Ditemukan 153708 dokumen yang sesuai dengan query
Muhamad Dwiki Armani
"Film dengan genre animasi memiliki daya tarik tersendiri. Film animasi dapat merepresentasikan unsur kebudayaan suatu bangsa dengan grafis yang beragam dan menarik. Salah satu film yang merepresentasikan budaya Cina antara lain adalah Film Turning Red '青春变形记' (Qīngchūn biànxíng jì) (2020). Representasi budaya Cina dalam film Turning Red menampilkan unsur-unsur ajaran Konfusianisme dalam hubungan keluarga. Konfusianisme merupakan salah satu unsur kebudayaan Cina yang berisi falsafah hidup bagi etnis Cina baik yang tinggal di daratan Cina, maupun di luar daratan Cina. Dalam Konfusianisme terdapat konsep harmonisasi sebagai unsur bijak manusia antara lain Ren 仁 (kemanusiaan), Yi 義 (kebajikan/keadilan), Li 礼 (etika), Zhi 知 (pengetahuan), Xin 信 (integritas), Zhong 忠 (kesetiaan), 孝 (Xiào) (bakti kepada orang tua). Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana representasi Xiao pada film animasi berjudul Turning Red melalui penokohan Meilin Lee, Ming Lee, dan Wu. Melalui metode kualitatif, penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana bentuk representasi konsep Xiao yang ditunjukan pada film Turning Red melalui adegan tokoh-tokoh pada film. Melalui pendekatan deskriptif, penelitian ini menemukan bahwa konsep Xiao merupakan faktor penting dalam membangun alur dan penokohan dalam film ini.
Films with the animation genre have their own charm. Animated films can represent elements of a nation's culture with diverse and attractive graphics. One of the films that represents Chinese culture is Turning Red '青春变形记' (Qīngchūn biànxíng jì) (2020).The representation of Chinese culture in the film Turning Red displays elements of Confucianism in family relationships. Confucianism is one of the elements of Chinese culture which contains a philosophy of life for ethnic Chinese both living in mainland China and outside mainland China. In Confucianism there is the concept of harmonization as a wise human element, including Ren 仁 (humanity), Yi 義 (virtue/justice), Li 礼 (ethics), Zhi 知 (knowledge), Xin 信 (integrity), Zhong 忠 (loyalty), 孝 (Xiào) (filial piety). This study intends to find out how Xiao is represented in the animated film Turning Red through the characterizations of Meilin Lee, Ming Lee, and Wu. Through qualitative methods, this study will reveal how the form of representation of Xiao's concept is shown in the film Turning Red through the scenes of the characters in the film. Through a descriptive approach, this research finds that Xiao's concept is an important factor in developing the plot and characterizations in this film."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja Universitas Indonesia Library
Oscar Lienardo
"Film The Eight Hundred (2020) karya Guan Hu mengangkat kisah heroik Tentara Nasionalis Tiongkok dalam mempertahankan Gudang Sihang pada masa akhir Pertempuran Shanghai. Pertempuran ini menjadi simbol perjuangan dan keberanian Tentara Nasionalis Tiongkok dalam melawan agresi Jepang di Tiongkok. Film dengan tema yang sama pernah dirilis pada tahun 1976, disutradarai oleh Ding Shanxi. Berbeda dengan versi 1976 yang lebih menekankan narasi sejarah dan kisah kepemimpinan Kolonel Xie Jinyuan, versi 2020 ini lebih mengutamakan eksplorasi nilai-nilai patriotisme melalui tokoh pendukung, terutama melalui tokoh Duan Wu. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis bagaimana nilai patriotisme direpresentasikan dalam film The Eight Hundred, dengan fokus khusus pada transformasi penokohan tokoh Duan Wu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif-analisis. Penelitian ini mengidentifikasi bahwa melalui transformasi penokohan tokoh Duan Wu, film The Eight Hundred berhasil menggambarkan patriotisme sebagai nilai universal yang dapat diaktualisasikan oleh siapapun, tanpa memandang latar belakang sosial atau status. Penelitian ini mengungkapkan bahwa film The Eight Hundred tidak hanya menghadirkan kisah sejarah yang penuh dengan aksi heroik, tetapi juga menyampaikan pesan yang mendalam mengenai esensi patriotisme.
The film The Eight Hundred (2020) by Guan Hu depicts the heroic efforts of the Chinese Nationalist Army in defending the Sihang Warehouse during the final stages of the Battle of Shanghai. This battle became a symbol of the struggle and bravery of the Chinese Nationalist Army against Japanese aggression in China. A film with the same theme was previously released in 1976, directed by Ding Shanxi. Unlike the 1976 version, which focuses more on the historical narrative and the leadership of Colonel Xie Jinyuan, the 2020 version emphasizes the exploration of patriotic values through supporting characters, especially Duan Wu. This study aims to analyze how patriotism is represented in The Eight Hundred, with a special focus towards the character transformation of Duan Wu. The research method used in this study is a descriptive-analytical approach. The study identifies that through Duan Wu's character transformation, The Eight Hundred successfully portrays patriotism as a universal value that can be actualized by anyone, regardless of social background or status. This research reveals that The Eight Hundred not only presents a historical story filled with heroic actions but also conveys a profound message about the essence of patriotism."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Nia Nafisah
"Subjektivitas adalah konsep identitas diri yang berkaitan dengan cara pandang mengenai diri dan relasinya dengan struktur sosial tempatnya berada. Disertasi ini mengungkapkan ambivalensi subjektivitas tokoh anak dalam empat film anak –
Laskar Pelangi,
Serdadu Kumbang,
Lima Elang, dan
Langit Biru. Melalui pendekatan strukturalisme dan analisis sistem formal dari Bordwell dan Thompson (2008), ditemukan ambivalensi struktur teks dan strategi naratif yang di satu sisi memosisikan tokoh anak sebagai subjek, tetapi di sisi lain dibatasi dengan kondisi tertentu, yaitu ketidakhadiran atau campur tangan tokoh dewasa, keberadaan di ruang terbuka, serta kehendak yang berorientasi kelompok. Analisis lebih jauh dengan menggunakan teori kuasa disiplin Foucault (1995) menemukan bahwa walaupun keterampilan literasi dapat menggeser dominasi kuasa dewasa dan negosiasi posisi dimungkinkan untuk sementara waktu, subjektivitas tokoh anak pada umumnya dikonstruksi melalui pendisiplinan dalam praktik sosial. Pendisiplinan ini melatih anak untuk selalu memperhatikan aspek budaya yang dianggap penting. Akibatnya, subjektivitas yang dikonstruksi ini mendorong tokoh anak untuk mematuhi aturan yang berlaku, mengedepankan kepentingan kelompok, dan menghindari perbedaan. Subjektivitas yang ambivalen ini mengisyaratkan film anak Indonesia memandang anak-anak sebagai manusia yang defisien atau kurang sempurna sebagai manusia sehingga harus dibimbing dan diberi pengarahan, tetapi kurang memperhatikan potensi emosi dan intelektual yang dimiliki anak-anak.
The notion of subjectivity is a concept of personal identity which deals with the self and its relations to the social structures. This dissertation reveals the ambivalent construction of child character subjectivity in four Indonesian children’s films: Laskar Pelangi, Serdadu Kumbang, Lima Elang, dan Langit Biru. Employing structuralism approach and system formal analysis form Bordwell and Thompson (2008), it is found that textual structure and narrative strategies are ambivalent because they position child characters as subjects, but only under certain conditions: the absence or without involvement of adult characters, in open space, and group-oriented. Further analysis using Foucault theory of power and governmentality (1995) found that although literacy is the child's potential skill to shift adult's dominant power and negotiating positions take place temporarily, the child character's subjectivity is generally constructed through discipline in social practices in order to train children to take cultural aspects deemed important into consideration. Consequently, the constructed subjectivity is submissive children who obey the expected norms, prioritize group's interests, and avoid differences. This ambivalent subjectivity suggests that Indonesian children's films view children as deficient and so in need of guidance and instruction despite their emotional and intellectual potentials."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
D2657
UI - Disertasi Membership Universitas Indonesia Library
Ribka Sangianglili
"Skripsi ini menganalisis dekonstruksi yang terjadi dalam film animasi bergenre superhero, Megamind. Melalui perbandingan antara film ini dengan film-film superhero klasik, diperoleh hasil bahwa film ini telah medekonstruksi konvensi cerita superhero dalam aspek penokohan, alur cerita, dan sudut pandang. Namun, melalui pengkajian postkolonialisme dan gender, upaya dekonstruksi dalam film ini mengandung dualisme. Pada satu sisi, upaya tersebut terlihat telah melawan supremasi kulit putih serta nilai maskulinitas dan femininitas konvensional yang kerap kali muncul dalam film superhero pada umumnya. Tapi, di sisi lain, terjadi ambivalensi dalam upaya dekonstruksi tersebut karena pada akhirnya malah menekankan pola-pola tersebut. Lebih lanjut, dekonstruksi tersebut ternyata bertujuan untuk merekonstruksi konsep hero yang berbeda. Melalui tokoh Megamind, terdapat beberapa hal yang berusaha ditekankan yaitu proses untuk menjadi hero dan kekuatan yang tidak sekedar mengandalkan fisik.
This undergraduate thesis analyses the deconstruction which happens in Megamind, an animated superhero movie. By comparing this movie and several classic superhero movies, it can be concluded that Megamind has changed the basic convention of superhero stories through its characters, plot, and point of view. However, there is a dualism meaning in the deconstruction. On one hand, this movie seems to oppose the white supremacy, and also the conventional masculinities and femininities which usually can be seen in superhero movies in general. On the other hand, it also confirms those values again. Furthermore, the movie reconstructs different concept of hero as the result of the ambivalence in the deconstruction. Megamind shows some hero's qualities that rarely appear in the classic superhero movies such as the process to be a hero and other kind of powers beside the physical power."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43374
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library
Andriadi
"
ABSTRAKDegradasi apresiasi terhadap film Western mutakhir melatarbelakangi penelitian ini. Para produser film mencoba merevitalisasi elemen film Western agar menghasilkan karya yang lebih menarik dengan atmosfer yang berbeda. Penelitian ini menelaah invensi dan interaksi budaya melalui eksplorasi unsur-unsur eksternal yang menyebabkan perubahan pada formula genre Western dalam film Wild Wild West (1999) dan Django Unchained (2012). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi pembalikan tipe struktur estetika dalam kedua film tersebut. Pertama, latar karya menunjukkan ruang yang semakin modern dan cenderung mengurangi ruang kebudayaan liar; kedua, ikon persenjataan dan transportasi yang digunakan oleh para tokoh semakin modern; ketiga, tokoh hero yang ditampilkan semakin marjinal; keempat, ide cerita semakin variatif dan dinamis; kelima, situasi dan pola tindakan yang disuguhkan menunjukkan formula kekerasan yang semakin brutal. Evolusi yang terjadi pada kedua film teranalisis dipengaruhi oleh politisasi produksi, perubahan jaman, dan perubahan selera penonton/masyarakat."
Ambon: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016
400 JIKKT 4:2 (2016)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Hafizhah Indriyani Riyanto
"Asian Americans have been portrayed in a stereotypical light in numerous genres of Hollywood films including romantic comedy (romcom). Always Be My Maybe (2019) sheds a different light on Asian American representation in the romcom genre, which has been dominated by stories of white characters. Drawing on the specific trope in romcom namely the ‘slacker-striver romance’ and Asian American representation in films, this article argues that the slacker striver romance consequently affects Asian American representation in Always Be My Maybe (2019). Using the cinematic analysis method, this paper suggests that the film battles the model minority myth which expects Asian Americans to be successful, and it contests the lotus blossom stereotype which paints Asian American women as subservient. Furthermore, the evidence concludes that the film criticizes the slacker-striver romance’s usage of the woman as ‘tools’ to help the man grow up and emphasizes the importance of mutual support as well as understanding in a relationship. Therefore, Always Be My Maybe (2019) provides a distinct approach in representing Asian Americans and their journey in finding love with the light-hearted tone of a romantic comedy.
Orang-orang Asia Amerika telah direpresentasikan dengan stereotip dalam berbagai genre film Hollywood termasuk komedi romantis (romcom). Film Always Be My Maybe (2019) menyoroti representasi Asia Amerika dalam genre romcom, yang umumnya didominasi oleh cerita karakter kulit putih. Menggunakan salah satu trope dalam genre romcom yaitu ‘slacker-striver romance’ dan representasi Asian Amerika untuk menganalisis film Always Be My Maybe (2019), artikel ini berpendapat bahwa trope slacker-striver romance mempengaruhi representasi karakter Asia Amerika dalam film ini. Melalui metode analisis sinematik, kajian ini menunjukkan bahwa film tersebut menyanggah mitos model minoritas yang mengharapkan kesukseskan orang Asia Amerika serta menentang stereotip lotus blossom yang menggambarkan wanita Asia Amerika selalu tunduk. Lebih jauh, bukti yang dipresentasikan dalam studi ini menyimpulkan bahwa film ini mengkritik bagaimana trope slacker-striver romance menggunakan karakter-karakter wanita sebagai ‘alat’ untuk membantu karakter-karakter pria tumbuh dewasa dan menekankan pentingnya dukungan serta pengertian yang seimbang dalam satu hubungan. Oleh karena itu, film Always Be My Maybe (2019) mengajukan pendekatan tersendiri dalam merepresentasikan orang-orang Asia Amerika dan perjalanan cinta mereka dengan nuansa komedi romantis yang ringan. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
020 VIS 12:1 (2010)
Artikel Jurnal Universitas Indonesia Library
Stam, Robert
New York: Blackwell, 2000
791.43 Sta f
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Zuhdi Sahrul Ramadhan
"Artikel ini membahas tentang upaya dari sineas film nasional untuk meningkatkan kualitas dari film yang tayang di bioskop Jakarta pada tahun 1950 hingga 1965. Film Indonesia pada tahun 1950 memiliki permasalahan terhadap rendahnya kualitas film nasional yang ditayangkan. Rendahnya kualitas film nasional dilatar belakangi oleh peralatan produksi yang masih sederhana, kurangnya sumber daya manusia yang berpengalaman dalam film, kurangnya promosi terhadap film dan kurangnya kerjasama antara sineas serta pemerintah untuk membangun citra film nasional. Contoh permasalahan terhadap kualitas film adalah sinematografi dan alur cerita yang kurang baik. Rendahnya kualitas film Indonesia mendorong terjadinya dominasi terhadap film-film impor di bioskop besar Jakarta dan menarik minat penonton terhadap film impor seperti film Hollywood, India dan Cina yang tayang di bioskop kelas I dan II. Merasa berada di posisi yang sulit karena film nasional berada di bioskop kelas II dan III dengan target pasaran yang masih rendah, beberapa sineas Indonesia mulai berupaya untuk meningkatkan kualitas film yang mereka produksi. Upaya tersebut berupa revitalisasi terhadap produksi, promosi dan penayangan film, membangun kerjasama antar sineas dalam menyelenggarakan acara apresiasi Festival Film Indonesia. Upaya tersebut kemudian berhasil membawa dampak yang cukup besar, seperti masuknya film Lewat Djam Malam, Harimau Tjampa dan Tarmina kedalam Festival Film Asia Tenggara. Artikel ini disusun menggunakan metode sejarah, dengan pengumpulan data berupa arsip, surat kabar sezaman, buku dan jurnal artikel, yang diperoleh melalui Sinematek Indonesia, Perpustakaan Nasional dan melalui arsip online.
This article discusses the efforts of the national film sineas to intensify the quality of films shown in Jakarta cinemas from 1950 to 1965. The Indonesian movie in 1950 had problems with the low quality of national movies being screened. The low quality of national movies is caused by simple production equipment, lack of experienced human resources in film, lack of promotion of films and lack of cooperation between filmmakers and the government to build a national movies image. Examples of problems with movie quality are poor cinematography and storylines. The low quality of Indonesian movies encourages the dominance of imported movies in big cinemas of Jakarta and attracts audiences' interest in imported movies such as Hollywood, Indian and Chinese movies that are shown in class I and II cinemas. Feels that they are in a difficult position because national movies are in class II and III cinemas with a low target market, several Indonesian filmmakers have begun to try to improve the quality of the movies they produce. These efforts are in the form of revitalizing movies production, promotion, screening and building cooperation between filmmakers in organizing the Indonesian Film Festival appreciation event. These efforts then succeeded in having a considerable impact, such as the inclusion of the movies Through Djam Malam, Harimau Tjampa and Tarmina into the Southeast Asian Film Festival. This article was compiled using the historical method, with data collection in the form of archives, contemporary newspapers, books and journal articles, which were obtained through Sinematek Indonesia, the National Library and online archives."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir Universitas Indonesia Library
Petra Patria Diah Paramita
"Skripsi ini membahas tentang penerjemahan pronomina persona dalam subtitle Film The Little Focker yang disutradarai oleh Paul Weitz. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Dalam penelitian ini, penulis akan melihat bagaimana pronomina persona bahasa Inggris diterjemahkan ke dalam subtitle bahasa Indonesia. Penelitian ini juga akan melihat apakah penerjemahan tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan ragam. Penulis mengaitkan teori S-P-E-A-K-I-N-G Hymes dan solidaritas dan kekuasaan Brown dan Gilman untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pemilihan penggunaan pronomina dalam suatu tuturan.
Penulis juga akan menggunakan teori penerjemahan audio-visual Cintas untuk melihat bagaimana format subtitle berpengaruh terhadap terjemahan. Temuan penelitian menunjukkan bahwa penerjemahan pronomina persona ke dalam subtitle bahasa Indonesia banyak yang tidak mengikuti kaidah berbahasa Indonesia yang baik dan benar dikarenakan harus memenuhi keterbatasan ruang untuk subtitle itu sendiri dan sebagai akibatnya terjadi pergeseran ragam antara dialog asli dengan subtitle bahasa Indonesia.
This study discusses the personal pronoun translation on the subtitle of the movie The Little Focker which is directed by Paul Weitz. The research method used in this study is qualitative descriptive. In this study, the researcher identifies the process of how English personal pronoun is translated into Bahasa Indonesia subtitle. In addition, this study also identifies whether the translation process results the changes on the manner. The researcher links the theory of S-P-E-A-K-I-N-G by Hymes and solidarity and power by Brown and Gilman to find out what factors are influencing the selection of the use of pronouns in an utterance. Another theory used in this study is the theory of audio-visual translation by Cintas to see how the subtitle format affects the translations. The result of the study shows that many of the personal pronoun translations to Bahasa Indonesia subtitle do not follow the principle of formal Bahasa Indonesia as a result of limited space on the subtitle itself. The consequence is the shifting of manner from the actual dialogue to the Bahasa Indonesia subtitle. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S435
UI - Skripsi Open Universitas Indonesia Library