Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 71495 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sherin Meutia Khansa
"Gaya hidup sedenter dengan aktivitas fisik yang minim merupakan gaya hidup sehari-hari yang tidak sehat yang lazim terjadi saat ini dan kesehatan fisik manusia diperkirakan akan menurun akibat kurangnya aktivitas fisik. Kelebihan berat badan/overweight dan obesitas adalah beberapa dari banyak penyakit yang disebabkan oleh perilaku kurang gerak. Penduduk Indonesia secara fisik tidak aktif dan memiliki proporsi individu yang overweight dan obesitas yang tinggi. Prevalensi obesitas di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun dan mendekati proporsi obesitas global. Ini menyiratkan bahwa perilaku sedentari memiliki konsekuensi jangka panjang, baik bagi individu yang terlibat di dalamnya, maupun kota dan negara. Sebagai fasilitas publik yang dapat diakses oleh berbagai kalangan pengguna, ruang terbuka hijau berpotensi untuk mendorong gaya hidup sehat dengan mendorong aktivitas fisik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk meninjau peran ruang terbuka hijau dalam kaitannya dengan elemen desain dan aktivitas untuk mendorong aktivitas fisik di antara anggota masyarakat. Dalam rangka peningkatan kesehatan masyarakat, desain ruang terbuka hijau harus menyediakan ruang yang dapat digunakan oleh semua kelompok dan masyarakat. Melalui metode literature review, survei kuesioner, dan analisis, survei kuesioner yang telah disebarkan diperoleh sebanyak 324 responden dengan sampel penduduk Jabodetabek. Dapat dipelajari lebih lanjut tentang signifikansi dan bagaimana ruang terbuka hijau mendorong aktivitas fisik di antara penggunanya dan kemungkinan dampak yang ditimbulkan dari keterlibatan masyarakat di ruang terbuka hijau. Studi ini menemukan bahwa ruang terbuka hijau memiliki peran dalam mendorong aktivitas fisik. Ada korelasi antara ruang terbuka hijau dan tidak hanya dorongan aktivitas fisik, tetapi juga dalam mengakomodasi kohesi sosial melalui pemanfaatan olahraga komunitas.

Sedentary lifestyles with minimal physical activity are everyday unhealthy lifestyles prevalent nowadays and human’s physical health is anticipated to decline due to physical inactivity. Overweight and obesity are some of the many illnesses induced by sedentary behavior. The Indonesian population is physically inactive and has a high proportion of overweight and obese individuals. The obesity prevalence in Indonesia has grown throughout the years and is close to the global obesity proportion. This implies that sedentary behavior has long-term consequences, both for individuals who engage in it, as well as cities and countries. As public facilities that are accessible to various groups of users, green open spaces have the potential to promote a healthy lifestyle by encouraging physical activity. The aim of this study is to review the roles of green open space in relation to design elements and activities in order to encourage physical activity among community members. In the context of improving community health, green open space design should provide space that can be used by all groups and communities. Through methods of literature review, questionnaire survey, and analysis, a questionnaire survey has been distributed obtained by a total of 324 respondents with a sample of Jabodetabek residents. It can be further studied about the significances and how green open space encourages physical activity among its users and the possibility of impacts derived from community involvement in green open spaces. This study finds that green open space has roles in encouraging physical activity. There is a correlation between green open spaces and not only the encouragement of physical activity, but also in accommodating social cohesion through sports community uses."
Jakarta: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Nurindah Wiji Sejati
"Perkembangan kota Jakarta yang pesat mengakibatkan semakin terbatasnya lahan untuk pemenuhan Ruang Terbuka Hijau (RTH) privat yang berada pada bangunan dan berkurangnya RTH ini mengakibatkan meningkatnya suhu udara di perkotaan. Penghijauan di atap dapat dijadikan alternatif pemenuhan RTH pada bangunan, diantaranya green roof dan roof garden melalui nilai green factor yang dapat diterapkan, namun green roof biasanya membutuhkan biaya produksi dan pemeliharaan awal yang lebih tinggi dibandingkan roof garden. Roof garden dapat lebih dimanfaatkan menjadi roof farming seiring meningkatnya kebutuhan akan pangan. Selain itu, roof farming dapat menurunkan suhu sebagai manfaat thermal baik bagi bangunan maupun lingkungan sekitarnya. Penelitian ini dilakukan untuk menetapkan nilai green factor dari roof farming dan mengeksplorasi manfaat thermal serta manfaat lebih lanjut dari manfaat thermal yang dihasilkan oleh roof farming. Penelitian dilakukan pada 2 (dua) studi kasus melalui simulasi Autodesk Revit 2023 dan pengukuran di lapangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa roof farming dapat memiliki nilai green factor yang lebih besar daripada roof garden (0,65) yaitu 1,15-1,35. Selain dapat memenuhi kebutuhan RTH pada bangunan, roof farming dapat memberikan manfaat lebih terkait produksi pangan yang dihasilkan. Lebih lanjut lagi, roof farming dapat memberikan penurunan suhu yang signifikan sebagai manfaat thermal yaitu sebesar rata-rata 14,1°C untuk permukaan atap bangunan yang dalam penerapan lebih luas dapat mengurangi beban pendingin udara dan 4,4°C untuk suhu ruang outdoor sekitar atap yang dalam skala yang lebih besar dapat mengurangi pulau panas perkotaan (Urban Heat Island). Oleh karena itu, roof farming dapat dijadikan strategi yang efektif dalam pemenuhan RTH bangunan dan penurunan suhu di kota Jakarta.

The rapid development of the city of Jakarta has resulted in increasingly limited land for fulfilling private Green Open Spaces (GOS) located in buildings and this reduced GOS has resulted in increasing air temperatures in cities. Greening on roofs can be used as an alternative to fulfilling green open space in buildings, including green roofs and roof gardens through applicable green factor values, but green roofs usually require higher initial production and maintenance costs than roof gardens. Roof gardens can be further utilized as roof farming as the need for food increases. In addition, roof farming can reduce temperature as a thermal benefit for both the building and the surrounding environment. This research was conducted to determine the green factor value of roof farming and explore the thermal benefits and further benefits of the thermal benefits generated by roof farming. The research was conducted on 2 (two) case studies through Autodesk Revit 2023 simulations and measurements in the field. The results showed that roof farming can provide a greater green factor value than a roof garden (0.65), namely 1.15-1.35. Besides being able to fulfill the building’s green open space, roof farming can provide more benefits related to the production of food produced. Furthermore, roof farming can provide a significant temperature reduction as a thermal benefit, which is an average of 14.1°C for the roof surface of buildings which a large scale can reduce air conditioning loads and 4.4°C for ambient roof outdoor room temperatures that on a larger scale can reduce Urban Heat Island. Therefore, roof farming can be used as an effective strategy in fulfilling building green open space and reducing temperature in the city of Jakarta."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Novendi
"Pembangunan perkotaan tidak saja menuntut peningkatan kebutuhan atas ruang, tetapi juga meningkatkan kompleksitas ruang. Aktivitas ini sexing kali menempatkan pertimbangan atas kota dan entitas alam serta kehidupan liar pada posisi terpisah, bertentangan. 6ahkan akibat ketersediaan ruang-ruang kota yang terbatas dan sering tidak sejalan dengan tingkat kebutuhannya, Bering menimbulkan konflik-konflik peruntukan ruang yang dilematis antara kepentingan pembangunan dan pelestarian alam. Pada akhirnya keberadaan ruang terbuka hijau senantiasa menjadi korban dan sasaran penggusuran dengan berbagai alasan-alasan klasik. Padahal lingkungan hidup dengan seluruh komponennya yang saling bergantung satu sama lain haruslah selalu dalam keadaan seimbang. Ketidakseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan ini tentu mengakibatkan timbuinya masalah lingkungan, ketidaknyamanan termal, karena luas permukaan yang menimbulkan suhu tinggi (struktur dan perkerasan) semakln bertambah sementara luas permukaan yang menimbulkan suhu rendah (tumbuhan dan air) semakin berkurang. Melalui tulisan ini akan dipedihatkan bagalmana keberadaan ruang terbuka hijau dapat berpengaruh terhadap suhu dan kelembaban, dua faktor penting dalam kenyamanan termal. Sampai sebesar apa pengaruh RTH tersebut clan faktor-faktor apa saja yang menentukan besamya pengaruh RTH. Sehingga bisa ditentukan bentuk RTH yang seperti apa yang paling ideal untuk menciptakan kenyamanan termal. Dengan mengambil studi kasus di kota Depok, sebuah kota yang sedang giat-giatnya membangun. Namun di sisi lain Depok jugs berperan penting sebagai daerah resapan. Yang terjadi adalah pembangunan giia-gilaan, yang menggusur RTH. Kota Depok justru mengarah menjadi kota jasa dan perdagangan. Perm ukiman-permukiman bare menjamur tanpa mengindahkan peruntukan lahan, membuka jalan-jalan bare. Pembangunan ma!-mal dikebut, dengan letak yang saling berdekatan. Lebih banyak lagi perkerasan sementara ruang terbuka hijau semakin sedikit."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2005
S48574
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Jupitabwana
"Keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) selalu menjadi idaman bagi warga kota. Tempat Pemakaman Umum (TPU) yang kehadirannya adalah syarat mutlak dalam sebuah kota yang layak huni dan beradab dengan memberi jaminan hak hidup dan hak mati kepada setiap warganya, berpotensi untuk dijadikan RTH apabila direncanakan dan ditata dengan tepat. Selain tentunya memiliki nilai ekologis dalam fungsinya sebagai RTH kota, TPU juga merupakan aset, dan investasi kota jangka panjang dalam nilai ekonomi, edukatif, dan estetis.
Namun di kota-kota besar di Indonesia, tempat ini sering malah terabaikan dan membuatnya menjadi sesuatu yang merusak pemandangan, terlihat menakutkan, dan tempat terjadinya berbagai tindakan kriminal. Sejauh mana TPU dapat menjalankan perannya sebagai bagian dari RTH kota, akan dibahas di dalam penulisan karya ilmiah ini."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2005
S48531
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Manurung, Deasy Puspitasari
"Ruang pada alam merupakan suatu bentuk arsitektur kompleks yang terbentuk dengan sendirinya. Sejak lama alam semesta dapat menjadi inspirasi yang berperan dalam menentukan perancangan sebuah karya arsitektur. Sementara itu perkembangan jaman menimbulkan banyak perubahan pada berbagai aspek kehidupan manusia. Adanya perubahan yang terjadi dalam dunia arsitektur mengindikasikan ketidakpuasan dan belum tercapainya kondisi yang ideal, dan kehidupan urban yang notabene menjadi pusat kebudayaan dan perekonomian memiliki pengaruh yang tidak sedikit dalam perkembangan ini. Perubahan kebudayaan serta teknologi informasi yang pesat juga mempengaruhi pola pikir kebanyakan masyarakat urban dengan tingkat perekonomian yang makmur. Di sini manusia urban dengan segala intelektualitasnya membutuhkan suatu ruang untuk memenuhi ekspresi dirinya. Terjadi banyak eksperimen dan metode yang tak biasa dalam merancang dan para arsitek dewasa ini menggunakan alam sebagai alat perancangannya, namun disini alam tersebut dibentuk secara sengaja. Alam buatan (artificial nature) dalam ruang perkotaan diharapkan dapat menjadi alternatif bagi penghuni perkotaan dalam mengaktualisasikan dirinya sebagai masyarakat urban. Salah satu arsitek yang menerapkan artificial nature pada karya-karyanya adalah MVRDV, dan dalam tulisan ini saya mencoba menganalisa peranan bangunan tersebut dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Tinjauan dilengkapi dengan contoh serta kajian teori yang diperoleh dari studi literatur, yang dilanjutkan dengan diskusi analisis pada studi kasus karya MVRDV. Dari sini akan diperoleh suatu pemahaman tentang alam buatan dalam arsitektur dan kaitannya dengan kehidupan masyarakat urban.

Space in nature is a complex architecture that is created on its own. For a long time the nature can be an inspiration that can influence an architectural piece. Meanwhile the development of an era has created many changes to many aspect of human life. The changes in the architectural world indicated the unsatisfaction to an ideal condition, and urban life which is the center of culture and economy has a big influence on this development. This changes in culture along with the development of information technology has influenced the mindset of the wealthy urban community. The urban individual with all of its intelectuality needs a space to fill up his/her expression. There has been an uncommon experiment and method in design where the architect uses nature as his/her design tool, but here the nature was formed on purpose. Artificial nature in the city space is hoped to be an alternative to the city inhabitants to actualize themselves as an urban community. One of the architect who implements artificial nature to its project is MVRDV, and in this thesis i will try to analyze the role of the building in the daily life of the community. Analyze is completed with example and theoritical analysis to literature study that is continued with the discussion on the case study of MVRDV. From the overall discussion, we will get the basic understanding about artificial nature in architecture its relation with the life of urban society."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, [2006;2006, 2006]
S48541
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Idfan Nasywan
"Kota Jakarta Selatan mengalami kenaikan suhu setiap tahunya dan terjadi fenomena UHI. Keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) publik merupakah salah satu upaya dalam mitigasi UHI. Akan tetapi, ketersediaan RTH di Kota Jakarta Selatan masih terbatas dan belum memenuhi standar. Intesitas pendinginan RTH disebut greenspace cool island intensity (GCII). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis karakteristik RTH publik dan disitribusi spasial GCII serta menganalisis hubungan karakteristik RTH publik dengan GCII. Karakteristik RTH dalam penelitian ini yaitu luas, landscapa shape index (LSI) dan leaf area index (LAI). Metode untuk memperoleh nilai GCII yaitu turning point. GCII diperoleh dengan menggunakan citra Landsat 8 OLI/TIRS tahun 2023. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik RTH publik di Kota Jakarta Selatan didominasi oleh tipe RTH publik dengan luas yang kecil, bentuk tidak beraturan, dan jenis vegetasi rumput dengan pohon. Nilai GCII memiliki rentang nilai mulai dari 0,51oC-2,79oC dan rata-rata 1,43oC. RTH publik di Kota Jakarta selatan memberikan efek pendinginan dengan radius 90 hingga 420 meter dan rata-rata 187 meter. Luas, LAI, dan tutupan vegetasi di area sekitar RTH publik memiliki hubungan yang signifikan dan berkorelasi positif terhadap GCII. Sedangkan tutupan lahan terbangun disekitarnya memiliki hubungan yang signifikan dan berkorelasi negatif. LSI tidak memiliki korelasi dengan GCII.

 


South Jakarta City experiences an increase in temperature every year, and the UHI phenomenon occurs. The existence of public green open space (RTH) is one of the efforts to mitigate UHI. However, the availability of green spaces in South Jakarta City is still limited and has not met standards. The cooling intensity of RTH is called greenspace cool island intensity (GCII). This study aims to analyze the characteristics of public green spaces, the spatial distribution of GCII, and the relationship between public green space characteristics and GCII. The characteristics of public green space in this study are area, landscape shape index (LSI), and leaf area index (LAI). The method to obtain the GCII value is the turning point. GCII was obtained using a Landsat 8 OLI/TIRS image in 2023. The results showed that the characteristics of public green spaces in South Jakarta City are dominated by types of public green spaces with small areas, irregular shapes, and vegetation types of grass with trees. The GCII value has a range of values ranging from 0.51 oC to 2.79 oC and an average of 1.43 oC. Public green spaces in southern Jakarta City provide a cooling effect with a radius of 90 to 420 meters and an average of 187 meters. Area, LAI, and vegetation cover around public green spaces have a significant and positively correlated relationship to GCII. While the surrounding built-up land cover has a significant and negatively correlated relationship. LSI has no correlation with GCII.

"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lady Hafidaty Rahma Kautsar
"Pembangunan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) ditahun 1970-an meningkat dratis karena didukung pemerintah melalui Nota Dinas Gubernur DKI Jaya (DKI Jakarta), sehingga banyak taman (ruang terbuka hijau atau RTH) dialihfungsikan menjadi SPBU. Kini untuk memenuhi target RTH (13,94% RTH berdasarkan RTRW DKI Jakarta 2010), kebijakan tersebut berubah melalui Keputusan Gubernur Nomor 728 tahun 2009 dan Instruksi Gubernur Nomor 75 tahun 2009. Tercatat 27 unit SPBU harus dikembalikan fungsi lahannya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian alihfungsi SPBU-Taman menjadi RTH berdasarkan pendekatan site and situation. Penelitian dibatasi pada SPBU-SPBU yang belum sepenuhnya menjadi RTH. Metode yang digunakan adalah kombinasi metode AHP dan metode rangking. Site untuk variabel rawan banjir, luas dan status SPBU, status tanah. Situation untuk variabel ruang publik lain, ketersediaan SPBU lain, pelayanan SPBU, segmen jalan, dan proporsi ruang terbangun. Analisa penelitian menggunakan analisa deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan tiga dari lima SPBU sesuai dialihfungsikan menjadi taman (RTH).

The construction of public refueling stations (gasoline stations) in 1970 increased drastically due to the government support through a Memorandum Office of the Governor of DKI Jaya (DKI Jakarta), which lead to a number of the park (green open space or RTH) converted into a gasoline station. Now, to meet the target of RTH (13.94% RTH based RTRW DKI Jakarta 2010), the policy was replaced by Decree No. 728 of 2009 and Governor Instruction No. 75 of 2009. It was recorded that land function of 27 gasoline stations unit must be returned.
The aim of this study is to determine the suitability of change of function of gasoline stations-Park with green open space using site and situation based approach. The method used is a combination of AHP and ranking method. Site for flood-prone variable, space of the gasoline station, the status of the land. Situation for variables of other public space, the availability of other gasoline stations, service gasoline stations, road segments, and the proportions of the room built. Analysis of the research used quantitative descriptive analysis. The results showed that three of the five gasoline stations were suitably to be converted into a green open space (RTH).
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2014
S57330
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Titien Suryanti
"ABSTRACT
Kepadatan penduduk yang melampaui daya dukung lingkungan di kota, menyebabkan sejumlah masalah sosial, ekonomi, lingkungan, dan prasarana. Jumlah penduduk yang padat memberikan tekanan pada sumber-sumber yang terbatas di kota seperti tanah, kesempatan kerja, tersedianya potensi air bersih, sarana dan prasarana, serta ruang terbuka hijau. Akibatnya, ruang yang seharusnya dimanfaatkan untuk ruang terbuka hijau (RTH) dibangun guna memenuhi tuntutan pembangunan lain. RTH secara tidak langsung semakin menyempit yang dapat berakibat kualitas lingkungan menurun.
Berkurangnya RTH di wilayah perkotaan DKI dikatagorikan sudah cukup besar, yaitu 726,01 ha per tahun. Dengan semakin berkurangnya RTH akan menurunkan kualitas udara, dan ini akan menyebabkan penyakit yang disebabkan karena udara kotor. Penyakit yang diteliti adalah yang disebabkan oleh kondisi udara kotor di lingkungan permukiman padat, yaitu penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA). ISPA adalah penyebab nomor satu kesakitan pada bayi dan balita, dan menempati urutan teratas dalam statistik kesehatan. Kondisi udara kotor berkaitan Brat dengan kondisi tidak adanya atau kurangnya RTH.
Jumlah penderita ISPA di Kelurahan Duripulo termasuk yang tertinggi dibandingkan penyakit-penyakit yang ada, yaitu 28,35% (Laporan Tahunan Puskesmas Duripulo 1992). Kepadatan penduduk di Kelurahan Duripulo sebesar 522 jiwa/ha. Sedangkan ruang terbuka yang tersedia 0,15 m2/ jiwa, ini jauh lebih kecil dari standard kebutuhan RTH untuk lingkungan permukiman padat, yaitu 1,80 m2/jiwa.
Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan pengaruh RTH terhadap kesehatan manusia di lingkungan permukiman padat, dengan tujuan khusus 1) meneliti pengaruh penggunaan RTH; 2) meneliti pengaruh jumlah dan jenis tanaman di dalam RTH; 3) meneliti pengaruh luas RTH; 4) meneliti pengaruh jarak RTH.
Penelitian dilaksanakan di Kelurahan Duripulo Kecamatan Gambir Wilayah Jakarta Pusat, selama 3 bulan dari oktober 1991 sampai Januari 1992. Kelurahan Duripulo memiliki jumlah penduduk 36.436 jiwa dengan luas area 70,70 ha, kepadatan penduduk 522 jiwa/ha, dan RTH yang tersedia 0,5 ha.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis dengan penentuan contoh secara merata. Jumlah responden sebanyak 100 KK diambil secara proporsional dari 4 RW. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner, wawancara, dan pengamatan langsung di lapangan. Selanjutnya untuk melihat adanya hubungan antara luas dan keadaan RTH dengan jumlah balita penderita ISPA, digunakan analisis korelasi.
Hasil analisis statistik menunjukkan :
1. Penggunaan RTH berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Uji korelasi antara penggunaan RTH dengan jumlah balita penderita ISPA menunjukkan adanya korelasi negatif yang nyata yaitu - 0,6573, berarti semakin banyak penggunaan RTH semakin kecil jumlah balita penderita ISPA. Hal ini dapat terlihat pada daerah kurang padat dengan penggunaan RTH besar yaitu 80% (RT 01, RW 10), jumlah balita penderita ISPA-nya kecil yaitu 33,33%.
Demikian pula pada daerah sangat padat dengan penggunaan RTH besar yaitu 60% (RT 02, RW 09), jumlah balita penderita ISPA-nya kecil yaitu 37,50%. Sedangkan pada daerah kurang padat dengan penggunaan RTH kecil yaitu 20% (RT 06, RW 11), jumlah balita penderita ISPA-nya besar yaitu 75%.
2. Jumlah dan jenis tanaman di dalam RTH berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Dari uji korelasi antara jumlah dan jenis tanaman di dalam RTH dengan jumlah balita penderita ISPA menunjukkan adanya korelasi positif yang nyata yaitu + 0,7619, berarti semakin besar jumlah dan jenis tanaman di dalam RTH, semakin kecil jumlah balita penderita ISPA. Ini terbukti dari pengamatan di lapangan yaitu RT 08 RW 10 dengan derajat ketetapan tanaman sangat balk (4), jumlah balita penderita ISPA-nya rendah yaitu 37,50%. Sedangkan di RT 07 RW 05 dengan derajat ketetapan tanaman sedang (2), jumlah balita penderita ISPA-nya tinggi yaitu 71,43%.
3. Luas RTH berpengaruh terhadap kesehatan manusia.
Uji korelasi antara luas RTH dengan jumlah balita penderita ISPA menunjukkan adanya korelasi negatif yang nyata yaitu - 0,7903, berarti semakin luas RTH, semakin kecil jumlah balita penderita ISPA. Hal ini dapat terlihat dari wilayah dengan RTH yang luas dengan jumlah balita penderita ISPA-nya kecil, yaitu RT 08 RW 10 dengan luas RTH 297,81 m2 jumlah balita penderita ISPA-nya kecil yaitu 37,50%. Sedangkan di RT 01 RW 10 dengan luas RTH 374,72 m2, jumlah balita penderita ISPA-nya kecil yaitu 33,33%. Dan di RT 02 RW 09 dengan luas RTH 947,14 m2, jumlah balita penderita ISPA-nya kecil yaitu 37,50%. Adapun di RT 06 RW 11 dengan luas RTH kecil yaitu 144,49 m2, jumlah balita penderita ISPA-nya besar yaitu 75%.
4. Jarak RTH berpengaruh terhadap jumlah balita penderita ISPA.
Uji korelasi antara jarak RTH dengan jumlah balita penderita ISPA menunjukkan adanya korelasi positif yang nyata yaitu + 0,5234, berarti semakin dekat jarak RTH semakin kecil jumlah balita penderita ISPA, dan semakin jauh jarak RTH semakin besar jumlah balita penderita ISPA.
Hal ini dapat terlihat di daerah sangat padat dengan jarak RTH jauh (RT 06 RW 09), jumlah balita penderita ISPA-nya besar yaitu 66,67%. Sedangkan di daerah kurang padat dengan jarak RTH dekat (RT 05 RW 10), jumlah balita penderita ISPA-nya kecil yaitu 33,330. Demikian pula untuk daerah kurang padat dengan jarak RTH dekat (RT 06 RW 10) jumlah balita penderita ISPA nya kecil yaitu 33,33%.

ABSTRACT
Over population which exceeds beyond the carrying capacity in urban areas causes a number of problems in social economic, environment, and infra structure. Total number of the over population gives an emphasis on the limited city resources such as the land, job opportunity, fresh water supply, infra structure, and green open space. As the result, the area which should be used as a green open space have been converted to other utilizations. The green open space indirectly becomes narrow can result from the declining quality of environment.
The declining of green open space in the cities of Jakarta is classified to be large enough, that is 726.01 ha/year. By declining of the green open space will de-crease the quality of air, and this will easily cause the disease. The disease which is being observed is caused by condition of filthy air in densely populated settlement, namely the Acute Respiratory Infection (ARI). ARI was the first cause of illnesses on babies and children (under five years old). It occupies as the hundredth level in health statistic.
Total number of people who ARI suffer at Kampung Duripulo was considered higher, if compared with other illnesses, that is 28.35%. The population density at Kampung Duripulo was 522 persons/ha. While the green open space area which was provided is0.15 m2/person, this was less than the standard need for densely populated settlement, that is 1.80 m2/person.
This research is meant to prove that there is an effect of the green open space for human health in densely populated settlement with special purpose, 1) to research the effect of green open space utilization on the total number of children ARI suffer, 2) to research the effect of total number and variety of plants in the green open space on the total number of children ARI suffer, 3) to research the effect of green open space width on the total number of children ARI suffer, 4) to research the effect of green open space distance on the total number of children ARI suffer.
This research was done at Kampung Duripulo Gambir District Central of Jakarta, for three months from October 1991 until January 1992. The total number of population is 36,436 persons and width area 70.7 ha, the population density was 522 persons/ha, and the green open space which was provided was 0.54 ha.
This research is a descriptive analysis by determination of the examples evenly. Total number of respondents as many as 100 chiefs of families were taken proportionally from 4 RW at Kampung Duripulo. The datas were collected by using questionnaire, interview, and direct observation in the area. Then to see whether there was a relation between the width and condition of the green open space on children ARI suffer, by using correlative analysis.
The result of the statistic analysis showed :
1. The green open space utilization effected to the human health. Correlative test between the utilization of green open space and total number of children ARI suffer, showed a real negative correlation there was - 0,6573. Which meant that the more of green open space utilization, the total number of children ARI suffer becomes less.
This could be seen in the area which was less populated by using the green open space largely, namely 80% (RT 01 RW 10), the number of children ARI suffer was small, namely 33.33%. It also happened, in the densely populated area by using the green open space largely, namely 60% (RT 02 RW 09), the number of children ARI suffer was small, namely 37.50%. In the other area which was less populated by using the green open space smallish, namely 20% (RT 06 RW 11), the number of children ARI suffer was large, namely 75%.
2. The total number and variety of plants in the green open space effected to the human health. Correlative test between total number of vegetation in the green open space and the number of children ARI suffer, showed a real positive correlation there was + 0,7619. Which meant that the more of total number and variety of plants in the green open space largely, the total number of children ARI suffer becomes less. It was proved by the observation in the area, namely RT 08 RW 10 with a very good level of plant determination (4), the total number of children ARI suffer was low, namely 37.50%.
Whereas RT 07 RW 04 with a medium level of the plant determination (2), the total number of children ARI suffer was high, namely 71.43%.xvi
3. The width of green open space effected to the human health. Correlative test between the width of green open space and the number of children ARI suffer, showed a real negative correlation there was - 0,7903. Which meant that the more width of green open space, the total number of children ARI suffer becomes less. This could be seen in the RT 08 RW 10 with the width of green open space 297.81 in, the total number of children ARI suffer was small, namely 33.33%. And RT 02 RW 09 with the width of green open space 947.14 m2, total number of children ARI suffer was small, namely 37.50%.
Whereas RT 06 RW 11 with the width of green open space 144.49 m2, total number of children ARI suffer was high, namely 75%.
4. The distance of green open space effected to the human health. Correlative test between the distance of green open space and the total number of children ARI suffer, showed a real positive correlation there was + 0,5234. Which meant that the nearer of green open space, the total number of children ARI suffer becomes less. This could be seen in the densely populated area (RT 06 RW 09) with a distant of green open space, the total number of children ARI suffer was high, namely 66.67%. Whereas the less populated area with a near of green open space (RT 05 RW 10), the total number of children ARI suffer was small, namely 33.33%. It also happened in the less populated area with a near of green open space (RT 06 RW 10), total number of children ARI suffer was small, namely 33.33%.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adistia Nurramadhanty
"Tata ruang suatu wilayah yang efektif dan proporsional merupakan prasyarat utama bagi terciptanya suasana lingkungan yang teratur terkendali dan nyaman. Tata ruang yang efektif meliputi penempatan dan pengaturan fungsi dari bagian-bagian wilayah agar tepat dalam penempatannya, sehingga berbagai aktivitas warga dapat terselenggara secara efektif. Sementara, tata wilayah yang proporsional merupakan upaya agar terciptanya suatu wilayah yang nyaman, dengan mengoptimalkan bagian-bagian wilayah tersebut secara proporsional. Salah satu masalah yang kerap terjadi dalam penentuan proporsional suatu wilayah adalah terkait RTH (Ruang Terbuka Hijau) yang terabaikannya ketentuan kondisi idealnya. Akibat dari terabaikannya elemen standar untuk keseimbangan kota, akan terjadi bencana yang berkelanjutan, seperti banjir di Kemang. Adanya konsep perencanaan kota yang tertuliskan dalam pedoman, terdiri dari berbagai macam aspek untuk menganalisa, untuk mewujudkan kota yang ideal. Pedoman tersebut adalah UDGL (Urban Design Guidelines) dari negara yang berbeda. Secara konsep RTH merupakan ruang natural yang beraspek dan berstruktur elemen natural yang diperuntukkan sebagai nilai ekologis dan social di suatu wilayah. Dalam implementasinya, penetapan RTH berkaitan dengan banyak hal, sehingga sering terabaikan. Perencanaan implementasi di Jakarta mempunyai peraturan yang mengontro lpengalokasian lahan. Itu juga menjadi standar ideal untuk sebuah kota. Kemang, merupakan suatu bagian wilayah di Kecamatan Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, dan di dalam spesifik area di Kemang, adanya isu perningkatan bencana banjir yang terjadi, yang bisa disebabkan oleh banyak aspek. Itu juga menjadi alasan terjadinya kemacetan parah dan rusaknya area sekelilingnya. Lalu, isu tersebut membutuhkan evaluasi lebih tentang bencana yang terjadi berkelanjutan di Kemang dan dibandingkan dengan keadaan ideal untuk sebuah kota.

An effective and proportional spatial planning for urban is a main requirement to provide well- planned, controlled and comfortable environment. An effective spatial planning involved an allocation and arrangement of functions from all parts of the area, to be exactly fit into the context, so various activities can be held effectively. While, a proportional urban area planning is a way to create a comfortable area, by optimizing parts of the area proportionally. One of the problems is usually happened in defining a proportional area, for example: Green Open Space ideal condition which being ignored. The impacts on ignoring standard elements to balance the city, is disaster which happens continuously, such as flood in Kemang. There are a conceptual for urban planning, written in a guideline which consist of various aspects to analyse, to achieve the ideal city area. The guideline is UDGL (Urban Design Guidelines) from different countries. As a conceptual, Green Open Space is a natural resource which have aspects and structure from natural elements. Green Open Space benefits to be ecological and social value for an area. According to the implementation, defining Green Open Space related with many aspects which sometimes being ignored. The implementation planning in Jakarta has its own policy, which control the land allocation. Then, it becomes another ideal standard for a city. Kemang, is a part of Mampang Prapatan sub-district, South Jakarta, and the specific area of Kemang increase the issue of flood disaster, which can be caused by several aspects. It creates heavy traffic jam, and damage to the surrounding area. Then, it needs more evaluation in Kemang, regarding the disaster that continuously happen, compare with the ideal standard for a city."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Susi Andriani
"Pembangunan fisik di DKI Jakarta telah mengakibatkan terjadinya alih fungsi lahan terutama lahan yang seharusnya diperuntukkan sebagai RTH menjadi kawasan untuk kegiatan perekonomian atau permukiman, hal ini menyebabkan luas RTH yang ada pada tahun 2010 hanya 11,2%. Jumlah ini masih jauh dari target 30% sesuai amanat Undang-undang No. 26 Tahun 2007. Penelitian bertujuan untuk menginventarisasi kondisi eksisting RTH di DKI Jakarta tahun 2012 (luas, jenis, dan kerapatan vegetasi),  menginventarisasi  luas kawasan yang berpotensi sebagai peluang pemenuhan target RTH 30%, dan mengetahui persepsi masyarakat pada pembangunan RTH. Data kondisi eksisting RTH diperoleh dari studi literatur berdasarkan dokumen instansi terkait, observasi lapangan dan perhitungan. Potensi kawasan peluang untuk memenuhi target RTH 30% diperoleh dari studi literatur dan teknik overlay peta. Inventarisasi dilakukan pada kawasan penyangga (sempadan sungai, pantai dan tandon air), serta pada kawasan-kawasan terbangun yang memiliki kewajiban untuk memenuhi Undang-undang No. 26 Tahun 2007. Persepsi masyarakat diperoleh dari survei dengan teknik wawancara menggunakan instrumen kuesioner. Hasil penelitian menunjukkan luas RTH eksisting di DKI Jakarta tahun 2012 adalah 7.842,61 ha (13,27%) dari luas total daratan Jakarta.  Jenis vegetasi tercatat 142 jenis dengan kerapatan vegetasi rata-rata 277 pohon/ha. Potensi kawasan peluang yang dapat ditelusuri tercatat seluas 10.003,92 ha. Persepsi masyarakat mengenai pembangunan RTH di DKI Jakarta cukup baik.

Physical development in Jakarta has led the conversion of land, especially land that should be designated as green open space (GOS) for the economic activity or settlement, it caused the existence of GOS  only 11.2% in 2010 . This number is still below the target of 30% as mandated by Law. 26 of 2007. This study aims to take stock of the existing condition of GOS in Jakarta in 2012 (broad, vegetation type and density of vegetation), inventory of total area that can be the opportunity area to meet the target 30% GOS in Jakarta and to determine public perceptions. Data of existing condition of GOS obtained from the literature  based on the documents from related agencies, field observations and calculations. Opportunity potential area obtained from literature, map overlay technique.Inventory conducted in the buffer zone of (river banks, beaches and water tanks), as well as in areas that have awakened to fulfill the obligation Law. 26 of 2007. Public perception survey is done by interview. The results showed GOS existing in 2012 was 7842.61 ha (13.27%) of the total land area of Jakarta. Vegetation types recorded 142 species which density of vegetation 277trees/ha. Potential opportunities recorded 10,003.92 ha area to be potential GOS. Public perception about the development of GOS in Jakarta is quite good."
Depok: Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>