Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 182259 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vahira Waladhiyaputri
"Latar belakang: Dampak malnutrisi seperti stunting, wasting, dan underweight pada 1000 hari pertama kehidupan irreversible, namun dapat dicegah dengan makanan pendamping ASI yang berkualitas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan ketercapaian minimum dietary diversity (MDD) dengan status gizi anak usia 6-23 bulan di Jakarta Timur pada pandemi COVID-19 tahun 2020. Metode: Studi cross-sectional ini menggunakan data sekunder penelitian di Jakarta Timur, dengan jumlah sampel 102 subjek berusia 6-23 bulan. Data terkait MDD diperoleh melalui food recall 24 jam yang kemudian dimasukkan ke dalam kuesioner MDD. Data terkait usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan ibu, dan pendapatan rumah tangga juga dianalisis dalam penelitian ini. Analisis data dilakukan melalui uji chi square dan regresi logistik menggunakan aplikasi SPSS Statistics versi 25. Hasil: Mayoritas subjek penelitian berusia 12-17 bulan (39,2%) dengan proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Sebanyak 52% subjek mencapai MDD pada asupan hari sebelumnya. Stunting merupakan status gizi terbanyak (20,6%) dibandingkan dengan wasting (15,7%) dan underweight (12,7%). Tidak ditemukan hubungan signifikan antara ketercapaian MDD dan status gizi subjek, tetapi jenis kelamin dianggap berhubungan dengan stunting (p=0,003; 95% CI=1,81-19,03) dan underweight (p=0,012; 95% CI =1,54-36,73). Kesimpulan: Dalam menganalisis hubungan kualitas asupan dengan status gizi, aspek lain seperti jumlah asupan juga perlu diperhatikan.

the 1000 first days of life are irreversible, but could be prevented by giving high quality complementary feeding practice. This study aims to examine the relationship between achievement of minimum dietary diversity (MDD) with nutritional status among children aged 6-23 months in East Jakarta during the 2020 COVID-19 pandemic. Method: This cross-sectional study used secondary data from a research in Kampung Melayu Village, East Jakarta, with a total sampling of 102 subjects aged 6-23 months. Data related to MDD was obtained through a 24-hour food recall, which was then entered into the MDD achievement questionnaire. Data related to age, gender, mother's education level, and household income were also analyzed in this study. Data analysis was carried out through the chi square test and logistic regression using SPSS Statistics application version 25. Result: Majority of subjects in the study were 12-17 months (39.2%) and with an equal proportion between male and female. A total of 52% of subjects achieved MDD on the previous day's food intake. Stunting is the most prevalent nutritional status (20.6%) compared to wasting (15.7%) and underweight (12.7%). No significant relationship was found between the achievement of MDD and the nutritional status of the subjects, but gender was considered to be related to stunting (p=0.003; 95% CI=1.81-19.03) and underweight (p=0.012; 95% CI=1.54-36.73). Conclusion: In analyzing the relationship between the quality of intake and nutritional status, other aspects such as the amount of intake also need to be taken into account."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teshalonica Mellyfera Irania
"Di Indonesia, defisiensi makronutrien (stunting, wasting, dan underweight) masih menjadi salah satu masalah kesehatan. Salah satu penyebab dari stunting, wasting, dan underweight adalah kurang beragamnya diet yang dikonsumsi, yang dapat diukur dengan indikator dietary diversity score. Penelitian cross- sectional ini meneliti data sekunder, yang melibatkan sebanyak 85 subjek usia 24—36 bulan di kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Riwayat asupan makan didata menggunakan 24-hour recall, yang akan digunakan untuk menghitung dietary diversity score. Status gizi diukur berdasarkan nilai skor Z dari height- for-age, weight-for-age, dan weight-for-height. Pada hasil, didapatkan mayoritas subjek memiliki DDS sedang (54,1%). Prevalensi subjek dengan stunting, underweight, dan wasting, secara berturut-turut adalah 36,5%, 29,4%, dan 7,1%. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara DDS dengan stunting, underweight, ataupun wasting. Melalui analisis multivariat, terdapat dua faktor yang berhubungan secara signifikan dengan stunting, yakni jenis kelamin (p=0,025) dan tingkat pendidikan ibu (p=0,047). Sebagai kesimpulan, selain keragaman pangan, terdapat beberapa faktor lain yang memengaruhi status gizi anak, seperti jenis kelamin dan tingkat pendidikan ibu. Oleh sebab itu, pemberian edukasi kepada ibu terhadap diet anak yang sehat dapat menjadi suatu bentuk tindakan pencegahan terhadap undernutrition.

In Indonesia, macronutrient deficiency (stunting, wasting, and underweight) is still a health problem. One of the causes of stunting, wasting, and underweight is the lack of variety in the diet consumed, which can be measured by an indicator called dietary diversity score. This cross-sectional study examined a secondary data, involving 85 subjects aged 24—36 months in Kampung Melayu sub-district, East Jakarta. Food intake history was recorded using 24-hour recall, which will be used to calculate the dietary diversity score. Nutritional status was measured based on the Z score of height-for-age, weight-for-age, and weight-for- height. As a result, majority of subjects had medium DDS (54.1%). The prevalence of subjects with stunting, underweight, and wasting was 36.5%, 29.4%, and 7.1%, respectively. There is no significant relationship between DDS and stunting, underweight, or wasting. Through multivariate analysis, there were two factors that were significantly associated to stunting, which are gender (p=0.025) and mother's education level (p=0.047). In conclusion, in addition to food diversity, there are many other factors that influence the nutritional status of children, such as gender and maternal education. Therefore, providing education to mothers about a healthy child's diet can be used as a form of preventive action against undernutrition."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nabilah Alifia Firdauzy
"Dietary diversity penting bagi balita karena sedang dalam masa pertumbuhan. Karakteristik anak dan keluarga dapat memengaruhi dietary diversity. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara karakteristik anak dan keluarga dengan minimum dietary diversity pada balita usia 24-59 bulan di Desa Karangkamulyan, Kecamatan Cihara, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten tahun 2020. Penelitian cross-sectional ini menggunakan data sekunder. Sampel penelitian ini adalah 210 balita usia 24-59 bulan di Desa Karangkamulyan. Analisis data univariat dan bivariat berupa uji Chi Square dilakukan menggunakan perangkat lunak SPSS. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa sebagian besar balita usia 24-59 bulan di Desa Karangkamulyan memiliki minimum dietary diversity yang kurang (78,6%). Karakteristik anak yang berhubungan secara signifikan (p-value <0,10) dengan minimum dietary diversity balita adalah usia anak. Karakteristik keluarga yang berhubungan secara signifikan (p-value <0,05) dengan minimum dietary diversity balita adalah jumlah anggota keluarga (OR = 2,732, 95%CI: 1,012-7,377) dan paritas ibu (OR = 2,589, 95%CI: 1,028 – 6,520). Hasil penelitian ini menunjukkan pentingnya penerapan program keluarga berencana karena jumlah anggota keluarga dan paritas ibu yang tinggi akan meningkatkan risiko memiliki minimum dietary diversity yang kurang.

Dietary diversity is important for under-five children due to a period of growth. Children and family characteristics can affect dietary diversity. The aims of this study were to investigate the association between children and family characteristics with minimum dietary diversity of children aged 24-59 months in Karangkamulyan Village, Cihara District, Lebak Regency, Banten Province in 2020. This cross-sectional study uses secondary data. The sample of this study was 210 children aged 24-59 months in Karangkamulyan Village. Univariate and bivariate data analysis was conducted by using SPSS software. Most children aged 24-59 month in Karangkamulyan Village had a low minimum dietary diversity (78.6%). The age of children were significantly associated (p-value <0,10) with minimum dietary diversity. Number of family members (OR = 2,732, 95%CI: 1,012-7,377) and number of maternal parity (OR = 2,589, 95%CI: 1,028 – 6,520) were also associated (p-value <0,05) with minimum dietary diversity. The results of this study indicate the importance of family planning program implementation because the high family members and high maternal parity will increase the risk of having a low minimum dietary diversity. "
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia , 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sirait, Aniza Rizky Aprilya
"Praktik MP-ASI yang buruk dapat menyebabkan kekurangan gizi pada anak-anak. Minimum dietary diversity (MDD) merupakan salah satu penentu status gizi anak dan telah ditemukan dapat memprediksi terjadinya stunting. Penelitian ini membahas mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan capaian MDD pada anak yang diberi ASI usia 6-23 bulan berdasarkan data SDKI tahun 2017. Penelitian ini menggunakan uji Chi-square dan uji regresi logistik ganda untuk menganalisis 2.976 sampel WUS. Terdapat 52,8% anak yang diberi ASI usia 6-23 bulan di Indonesia tahun 2017 telah mengonsumsi setidaknya lima dari delapan kelompok makanan. Namun, masih terdapat 47,2% anak yang belum memenuhi capaian MDD tersebut. Usia anak, pendidikan ibu, status bekerja ibu, akses ibu terhadap media, kekayaan rumah tangga, dan pendidikan ayah, peran ayah, kunjungan ANC, penolong persalinan, tempat persalinan, dan wilayah tempat tinggal ditemukan memiliki hubungan yang bermakna dengan capaian MDD anak. Namun, hanya usia anak, tingkat pendidikan ibu, status bekerja ibu, kekayaan rumah tangga, peran ayah, penolong persalinan, dan wilayah tempat tinggal yang lolos ke pemodelan multivariat akhir. Faktor dominan yang mempengaruhi capaian MDD anak adalah usia anak 6-11 bulan. Anak yang berusia 18-23 bulan berpeluang mengonsumsi lima atau lebih kelompok makanan sebesar 5,8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan anak yang berusia di bawah 6-11 bulan. Masih terdapat separuh anak Indonesia belum memenuhi capaian MDD. Perlu adanya intervensi di masa mendatang yang menargetkan ibu yang memiliki bayi dan anak kecil melalui program peningkatan kesadaran untuk mendorong pertumbuhan anak dengan memberikan diet yang lebih beragam sejak awal diperkenalkan makanan

Poor complementary feeding practices can lead to malnutrition in infants and young children. Minimum dietary diversity (MDD) is one of the determinants of childs nutritional status and has been found to predict stunting. This study discusses about factors associated with achieving MDD among breastfed children aged 6-23 months based on Indonesias Demographic and Health Survey in 2017. This study used chi-square and multiple logistic regression to analyze 2.976 women samples. There were 52.8% breastfed children aged 6-23 months in Indonesia who were consuming at least five of the eight food groups. However, there were still 47.2% breastfed children aged 6-23 months who had not met the MDD. Childs age, mother's education, mothers working status, mothers access to media, wealth index, fathers education, fathers role, ANC visit, delivery assistance, place of delivery, and area of residence were found to have significant association with MDD. However, only childs age, mother's education, mothers working status, wealth index, father's role, childbirth assistance, and area of residence qualified for the final multivariate modeling. The dominant factor determine a childs MDD is childs age 6-11 months. Children aged 18-23 months have the opportunity to consume five or more food groups by 5.8 times higher than children aged 6-11 months. There are still half of Indonesian children who have not met MDD. Future interventions are needed to target mothers with infant and young children through awareness raising programs to encourage the growth of children by providing a more diverse diet since food is first introduced at aged 6."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shofiyah Azizah
"Permasalahan gizi di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor dan Indonesia masih belum sepenuhnya mencapai target MDGs mengenai gizi ini. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara faktor sosiodemografi dan pola makan dengan status gizi, dimana data didapat dari pengambilan langsung dan data sekunder dari penelitian utama tentang efek suplementasi multipel terhadap kadar hemoglobin anak. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 26.32% subjek tergolong status gizi tidak normal (sangat kurus, kurus, dan gemuk; berdasarkan indeks BB/TB). Sebaran karakteristik subjek berdasarkan faktor sosiodemografi adalah sebagai berikut: 65.79% berusia 6-36 bulan; 50.53% adalah perempuan; 67.89% memiliki ayah dengan pekerjaan nonformal; 74.74% memiliki ayah dengan tingkat pendidikan menengah; 60.53% memiliki ibu dengan tingkat pendidikan menengah; 76.84% memiliki keluarga dengan status ekonomi dibawah garis kemiskinan; dan 66.84% tinggal di rumah dengan bentuk keluarga inti. Selain itu didapatkan 64.21% memiliki pola makan tidak baik. Berdasarkan uji hipotesis yang dilakukan dengan Uji Chi Square tidak ditemukan hubungan yang bermakna antara semua variabel faktor sosiodemografi dan pola makan dengan status gizi (p>0.05).

Nutritional problem in Indonesia is affected by multifactorial causes and Indonesia is still not fully achieve the MDGs targets on this point. This research was determined to confirm the association between sociodemographic factors and dietary habit to nutritional status in children aged six to sixty months old using the primary (direct interview) and secondary data from a primary research which studied the effect of multiple micronutrient supplementation on haemoglobin level in children. The result shows that prevalence of bad nutritional status was 26.32% (including underweight and overweight). Characteristics of subjects by sociodemographic factors namely: 65.79% aged 6-36 months old; 50.53% were female; 67.89% had father with informal jobs; 74.74% had father with intermediate education; 60.53% had mother with intermediate education; 76.84% had family that below the poverty line; and 66.84% classified as small family. Then, characteristic of subjects by dietary habit was 64.21% had bad dietary habit. Based on analysis using Chi Square test, there were no significant association between all sociodemographic factors and dietary habit to nutritional status (p>0.05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Kristi Triastari
"

Latar belakang: Prevalensi anemia pada balita di Indonesia masih tinggi. Etiologi tersering adalah anemia defisiensi besi. Defisiensi zat besi dapat menyebabkan perkembangan saraf buruk dan gangguan respon imun. Selain malnutrisi zat besi, malnutrisi protein juga dapat menyebabkan anemia. Anemia lebih banyak ditemukan pada kelompok usia 6-23 bulan, disebabkan oleh kebutuhan meningkat. Hubungan zat besi dan protein dengan kadar hemoglobin masih menunjukkan hasil beragam serta belum ada penelitian yang membandingkan hubungan antar kelompok usia.  

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional menggunakan data sekunder. Penelitian dilakukan dengan metode potong lintang dengan teknik pengambilan sampel total sampling. Data yang digunakan berasal dari kuesioner sosiodemografis, 24-hour food recall, dan Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ). Analisis data dilakukan menggunakan SPSS. Normalitas data didapatkan melalui Kolmogorov-Smirnov. Analisis bivariat dilakukan menggunakan Pearson (bila distribusi data normal) atau Spearman (bila distribusi data tidak normal). Signifikansi didapatkan bila p <0,05.

Hasil: Terdapat 97 subjek untuk kelompok usia 6-23 bulan dan 82 untuk usia 24-36 bulan. Tidak ada perbedaan bermakna karakteristik demografi antara kelompok usia, kecuali untuk kekerapan sakit (p=0,003). Asupan protein dan zat besi lebih tinggi pada kelompok usia 24-36 bulan dibandingkan 6-23 bulan. Asupan protein berkorelasi positif secara signifikan dengan kadar hemoglobin pada kelompok usia 6-23 bulan (r=0,428) dan usia 24-36 bulan (r=0,262). Asupan zat besi berkorelasi positif secara signifikan dengan kadar hemoglobin pada kelompok usia 6-23 bulan (r=0,555) dan usia 24-36 bulan (r=0,253). Perbedaannya bermakna secara statistik.

Kesimpulan: Koefisien korelasi antara asupan zat besi dan Hb serta asupan protein dan Hb pada kelompok usia 6-23 bulan lebih kuat dibandingkan kelompok usia 24-36 bulan. Dibutuhkan intervensi pemberian MPASI yang adekuat dan fokus pemenuhan nutrisi pada anak usia 6-36 bulan, terutama pada kelompok usia 6-23 bulan.


Introduction: Anemia prevalence among toddlers in Indonesia is still high. The most frequent etiology is iron deficiency anemia. Iron deficiency may cause restrictions in nerve development and immune problems. Other than iron deficiency, protein malnutrition may also cause anemia. The prevalence is higher in 6-23 months age group due to the increase need. However, the correlation between iron and protein intake with hemoglobin levels is still showing different results and the researches do not compare the correlation between different age groups.

Methods: This is an analytic-observational research using secondary data. The research was conducted using cross-sectional method with total sampling technique. The data used were obtained from sociodemographic questionnaire, 24-hour food recall, and Semi Quantitative Food Frequency Questionnaire (SQ-FFQ). The data was analyzed using SPSS. Normal distribution of data was assessed using Kolmogorov-Smirnov. Bivariate analysis was done using Pearson (if the data is distributed normally) or Spearman (data not distributed normally). Significance level is established at p<0,05.

Results: A total of 97 subjects for 6-23 months age group and 82 subjects for 24-36 months age group was recruited. No significant statistical difference was found for the demographic criteria, except for sick frequency (p= 0,003). The protein and iron intake are higher in 24-36 months age group. Protein intake correlates positively with hemoglobin levels in 6-23 months age group (r=0,428) and 24-36 months age group (r=0,262) and the statistical difference is significant. Iron intake correlates positively with hemoglobin levels in 6-23 months age group (r=0,555) and 24-36 months age group (r=0,253) and the statistical difference is significant.

Conclusion: Correlation coefficient between iron intake with hemoglobin levels and protein intake with hemoglobin levels is higher in the 6-23 months age group than 24-36 months age group. Adequate complementary feeding intervention is needed and nutrition fulfilment must be given in children age 6-36 months, especially 6-23 months age group.

 

"
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suci Reno Monalisa
"Pemberian MP-ASI yang berkualitas merupakan salah satu upaya untuk mengatasi masalah stunting. Pemberian MP-ASI yang tidak berkualitas, memiliki efek buruk pada kesehatan dan pertumbuhan anak serta meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas. MAD merupakan salah satu indikator penilaian MP-ASI, namun pada kenyataannya masih banyak anak dengan MAD tercapai yang dengan stunting. Tujuan Penelitian ini untuk mendapatkan gambaran kualitas pemberian MP-ASI pada anak stunting usia 6-23 bulan dengan Minimum Acceptable Diet (MAD) tercapai. Metode penelitian kualitatif dalam bentuk studi kasus, pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan observasi, informan utama adalah 6 ibu yang memiliki anak balita stunting usia 6-23 bulan yang MAD tercapai, serta 17 orang informan penting yang terdiri dari anggota keluarga lain, kader Posyandu, penjual bubur MP-ASI/makanan matang dan petugas gizi Puskesmas. Penelitian dilakukan di 4 Kelurahan Jakarta Pusat pada bulan Februari-Maret 2020. Hasil penelitian yaitu MP-ASI dengan indikator MAD tercapai namun kualitasnya belum baik karena tidak memenuhi AKG anak, pengetahuan ibu terkait MP-ASI cukup baik, tidak ada kepercayaan makanan tabu, sebagian besar ibu membeli bubur MP-ASI dan makanan matang untuk MP-ASI anak, sumber rujukan utama ibu dalam praktek pemberian MP-ASI adalah buku KIA, tidak ada hambatan trasnpostasi dalam mendapatkan bahan makanan, penghasilan suami yang tidak tetap menjadi hambatan dalam membeli MP-ASI. Disarankan agar Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Pusat: melakukan Inovasi pembuatan aplikasi mobile, meningkatkan kegiatan penyegaran (refreshing) dan inovasi kegiatan sosialisasi MP-ASI, melakukan kegiatan inovasi dengan membentuk kelompok pendukung MP-ASI berkualitas, melakukan pembinaan, pemantauan, penilaian dan menerbitkan sertifikat laik hygiene sanitasi jasaboga pada penjual bubur MPASI dan makanan matang.

Quality of complementary feeding practices is an effort to overcome the problem of stunting. Giving a poor quality complementary feeding ptactices, have a bad effect on child‟s health and growth and also increasing morbidity and mortality rate. Minimum Acceptable Diet (MAD) is one of the indicators of complementary feeding assessment, but in reality there are still many children with MAD who have achieved is stunting.The purpose of this study was to represent the relationship between complementary feeding practices with stunting using MAD requirements. Qualitative research is conduct with case studies methods, data collection by in-depth interviews, and observations. Six mothers who had stunting toddlers aged 6-23 months are the main respondent with good MAD requirements. Seventeen respondents support qualitative information of the main respondent. Support respondents are consisting of other family members, community healthcare vanguard, the seller of complementary feeding/cooked food, and nutritionist in the Health community center (PUSKESMAS). The study was conducted in 4 Central Jakarta Sub-districts in February-March 2020. The results of the study are complementary feeding practices with poor quality of MAD requirements proven not to comply with the RDA. Maternal knowledge related to complementary feeding practices is quite good, there is no belief in taboo foods, most of the mother buy breastfeeding complementary food such as porridge and cooked food for children. The basic references for mothers in the practice of giving complementary feeding practices are "mother and children healthcare handbook (KIA handbook)". From the results, there are no obstacles to get the food; the husband's income does not an resistance in buying complementary feeding. Recommendation: for Central Jakarta, Health Office initiative for innovating the creation of mobile mother and children healthcare applications; innovate activities in complementary feeding food socialization; conduct innovation activities by forming quality
complementary feeding food support groups; conducting and coaching, monitoring, and evaluating and issuing sanitation hygiene-concern certificates for complementary feeding catering services (MP-ASI Sellers).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arina Nurul Ihsani
"Minimum dietary diversity (MDD) merupakan indikator yang digunakan untuk mengukur densitas gizi mikro dari makanan anak berusia 6 – 23 bulan, yang dapat digunakan juga sebagai prediktor kegagalan indikator antropometri. Penelitian ini bertujuan menganalisis determinan yang berhubungan dengan ketidaktercapaian Minimum Dietary Diversity (MDD) pada anak usia 6 – 23 bulan di Indonesia. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah potong lintang (cross sectional) dengan jumlah sampel sebanyak 10.800 anak yang didapatkan dari total sampling berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi dengan menggunakan data sekunder dari Riset Kesehatan Dasar 2018. Hasil analisis bivariat didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara usia anak (p < 0,0005), usia ibu (p = 0,01),tingkat pendidikan ibu (p < 0,0005), tingkat pendidikan ayah (p < 0,0005), frekuensi ANC (p < 0,0005), tempat persalinan (p < 0,0005), pelayanan PNC (p < 0,0005), tempat tinggal (p < 0,0005), dan pemantauan pertumbuhan anak (p < 0,0005) terhadap ketidaktercapaian MDD anak usia 6-23 bulan. Sementara hasil analisis multivariat diketahui bahwa faktor paling dominan dari ketidaktercapaian MDD yaitu usia anak dengan nilai p < 0,0005 (aOR = 2,762, 95% CI: 2,507 – 3,043). Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai evidence based dalam penyusunan kebijakan dan program gizi khususnya terkait dengan PMBA.
.....Minimum dietary diversity (MDD) is an indicator to measure the micronutrient density of children aged 6-23 months, which can also be used as a predictor of anthropometric failure. This study aims to analyze the determinants of not meeting the criteria of Minimum Dietary Diversity (MDD) in children aged 6 – 23 months in Indonesia. The design used in this study was cross sectional with a total sample of 10,800 children obtained from total sampling based on inclusion and exclusion criteria using secondary data from the Riskesdas 2018. The results of bivariate analysis showed a significant association between children's age (p < 0.0005), mother’s age (p = 0,01), mother's education level (p < 0.0005), father's education level (p < 0.0005), ANC frequency (p < 0.0005), place of delivery (p < 0.0005), PNC services (p < 0.0005), place of residence (p < 0.0005), and monitoring of children's growth (p < 0.0005) on MDD in children aged 6-23 months. Meanwhile, the results of the multivariate analysis showed that the most dominant factor in the achievement of MDD was the age of the child with p value < 0.0005 (aOR = 2.762, 95% CI: 2.507 – 3.043). The results of this study are expected to provide benefits as evidence based in the formulation of nutrition policies and programs, especially those related to IYCF."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Madinar
"ABSTRAK
Stunting adalah kondisi terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak yang merupakan dampak dari asupan anak yang tidak adekuat secara kronik, riwayat penyakit infeksi berulang atau keduanya sebagai hasil dari pola asuh anak yang tidak optimal. Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan. Penelitian ini menggunakan data primer dengan total jumlah sampel 231 anak yang diambil dengan teknik multistage random sampling dari 13 posyandu pada 6 kelurahan dari 3 kecamatan terpilih di Jakarta Pusat tahun 2019. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan pengukuran panjang badan anak dan melakukan wawancara dengan responden yang dilakukan oleh enumerator yang telah terlatih. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi stunting di Jakarta Pusat pada anak usia 6-23 bulan adalah 26%, sedangkan proporsi MAD hanya 31,6% dari total anak. Hasil analisis bivariat dengan uji chi-square menemukan bahwa faktor-faktor yang berhubungan secara bermakna dengan kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Jakarta Pusat adalah riwayat PBLR (OR=2,176; 95% CI 1,155-4,098) dan tingkat pendapatan keluarga (OR= 0,388; 95% CI 0,201-0,749). Hasil analisis multivariat dengan analisis regresi logistik ganda menemukan bahwa capaian MAD merupakan faktor dominan dari kejadian stunting pada anak usia 6-23 bulan di Jakarta Pusat tahun 2019 setelah dikontrol oleh variabel (capaian MDD, capaian MMF, riwayat PBLR dan tingkat pendapatan keluarga) (OR= 3,29; 95% CI 1,171-9,241). Berdasarkan hasil penelitian, saran untuk Pihak Suku Dinas Kesehatan Kota Administrasi Jakarta Pusat adalah perlu dilakukan intervensi rutin terkait PMBA, monitoring dan evaluasi program TTD pada bumil dan remaja putri untuk menurunkan prevalensi PBLR yang merupakan salah satu faktor risiko stunting di kehidupan selanjutnya, memperbanyak distribusi infantometer pada posyandu dan pelatihan kader terkait pengukuran panjang badan anak sesuai prosedur disertai pemantauan rutin status gizi PB/U anak 3-4 bulan sekali. Dikarenakan peran praktik pemberian makanan pada anak yang penting, kami menyarankan penelitian yang sejenis dengan skala yang lebih besar (jumlah sampel dan cakupan wilayah penelitian) untuk mencari tahu penyebab tidak tercapainya MAD.

ABSTRACT
Stunting is a condition of retardation growth and development of children as the result of chronis inadequate childrens intake, recurrent infectious disease or both as the results of non-optimal child care. This research used cross-sectional study to determine the factors related with stunting occurence among children aged 6-23. This research used primary data of 231 children taken with a multistage random sampling technique from 13 Posyandu on 6 administrative villages of 3 sub-districts of Central Jakarta region in 2019. Data collection was done by measuring childrens length and interviews with respondents conducted by trained data collector. The results showed that the prevalence of stunting was 26%, while the MAD was only reached by 31,6% of children. The Chi-Square analysis refealed that short birth length (OR=2,176; 95% CI 1,155-4,098) and family income level have a significant association with stunting (OR= 0,388; 95% CI 0,201-0,749). Binomial regression shows that fulfillment of minimum acceptable diet as the dominant factor of stunting occurence among children aged 6-23 months in Central Jakarta region in 2019 after controlled by other variables (fulfillment of minimum dietary diversity, fulfillment of minimum meal frequency, short birth length and family income level) (OR= 3,29; 95% CI 1,171-9,241). Based on this research, the recommendations for Suku Dinas Kesehatan in Central Jakarta are to conduct a routine intervention on child feeding, monitor and evaluate TTD program in pregnants and girl adolescents to reduce the short birth length prevalence which is also a risk factor for stunting in later age, increase infantometer distribution to Posyandu, plan a training for kader Posyandu about measuring childrens lenght according to the procedure and monitor nutritional status of children regularly (once every 3-4 months). Because the role of complementary feeding is important, we recommend that to further conduct similar research on a larger scale (both in number of samples and research location) to find the reasons for unfilfulled MAD."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edwin Adhi Darmawan
"Gangguan tidur pada bayi atau anak merupakan masalah yang sering didapatkan orang tua. Sekitar 20-30 % bayi di dunia mengalami gangguan pada tidurnya. Gangguan tidur pada anak dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak baik dalam aspek fisik, sosial, kognitif, dan perilaku anak. Hal ini penting karena perkembangan dan pertumbuhan memegang peranan penting hingga usia lima tahun. Penelitian ini bertujuan untuk mencari prevalensi gangguan tidur dan hubungan antara gangguan tidur dengan perkembangan dan pertumbuhan anak usia usia 6 sampai 36 bulan di Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Penelitian ini dilakukan April 2014 hingga Juli 2015 terhadap 62 anak usia 6-36 bulan di Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Pengambilan sampel dilakukan secara consecutive dan merupakan studi analitik seksi silang. Pengambilan data pada sampel dilakukan melalui wawancara dengan kuesioner yang telah di uji coba dan BISQ.
Hasil analisis bivariate menunjukkan P-value >0,05 yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi gangguan tidur sebanyak 17,7% dari 62 subjek terdiri dari 33 anak laki-laki dan 29 anak perempuan. Dari tingkat pendidikan ayah dan ibu sebagian besar masuk ke dalam kategori menengah dengan 63,4 % dan 59,6%. Sebanyak 59,6 % anak minum ASI pada variabel perilaku anak sebelum tidur dan 38,7 % mengaku biasa saja pada kategori kesulitan menidurkan anak. Pada status gizi dan status perkembangan, 72,7 % anak dikelompokkan ke kategori status gizi normal dan 58% anak dikelompokkan ke kategori status perkembangan sesuai. Setelah dilakukan uji hipotesis Fisher, tidak ditemukan hubungan bermakna secara statistik antara gangguan tidur dengan pertumbuhan dan perkembangan (P>0,05).

Sleep disorder on kids is a problem that is often faced by parents. Around 20 to 30% babies have sleep disorder worldwide. Sleep disorder can cause disturbance to children?s growth and development. This issue needs to be addressed well, considering this particular age is the golden period that determines the children?s future growth and development. This research aims to seek for the relation between sleep disorder with growth and development on children aged 6 to 36 months in Kampung Melayu, East Jakarta. This research is a cross-sectional study, and the data is taken through anthropometry measurement and filling two sets of questionnaires, general questionnaires regarding growth and development and BISQ. Data is then analyzed in bivariate, which the result shows p value > 0,05. This means that there is no statistically relevant relation between sleep disorder with nutritional status and development.
This study shows that the prevalence of sleep disorder is 17,7% out of 62 subjects, which consist of 33 boys and 29 girls. The education status shows that 63,4% of fathers and 59,6% of mothers are in average category. 59,6% of children are breastfed before sleep and 59,6% of parents don?t undergo significant problems while putting their children to sleep. For the categories of nutritional status and development, 72,7% of children have normal nutritional status and 58% have appropriate development. Through Fisher test, there is no statistically relevant relation between sleep disorder and growth and development (p>0,05).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>