Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 170064 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadhifa Marsaa
"Wasiat wajibah pada pernikahan antar-umat berbeda agama menjadi persoalan yang cukup pelik dan secara nyata terjadi di Indonesia. Padahal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah mengatur bahwa pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut agama masing-masing mempelai. Adapun nyatanya, pernikahan beda agama tetap terjadi dengan dilandaskan oleh Pasal 35 UU Administrasi Kependudukan bahwa pernikahan beda agama dapat dicatatkan melalui penetapan pengadilan. Pencatatan ini kemudian menjadi pertanyaan apakah dicatatkan berarti mengesahkan pernikahan beda agama. Sebab, wasiat wajibah yang merupakan salah satu sarana pemberian harta peninggalan apabila seseorang terhalang waris, melalui yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Nomor 16K/Ag/2010 memberikan wasiat wajibah pada pasangan beda agama. Hal ini seolah menjadi kontradiktif dengan aturan pernikahan yang sah menurut UU Perkawinan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keabsahan pelaksanaan pencatatan perkawinan beda agama atas perintah putusan pengadilan. Serta untuk mengetahui pelaksanaan wasiat wajibah pada pasangan beda agama di Indonesia. Penelitian ini berbentuk yuridis normatif, dengan metode penilitian kualitatif dengan dukungan data primer berupa putusan-putusan pengadilan. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa pencatatan pernikahan beda agama yang didasarkan atas penetapan pengadilan tidak menjadikan pernikahan tersebut sah. Oleh karena itu, berkaitan dengan ini wasiat wajibah tidak seharusnya diberikan kepada pasangan beda agama dengan status pemberiannya sebagai istri. Sebab dari awal tidak terjadi pernikahan yang sah, sehingga tidak terpenuhi sebab-sebab mewarisi pula yang seharusnya menjadi syarat pemberian wasiat wajibah.

Obligatory wills on interfaith marriages are quite complicated and have been happening in Indonesia.  Even though Law Number 1 of 1974 on Marriage has regulated that marriage is legal if it is carried out according to the religion of each bride and groom. In fact, interfaith marriages still occur based on Article 35 of the Population Administration Law that interfaith marriages can be registered through a court order.  This registration then becomes a question whether being registered means legalizing interfaith marriages.  This is because the obligatory wills, which is a means of giving inheritance if someone is prevented from inheriting, through the jurisprudence of the Supreme Court Decision No. 16K/Ag/2010 provides an obligatory wills for interfaith couples.  This seems to be contradictory to legal marriage rules according to the Marriage Law.  The purpose of this study was to determine the validity of the implementation of the registration of interfaith marriages by order of a court decision.  As well as to find out the implementation of the obligatory wills on interfaith couples in Indonesia. This research is in the form of normative juridical, with qualitative research methods supported by primary data in the form of court decisions. From the results of the study, it was found that the registration of interfaith marriages based on court decisions does not make the marriage valid.  Therefore, in this regard, the obligatory wills should not be given to interfaith couples with the status of giving it as wife.  Because from the start there was no legal marriage, so the reasons for inheriting were not fulfilled which should have been a condition for granting an obligatory wills."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salsabilla rifda
"Perkawinan beda agama di Indonesia masih menuai pro dan kontra yang dibuktikan dengan Putusan Pengadilan Nomor 333/Pdt.P/2018/PN.Skt dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1977K/Pdt/2017. Sehingga, sering kali pasangan yang memiliki perbedaan agama mencari ‘jalan pintas’ dengan melakukan perkawinannya di Australia karena dinilai lebih efisien atau peraturannya cenderung lebih mudah bagi mereka yang ingin melangsungkan perkawinan beda agama jika dibandingkan dengan peraturan di Indonesia. Lalu, dalam hal pencatatan sipil, pasangan yang menikah di luar negeri selalu dapat mencatatkan perkawinannya disebabkan oleh asas universalitas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbandingan Hukum perkawinan antara Indonesia dengan Australia, serta sudut pandang dari Hukum Perdata Internasional Indonesia. Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini yaitu dikarenakan ketidak pastian hukum di Indonesia, masyarakat kerap melakukan penyelundupan hukum dengan melakukan perkawinan di Australia. Bentuk penelitian yang penulis gunakan dalam karya tulis ini adalah yuridis-normatif, yaitu melihat dan memahami norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan.

Interfaith marriage in Indonesia still reaps pros and cons as evidenced by Court Decision Number 333/Pdt.P/2018/PN.Skt and Supreme Court Decision Number 1977K/Pdt/2017. Thus, many couples who have different religions look for 'shortcuts' by getting married in Australia because it is considered more efficient or the regulations tend to be easier for those who want to hold interfaith marriages when compared to regulations in Indonesia. Then, in the case of civil registration, couples who marry abroad can always register their marriages due to the principle of universality. This study was conducted to determine the comparison of marriage law between Indonesia and Australia, as well as the point of view of Indonesian Private International Law. The conclusion obtained from this study is that due to legal uncertainty in Indonesia, people often carry out legal smuggling by marrying in Australia. The form of research that the author uses in this paper is juridical-normative, namely seeing and understanding legal norms contained in laws and regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andy Akbar
"Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam mengatur bahwa azas dari perkawinan yang berlaku di Indonesia merupakan azas Monogami, yang berarti seorang suami hanya diperbolehkan menikah dengan seorang perempuan. Azas Monogami tersebut bukanlah azas yang mutlak karena terdapat pengecualian dimana dalam suatu kondisi tertentu seorang suami diperbolehkan menikah lagi sampai dengan empat orang isteri. Azas Monogami tersebut disebut azas monogami terbuka. Terdapat syarat-syarat yang mendahului adanya perkawinan poligami, salah satunya adalah izin dari isteri pertama dan pengadilan, apabila tidak ada izin maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan dengan putusan pengadilan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa pembatalan perkawinan yang dilakukan oleh isteri pertama terhadap perkawinan kedua suaminya yang sudah meninggal dunia, kedudukan (status) anak yang lahir dari perkawinan yang dibatalkan, dan hak mewaris dari anak yang dilahirkan dari perkawinan kedua dan isteri kedua dari perkawinan yang dibatalkan. Untuk menjawab pokok permasalahan dalam penelitian ini maka Penulis memakai metode penelitian yuridis - normatif dan bersumber pada data sekunder yang berupa peraturan bahan hukum dan literatur kepustakaan. Berdasarkan hasil penelitan Penulis bahwasanya tidak ada tenggang waktu pembatalan dapat diajukan. Pembatalan perkawinan dapat diajukan jika ternyata terdapat pihak yang dirugikan. Akibat hukum dari pembatalan perkawinan tersebut apabila terdapat anak yang lahir sepanjang perkawinan tersebut maka pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap anak yang dilahirkan dan anak tersebut tetap menjadi ahli waris yang sah dari kedua orang tuanya. Terhadap isteri kedua, karena pembatalan perkawinan mulai berlaku sejak ada putusan pengadilan dan berlaku surut sejak perkawinan dilangsungkan maka dianggap tidak pernah terjadi perkawinan diantara suami isteri tersebut sehingga diantara keduanya tidak ada hubungan waris-mewaris.

Law Number 1 of 1974 and Compilation of Islamic Law stated that the principle of marriage in Indonesia is the Monogamy principle, which means a man is only allowed once to marry a woman. The Principle is not an absolute principle because there are exceptions where under certain conditions a husband is allowed to remarry, up to four wives. Under that certain conditions The principle is called the open monogamy principle. There are conditions that precede the existence of polygamy marriage, one of which is permission from the first wife and court, if there is no permit then the marriage can be canceled under a court decision. The purpose of this study is to analyze the cancellation of a marriage by the first wife, the status of a child born from a canceled marriage, and inheritance rights of the child born from the second marriage and the second wife. To answer the main problems the writer uses juridical - normative research method by using secondary data from the literature supported with the interview with the informant. Based on the results of the research there is no time limit of marriage-cancellation can be submitted. Marriage cancellation can be submitted if it turns out there is a disadvantaged party. The legal consequences of the cancellation of the marriage if there are children born during the marriage, the cancellation of the marriage is not retroactive to the child being born and the child remains the legal heir of both parents. With respect to the second wife, due to the cancellation of the marriage taking effect since the court ruling was issued and retroactive since the marriage took place, it was considered that there had never been a marriage between the husband and wife so that there was no inheritance relationship between the two."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Astrina Primadewi Yowono
"Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu prinsip yang dianut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu calon suami istri harus matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 mengatur batas usia kawin bagi laki-laki 19 (sembilan belas) tahun dan perempuan 16 (enam belas) tahun. Perkawinan di bawah umur dapat dilakukan dengan mengajukan dispensasi ke pengadilan namun melanggar hak-hak anak. Anak adalah generasi penerus bangsa yang harus dilindungi hak-haknya. Anak memiliki hak untuk hidup, tumbuh, berkembang dan mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Penelitian ini adalah penelitian yang bersifat yuridis normatif. Sehingga data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan dengan alat studi dokumen dengan cara penelusuran bahan-bahan hukum yang bersifat primer, sekunder dan tersier. Keseluruhan data yang diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang timbul pada perkawinan di bawah umur menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan sejauh apa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 mengatur mengenai perlindungan anak khususnya anak yang mengalami eksploitasi secara ekonomi.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 belum dapat memberikan perlindungan hukum bagi anak yang melakukan perkawinan di bawah umur. Penerapan sanksi pun tidak di atur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berbeda dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 yang sudah memberikan perlindungan bagi anak yang menjadi korban eksploitasi secara ekonomi. Selain itu, Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 sudah memberikan sanksi terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam eksploitasi anak secara ekonomi. Perlunya penyuluhan hukum kepada masyarakat pedesaan mengenai perlindungan anak terhadap perkawinan di bawah umur.

Marriage is a body and soul bond between a man and a woman as husband and wife in purpose to make a happy and permanent family (house hold) based on belief in one an only God. One of the principal which is followed by Law of Marriage, Number 1 Year 1974, a future husband and wife have to be mature body and soul so they can accomplish the aim of a marriage in a proper way, and don't have to ended in divorcement, and have well children. Article 7 Clause (1) Law of Marriage Number 1 Year 1974 set the limit of age for having a marriage, 19 (nineteen) years old for men and 16 (sixteen) years old for women. Under age marriage can be held when we propose an exemption to the court, but of cours, it is againts the juvenile rights. Children are the future hope of a nation and we have to protect their rights. Children have rights to live and grow up and protected from any violence and discrimination.
This research is a desktop study with judicial and normative characteristic.
The aim of this research in to figure how far the Law of Marriage Number 1 Year 1974 and the Law on Child Protection Number 23 Year 2002 set about the child protection, especially a children with economic exploitation. The research itself uses the data which is gained by interviewing resources and desktop study. Also, it uses a qualitative method to restate the collected data for being analyzed.
The conclusion is that the Law of Marriage Number 1 Year 1974 hasn?t been able to give enough protection for children who have under age marriage. The application of the sanction even is not set in the law itself. It is different from the Law on Child Protection Number 23 Year 2002 which has given the protection for the victim of economic exploitation. In addition, the Law of Child Protection Number 23 Year 2002 has set the sanctions to all of the parties who get involved in economic exploitation againts children. It is clear that we need to give a law elucidation to rural society about under age marriage.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T25321
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Khanifah
"Dakwah nikah muda di media sosial Instagram melibatkan akun dakwah @gerakannikahmuda dan para selebgram pelaku nikah muda seperti @alvin_411, @larissachou, @natta_reza, dan @wardahmaulina_ yang memiliki pengikut ribuan sampai jutaan. Penelitian ini memetakan bagaimana identitas religius anak muda muslim dikonstruksi melalui narasi-narasi dakwah digital di media sosial baik oleh akun dakwah @gerakannikahmuda maupun akun-akun selebgram pelaku nikah muda sebagai religious influencer. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif melalui etnografi digital dengan pendekatan cultural studies untuk melihat bagaimana keterkaitan antara dakwah digital dengan konstruksi identitas religius anak muda muslim masa kini. Ditemukan bahwa dakwah nikah muda dalam akun @gerakannikahmuda dilakukan dengan strategi membangun rasa takut dan meromantisisasi nikah muda yang menunjukkan praktik digital religion. Sementara identitas religius anak muda muslim urban dikonstruksi melalui narasi kesalihan berupa penolakan terhadap pacaran dan dukungan terhadap nikah muda, serta Islamisasi gaya berpakaian perempuan dan domestikasi perempuan dinegosiasikan oleh aktor-aktor yang terlibat dalam arus dakwah nikah muda di Instagram sehingga pemaknaannya pun tidak tunggal, baik oleh para selebgram pelaku nikah muda maupun anak muda muslim sebagai audiens yaitu ada yang mengafirmasi dan ada yang menolak narasi dakwah tersebut. 

Young marriage da’wa on Instagram involved da’wa accounts @gerakannikahmuda and young married celebgram couples like @alvin_411, @larissachou, @natta_reza, and @wardahmaulina_ who have thousands and millions followers. This research described how muslim youth religious identity is constructed through digital da’wa narration in social media da’wa accounts like @gerakannikahmuda and young married couples as religious influencers. The methode used in this research is qualitative method using digital ethnography with cultural studies approach to understand how digital da’wa and muslim youth identity construction are related. The research finds that there are two strategies used by @gerakannikahmuda in their da’wa that shows digital religion practices. Those strategies are building fear and romanticizing young marriage. Meanwhile, urban muslim youth religious identity is constructed through piety narration that condemn courthsip and encourage young marriage, islamization on women’s clothing style, and the domestication of women. Those are being negotiated by young married couples and da’wa audiences so the interpretation is vary: either affirming or disavowing the da’wa."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Solihah
"Salah satu bentuk hubungan antar individu dalam masyarakat adalah hubungan antara seorang perempuan dengan seorang laki-laki dalam bentuk perkawinan. Pada saat tertentu setiap perkawinan pasti akan bubar atau putus. Kasus yang diangkat adalah kasus langka. Debitur meminjam uang dengan adanya perjanjian campur dan pisah harta. Permasalahan penelitian adalah akibat hukum atas pembatalan perkawinan dan perceraian terhadap pihak ketiga. Metode penelitian berbentuk yuridis normatif, dengan pendekatan kualitatif pada analisisnya. Penelitian menggunakan studi dokumen disamping wawancara sebagai pendukung dan konfirmasi penelitian. Hasil penelitian bahwa Perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas keputusan pengadilan. Selain perceraian, perkawinan juga dapat dibatalkan. Dengan demikian, perkawinan tersebut dianggap tidak ada bahkan tidak pernah ada, dan suami istri yang perkawinannya dibatalkan tidak pernah dianggap menjadi suami istri. Perkawinan yang memiliki perjanjian campur harta pasangan dapat ikut serta bertanggung jawab terhadap utang. Bagi debitur yang melakukan perjanjian pisah harta, maka hanya debitur saja tanpa mengikutsertakan pasangan.

One form of relationship between individuals in a society is the relationship between a woman and a man in the form of a marriage. Every marriage will inevitably dissolve or end at one point in time. The case being addressed herein is rather a rare one. The debtor borrowed money using the prenuptial agreement. The research problem relates with the legal consequences arising from a marriage annulment and divorce against third party. The research method being employed is juridical normative, with a qualitative approach in the analysis. This research uses document study in addition to interviews to corroborate and confirm the research results. The research results indicate that a marriage may come to an end due to death, divorce, and court decisions. Apart from divorce, a marriage can also be annulled. Thus, the marriage is considered non-existent and even never existed, and a husband and wife whose marriage was annulled were never even considered husband and wife. A marriage that has a prenuptial agreement in place can be responsible for the debt that the husband and wife owed. For a debtor who enters into a prenuptial agreement, only the debtor does not include a partner.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Irene Ongphillatus
"Perkawinan menimbulkan perikatan antara kedua individu yang didasari dengan ke-Tuhanan Yang Maha Esa dan bersifat kekal. Walaupun demikian tidak menutup kemungkinan terjadi hal-hal yang membuat sebuah perkawinan tidak dapat berlangsung kekal dan terputus. Putusnya perkawinan memiliki banyak jenis dan salah satunya adalah dengan pembatalan perkawinan. Sebagaimana yang terjadi dalam kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 0012/Pdt.G/2016/PA.Sky dimana seorang suami menuntut untuk membatalkan perkawinan dengan istrinya dengan alasan telah lahir seorang anak dalam perkawinan tersebut yang mana memicu kecurigaan baginya. Oleh karena itu permasalahan yang akan diteliti bagaimanakah keabsahan kedudukan seorang anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang sah dan pembatalan perkawinan dan bagaimana upaya dari penyangkalan terhadap sahnya anak terhadap anak yang telah lahir di dalam perkawinan tersebut berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 0012/Pdt.G/2016/PASky. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif yaitu penelitian yang menekankan pada penggunaan norma-norma hukum secara tertulis. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa Majelis Hakim mengabulkan gugatan dari suami untuk membatalkan perkawinan namun menolak untuk mengabulkan permohonan suami untuk mengingkari anak yang lahir tersebut karena suami tidak dapat membuktikan secara konkret bahwa anak tersebut bukan anak yang berasal dari suami secara sah.

Marriage creates a bond between the two individuals which is based on the One Godhead and is eternal. Even so, it does not rule out things that make a marriage unsustainable and lasting. The breakup of a marriage has many types and one of them is the cancellation of the marriage. As happened in the case of the Supreme Court Decision Number 0012 / Pdt.G / 2016 / PA.Sky where a husband demanded to cancel his marriage with his wife on the grounds that a child had been born in the marriage, which sparked suspicion for him. Therefore, the problems that will be investigated are the validity of the position of a child born in a legal marriage and the cancellation of the marriage and the efforts to deny the legitimacy of the child to the child born in the marriage based on the Supreme Court Decision Number 0012 / Pdt.G / 2016 / PASky. The research method used in this research is the normative juridical method, namely research that emphasizes the use of legal norms in writing. From the research it is known that the Panel of Judges granted the husband's lawsuit to cancel the marriage but refused to grant the husband's request to deny the child born because the husband could not concretely prove that the child was not legally derived from the husband."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angelica Klaras Hanum
"Perkawinan pada dasarnya merupakan persatuan antara dua orang yang saling menyepakati untuk mengikatkan dirinya sebagai pasangan suami istri. Indonesia sebagai negara multikultural yang menjunjung tinggi adanya persatuan dalam perbedaan sebagaimana diartikan dalam “Bhinneka Tunggal Ika” merefleksikan makna tersebut salah satunya melalui pluralitas agama yang ada di Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya keberadaan enam agama yang diakui dan tersebar di Indonesia. Pluralitas agama tersebut tentu saja merupakan hal yang positif dan sudah sepatutnya dibanggakan oleh Indonesia sebagai negara. Meski begitu, tak jarang hal ini menimbulkan adanya permasalahan sosial, salah satunya adalah perkawinan beda agama. Perkawinan beda agama merupakan ikatan perkawinan antara seorang laki-laki dan seorang wanita dengan latar belakang agama atau kepercayaan yang berbeda. Melalui penulisan ini, Penulis akan menjelaskan bagaimana pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia, berdasarkan agama Islam dan Kristen, juga kesesuaian peraturan perundang-undangan tersebut dengan implementasinya dalam Penetapan Nomor 71/PDT.P/2017/PN.BLA. Adapun metode penelitian yang digunakan oleh Penulis dalam menyusun penelitian ini adalah metode penelitian hukum normatif dengan pendekatan kualitatif yang juga bersifat yuridis-normatif dengan data sekunder dan bahan hukum primer. Penulis melihat masih terdapatnya permasalahan hukum dalam penerapan hukumnya dikarenakan pengaturan yang kurang jelas dan spesifik mengenai perkawinan beda agama khususnya antara agama Islam dengan agama Kristen. Sehingga melalui penelitian ini Penulis menyampaikan analisisnya terkait penerapan yang sudah seharusnya diterapkan dan saran Penulis sebagai jalan keluar dari permasalahan hukum yang timbul yaitu dengan pengadaan pengaturan yang khusus dan spesifik mengenai mekanisme dan akibat hukum yang terang dan jelas berdasarkan Penetapan Nomor 71/PDT.P/2017/PN.BLA. Hal tersebut bertujuan sebagai tindakan preventif dari lahirnya permasalahan hukum yang timbul dari praktik perkawinan beda agama dan sebagai saran upaya yang dapat dilakukan oleh Majelis Hakim yang menetapkan perkara yang menjadi pembahasan Penulis untuk memeriksa dan mengadili kembali dengan mempertimbangkan pengaturan yang ada sebaik-baiknya.

Marriage is a union between two people who mutually agree to bind themselves as husband and wife. Indonesia as a multicultural country that upholds unity in diversity as defined in "Unity in Diversity" reflects this meaning, one of which is through the plurality of religions in Indonesia. This is proven by the existence of six religions that are recognized and spread across Indonesia. The plurality of religions is certainly a positive thing and Indonesia as a country should be proud of. Even so, not infrequently this creates social problems, one of which is interfaith marriage. Interfaith marriage is a marriage bond between a man and a woman with a different religious or belief background. Through this writing, the author will explain how interfaith marriages are regulated in Indonesia, based on Islam and Christianity, as well as the compatibility of these laws and regulations with their implementation in Determination Number 71/PDT.P/2017/PN.BLA. The research method used by the author in compiling this research is a normative legal research method with a qualitative approach which is also juridical-normative with secondary data and primary legal materials. The author sees that there are still legal problems in the application of the law due to unclear and specific arrangements regarding interfaith marriages, especially between Islam and Christianity. So that through this research the author conveys his analysis regarding the application that should have been implemented and the author's suggestion as a way out of the legal problems that arise, namely by procuring special and specific arrangements regarding mechanisms and legal consequences that are clear and clear based on Stipulation Number 71/PDT.P/ 2017/PN. BLA. This is intended as a preventive measure against the birth of legal issues arising from the practice of interfaith marriages and as a suggestion for efforts that can be made by the Panel of Judges who determine the case being discussed by the Author to examine and re-trial by considering the existing arrangements as well as possible."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Inarma
"Penelitian ini menganalisis bagaimana pertimbangan hukum yang menolak dan mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama sebelum diterbitkannya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2023 (“SEMA No. 2 Tahun 2023”) serta kedudukan SEMA No. 2 Tahun 2023 terhadap permohonan pencatatan perkawinan beda agama. Penelitian ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Pencatatan perkawinan sahnya perkawinan tidak lepas dari syarat sah menurut agama (Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan). Sedangkan, Pasal 35 huruf a Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan menyatakan bahwa pencatatan perkawinan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Ketentuan ini telah memberi kesempatan adanya penetapan perkawinan beda agama yang kontradiktif dengan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan. Kemudian lahirlah perbedaan keputusan hakim dalam menentukan permohonan perkawinan beda agama. Sebagian pertimbangan hukum menganggap bahwa perkawinan beda agama tidak sah untuk dilakukan dengan berdasar pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan. Di sisi lain, pertimbangan hukum yang digunakan adalah pertimbangan hukum yang digunakan adalah pasal-pasal yang mensiratkan tidak adanya larangan atas dilakukannya perkawinan beda agama. Kedudukan SEMA No. 2 Tahun 2023 tidak dapat berlaku surut membuat status perkawinan beda agama yang dilangsungkan sebelum diterbitkannya SEMA No. 2 Tahun 2023 tetap mendapatkan hak sebagaimana mestinya. SEMA No. 2 Tahun 2023 menjadi jawaban dari adanya kekosongan dan ketidakpastian hukum terkait aturan perkawinan beda agama di Indonesia. Meskipun hierarki SEMA dalam peraturan perundang-undangan masih belum jelas, namun SEMA No. 2 Tahun 2023 tetap dapat dijadikan pedoman bagi hakim untuk tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan beda agama.

This study analyzes how legal considerations reject and grant applications for registration of interfaith marriages before the issuance of Supreme Court Circular Letter Number 2 of 2023 ("SEMA No. 2 of 2023") and the position of SEMA No. 2 of 2023 regarding applications for registration of interfaith marriages. This study was compiled using a doctrinal research method. Registration of a valid marriage cannot be separated from the requirements for validity according to religion (Article 2 paragraph (1) of Law No. 1 of 1974 concerning Marriage). Meanwhile, Article 35 letter a of Law No. 23 of 2006 concerning Population Administration states that registration of marriages also applies to marriages determined by the Court. This provision has provided an opportunity for the determination of interfaith marriages that contradict Article 2 of the Marriage Law. Then there was a difference in the judge's decision in determining applications for interfaith marriages. Some legal considerations consider that interfaith marriages are not valid to be carried out based on Article 2 paragraph 1 of the Marriage Law. On the other hand, the legal considerations used are the legal considerations used are the articles that imply that there is no prohibition on interfaith marriages. The position of SEMA No. 2 of 2023 cannot be applied retroactively, making the status of interfaith marriages that took place before the issuance of SEMA No. 2 of 2023 still get the rights as they should. SEMA No. 2 of 2023 is the answer to the legal vacuum and uncertainty regarding the rules on interfaith marriages in Indonesia. Although the hierarchy of SEMA in the laws and regulations is still unclear, SEMA No. 2 of 2023 can still be used as a guideline for judges not to grant requests for registration of interfaith marriages."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stefy Kamila Failasufa
"Penelitian ini menganalisis tentang bagaimana penanganan sengketa international child abduction yang terjadi setelah adanya perceraian dari sepasang suami istri yang telah melangsungkan perkawinan campuran beda kewarganegaraan. Perbedaan hukum yang berlaku antara suami dan istri, mempengaruhi status personal anak tersebut dalam berhadapan dengan hukum. International child abduction diatur dalam the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction 1980. Indonesia belum menandatangani konvensi tersebut sehingga penanganannya mengacu pada undang-undang nasional seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, Undang-Undang Perkawinan, Undang-Undang Kewarganegaraan RI, dan Undang-Undang Kesejahteraan Anak. Penanganan kasus ini di Indonesia melibatkan instansi seperti KPAI, Kementerian Luar Negeri, dan Kedutaan Besar. Selain melibatkan instansi, pada umumnya proses pengembalian anak dalam penanganan international child abduction dapat mengikuti perjanjian bilateral antara kedua negara, tetapi Indonesia belum memiliki perjanjian bilateral terkait international child abduction dengan negara-negara seperti Amerika Serikat, Singapura, Belanda, dan Prancis. Salah satu yang menjadi permasalahan besar dalam menangani international child abduction di Indonesia adalah Indonesia belum menjadi negara anggota the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction dan belum meratifikasi konvensi tersebut. Penyelesaian international child abduction di pengadilan bisa menghasilkan putusan pengembalian anak atau penetapan hak asuh anak berdasarkan prinsip the best interest of the child dan prinsip habitual residence. Namun, sebagai negara yang belum meratifikasi konvensi, Indonesia masih menghadapi kesulitan dalam menangani kasus international child abduction secara efektif. Indonesia tentu membutuhkan regulasi berupa undang-undang yang jelas untuk menangani kasus international child abduction, yang mencakup Central Authority yang sesuai dengan konvensi untuk menjadi perantara antar negara, serta prosedur pengembalian anak tersebut ke negara asal atau negara habitual residence-nya.

This research analyses how to handle disputes of international child abduction that occur after the divorce of a couple who have conducted an intermarriage with different nationalities. The differences in the applicable laws between the husband and wife affect the personal status of the child when dealing with the law. International child abduction is regulated by the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction 1980. Indonesia has not signed this convention, so the handling in Indonesia refers to national laws such as the Child Protection Act, the Marriage Act, the Indonesian Citizenship Act, and the Child Welfare Act. The handling of this case in Indonesia involves institutions such as KPAI, the Ministry of Foreign Affairs, and the Embassy. Besides involving institutions, generally, the process of returning the child in the handling of international child abduction can follow bilateral agreements between the two countries, but Indonesia does not yet have bilateral agreements related to international child abduction with countries such as the United States, Singapore, the Netherlands, and France. One of the major issues in handling international child abduction in Indonesia is that Indonesia has not become a member state of the Hague Convention on the Civil Aspects of International Child Abduction and has not ratified the convention. The resolution of international child abduction in court can result in a decision to return the child or the determination of child custody based on the principle of the best interest of the child and the principle of habitual residence. However, as a country that has not ratified the convention, Indonesia still faces difficulties in handling cases of international child abduction effectively. Indonesia certainly needs clear regulations in the form of laws to handle cases of international child abduction, which include a Central Authority in accordance with the convention to act as an intermediary between countries, as well as procedures for returning the child to the country of origin or their habitual residence country."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>