Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 158618 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Umar Sadikin
"Selebriti sering kali berusaha untuk mendapatkan kembali popularitas mereka dan menghindari "dibatalkan" di media sosial setelah dikritik atas perilaku yang menyakitkan hati. Salah satu pendekatan umum adalah meminta maaf secara publik di media sosial, dengan beberapa orang memilih untuk muncul secara langsung saat meminta maaf. Diasumsikan bahwa selebriti-selebriti ini menggunakan strategi permintaan maaf yang tepat serta gerakan tubuh untuk menciptakan permintaan maaf yang kuat dan efektif. Penulis percaya bahwa keberadaan fitur visual dalam menyampaikan permintaan maaf publik sama pentingnya dengan aspek linguistik, terutama dalam proses pembuatan makna. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penggunaan strategi permintaan maaf serta gerakan tubuh dalam video permintaan maaf publik yang dilakukan oleh tiga selebriti Amerika: Will Smith, Ellen DeGeneres, dan Hannah Brown. Untuk melakukan penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan multimodal, yang dapat membantu mengurai berbagai mode komunikasi dalam penelitian ini — baik yang linguistik maupun yang non-linguistik. Analisis non-linguistik dalam penelitian ini difokuskan pada analisis pandangan mata (gaze analysis), yang terhubung dengan klasifikasi strategi permintaan maaf yang digunakan dalam video-video tersebut. Dalam melakukan analisis, penulis menggunakan teori fungsi pandangan mata yang dikembangkan oleh Leathers dan Eaves (2008), sedangkan strategi permintaan maaf dianalisis berdasarkan teori yang diajukan oleh Trosborg (1994). Hasil penelitian menunjukkan bahwa setiap strategi permintaan maaf cenderung berhubungan dengan perilaku mata tertentu saat dilakukan oleh pembicara.

Celebrities often attempt to regain their popularity and avoid being "canceled" on social media after being criticized for offensive behavior. One common approach is to apologize publicly on social media, with some opting to appear in person during the apology. It is assumed that these celebrities use both appropriate apology strategies and gestures to craft a potent and effective apology. The author believes that the existence of visual features in delivering a public apology is as significant as the linguistic aspect, especially in the meaning-making process. This study aims to examine the use of apology strategies as well as gestures in public apology videos done by three American celebrities: Will Smith, Ellen DeGeneres, and Hannah Brown. To carry out this study, the author involves a multimodal approach, which can help to unravel the different modes of communication in this study — linguistic and non-linguistic. The non-linguistic analysis in this study is specified to gaze analysis, which is linked to the classification of the apology strategies used in the videos. In conducting the analysis, the author utilizes the theory of gaze function devised by Leathers and Eaves (2008), whereas the apology strategies are analyzed by the theory proposed by Trosborg (1994). The result shows that each apology strategy tends to be associated with certain eye behaviours when it is performed by the speakers."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Dyah Putri Pertiwi
"Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kompensasi dan permintaan maaf merupakan cara untuk memulihkan rasa percaya seseorang Lewicki Brinsfield, 2017 . Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh kompensasi dan variasi permintaan maaf terhadap pemulihan rasa percaya. Desain penelitian ini ialah randomized 2 besar kompensasi: kompensasi kecil vs tanpa kompensasi x 3 permintaan maaf: permintaan maaf lengkap vs permintaan maaf parsial vs tanpa maaf between subject. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan memodifikasi trust game Desmet, De Cremer, Van Dijk, 2010 dan dijalankan dengan menggunakan program z-Tree. Partisipan terdiri dari 184 mahasiswa/i aktif Universitas Indonesia jenjang S1. Hasil menunjukkan bahwa meskipun partisipan yang mendapatkan kompensasi kecil dan permintaan maaf parsial pemulihan rasa percayanya paling tinggi dibandingkan dengan kelompok eksperimen lainnya, namun secara statistik tidak ditemukan pengaruh yang signifikan antara pemberian kompensasi kecil dan variasi permintaan maaf terhadap pemulihan rasa percaya. Hasil tersebut dapat ditinjau dari perbedaan individu dan aspek budaya.

Researches showed that compensation and apology were means to repair one rsquo s trust Lewicki Brinsfield, 2017 . This study aimed to explore the effect of compensation and apology toward trust repair. Research design of this study was randomized 2 compensation small compensation vs. no compensation x 3 apology full apology vs partial apology vs without apology between subjects. This experimental study modified trust game Desmet, De Cremer, Van Dijk, 2010 run by using z Tree program. A total of 184 students of Univeristas Indonesia participated in this study. The result showed that despite of the group who got small compensation and partial apology had the highest trust repair, no statistically significant effect was found on small compensation and apology toward trust repair. This results could be evaluated from the individual differences and cultural aspect."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Findez Shidiq Anugrah
"Penelitian ini ingin melihat apakah permintaan maaf masih berharga atau tidak dalam konteks transaksi ekonomi. Melihat konteks budaya Indonesia yang sering sekali meminta maaf, bahkan pada hal-hal yang sebetulnya tidak perlu untuk meminta maaf. Lebih jauh lagi penelitian ini ingin membandingkan respon manusia terhadap permohonan maaf pada jumlah besaran uang yang berbeda- beda. Penelitian ini menggunakan game theory untuk menemukan respon mengenai intensi seseorang untuk melanjutkan hubungan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa orang tidak lagi menghargai maaf dari ucapan permintaan maaf seseorang, namun yang dilihat adalah usaha yang dilakukan untuk melakukan permintaan maaf seperti memberikan kompensasi uang. Hal ini terlihat dari tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kompensasi uang yang ditambahkan dengan maaf, maupun yang tanpa maaf t(46) = -,907, p>0,05. Selanjutnya juga tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah uang terhadap intensi untuk melanjutkan hubungan F(2,60) = 0,34, p>0,05.

The purpose of this research is to examine the value of apology in economic transaction. In Indonesian culture, apology or saying sorry does not always mean the person begging others apology for their mistakes. Instead, they say sorry for non-sense meaning. Furthermore, this research is intended to compare human response to apology in various value of money. Dictator game has been used to reveal the individual intention for preserving interpersonal relationship. Present
research suggests that Indonesian count apology in terms of money compensation from their partner. The result between apology along with money compensation and without money compensation is not statistically significant, t(46) = -,907, p>0,05. The result is consistent for various value of money, to intention for preserving interpersonal relationship F(2,60) = 0,34, p>0,05.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S57806
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Dwi Praramadhanti
"

Keterlibatan figur publik dalam skandal dapat membuat hubungan antara penggemar dan publik figur melemah. Beberapa cara dapat dilakukan figur publik untuk tetap mempertahankan hubungan tersebut dengan penggemarnya, salah satunya adalah permintaan maaf. Studi eksperimental ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh efek moderasi permintaan maaf dan hubungan parasosial terhadap parasocial breakup dan pemaafan parasosial setelah terjadinya skandal seorang idol K-Pop. Partisipan merupakan individu yang mengidentifikasikan diri sebagai penggemar K-Pop dan dibagi ke dalam kelompok eksperimen (n = 97) dan kelompok kontrol (n = 96). Analisis regresi berganda menunjukkan bahwa hubungan parasosial tidak memoderasi pengaruh permintaan maaf terhadap parasocial breakup dan pemaafan parasosial.


Scandals involvement of public figures may weaken the relationship between the public figures and their fans. Various ways can be done by public figures to maintain those relationships, one of which is an apology. This experimental study was conducted to determine the moderation effects of apology and parasocial relationships on parasocial breakup and forgiveness after the scandal of a K-Pop idol. Participants are individuals who identify themselves as a K-Pop fan and were divided into experimental (n = 97) and control groups (n = 96). Multiple regression analysis shows that parasocial relationship do not moderate the effects of apology on parasocial breakup and parasocial forgiveness.

"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poppy Amalia Binraya
"ABSTRAK
Di dunia yang penuh dengan sensasi dan skandal internet, seorang YouTuber terkenal bernama
Logan Paul muncul dengan membawa salah satu kontroversi internet terbesar di awal tahun 2018.
Skandal tersebut tidak lain adalah terekamnya mayat di dalam vlog-nya selama kunjungannya ke
Hutan Bunuh Diri di Jepang. Meskipun ia telah meminta maaf atas kesalahannya, nampaknya ia
masih gagal untuk meyakinkan audiensnya. Ada beberapa analisis tentang permintaan maafnya
yang dibuat untuk melihat apakah ia tulus atau tidak. Di antara analisis-analisis yang ada, belum ada
yang menganalisis permintaan maafnya dari perspektif linguistik. Untuk mengisi kesenjangan
tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mempelajari permintaan maaf dari sudut pandang linguistik.
Menggunakan metode dan kerangka kerja kualitatif oleh Blum-Kulka, House & Kasper (1989),
Benoit (1995), Schmitt, Gollwitzer, Förster & Montada (2004), dan Lutzky & Kehoe (2017),
makalah ini akan mengungkapkan bahwa upaya permintaan maaf Paul yang pertama tidak cukup
dan bahwa permintaan maaf yang kedua lebih terlihat bersifat minta maaf.

ABSTRACT
In the world full of Internet sensations and internet scandals, a famous YouTuber named Logan Paul
raised to the occasion by bringing one of the biggest internet controversies in the beginning of 2018,
which was the filming of a dead body that he found during his visit to the Japanese Suicide Forest.
Although he apologized for his mistakes, the audience just was not convinced by his words. There
have been some analyses about his apologies made to see whether he was being sincere or not.
Among these analyses, there has never been one that analyzes his apologies from the perspective of
linguistics. To fill the gap, this research was conducted to study the apology from the linguistics
point of view. Using qualitative method and frameworks by Blum-Kulka, House & Kasper (1989),
Benoit (1995), Schmitt, Gollwitzer, Förster & Montada (2004), and Lutzky & Kehoe (2017), this
paper reveals that Pauls first attempt at apologizing was not apologetic enough and that his second
apology was more apologetic."
2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rosfita
"Skripsi ini membahas keberhasilan dan kegagalan komunikasi yang terjadi antara penutur bahasa Indonesia dengan penutur bahasa Inggris. Keberhasilan komunikasi ini ditinjau dari keberterimaan dan ketidakberterimaan ujaran yang merupakan realisasi permintaan dan permintaan maaf.
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara dengan responden penutur bahasa Indonesia berdasarkan kuesioner yang telah disusun. Hasil tertulis dari wawancara, dalam bahasa Inggris yang merupakan bahasa asing bagi responden, kemudian diperlihatkan kepada responden penutur asli bahasa Inggris untuk dinilai menjadi berterima dan tidak berterima dengan disertai alasannya.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dari 68 ujaran permintaan (request) yang berhasil dikumpulkan, 44,1% merupakan ujaran yang berterima, 19,1% tidak berterima karena penyimpangan tata bahasa dan kosa kata, dan 36,7% tidak berterima karena alasan pragmatic yang dinilai sebagai ujaran yang tidak sopan: Kesan tidak sopan timbul karena penutur mempergunakan bentuk langsung (direct) untuk merealisasikan permintaan kepada lawan bicara yang berkedudukan lebih tinggi dimana seharusnya dipergunakan bentuk tidak langsung (indirect).
Untuk realisasi permintaan maaf (apology), dari 38 ujaran yang terkumpul, 28,9% merupakan ujaran yang berterima. 34,2% merupakan ujaran yang tidak berterima karena penyimpangan dalam kaidah tata bahasa atau pemilihan kosa kata. Sisanya, 36,8% tidak berterima karena sebab sebab pragmatic, yaitu kekuranglengkapan.
Dalam merealisasikan permintaan maaf seseorang bukan hanya diharapkan mengujarkan ungkapan maaf, tetapi juga alasan terjadinya pelanggaran yang juga harus dapat diterima dan masuk akal, serta sebaiknya diikuti pula dengan tawaran untuk mengganti atau memperbaiki kerusakan atau pelanggaran yang terjadi."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1990
S14197
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alifa Astari Hendriana
"Tidak semua guru menerapkan kebiasaan mengucapkan tolong, maaf, terima kasih (TOMAT) pada kehidupan sehari-harinya. Diketahui bahwa guru kurang memiliki pengetahuan mengenai cara menanamkannya pada peserta didik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas psikoedukasi kepada guru TK dalam menambah pengetahuan mengenai cara menanamkan kebiasaan mengucapkan TOMAT pada peserta didik yang berusia 5-6 tahun dengan jumlah partisipan sebanyak tujuh orang (n=7). Efektivitas psikoedukasi dapat diketahui dari perbandingan skor pengetahuan pada sebelum dan sesudah psikoedukasi. Uji statistik yang digunakan adalah Wilcoxon Signed Ranks Test. Ditemukan hasil yang signifikan (p<0,05) pada hasil pretest dan post-test 1 serta post-test 1 dan post-test 2. Penemuan ini mengindikasikan bahwa psikoedukasi kepada partisipan efektif untuk menambah pengetahuan mengenai cara menanamkan kebiasaan pengucapan kata tolong, maaf, terima kasih, pada anak usia 5-6 tahun. Efektivitas psikoedukasi pun masih ditemukan setelah melewati jangka waktu tiga minggu. Limitasi dari penelitian ini adalah ada beberapa partisipan yang sudah memiliki cukup pengetahuan mengenai kebiasaan mengucapkan TOMAT dari sebelum psikoedukasi dilakukan sehingga kenaikan skor pengetahuannya tidak terlalu banyak. Implikasi dari penelitian ini adalah bahwa penambahan pengetahuan guru dapat dilakukan melalui psikoedukasi yang disesuaikan dengan kebutuhan atau kesulitan yang dimiliki guru.

Not all of preschool teachers apply the habit of saying please, sorry, thank you (TOMAT) in their daily life. Other than not having the habit of saying TOMAT, participants also found not having enough knowledge on how to instill the habit on saying it. Therefore, the purpose of this study is to know the effectivity of psychoeducation to increase teacher’s knowledge with the total of participant included in this study is seven teachers (n=7). Psychoeducation’s effectivity can be known through comparing scores between before and after the psychoeducation. Wilcoxon Signed Ranks Test is used as the method to test effectivity where significant result (p<0,05) is found on pre-test – post-test 1 and post-test 1 – post-test 2. This result indicating that psychoeducation used in this study is effective to increase teacher’s knowledge. The psychoeducation can still influence teacher’s knowledge even after some times. Some participants already have enough knowledge on the habit of saying TOMAT therefore even after psychoeducation, the increase in their knowledge score is not too much. This study implicates that the increase of teacher’s knowledge can be done through psychoeducation that is suitable with the need or the difficulty the teachers have."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titien Diah Soelistyarini
"ABSTRAK
Sehubungan dengan semakin pentingnya peran bahasa Inggris di dalam era globalisasi ini semakin banyak orang Indonesia mempelajari bahasa Inggris. Bahasa Inggris yang digunakan oleh para pembelajar ini menjadi fokus di dalam skripsi saya, yang khususnya membahas tentang tindak tutur permintaan maaf di dalam bahasa Inggris yang direalisasikan oieh penutur bahasa Indonesia sebagai pembelajar bahasa Inggris. Bentuk ujaran yang digunakan untuk merealisasikan tindak tutur ini akan dikaitkan dengan strategi-strategi tertentu (Olshtain dan Cohen, 1983) yang diterapkan sebagai sebuah upaya untuk melindungi keterancaman muka para peserta tutur serta dalam kaitannya dengan prinsip kesantunan dan prinsip keseimbangan dalam hubungan antarpeserta tutur (Brown and Levinson, 1992). Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner yang dibagikan langsung kepada responden. Dipilih sebagai responden adalah para mahasiswa dari jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia, yang sedang atau telah menempuh tahun ketiga. Berdasarkan hasil analisis dari data yang terkumpul, saya sampai pada kesimpulan bahwa para responden mempunyai kecenderungan untuk menggunakan IFID (Illocutionary Force Indicating Device) di dalam tindak tutur permintaan maaf yang mereka lakukan, atau dengan kata lain mereka cenderung untuk mengungkapkan permintaan maaf secara eksplisit dengan verba-verba tertentu yang menjadikan daya ilokusioner ujaran-ujaran tersebut jelas. Satu temuan yang menarik dari penelitian ini adalah munculnya sebuah strategi dalam meminta maaf secara tidak langsung yang tidak ada dalam penelitian Olshtain dan Cohen yang terdahulu, yakni penutur menyatakan harapannya agar petutur bersedia untuk menerima permintaan maafnya, seperti dalam ujaran I hope you're not angry with me. Hal ini tampaknya dipengaruhi oleh latar belakang budaya responden sebagai orang Indonesia yang cenderung untuk menjunjung norma-norma kesopanan. Miskinnya khazanah tutur (repertoire) yang tampak dari pilihan kata untuk mengungkapkan permintaan maaf dapat dikaitkan dengan kompetensi komunikatif yang dimiliki responden. Hal ini juga mengandung implikasi bahwa perlu adanya perbaikan dan peningkatan mutu pengajaran bahasa Inggris sehingga pengajaran bahasa Inggris pada masa-masa mendatang lebih berlandaskan pada aspek-aspek sosiologis dan komunikatif bahasa.

"
1996
S14229
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Fitriani
"Tindak tutur meminta maaf adalah tindak tutur yang ditujukan untuk memperbaiki suatu tindak pelanggaran dan mengembalikan keharmonisan hubungan sosial antara penutur dan petutur. Untuk mencapai tujuan itu, penutur perlu memilih strategi yang sesuai. Pemilihan strategi bertutur dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor kuasa dan solidaritas yang dimiliki oleh penutur dan petutur. Penelitian ini membahas strategi meminta maaf dalam bahasa Inggris di kalangan pengajar dan pemelajar bahasa Inggris di Universitas Negeri Jakarta. Penelitian ini adalah penelitian sosiopragmatik yang menerapkan teori Olshtain dan Cohen (1983), Blum-Kulka dan Olsthain (1984), Holmes (1990), Trosborg (1995), dan Aijmer (1996) mengenai strategi meminta maaf.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan dan menjelaskan strategi meminta maaf dalam bahasa Inggris di kalangan pengajar bahasa Inggris di Universitas Negeri Jakarta,(2) mendeskripsikan dan menjelaskan strategi meminta maaf dalam bahasa Inggris di kalangan pemelajar bahasa Inggris di Universitas Negeri Jakarta, (3) menjelaskan pengaruh faktor kuasa dan solidaritas terhadap pemilihan strategi meminta maaf, (4) mencari petunjuk apakah faktor jender, nilai TOEFL, pengalaman menetap di negara berbahasa Inggris, lamanya belajar, dan pengalaman mengajar mempengaruhi pemilihan strategi meminta maaf. Data penelitian ini diambil dari kuesioner survei yang telah diisi oleh 23 orang pengajar bahasa Inggris dan 88 orang pemelajar bahasa Inggris di Universitas Negeri Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa responden lebih memilih strategi gabungan meminta maaf daripada strategi dasar meminta maaf. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa strategi meminta maaf yang digunakan oleh kelompok pengajar berbeda dengan strategi meminta maaf yang digunakan oleh kelompok pemelajar. Selain itu, ditemukan pula adanya pengaruh faktor kuasa dan solidaritas terhadap penggunaan strategi meminta maaf. Temuan lain dari penelitian ini adalah faktor jender, nilai TOEFL, pengalaman menetap di negara berbahasa Inggris, lamanya belajar, dan pengalaman mengajar mempengaruhi pemilihan strategi meminta maaf yang digunakan oleh responden.

The Speech act of apologizing is the speech act which is aimed at providing remedy for an offence and restoring social harmony between an addresser and an addressee. An addresser needs to decide appropriate strategies to achieve such goals. There are some factors that influence addresser in choosing appropriate strategies, such as power and solidarity the addresser or addressee has. This study employs sociopragmatic approach, applying theories of Olshtain and Cohen (1983), Blum-Kulka and Olshtain (1984), Holmes (1990), Trosborg (1995), and Aijmer (1996) on apologizing strategy.
This study aims at (1) describing and explaining apologizing strategies used by English lecturers at Jakarta State University, (2) describing and explaining apologizing strategies used by English learners at Jakarta State University, (3) explaining the influence of power and solidarity on apologizing strategies used by the respondents, (4) identifying the influence of gender, TOEFL score, respondentsÂ? experience living in English speaking countries, length of studying English, and teaching experience on apologizing strategies that are used by the respondents. The data of this study are derived from the questionnaires which had been completed by 23 English lecturers and 88 English learners at Jakarta State University.
The result of the study reveals that the majority of the respondents prefer to use combined apologizing strategies to main apologizing strategies. The finding further reveals that apologizing strategies used by English lecturers are different from those used by English learners. The finding also shows that power and solidarity influence the respondents in choosing apologizing strategies. Furthermore, gender, TOEFL score, respondentsÂ? experience living in English speaking countries, length of learning English, and teaching experience influence the respondents in choosing apologizing strategies.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
T39178
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Filia
"ABSTRAK
Tuturan yang mengungkapkan tindakan merupakan salah satu fungsi bahasa sebagai instrumen tindakan. Austin (1962:12) mengatakan: "Say something is to do something; or in which by saying or in saying something we are doing something". Dengan demikian ketika seseorang melakukan tindakan dengan bahasa, secara bersamaan mengungkapkan tindak itu sendiri. Tindakan dalam bahasa disebut juga tindak tutur. Searle (1969) juga mengatakan bahwa tindak tutur itu sendiri merupakan tindakan.
Ada pelbagai tindak tutur, salah satu tindak tutur yang digunakan manusia dalam berinteraksi dengan sesama adalah tindak tutur meminta maaf. Tindakan meminta maaf dilakukan ketika ada prilaku yang melanggar norma sosial, antara lain apabila penutur berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan atau telah melukai perasaan petutur. Jika hal ini terjadi hubungan kedua belah pihak menjadi tidak seimbang. Salah satu cara untuk memperbaiki ketidakseimbangan itu ialah dengan meminta maaf (Cohen dan Clshtain, 1983).
Jika hal itu dikaitkan dengan konsep muka yang dikemukakan Brown dan Levinson (1978;1987), meminta maaf merupakan salah satu upaya menghargai muka penutur (karena muka petutur terancam oleh tindakan penutur), akan tetapi di sisi lain muka penutur pun terancam. Untuk menyelamatkan muka kedua belah pihak, penutur dapat memilih cara atau strategi dalam mengungkapkan permintaan maaf.
Berkaitan dengan hal di atas, penulis memfokuskan penelitian tindak tutur meminta maaf dalam bahasa Jepang dan bahasa Indonesia. Memang, Jepang memiliki latar budaya yang berbeda dengan Indonesia. Nakane (1973: 31) mengatakan, dunia orang Jepang terbagi dalam tiga kategori, sempai (senior), kohai (junior), doryo (pangkat yang sama). Dengan demikian, ada perbedaan kadar perhatian orang atas kaidah-kaidah penghormatan rnenurut pribadi tiap-tiap orang (Nakane, 1973:37).
Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa, tiap-tiap suku memiliki budayanya sendiri. Jika dalam masyarakat Jepang secara tegas dikatakan terdiri dari tiga kategori seperti yang telah dikemukakan di atas, tidak demikian halnya dengan masyarakat Indonesia"
2006
T16840
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>