan empiris yang paling umum (41,1%). Kandidiasis merupakan jenis infeksi jamur invasif yang paling umum terjadi (26,2%) dengan median durasi pengobatan antijamur sistemik selama 9 (4-26) hari. Terdapat 45 pasien yang mengalami MTO. Termasuk dosis terlalu rendah sebanyak 4 (3,7%), durasi pengobatan terlalu singkat sebanyak 10 (9,3%), durasi pengobatan terlalu lama sebanyak 3 (2,8%), potensi interaksi obat sebanyak 19 (17,8%), dan efek samping obat sebanyak 18 (16,8%) pasien. Hasil uji Chi-square menunjukkan bahwa pasien dengan durasi pengobatan  >9 hari (p = 0,041) dan berusia >60 tahun (p = 0,005) lebih tinggi 2,438 dan 3,646 kali mengalami MTO antijamur sistemik bentuk injeksi. Temuan terkait efek samping obat dan interaksi obat memerlukan pemantauan oleh tenaga kesehatan dan implementasi protokol de-eskalasi antijamur untuk MTO terkait durasi dapat mengurangi biaya perawatan pasien di rumah sakit.

The rising population of elderly and immunocompromised patients contributes to Indonesia's high burden of invasive fungal infections. Limited information and guidelines on systemic antifungal agents in Indonesia contribute to drug-related problems (DRPs). Moreover, in Indonesia, injectable forms of systemic antifungals have high costs and limited availability. This cross-sectional study aims to assess the utilization profile and DRP of injectable systemic antifungal medicines at dr. Cipto Mangunkusumo Hospital Building A between January and December 2022. This study utilized quota sampling of secondary data from medical records. The DRP evaluation of patient treatment regimens focused on dosage accuracy, duration accuracy, possible drug interactions, and adverse drug events (ADE). Fluconazole was the most frequently administered intravenous antifungal drug (63,66%), with empirical therapy being the primary indication for treatment (41,1%). Candidiasis was the most prevalent invasive fungal infection (26,2%), and the median duration of intravenous antifungal treatment was 9 (4-26) days. A total of 45 patients experienced DRPs, encompassing dosage too low in 4 (3,7%), treatment duration too short in 10 (9,3%), treatment duration too long in 3 (2,8%), potential drug interactions in 19 (17,8%), and ADE occurring in 18 (16,8%) patients. Chi-square analysis indicated that patients with treatment duration >9 days and those >60 years of age were 2,438 and 3,646 times more likely to experience DRPs (p = 0,041 and p = 0,005, respectively). Findings concerning ADE and potential drug interactions require monitoring by healthcare providers, and antifungal de-escalation protocols for duration-associated DRPs help reduce hospitalization costs."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lusi Indriani
"ABSTRAK
Penggunaan obat yang berisiko terhadap ginjal pada pasien dengan penurunan
fungsi ginjal memungkinkan terjadinya masalah terkait obat. Apoteker berperan
dalam mengidentifikasi dan mencegah terjadinya masalah terkait obat. Penelitian
ini bertujuan untuk menilai pengaruh intervensi apoteker terhadap penurunan
jumlah dan jenis masalah terkait obat pada pasien penyakit ginjal kronik di
Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati. Penelitian dilakukan
secara prospektif selama periode Januari hingga Maret 2012 menggunakan
rancangan eksperimental, pre dan post-test. Evaluasi dilakukan terhadap 377
terapi obat dari 40 orang pasien penyakit ginjal kronik. Rekomendasi diberikan
kepada dokter, perawat, dan pasien. Jumlah masalah terkait obat adalah 98
masalah (25,99% dari jumlah terapi obat yang diresepkan). Jenis masalah terkait
obat adalah efek terapi obat yang tidak optimal 62,24%, kejadian obat yang tidak
diinginkan (non alergi) 20,41%, dan kejadian obat yang tidak diinginkan (toksik)
17,35%. Penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi apoteker dapat menurunkan
masalah terkait obat jenis efek terapi obat yang tidak optimal (62,24% menjadi
0%), jenis kejadian obat yang tidak diinginkan yang non alergi (20,41% menjadi
11.22%), dan jenis kejadian obat yang tidak diinginkan yang menimbulkan efek
toksik (17,35% menjadi 10,20%). Faktor perancu secara bermakna mempengaruhi
terjadinya masalah terkait obat yaitu penyakit penyerta (r= 0,385; p= 0,014), dan
jumlah terapi obat (r= 0,604; p= 0,000)."
2012
T31428
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nabila Tidara Poetri
"tudi ini bertujuan mengevaluasi masalah terkait obat di Ruang IRNA Teratai lantai 4 Selatan RSUP Fatmawati dengan menggunakan klasifikasi Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) V9.1 dan analisis kerasionalan penggunaan antibiotik berdasarkan alur Gyssens. Melalui pengkajian prospektif pada pasien ruang rawat inap, data diperoleh dari rekam medis pasien dan lembar instruksi harian pasien pada SIMGORS. Hasil menunjukkan permasalahan terapi pada efektivitas pengobatan, keamanan pengobatan, efektivitas biaya, pemilihan obat, dan durasi pengobatan. Ketidakrasionalan penggunaan antibiotik teridentifikasi pada moksifloksasin dan meropenem karena melebihi durasi peresepan formularium nasional. Namun, penggunaan antibiotik sefiksim ditemukan rasional sebagai terapi sulih saat pasien pulang. Saran dari studi ini melibatkan peran apoteker dalam memberikan masukkan berbasis evidence-based medicine dan edukasi formularium nasional kepada dokter. Hal ini bertujuan untuk mencegah resistensi antibiotik dan kerugian ekonomi rumah sakit.

This study aimed to evaluate drug-related issues in the IRNA Teratai Ward, 4th Floor South of Fatmawati Hospital using the Pharmaceutical Care Network Europe (PCNE) V9.1 classification and analyze the rationality of antibiotic use based on the Gyssens flowchart. Through a prospective assessment of in-patients, data were obtained from patient medical records and daily instruction sheets on SIMGORS. The results revealed therapy problems related to treatment effectiveness, drug safety, cost-effectiveness, drug selection, and treatment duration. Irrational use of antibiotics was identified in moxifloxacin and meropenem due to exceeding the national formulary prescription duration. However, the use of cefixime was found to be rational as a replacement therapy when the patient was discharged. Recommendations from this study involve the role of pharmacists in providing evidence-based medicine feedback and educating doctors on the national formulary. This aims to prevent antibiotic resistance and financial loss to the hospital."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas ndonesia, 2022
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putu Octavianty
"Gagal ginjal kronis merupakan penyakit tersering dan juga membutuhkan beban pembiayaan yang tinggi. Sejak era jaminan kesehatan nasional dikeluarkan kebijakan untuk menggunakan clinical pathway sebagai alat untuk mengendalikan mutu dan pembiayaan di rumah sakit. Dengan jumlah kerugian yang nyaris 105 juta di tahun 2017 maka penelitian ini diharapakan dapat memberikan gambaran dalam menilai kinerja organisasi pelaksana clinical pathway gagal ginjal kronik dengan hemodialisa melalui metode penilaian Malcolm Baldridge dan ICPAT diruang perawatan penyakit dalam RSAL dr. Mintohardjo. Penelitian ini adalah penelitian studi kasus dengan analisa kualitatif yaitu serangkaian kegiatan dimana peneliti mengumpulkan informasi tentang implementasi clinical pathway gagal ginjal kronik dengan hemodialisa, melakukan pemotretan sehingga tercipta gambaran umum pelaksanaan CP di RSALdr. Mintohardjo. Hasil penelitian didapatkan bahwa implementasi clinical pathway gagal ginjal kronik dengan hemodialisa di ruang perawatan Penyakit Dalam termasuk kategori early development dengan mutu poor. Dari hasil penelitian ini disarankan pimpinan RS lebih meningkatkan komitmen mengenai penerapan CP di masing-masing ruangan perawatan,melakukan evaluasi mengenai CP dalam 4-6 bulan, dan mengadakan pelatihan bagi seluruh pelaksana clinical pathway.

Chronic renal failure is the commonest disease and also requires a high financing burden. Since the era of national health insurance policy is issued to use clinical pathway as a tool to control quality and financing in the hospital. With the amount of losses nearly 105 M in 2017, this study is expected to provide an overview in assessing the performance of clinical pathway implementing organizations with chronic renal failure with hemodialysis through Malcolm Baldridge and ICPAT assessment methods in The Internal Medicine Room Mintohardjo's Naval Hospital. This research is case study research with qualitative analysis that is a series of activities where the researcher collect information about the implementation of chronic renal failure clinical pathway with hemodialysis, doing the photo shoot so as to create the general picture of CP implementation in dr. Mintohardjo Naval Hospital. The results showed that the implementation of chronic renal failure clinical pathway with hemodialysis in the treatment room of Internal Disease including the category of early development with poor quality. The results of this study suggested that the hospital leadership should increase commitment on CP implementation in each treatment room, evaluate CP in 4-6 months, and conduct training for all clinical pathway implementers. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
T50108
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simarmata, Mayannaria
"Masalah terkait obat adalah kejadian yang melibatkan terapi obat yang secara nyata atau potensial terjadi akan mempengaruhi hasil terapi yang diinginkan. Pasien yang mendapat perawatan intensif ditangani oleh team dokter sehingga mendapat polifarmasi yang menyebabkan kemungkinan besar terjadi interaksi obat sehingga menimbulkan masalah baru bagi pasien. Peranan apoteker pada pasien perawatan intensif masih terbatas. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi pengaruh intervensi terhadap masalah terkait obat pada pasien stroke dan gangguan kardiovaskular di ruang perawatan intensif Rumkital Dr. Mintohardjo Jakarta dan mendeskripsikan kondisi klinis pasien sebelum dan setelah intervensi. Penelitian yang dilakukan adalah studi eksperimen sebelum dan sesudah intervensi terhadap masalah terkait obat yaitu Pre dan Post Design yang bersifat prospektif. Kondisi klinis pasien dinilai dengan menggunakan skor Apache II. Jumlah pasien pada penelitian ini adalah 31 orang dengan umur 31-83 tahun (rata-rata 60,42 tahun). Laki-laki 21 orang ( 67,74% %).
Hasil penelitian menunjukkan 93,54% pasien mengalami masalah terkait obat dengan rata-rata 5,55 masalah terkait obat per pasien. Masalah terkait obat yang paling banyak ditemui adalah interaksi potensial (26,74%), perlu pemeriksaan laboratorium (21,51%) dan dosis obat terlalu tinggi/regimen dosis terlalu sering (14,53%). Pemberian intervensi berpengaruh nyata (p=0,000) terhadap jumlah kejadian masalah terkait obat. Kondisi klinis seluruh pasien sebelum intervensi pada skor Apache 2-31, sedangkan kondisi klinis pasien yang masih hidup setelah intervensi pada skor Apache 0-19. Pasien yang meninggal sebanyak 14 orang. Terdapat perbedaan yang bermakna antara kondisi klinis pasien yang masih hidup sebelum dan setelah intervensi (p=0,031). Intervensi apoteker secara bermakna menurunkan jumlah masalah terkait obat.

Drug related problem (DRP) is an event or circumstance involving drug therapy, that may actually or potentially interferes with desired health outcomes. Intensive care patients are often care by several teams with the result that polypharmacy that can lead to drugs interaction. The role of pharmacist at intensive care patient is limited. The objectives of this study were evaluating about the influence of pharmacist intervention on DRPs of cardiovascular disorders patients at intensive care unit and describing clinical condition of patients before and after intervention. The method which was used in this study was prospective with experimental study pre and post intervention for DRPs. Patient clinical condition was evaluated by Apache Score II. In this study the number of patient involved were 31 at the age 31-83 years (mean age 60,42 years). Mens were 21 (67,74%).
The result showed that 93,54% of the patient had DRPs and an average of 5,5 DRPs were recorded per patient. The DRPs categorize most often were potential interaction (26,74%), need laboratory test (21,51%), and drug dose too high or dosage regime too frequent ((14,53%). The patient used average of 10,81 drugs during hospitalization.There was statistically significant difference between DRPs pre and post intervention with (p= 0,000). Clinical condition of all patients before intervention was at Apache score 2-31 while clinical condition of all life patients after intervention was at Apache score 0-19. Patients who died in this study were 14 patients. There was statistically significant difference between the clinical status of life patients post and pre intervention (p= 0,031). Pharmacist intervention significantly decreased DRPs."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
T29048
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Adzka Khairiy Nazmi
"Kasus positif Covid-19 yang berkembang pesat di Indonesia harus diimbangi dengan kualitas penanganan yang baik, salah satunya dengan menjanjikan peningkatan jumlah pasien sembuh. Favipiravir merupakan obat antivirus yang efektif menghambat infeksi virus Covid-19. Dalam penggunaan dan peresepan favipiravir sebagai obat antivirus, dapat terjadi kesalahan yang akan menyebabkan pengobatan bagi pasien Covid-19 tidak efektif, salah satunya adalah Masalah Terkait Obat (MTO). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis MTO pada pasien Covid-19 dengan terapi favipiravir di Rumah Sakit Universitas Indonesia tahun 2021. Desain penelitian yang digunakan merupakan penelitian cross sectional. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diambil secara retrospektif dari rekam medis dan Catatan Perkembangan Pasien Terintegrasi (CPPT) pasien. Klasifikasi masalah terkait obat yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada klasifikasi Hepler dan Strand. Analisis dilakukan terhadap 131 pasien Covid-19 yang memenuhi kriteria inklusi. Hasil dari penelitian menunjukkan adanya masalah terkait obat pada pasien Covid-19 dengan terapi favipiravir di RSUI tahun 2021 sebanyak 92 kejadian dengan persentase interaksi obat sebesar 58,69%, Reaksi Obat Tidak Diinginkan (ROTD) sebesar 22,83%, kegagalan dalam penerimaan obat sebesar 10,87%, dosis subterapi sebesar 6,52%, dosis berlebih sebesar 1,09%, kesalahan pemilihan obat sebesar 0,0%, penggunaan obat tanpa indikasi sebesar 0,0%, dan indikasi yang tidak diobati sebesar 0,0%. Berdasarkan hasil analisis tersebut, dapat disimpulkan pasien Covid-19 dengan terapi favipiravir di Rumah Sakit Universitas Indonesia berpotensi mengalami masalah terkait obat, yang mana MTO yang paling banyak terjadi adalah interaksi obat.

Positive cases of Covid-19 which are increasing rapidly in Indonesia must be improved with good quality of treatment, one of which is by increasing the number of recovered patients. Favipiravir is an antiviral drug that is effective at preventing infection with the Covid-19 virus. In the use and prescribing of favipiravir as an antiviral drug, errors can occur that will cause treatment for Covid-19 patients to be ineffective, one of which is Drug Related Problems (DRP). This study aims to analyze DRP in Covid-19 patients with favipiravir therapy at the University of Indonesia Hospital in 2021. The study design used was a cross-sectional study. The data used in this study are secondary data taken retrospectively from the patient's medical records and Integrated Patient Development Records. The classification of drug-related problems used in this study refers to the Hepler and Strand classification. The analysis was carried out on 131 Covid-19 patients who met the inclusion criteria. The results of the study showed that there were drug-related problems in Covid-19 patients with favipiravir therapy at University of Indonesia Hospital in 2021 as many as 92 incidents with the proportion of events for drug interactions is 58.69%, Adverse Drug Reactions is 22.83%, failure to receive drugs is 10.87%, subtherapeutic dosage is 6.52%, overdosage is 1.09%, improper drug selection is 0,0%, drug use without indication is 0.0%, and untreated indication is 0.0%. Based on the results of this analysis, it is certain that Covid-19 patients with favipiravir therapy at the University of Indonesia Hospital is experiencing drug-related problems, which the most DRP occurs is drug interactions."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>