Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 163305 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Debora Vetra Mesia
"Skripsi ini membahas mengenai penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku baik di Indonesia, Belanda, maupun Singapura. Penyelesaian perkara pidana di luar persidangan atau dikenal dengan istilah Afdoening Buiten Proces merupakan salah satu cara untuk menyelesaikan perkara di luar persidangan dengan cara membayar denda maksimum secara sukarela sebagaimana diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama. Ketentuan ini juga terdapat dalam KUHP Baru, tepatnya dalam Pasal 132 ayat (1) huruf d-e. Sementara itu, di Belanda ketentuan ini diatur dalam Pasal 74 Wetboek van Strafrecht, sedangkan di Singapura dikenal mekanisme Deferred Prosecution Agreement yang memiliki konsep berbeda dengan yang diatur oleh Indonesia dan Belanda. Terdapat dua pembahasan utama dalam skripsi ini. Pertama, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan dalam ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura. Kedua, skripsi ini akan membahas mengenai bagaimana Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Lama dalam mengakomodir kebutuhan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian normatif-yuridis yang menganalisis lebih lanjut tentang ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara. Adapun hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang berlaku di Indonesia, Belanda, dan Singapura masing-masing memiliki persamaan dan perbedaan. Selanjutnya, diketahui bahwa ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan yang diatur dalam Pasal 82 KUHP Lama selama ini tidak mengakomodir kebutuhan yang diperlukan oleh sistem peradilan pidana. Terakhir, ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar persidangan pada dasarnya memiliki tujuan yang baik dan dapat membantu meringankan beban sistem peradilan pidana, tetapi masih terdapat beberapa hambatan.

This thesis discusses the settlement of criminal cases outside the court which is valid in Indonesia, Netherlands, and Singapore. Settlement of criminal cases outside the court or known as Afdoening Buiten Process is one way to settle cases outside the court by paying the maximum fine voluntarily as stipulated in Article 82 of the Old Criminal Code. This provision is also contained in the New Criminal Code, specifically in Article 132 paragraph (1) letter d-e. Meanwhile, in the Netherlands this provision is regulated in Article 74 Wetboek van Strafrecht, while in Singapore the Deferred Prosecution Agreement mechanism is known, which has a different concept from that regulated by Indonesia and Netherlands. There are two main discussions in this thesis. First, this thesis will discuss how the provisions for settling criminal cases outside the court in the legal provisions in force in Indonesia, the Netherlands and Singapore. Second, this thesis will discuss how the Old Criminal Code accommodates the need for settlement of criminal cases outside of court. This research was conducted using a normative-juridical research method that further analyzes the legal provisions in force in a country. The results of this study state that the provisions for settling criminal cases outside the court in force in Indonesia, Netherlands and Singapore have similarities and differences, respectively. Furthermore, it is known that the provisions for settling criminal cases outside the court as regulated in Article 82 of the Old Criminal Code have so far not accommodated the needs required by the criminal justice system. Finally, provisions for the settlement of criminal cases outside the court basically have a good purpose and can help ease the burden on the criminal justice system, but there are still some obstacles."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Talitha Agatha
"Berdasarkan data statistika terkait banyaknya tindak pidana terhadap tubuh dan nyawa yang terjadi di Indonesia, masyarakat kerap kali menjadi korban tindak pidana berupa kejahatan yang dilakukan oleh orang lain dalam kehidupan sehari-hari. Saat seseorang merasa dirinya sedang terancam akan tindak pidana yang mungkin menimpanya, maka orang tersebut tentu akan berusaha untuk membela diri. Pembelaan ini disebut dengan pembelaan terpaksa (noodweer) yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Lantas, dalam praktiknya tidak terdapat kejelasan terkait batasan yang menjadi tolok ukur dalam unsur-unsur pada perbuatan pembelaan terpaksa dan menimbulkan pertanyaan terkait bagaimana pertimbangan hakim dalam menerima ataupun menolak upaya pembelaan terpaksa yang mengakibatkan kematian dalam putusan-putusan pengadilan. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif, yang menganalisis penerapan pembelaan terpaksa (noodweer) yang menyebabkan kematian berdasarkan hukum positif Indonesia dalam beberapa putusan dengan amar putusan yang berbeda. Hasil penelitian ini adalah hakim-hakim pada pengadilan tingkat pertama mayoritas tidak memuat batasan pembelaan terpaksa terhadap kejahatan tubuh dan nyawa yang mengakibatkan kematian dalam pertimbangan yang tertuang dalam putusan.

Based on statistical data regarding the number of crimes against bodies and lives that have occurred in Indonesia, people often become victims of crimes in the form of crimes committed by other people in everyday life. When a person feels that he is being threatened by a crime that might happen to him, then that person will certainly try to defend himself. This defense is called forced defense (noodweer) which is regulated in Article 49 paragraph (1) of the Indonesian Criminal Code. Then, in practice there is no clarity regarding the boundaries that become benchmarks in the elements of forced defense and raises questions regarding how the judge considers in accepting or rejecting forced defense efforts that result in death in court decisions. This research was conducted using a normative juridical approach, which analyzed the application of forced defense (noodweer) which caused death based on Indonesian positive law in several decisions with different verdicts. The results of this study are that the majority of judges at the court of first instance do not include limitations on forced defense against crimes of body and life resulting in death in the considerations contained in the decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Nurfadlillah
"Keadilan restoratif merupakan pendekatan yang dilakukan dalam penyelesaian perkara dengan partisipasi aktif dari korban maupun pelaku untuk mencapai kesepakatan penyelesaian yang adil sehingga tidak ada lagi pengulangan tindak pidana yang dilakukan pelaku dan pemenuhan kebutuhan korban yang telah diterapkan pendekatannya di Indonesia melalui Sistem Peradilan Pidana Anak yang tercantum pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Tidak semua perkara anak dapat diterapkan pendekatan keadilan restoratif, salah satu syaratnya adalah tindak pidana yang dilakukan bukan merupakan tindak pidana kesusilaan serius. Negara Selandia Baru dan Australia menerapkan pendekatan keadilan restoratif dalam hal penyelesaian perkara pada kasus tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak, bentuk penerapannya keduanya menggunakan model keadilan restoratif konferensi keluarga, mediasi antara pelaku-korban dan bentuk lingkaran. Dalam praktiknya di Indonesia, banyak kasus tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak menggunakan pendekatan keadilan restoratif, hasil dari penerapan keadilan restoratifnya sendiri bukan selalu berdamai namun anak dapat dikenakan pidana tindakan atau pidana dengan syarat sebagai bentuk wujud dari penerapan keadilan restoratif yang mengedepankan pemulihan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, penulisan ini akan menganalisis bagaimana penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam hal penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak.

Restorative justice is an approach employed in resolving cases with active participation from both the victim, offender, community leader, and restorative justice facilitator to achieve a fair agreement that prevents the repetition of criminal acts by the offender and fulfills the needs of the victim. This approach has been implemented in Indonesia through the Juvenile Criminal Justice System Act, as stated in Article 5, paragraph (1) of Law No. 11 of 2012 concerning the Juvenile Criminal Justice System. Not all cases involving children can be subjected to restorative justice; one of the requirements is that the committed crime should not be a serious sexual offense. New Zealand and Australia have implemented the restorative justice approach in resolving cases of sexual violence committed by minors, utilizing the restorative justice model of family conferences, mediation between the offender and victim, and circle processes. In practice in Indonesia, many cases of sexual violence committed by children have been addressed using the restorative justice approach. The outcome of implementing restorative justice is not always reconciliation, but rather the child may face punitive measures or conditional punishment as a form of restorative justice emphasizing restoration. By employing a normative juridical research method, this paper aims to analyze the application of the restorative justice approach in resolving cases of sexual violence committed by minors."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ario Wahyu Hapsoro
"Tesis ini membahas mengenai hadirnya KPK sebagai lembaga negara independen anti korupsi yang mempunyai kewenangan penuntutan. Kewenangan yang selama ini telah menjadi domain institusi Kejaksaan dengan asas universal bahwa Kejaksaan sebagai dominis litis dalam bidang penuntutan dan Jaksa Agung sebagai pengendali tertinggi kewenangan penuntutan tersebut. Secara institusional atau kelembagaan terjadilah dualisme penuntutan dimana fungsi penuntutan di KPK dikendalikan oleh ketua KPK dan fungsi penuntutan di Kejaksaan dikendalikan oleh Jaksa Agung.
Pertanyaan penelitian dalam tesis ini adalah bagaimana mekanisme penuntutannya apabila terjadi penanganan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penyidik KPK dan Polri secara bersamaan, apakah kewenangan penuntutan yang ada pada KPK bertentangan dengan asas een ondeelbaar dan apakah dengan adanya dualisme kewenangan penuntutan tersebut sudah sesuai dengan sistem peradilan pidana.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui mekanisme penuntutan suatu tindak pidana korupsi bila penyidikannya dilakukan oleh institusi Polri dan KPK secara bersamaan, untuk mengetahui apakah kewenangan penuntutan KPK bertentangan dengan asas een ondeelbaar dan untuk mengetahui apakah dengan adanya dualisme kewenangan penuntutan tersebut sudah sesuai dengan sistem peradilan pidana terpadu.
Metode penelitian dalam menjawab permasalahan tersebut adalah dengan suatu kajian yuridis normatif dan penelitian lapangan berupa wawancara terhadap para guru besar atau akademisi dalam bidang Hukum Acara Pidana dan Kriminologi serta para praktisi dalam bidang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah bahwa kewenangan penuntutan yang dimiliki KPK sudah sesuai dengan tujuan politik kriminal dari pemerintah dalam hal pemberantasan tindak pidana korupsi sebagai suatu extraordinary crime dengan membentuk lembaga negara adhoc anti korupsi yang mempunyai kewenangan superbody, namun dalam prakteknya kewenangan tersebut juga menyimpangi sejumlah asas antara lain asas een ondeelbaar yaitu jaksa adalah satu dan tidak terpisahkan dimana Jaksa Agung berada di puncaknya sebagai pengendali, menyimpangi asas dominis litis yang berlaku universal dimana Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntutan dengan Jaksa Agung sebagai pengendali tertinggi, serta adanya kekeliruan perihal ketentuan bahwa pimpinan KPK dapat bertindak selaku penuntut umum, padahal mereka bukan lah seorang jaksa sehingga seharusnya pengendalian penuntutan terhadap jaksa-jaksa di KPK tetap berada pada Jaksa Agung.

This thesis discusses the existence of KPK as an anti-graft independence agency that has prosecutorial power. The authority that has been the domain of the District Attorney’s Office with universal principle that District Attorney’s Office as Dominus litis in prosecution and the Attorney General as the supreme official controlling the prosecutorial powers. Institutionally, there is a dualism in prosecution where the prosecutorial function at KPK is controlled by the KPK Chairman and the prosecutorial function is controlled by the Attorney General.
The research question in this thesis is: how is the mechanism of the prosecution if the corruption case is handled by KPK and police investigators at the same time? Is the existing prosecutorial power of the Anti-Corruption Commission contrary to the principle of een ondeelbaar (universality and indivisibility) and is the dualism in prosecutorial powers in conformity with the integrated criminal justice system?
The research methodology to answer the research question is by conducting a judicial normative study and a field research by interviewing professors or academia who are experts in Law of Criminal Procedure and Criminology as well as the practitioners of the graft eradication.
The research findings state that the prosecutorial powers possessed by the Anti-Corruption Commission has conformed to the criminal politics objectives of the government in combating graft/corruption as an extraordinary crime by establishing an ad hoc anticorruption state agency which has the authority of a superbody; however, in practice this power also violates a number of principles, among others the principle of een ondeelbaar (universality and indivisibility), i.e. there is only one prosecutor and is inseparable in which the Attorney General is at the top as the controller, deviates from the principle of dominus litis that is applicable universally in which the District Attorney’s Office is the only prosecution agency with the Attorney General as the supreme controller, as well as the existence of errors in the provision stating that KPK Chairman can act as public prosecutor, despite the fact that he is not a prosecutor; therefore, the prosecution control of the prosecutors at KPK shall remain in the hands of the Attorney General.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T36003
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Putu Asti Hermawan Santosa
"ABSTRAK
Kepolisian Republik Indonesia merupakan gerbang utama dalam criminal justice system, sehingga penentuan kearahmana penanganan tindak pidana ditentukan pada awal proses di kepolisian dalam penyelidikan maupun penyidikan, tujuan hukum yaitu untuk kemanfaatan, kepastian hukum dan keadilan, seringkali tidak dinamisnya tujuan hukum antara kemanfaatan dan kepastian hukum, hal ini menjadi polemik di masyarakat karena polisi selalu mengedepankan asas legalitas dalam mencapai kepastian hukum, sehingga kepolisian terlihat rigid dalam menangani suatu tindak pidana, sehingga hal ini menjadi perhatian khusus oleh Kepolisian Republik Indonesia yaitu dengan keluarnya Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. SE/8/VII/2018 tanggal 27 Juli 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana, sehingga melalui restorative justice ini akan menjawab keresahan yang ada dimasyarakat, aplikasi dari restorative justice ini diaplikasikan dengan mediasi penal, yaitu perkara pidana yang diselesaikan dengan cara mediasi antara pelaku dengan korban, sehingga menjadi menarik bagaimana penyelesaian perkara pidana oleh Kepolisian Republik Indonesia menggunakan mediasi penal berdasarkan konsep keadilan restoratif serta sejauhmana luas penerapan kebijakan hukum pidana dalam penyelesaian perkara pidana dihubungkan dengan konsep keadilan restoratif.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu bersifat deskripsi analitis, dengan pendekatan yang mengkaji atau menganalisis study kasus, study empiris, self evaluasi dan data sekunder seperti bahan pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yakni pendekatan aturan yaitu Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. SE/8/VII/2018 tanggal 27 Juli 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Penyelesaian Perkara Pidana dan Pendekatan Konsep yaitu konsep restorative justice sebagai grand theory, kebijakan hukum pidana sebagai midle theory, dan mediasi penal sebagai aplied theory.
Surat edaran tentang restorative justice secara normatif bisa diterapkan oleh penyidik dalam menyelesaikan perkara pidana melalui mediasi penal, namun secara faktual tidak adanya keseragaman dalam menerapkan surat edaran tentang restorative justice tersebut, karena adanya perbedaan paham dalam menerapkan restorative justice, ada yang menerapkan sesuai dengan surat edaran, namun ada pula yang masih secara konvesnional sebelum berlakunya surat edaran tersebut.

ABSTRACT
The Indonesian National Police is the main gate in criminal justice system, therefore;the determination of the direction in handling the crime is determined at the beginning of the process at the police in inquiry and investigation, the purpose of law is for expediency, legal certainty and justice, oftentimes there are lacks of dynamism between the legal objectives of benefit and legal certainty, this thing becomes a polemic in the community because the police always prioritizes the principle of legality in achieving legal certainty, therefore; the police looks rigid in handling a crime, as a result; this becomes a special concern for the Indonesian National Police by the issuance of the Indonesian National Police Chief Circular Letter No. SE/8/VII/2018 dated 27th July 2018 concerningthe Implementation of Restorative Justice in the Settlement of Criminal Cases, therefore; through this restorative justice will answer the unrest in the community, the application of restorative justice is applied by using penal mediation which is criminal cases that is resolved by mediating between the perpetrators and the victims, as a result; the settlement of criminal cases by the Indonesian National Police becomes interesting based on the concept of restorative justice and the extent to which the application of criminal law policies in the settlement of criminal cases which is related to the restorative justice concept.
This research used a qualitative analytical descriptive method with an approach that examined or analyzed case studies, empirical studies, self-evaluation and secondary data such as references or secondary data which was consisted of primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. The research approach which was used in this study namely the rule approachthat was the Indonesian National Police Chief Circular Letter No. SE/8/VII/2018 dated 27th July 2018 concerning the Implementation of Restorative Justicein the Settlement of Criminal Cases and Approaches Concept that was the concept of restorative justice as grand theory, criminal law policy as middle theory, and mediation of penal as applied theory.
Circular on restorative justice could be applied normatively byinvestigators in resolving criminal cases through penal mediation, however; in fact there was no uniformity in applying the circular about restorative justice, because ofdifferences in understanding in applying restorative justice, there were those who applied according to the circular, however; in other cases some of them were still used conventional way before the entry into force of the circular.
"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fadhil Pratomo
"
Sistem peradilan pidana digambarkan sebagai sebuah sistem yang bertujuan menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat tetap mengendalikan kejahatan tetap berada dalam batas-batas toleransi yang dapat diterimanya. Dalam persepsi sistem, berbagai badan penegak hukum saling terlibat dengan fungsi yang berbeda-beda namun memiliki kesamaan tujuan. Indonesia sebagai negara dalam penyelesaian kasus pidana, digambarkan melalui alat-alat negara yaitu penegak hukum yang merupakan subsistem peradilan pidana yang bekerja dalam suatu sistem terintegrasi dengan eksistensi kekuasaan melalui penggunaan kekuasaan secara maksimal. Rangkaian peradilan pidana dimulai dari subsistem penyidikan di kepolisian, penuntutan di Kejaksaan, persidangan di Pengadilan, hingga pembinaan di Pemasyarakatan. Dalam pembahasan ini akan berfokus pada Pemasyarakatan khususnya Pembimbing Kemasyarakatan. Penguatan peran Pembimbing Kemasyarakatan (PK) sebagai salah satu alat negara dan pergeseran model pemidanaan pasca KUHP baru dapat diuraikan lebih jauh melalui pendekatan prinsip nilai, kemanfaatan, dan efisiensinya sebagai suatu solusi atas permasalahan hukum yang akan berlaku nantinya. Analisis pembahasan perubahan KUHP terhadap peran PK ini nantinya meliputi isu kebijakan dan permasalahannya, termasuk analisis dampak resiko kebijakan baru ini dengan diperbandingkan pada sistem yang berjalan di negara lain.

The criminal justice system is described as a system that handle crime, one of society's  efforts to keep crime under control within acceptable limits of tolerance. In the perception of the system, various law enforcement agencies are involved with each other with different functions 
but have the same goals. Indonesia as a country in resolving criminal cases is described through state tools, namely law enforcement which is a criminal justice subsystem that works in an integrated system with the existence of power through maximum use of power. The criminal justice series starts from the investigation subsystem at the police, prosecution at the Prosecutor's Office, trial at the Court, to guidance at the Correctional Center. At this time, we will focus on correctional services, especially probation service. Strengthening the role of probation service as a state tool and shifting the model of punishment after the new Criminal Code can be explained further through an approach to the principles of value, benefit and efficiency as a solution to legal problems that will apply in the future. The analysis of changes to the Criminal Code regarding the role of the probation service will later cover policy issues and problems, including analysis of the risk impact of this new policy compared to systems operating in other countries.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
London: Pine Force Press, 1996
364.973 CRI
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
London: Pine Force Press, 1996
364.973 CRI
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Qorry Nisabella
"Indonesia merupakan negara civil law. Peraturan tertulis menjadi sumber hokum yang terutama dalam negara civil law. Dahulu sistem peradilan pidana di Indonesia bersumber pada HIR yang menganut prinsip inquisitor. Sejak tahun 1982, sistem peradilan pidana Indonesia bersumber pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana/KUHAP yang menganut prinsip akusator. Prinsip akusator menjamin pelaksanaan hak asasi manusia yang terlibat dalam suatu proses pidana. Namun pasal-pasal dalam KUHAP sendiri justru masih menganut prinsip inquisitor. Hal ini dapat dilihat dengan adanya ketentuan mengenai suatu dokumen yang disebut sebagai berita acara penyidikan/BAP. BAP saksi dalam KUHAP, selain menjadi pedoman bagi hakim dalam memeriksa perkara, dapat pula menjadi sebuah alat bukti bagi hakim. Tentu saja hal ini telah melanggar prinsip akusator. Bahkan dalam praktik sistem peradilan pidana di Indonesia, hakim kerap melakukan apa yang tidak ditentukan oleh KUHAP, dengan lebih mengutamakan keterangan dalam BAP saksi ketimbang dengan keterangan yang diberikan oleh seorang saksi di depan persidangan, sebagai alat bukti keterangan saksi yang sah.

Indonesia is a civil law country. In the civil law country, written rules become main sources of law. Indonesian Criminal Justice System was based on HIR which embraces an inquisitor principle. Since 1982, the Indonesian Criminal Justice System had been rooted in Law No. 8 of 1981 on the Law of Criminal Procedure / Criminal Procedure Code which adopts an akusator principle. Akusator principle ensures the implementation of human rights who involved in a criminal process. But the articles in the Criminal Procedure Code itself still adopts an inquisitor principle. It can be seen with the existence of a document named as the investigation report / BAP. This witness investigation minute, besides being a guide for judges in examining cases, it can also be an evidence for the judge?s consideration. Of course this condition has violated the principle of akusator. In fact, judges often do what is not determined by the Criminal Procedure Code, to prioritize the witness testimony written in BAP more than the testimony given by a witness before trial, as evidence of legitimate witness testimony."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S232
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lifiana Alanisya Mutaharina
"Tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pengidap eksibisionisme, yang merupakan salah satu bentuk dari gangguan parafilia atau suatu kelainan seksual merupakan hal yang kerap terjadi berbagai negara, terutama di Indonesia. Hal tersebut menjadi suatu masalah hukum dikarenakan disatu pihak perilaku ini adalah suatu gangguan berupa kelainan seksual sementara di pihak lainnya perilaku ini menjadi suatu gangguan dalam tatanan sosial masyarakat. Sanksi pidana tidak dapat menjadi satu-satunya alat untuk mengendalikan angka tindak pidana yang dilakukan oleh seorang pengidap eksibisionisme. Dalam praktik, penjatuhan sanksi pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme cenderung tidak sesuai karena hakim kerap tidak mempertimbangkan kondisi psikis dari pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme tersebut. Padahal, faktor tersebut perlu untuk selalu dipertimbangkan oleh hakim mengingat kondisi pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme yang kerap membutuhkan suatu terapi dan pengobatan medis karena munculnya dorongan yang tidak terkontrol akan hasrat seksual untuk memamerkan alat kelamin miliknya dan melakukan aktivitas seksual yang tidak normal di tempat umum. Mengingat saat ini telah ada pengaturan mekanisme penjatuhan sanksi tindakan dan pemidanaan secara bersamaan dengan konsep Double Track System, maka diharapkan konsep tersebut dapat menciptakan suatu fleksibilitas dalam sistem pemidanaan di Indonesia terhadap pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme. Adapun penelitian ini bertujuan untuk menentukan porsi pemidanaan yang tepat terhadap pelaku tindak pidana pengidap eksibisionisme dengan memanfaatkan konsep pemidanaan Double Track System. Lebih lanjut, metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis-normatif dengan wawancara untuk melengkapi data temuan. Dengan mengangkat topik terkait pemidanaan dengan menggunakan konsep Double Track System terhadap pelaku eksibisionisme, diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan diskursus dan mampu memberikan solusi terkait cara penjatuhan pemidanaan yang tepat agar dapat mencegah timbulnya residivisme maupun munculnya korban-korban lainnya dari pelaku kejahatan yang mengidap kelainan seksual berupa eksibisionisme.

Criminal acts committed by a person with exhibitionism, which is a form of paraphilia or a sexual disorder, are common in various countries, especially in Indonesia. This becomes a legal issue because, on the one hand, such behaviour is a form of sexual disorder. Meanwhile, on the other hand, this behaviour also brings a social disorder to society. Criminal sanction cannot be the only way to control the number of crimes that are committed by exhibitionists. In practice, the imposition of criminal sanctions imposed on perpetrators of crimes with exhibitionism tends to be inappropriate because judges often do not consider the psychological condition of the perpetrators of crimes with exhibitionism. In fact, it is necessary for the judges to always consider this factor since the condition of the perpetrators of exhibitionism often requires therapy and medical treatment due to the emergence of an uncontrolled urge for sexual desire to show their genitals and engage in abnormal sexual activity in public places. Subsequently, considering that currently there is a mechanism for imposing sanctions in the form of treatment and criminal sanction simultaneously within the concept of the Double Track System, one might hope that this concept can create flexibility in the Indonesian sentencing system for the perpetrators of exhibitionism. This study aims to determine the appropriate portion of punishment for perpetrators of exhibitionism by utilizing the Double Track System sentencing concept. Furthermore, the methodology of this research is juridical-normative with interviews to complete the research findings. By discussing the topic regarding the imposition of criminal sentencing by utilizing the Double Track System concept for the perpetrators of exhibitionism, it is expected that this research could become the foundation of discourse and be able to provide solutions regarding the appropriate way of imposing punishments towards the perpetrators of exhibitionism in order to prevent recidivism from occurring and the emergence of other victims who suffer from such sexual disorders."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>