Ditemukan 231260 dokumen yang sesuai dengan query
Alvin Prima Ramadani
"Bootlegging, fenomena dalam industri musik yang merupakan pelanggaran Hak Cipta, adalah aktivitas produksi dan distribusi rekaman musik tidak resmi. Rekaman ini biasanya mengandung materi atau karya yang belum pernah dirilis resmi oleh pencipta, menjadikannya sulit untuk dideteksi dan diidentifikasi sebagai pelanggaran. Transformasi ini menjadi semakin rumit dalam era digital, dimana Bootlegging menjadi dominan dalam format digital dan distribusinya merajalela melalui platform digital seperti YouTube dan Soundcloud. Kompleksitas ini diperparah oleh tantangan dalam identifikasi pelanggaran, yang timbul karena materi dalam produk bootleg seringkali belum resmi dirilis dan tidak terdaftar dalam database manapun. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan menggunakan data sekunder sebagai metode, berfokus pada analisis regulasi dan penerapan perlindungan hukum terhadap Bootlegging di bawah hukum hak cipta di Indonesia dan Amerika Serikat. Penelitian ini mencoba memahami dan mendalami perbedaan serta kesamaan antara kedua sistem hukum dalam mengatur dan menangani isu Bootlegging. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Amerika Serikat telah melangkah jauh dalam mengatasi isu ini dengan mengadopsi Anti-Bootlegging Act dan Digital Millennium Copyright Act (DMCA). Sementara itu, Indonesia belum memiliki regulasi khusus mengenai Bootlegging, meskipun telah ada beberapa peraturan yang mencakup pelanggaran Hak Cipta secara umum. Walaupun kedua negara ini memiliki kerangka hukum yang berlaku untuk masalah ini, penelitian ini menunjukkan bahwa prosedur penanganan Bootlegging di Indonesia masih memerlukan peningkatan, terutama di era digital. Penelitian ini berusaha untuk memberikan pandangan baru tentang pengaturan dan penanganan Bootlegging di era digital, serta memberikan rekomendasi untuk peningkatan kebijakan dan penegakan hukum di Indonesia. Menyoroti signifikansi dan implikasi dari fenomena Bootlegging dalam konteks hukum hak cipta Indonesia dan Amerika Serikat, penelitian ini memfokuskan pada perlunya peningkatan dalam kebijakan dan penegakan hukum di Indonesia.
Bootlegging, an event in the musical realm signifying a breach of Copyright Law, involves the creation and distribution of unofficial music recordings. Frequently, these recordings encapsulate materials or compositions not formally released by their creators, making them elusive for infringement detection and identification. This challenge escalates in the digital era, where Bootlegging predominantly occurs in digital form, and its widespread dissemination transpires via digital platforms such as YouTube and Soundcloud. The intricacy is intensified by hurdles in infringement identification, mainly because the content within bootleg products often remains unreleased officially and unregistered in any database. This research, conducted via a normative juridical approach and leveraging secondary data, underscores the investigation of regulations and the implementation of legal protection against Bootlegging within the ambit of copyright legislation in Indonesia and the United States. The research endeavors to understand and examine the disparities and similarities between the two legal structures concerning the management and resolution of the Bootlegging issue. The research outcome suggests that the United States has made significant strides in addressing this issue by enacting the Anti-Bootlegging Act and the Digital Millennium Copyright Act (DMCA), which facilitate an efficacious takedown procedure. Conversely, Indonesia is yet to formulate specific regulations regarding Bootlegging, despite the presence of several regulations encapsulating general Copyright infringements. Despite both nations having relevant legal frameworks for this issue, the study highlights that the procedural handling of Bootlegging in Indonesia demands enhancement, predominantly in the digital era. This study seeks to proffer a novel viewpoint on the regulation and management of Bootlegging in the digital era, in addition to suggesting recommendations for enhancing policies and legal enforcement in Indonesia. By emphasizing the significance and implications of the Bootlegging phenomenon in relation to the copyright law context of Indonesia and the United States, the research underscores the need for advancement in policy and legal enforcement, particularly in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Pramastuti Kusumaningtyas
"Doktrin first sale memberikan hak bagi konsumen untuk mengalihkan kepemilikan atas ciptaan/salinan sah ciptaan yang telah dibelinya secara sah. Dalam penelitian ini difokuskan pada penerapan doktrin first sale pada penjualan kembali karya rekaman musik, domestik maupun hasil impor, baik dalam format fisik dan/atau digital. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, sedangkan metode analisis datanya adalah metode kualitatif. Penelitian ini menyarankan agar Indonesia dalam amandeman Undang-Undang Hak Cipta memasukkan ketentuan mengenai doktrin first sale yang belum diatur dalam Undang-Undang No.19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
The first-sale doctrine provides that once the holder of an intellectual property right consents to the sale of particular copies of his or her work, he or she may not thereafter exercise the distribution right with respect to such copies. The focus of this study is the application of the first sale doctrine in the re-sale of musical recordings, including domestic and/or imports product, whether in a physical and/or digital format. This study is a qualitative normative study. The data were collected from literature study. This study suggests that the amendment of Indonesian Copyright Act will include provisions regarding the first sale doctrine which is not yet regulated in the Law No.19 of 2002 regarding Copyright."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38757
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Novella Djohan
"Skripsi ini membahas aspek legalitas dari digunakannya lagu yang dinyanyikan kembali untuk kepentingan komersial pada sistem elektronik Patreon berdasarkan ketentuan hukum Indonesia, serta pertanggungjawaban dari platform tersebut terhadap pelanggaran Hak Cipta yang terjadi di sistem elektronik yang ia selenggarakan. Hasil analisis mengatakan bahwa untuk dapat melakukan pendistribusian cover version melalui sistem elektronik, khususnya yang menyediakan layanan konten yang dibuat pengguna, penyanyi cover version harus mendapatkan izin berupa lisensi mekanikal dari perusahaan rekaman pemilik lagu orisinil yang ia nyanyikan. Berdasarkan perlindungan safe harbor Indonesia, Patreon tidak perlu bertanggungjawab atas pelanggaran Hak Cipta yang terjadi di sistem elektronik yang ia selenggarakan, karena ia sudah menerapkan sistem notice and takedown policy sebagai sarana pengajuan laporan bagi pihak yang merasa Hak Ciptanya dilanggar pada situs Patreon. Untuk memperjelas batasan tanggung jawab sistem elektronik yang menyediakan layanan konten yang dibuat oleh pengguna, maka batasan tersebut perlu dituangkan ke dalam undang-undang.
This essay examines the legal aspects of cover versions used for commercial purposes distributed through Patreon as an electronic system, according to Indonesian law. It is too needed to examine if the platform is liable for copyright infringement and the form of liability. The research concluded that to distribute cover versions through electronic systems, especially through User Generated Content Platforms, the cover artist has to get a mechanical license from the copyright owner of the original song. According to the Indonesian safe harbor provision, Patreon is not liable if there is an infringing cover version on their website because Patreon has provided notice and takedown policy as a mean for people to file a report on infringing content on their website. To make clear on an electronic system rsquo s liability on copyright infringements done by its user on their website, safe harbor provisions needs to be made into law and not only as a circular. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Khasfy Ikhsan Sofynur
"Fenomena musik Remix di Indonesia semakin berkembang dengan banyaknya masyarakat yang mulai menyukai jenis musik tersebut. Masalah yang muncul adalah ketidaksesuaian dalam penerapan hukum hak cipta pada layanan musik streaming, di mana para Remixer dapat dengan bebas mempublikasikan karyanya tanpa menyertakan musisi asli. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Temuan penelitian menunjukkan bahwa musik Remix merupakan hasil perkembangan teknologi dalam seni musik, yang melibatkan penggunaan fonogram dari karya musik lain yang kemudian dimodifikasi. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 mengatur hak cipta fonogram, di mana produser fonogram memiliki hak-hak mekanis. Remixer diwajibkan untuk memperoleh izin dari produser fonogram melalui perjanjian lisensi. Doktrin Transformative Use, yang pertama kali muncul di Amerika Serikat, memungkinkan penggunaan kreatif terhadap karya terdahulu dengan tujuan yang berbeda. Namun, dalam konteks hukum hak cipta Indonesia, penerapan doktrin ini masih terbatas karena pentingnya melindungi hak ekonomi dan moral pencipta, terutama produser fonogram. Oleh karena itu, penggunaan karya fonogram oleh pihak lain harus didasarkan pada perjanjian lisensi dan pembayaran royalti. Penelitian ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang permasalahan perlindungan hak cipta musik Remix di Indonesia dan merekomendasikan perlunya pengaturan yang lebih jelas untuk mengakomodasi penerapan doktrin Transformative Use.
The phenomenon of Remix music in Indonesia is growing with many people starting to like this type of music. The problem that arises is the discrepancy in the application of copyright law on streaming music services, where Remixers can freely publish their work without including the original musicians. The approach used in this research is normative juridical method. The research findings show that Remix music is the result of technological developments in the art of music, which involve the use of phonograms from other musical works which are then modified. Law Number 28 of 2014 regulates phonogram copyrights, in which phonogram producers have mechanical rights. Remixers are required to obtain permission from the phonogram producer through a licensing agreement. The doctrine of Transformative Use, which first appeared in the United States, allows creative use of earlier works for different purposes. However, in the context of Indonesian copyright law, the application of this doctrine is still limited because of the importance of protecting the economic and moral rights of creators, especially phonogram producers. Therefore, use of the phonogram work by others must be based on a licensing agreement and payment of royalties. This research provides an in-depth understanding of the problem of copyright protection for Remix music in Indonesia and recommends the need for clearer regulations to accommodate the application of the Transformative Use doctrine."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Husain Audah
Bogor: Litera AntarNusa, 2004
346.048 HUS h
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Hasyyati Safira
"Produser Rekaman Suara merupakan salah satu pihak yang sangat berkaitan dengan musik atau lagu, khususnya musik atau lagu dalam bentuk rekaman suara (sound recording) yang biasanya dimasukkan dalam sebuah media seperti compact disc (CD), kaset, dan sebagainya. Produser Rekaman Suara adalah pihak yang biasanya melakukan perekaman pertama kali terhadap musik atau lagu dan Produser Rekaman Suara adalah pihak yang mempunyai hak milik atas master rekaman suara musik atau lagu yang bersangkutan. Juga, Produser Rekaman Suara mempunyai hak yang disebut sebagai Hak Terkait. Pada kehidupan sehari-hari, rekaman suara musik atau lagu sering digunakan untuk kegiatan komersialisasi atau kegiatan yang bertujuan untuk mencari keuntungan atau laba. Seperti misalnya rekaman suara musik atau lagu yang digunakan di tempat karaoke, kafe, rumah makan, maupun sebuah pertunjukan langsung. Semua kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mendapatkan keuntungan dan sudah seharusnya apabila musik atau lagu tersebut berperan dalam kegiatan usaha yang dilakukan, maka harus terlebih dahulu meminta izin dalam penggunaannya. Penelitian pada skripsi ini akan membahas mengenai analisis hukum terkait hak Produser Rekaman Suara mengenai rekaman suara musik atau lagu yang digunakan untuk kegiatan komersialisasi dengan menggunakan tiga peraturan sebagai acuan yakni, Undang-Undang No. 19 Tahun 2002tentangHakCipta, Konvensi Roma, dan WIPO Performances and Phonograms Treaty, juga akan dibahas mengenai kepada siapa izin penggunaan rekaman musik atau lagu dimintakan. Penelitian ini merupakan sebuah penelilitian hukum doktriner dan meggunakan metode analisa kualitatif.
Producers of Phonograms is a party that very related to the music or to the song. Especially for the music or song that already recorded in any media such as compact disc (CD), cassette, etc. Producer of Phonograms are those who usually do the first recording of music or song and happen to be the party who have the ownership right of the sound recording they recorded. Producers of Phonograms have the rights that called “Neighbouring (Related Rights)”. In daily life, music or song recordings are often used for commersialization. Commersialization is an activity that really related to profit. For example, the music or song recordings used in karaoke place, cafe, restaurant or even in live performances. Those activities absolutely related to commercial things. If the music or songs recordings play an important role in users’ activities that related to commercial things, the users must obtain the permit that usually called licensing. This thesis will give an explanation about legal analysis regarding Producers of Phonograms’ Rights based on three regulations, which are Law No. 19 year 2002 concerning Copyright, Rome Convention and WIPO Performances and Phonograms Treaty. This thesis will also contain about to whom the permit regarding the usage of music or songs recordings must be obtained. This thesis uses doctrinal legal reasearch approach and uses qualitative method."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S53641
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Michelle Suliyanto
"Dewasa ini, timbul berbagai masalah yang dihadapi Lembaga Manajemen Kolektif di Indonesia. Untuk menanggulangi masalah ini, kemudian dibentuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional LMKN berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 sebagai lembaga yang mengelola royalti hak cipta bidang lagu dan/atau musik. Terdapat dua jenis LMKN yakni LMKN Pencipta, yang merepresentasikan kepentingan Pencipta, dan LMKN Hak Terkait, yang merepresentasikan kepentingan Pemilik Hak Terkait. LMKN dibentuk sebagai subordinasi dari LMK-LMK di Indonesia. Tidak ada lembaga di negara-negara lain yang menyerupai LMKN.
Pengaturan mengenai LMKN diatur lebih lanjut dalam Permenkumham No. 29 Tahun 2014. Menurut Permenkumham No. 29 Tahun 2014, LMKN dibentuk dengan bentuk hukum komisi yang beranggotakan masing-masing 5 komisioner. Permenkumham ini juga mengatur mengenai tugas dan kewenangan dari LMKN. Terdapat pengaturan mengenai LMKN dalam Permenkumham dan UU No. 28 Tahun 2014 yang bertentangan antar satu dengan yang lainnya. Bentuk hukum dan kewenangan LMKN sebagaimana diatur dalam Permenkumham bertentangan dengan definisi awal dari pembentukan LMKN dalam UU No. 28 Tahun 2014.
Nowadays, there are a lot of problems arise that are encountered by Collective Management Institutions in Indonesia. The National Collective Management Institute LMKN was established under Law no. 28 of 2014 as the agency that manages the copyrighted royalties of song and or music fields. There are two types of LMKN namely LMKN Creator, which represents the interests of the Creator, and LMKN Related Rights, which represents the interests of the Owner of the Related Rights. LMKN was formed as a subordination of collective management organizations located in Indonesia. There are no institutions in other countries that resemble LMKN. The regulation on LMKN is further stipulated in Permenkumham No. 29 Year 2014. According Permenkumham No. 29 Year 2014, LMKN was formed with a legal form of commission consisting of 5 commissioners each. This Permenkumham also regulates the duties and authorities of LMKN. There are arrangements regarding LMKN in Permenkumham and Law no. 28 of 2014 that are in conflict with each other. The legal form and authority of LMKN as regulated in Permenkumham is contrary to the original definition of the formation of LMKN in Law no. 28 of 2014. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Hendra Tanu Atmadja, 1952-
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
346.048 HEN h
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Gilderoy Lihardo Immanuel
"Perkembangan teknologi yang pesat menghasilkan pertukaran informasi yang semakin mudah tiap hari nya, hal ini tidak terlepas dengan kemudahan untuk mengakses karya cipta melalui akses internet. Kemudahan ini tidak membatasi terjadi nya pelanggaran terhadap karya cipta orang lain, dimana salah satu nya merupakan Tindakan pelanggaran terhadap font dan typeface yang kerap terjadi. Pengaturan terhadap font dan typeface merupakan hal yang penting dikarenakan pengaturan merupakan satu-satu nya metode perlindungan karena belum ada nya sistem perlindungan yang dapat melindungi font dan typeface dari tindakan pelanggaran. Untuk itu, penelitian ini akan menjelaskan terkait font dan typeface beserta pelanggaran yang dapat terjadi kepada font dan typeface. Selain itu penelitian ini juga akan menganalisis terkait pengaturan terhadap font dan typeface di Indonesia dan akan dilakukan perbandingan dengan peraturan di Amerika Serikat dan Inggris. Penelitian akan dilakukan dengan menggunakan sumber-sumber penelitian dan data yang didapatkan melalui studi kepustakaan. Kesimpulan yang dapat diambil adalah pengaturan terkait font dan typeface belum diatur secara eksplisit pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 (“UUHC”) dan dirasa perlu nya pengaturan lebih lanjut terkait aspek-aspek pada font dan typeface yang lebih medetail agar tercipta nya kepastian hukum. Sehingga, Indonesia dapat membuat pengaturan yang sesuai dengan kondisi di Indonesia dengan mengadopsi pengaturan yang telah berlaku di Amerika Serikat dan Inggris.
The rapid development of technology has resulted in an easier exchange of information every day, this is inseparable from the ease of accessing copyrighted works through internet access. This convenience does not limit the occurrence of violations of other people's copyrighted works, where one of them is a violation of fonts and typefaces that often occur. Regulations on font and typeface is important because those regulations is the only protection method available, because there is no protection system that can protect fonts and typefaces from violations. For this reason, this study will explain fonts and typefaces along with violations that can occur to fonts and typefaces. In addition, this study will also analyze the regulations related to fonts and typefaces in Indonesia and will be compared with regulations in the United States and United Kingdom. The research will be carried out using research sources and data obtained through literature studies. The conclusion that can be drawn is that the regulations related to fonts and typefaces have not been explicitly regulated in Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 ("UUHC") and it is felt that further arrangements are needed regarding aspects of fonts and typefaces that are more detailed in order to create legal certainty. Thus, Indonesia can make arrangements that are in accordance with the conditions in Indonesia by adopting the arrangements that have been in force in the United States and the United Kingdom."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Putu Ayu Wulansari
"Perjanjian memiliki peranan dalam industri musik. Terbukti dengan adanya kontrak-kontrak yang dibuat antara pencipta dengan para pengguna karya cipta milik pencipta. Namun, kenyataannya para pelaku industri musik kurang sadar akan pentingnya hukum perjanjian yang berkaitan dengan hak cipta, terbukti dengan adanya sengketa-sengketa yang terjadi antara pencipta lagu dan produser rekaman suara. Adanya hal tersebut, beberapa pencipta mengalihkan haknya untuk dikelola oleh pihak lain sehingga pihak tersebut bertanggung jawab terhadap hak pencipta. Salah satu pengelola hak cipta lagu milik pencipta di Indonesia ialah KCI (Karya Cipta Indonesia)yang menerima kuasa dari pencipta untuk mengelola hak cipta lagu dan menjadi kuasa atas pencipta dalam hal pengeksploitasian hak-hak milik pencipta yang digunakan pihak lain, salah satunya produser rekaman suara. Berdasarkan uraian tersebut, studi ini mengkaji perjanjian pengalihan pengelolaan dan lisensi penggunaan hak atas karya cipta lagu dalam industri musik rekaman suara di Indonesia. Studi ini mengkaji perjanjian antara pencipta, KCI, produser rekaman suara. Adapun permasalahan yang dikaji yakni bagaimana pengaturan pengalihan pengelolaan dan lisensi penggunaan hak atas karya cipta lagu menurut hukum Indonesia, bagaimana bentuk pengalihan pengelolaan dan lisensi penggunaan hak atas karya cipta lagu dalam industri rekaman suara di Indonesia,bagaimana praktek pengalihan pengelolaan dan lisensi penggunaan hak atas karya cipta lagu dalam industri musik rekaman suara di Indonesia. Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji permasalahan ialah pendekatan normatif yuridis. Teknik pengumpulan data diperoleh melalui studi kepustakaan dan wawancara dengan pihak KCI. Teknik analisis yang digunakan ialah analisis deskriptif kualitatif. Ketentuan mengenai pengalihan pengelolaan dan lisensi penggunaan hak atas karya cipta lagu diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 (selanjutnya disebut UUHC) jo Pasal 45 UUHC.Bentuk pengalihan diwujudkan dengan perjanjian yang ketentuannya secara umum tunduk pada buku III KUHPerdata.Prakteknya, pencipta mengalihkan pengelolaan hak atas karya cipta lagu kepada KCI, selanjutnya KCI atas kuasa pencipta mengadakan perjanjian lisensi penggunaan hak atas karya cipta lagu dengan produser rekaman suara."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
T18956
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library