Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 93710 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adinda Rizkia Putri Azahra
"Pekerja sosial rentan mengalami kelelahan dalam melaksanakan pekerjaannya, di mana salah satunya mencakup kelelahan empati. Apabila tidak ditangani dengan efektif, kelelahan empati dapat menyebabkan berbagai dampak negatif. Pekerja sosial yang merasakan kelelahan empati mengalami penurunan kinerja profesional hingga pengurangan kemampuan berempati secara fundamental. Penelitian ini mempelajari strategi resiliensi untuk mengatasi kelelahan empati pada pekerja sosial, terutama pekerja sosial di bidang perlindungan dan kesejahteraan anak, melalui tinjauan literatur dengan jenis tinjauan kritis. Temuan pada penelitian ini membuktikan bahwa strategi peningkatan resiliensi yang dapat dilakukan pekerja sosial dan lembaga pekerjaan sosial mencakup empat prinsip, yaitu lingkungan kerja yang sehat, perawatan diri, mekanisme koping stres, serta pelatihan dan persiapan kerja. Penelitian ini juga menemukan bahwa dukungan sosial dari supervisor maupun rekan kerja merupakan faktor penting yang mempengaruhi tingkat kelelahan empati, di mana dapat menjadi buffer atau penghalang tumbuhnya kelelahan empati.

Social workers are vulnerable in experiencing exhaustion while carrying out their work, which includes compassionfatigue. If not effectively addressed, compassion fatigue can lead to various negative impacts that may factor to a decline in professional performance and a reduction in fundamental empathetic abilities. This research examines resilience strategies to overcome compassion fatigue among social workers, particularly in the field of child protection and child welfare. This research is conducted through a literature review using a critical review approach with secondary data sources. The objective of this study is to describe the conditions and factors that lead to compassion fatigue and resilience strategies that can be implemented by social workers, especially in the field of child protection and welfare. The findings of this research demonstrate that resilience-enhancing strategies that can be undertaken by social workers and social work organizations encompass four principles: a healthy work environment, self-care, stress coping mechanisms, and training and preparedness. Additionally, this study found that social support from supervisors and colleagues is an important factor influencing the level of compassion fatigue, as it can serve as a buffer or barrier against the development of compassionfatigue. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Salma Qonita Thifal
"Skripsi ini membahas tentang analisis faktor risiko compassion fatigue (burnout & secondary tramatic stress) pada tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit Jabodetabek. Compassion fatigue adalah fenomena yang dapat terjadi pada tenaga kesehatan yang dapat memengaruhi pekerjaan maupun individu. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode kuantitatif potong lintang dan teknik simple random sampling dan analisis menggunakan analisis Chi Square dan regresi logistik untuk mengetahui nilai OR. Instrumen yang digunakan adan Professional Quality of Life Scale Version 5 (ProQOL). Ditemukan bahwa faktor pekerjaan yang signifikan terhadap compassion fatigue (burnout dan secondary traumatic stress) adalah kelompok tenaga kesehatan, shift kerja, panjang shift, lama kerja per minggu, departemen/unit kerja dan pengalaman kerja. Faktor individu terdiri dari jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, status perkawinan, tingkat aktivitas fisik, dan kualitas tidur. Faktor individu lainnya yaitu anak dan status merokok juga signifikan terhadap burnout sebagai salah satu bagian dari compassion fatigue. Rumah sakit perlu menerapkan pengaturan kerja yang lebih baik untuk mengurangi risiko compassion fatigue pada tenaga kesehatan.

This research discusses the analysis of risk factors for compassion fatigue (burnout & secondary traumatic stress) in health care workers working in Jabodetabek hospitals. Compassion fatigue is a phenomenon that can occur in health workers and can affect work and individuals. This research was conducted using quantitative cross-sectional methods and simple random sampling techniques and analysis using Chi Square analysis and logistic regression to determine the OR value. The instrument used was the Professional Quality of Life Scale Version 5 (ProQOL). It was found that the work factors that were significant for compassion fatigue (burnout and secondary traumatic stress) were the group of health care workers, work shifts, shift length, length of work per week, department/work unit, and work experience. Individual factors consist of gender, age, education level, marital status, physical activity level, and sleep quality. Other individual factors, namely children and smoking status, are also significant in burnout as a part of compassion fatigue. Hospitals need to implement better work arrangements to reduce the risk of compassion fatigue among health workers."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isqi Karimah
"Secondary traumatic stress (STS) merupakan hal yang sulit untuk dihindari bagi para petugas layanan kasus kekerasan anak. Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas intervensi dengan pendekatan MSC terhadap penurunan STS serta peningkatan mindfulness dan self-compassion pada para petugas layanan kasus kekerasan terhadap anak. Petugas layanan kasus kekerasan anak mencakup psikolog klinis, pekerja sosial/pendamping, konselor psikologi, konselor hukum, mediator dan pengadministrasi umum. Sebanyak 30 petugas layanan kasus kekerasan terbagi kedalam dua kelompok secara acak, yaitu kelompok intervensi dan kelompok kontrol wait-list. Intervensi diberikan sebanyak 6 kali pertemuan dengan durasi 2-3 jam per sesi secara online. STS diukur menggunakan subtes STS pada ProQol-V, mindfulness menggunakan MAAS, dan self-compassion menggunakan SCS yang telah diadaptasi ke bahasa indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hasil yang signifikan pada penurunan STS, peningkatan mindfulness, peningkatan aspek self-compassion (yaitu common humanity), serta peningkatan kesejahteraan pribadi bagi para petugas layanan kasus kekerasan pada kelompok intervensi. Individu yang mengikuti intervensi memiliki mindfulness dan self-compassion yang secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol wait-list. Dapat disimpulkan bahwa intervensi MSC memberikan dampak positif pada petugas layanan kasus kekerasan anak, meskipun efek intervensi belum konsisten bertahan pada 2 minggu follow-up. Adanya pemantauan terhadap kondisi partisipan secara berkala, pelaksanaan intervensi secara offline atau mixed (offline dan online), serta pertemuan rutin antar petugas layanan diduga menjadi faktor yang dapat dilakukan mempertahankan konsitensi dampak positif intervensi MSC.

Secondary traumatic stress (STS) is a challenging phenomenon that is hard to avoid for child welfare service providers. This study aims to examine the effectiveness of an intervention using the Mindful Self-Compassion (MSC) approach in reducing STS and enhancing mindfulness and self-compassion among child welfare service providers. Child welfare service providers include clinical psychologists, social workers/counselors, psychological counselors, legal counselors, mediators, and general administrators. Thirty child welfare service providers were randomly assigned to either the intervention group or the wait-list control group. The intervention consisted of six online sessions lasting 2-3 hours each. STS was measured using the STS sub-scale on the ProQol-V, mindfulness was assessed using the MAAS, and self-compassion was measured using the SCS adapted to Bahasa Indonesia. The results showed significant decreases in STS, increases in mindfulness, improvements in the self-compassion aspect of common humanity, and enhanced personal well-being among the intervention group. Individuals in the intervention group exhibited significantly higher levels of mindfulness and self-compassion compared to the wait-list control group. In conclusion, the MSC intervention had a positive impact on child welfare service providers, although the effects were not consistently sustained at the 2-week follow-up. Regular monitoring of participants, consideration of implementing offline or mixed interventions, and routine meetings among service providers are suggested factors that may help maintain the consistency of the positive impact of the MSC intervention."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Dian Citra Ramadhanty
"ABSTRACT
Parental stress yang ada pada orang tua di keluarga miskin terbukti menjadi faktor risiko kekerasan pada anak. Penelitian ini ingin melihat peran moderasi dari dukungan sosial yang dipercaya dapat menurunkan parental stress dan potensi kekerasan anak pada orang tua. Partisipan pada penelitian merupakan 100 ibu dari keluarga yang masuk dalam kategori miskin menurut Badan Pusat Statistika dan juga memiliki anak berusia 3-6 tahun, Hasil pengujian moderasi menunjukkan bahwa dukungan sosial tidak memiliki peran moderasi dalam hubungan potensi kekerasan (t = 3,72, p = 0,0003, LLCI = -0,0105 ULCI = 0,019; R2 = 0,23) dan parental stress di ibu pada keluarga miskin. Hasil penelitian ini memberikan penemuan baru mengenai konsekuensi negatif dari dukungan sosial pada keluarga miskin.Parental stress in poor families has been proved to be one of the risk factors to child abuse. This research aims to see the moderation role of social support that is believed to be able to lower parental stress and potential of child abuse in parents. One hundred mothers from households that were below the poverty line with kids from the age of 3 - 6 years old were the participants of this study. Results show that social support does not have a moderation role in the relationship between child abuse and parental stress in mothers from poor families (= 3.72, = .0003, LLCI = -.0105 ULCI = .019; R> = .23). This research gives a new founding about the negative consequences of social support in poor families. "
[, ]: 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Sukmaningrum
"Penelitian ini berangkat dari kenyataan bahwa pekerja kemanusiaan dapat mengalami dampak psikologis akibat pekerjaannya. Para pekerja kemanusiaan tersebut dalam penelitian ini disebut pendamping adalah ujung tombak dari upaya penanganan korban kekerasan, khususnya yangg dialami perempuan dan anak-anak. Di lain pihak, perhatian dan penghargaan yang diberikan institusi maupun masyarakat terhadap apa yang mereka lakukan dirasakan kurang. lsu mengenai kesehatan mental pada para pendamping itu sendiri juga masih sering terabaikan. Padahal mcreka yang berhadapan dengan kasus kekerasan ini sangat rentan terhadap berbagai dampak psikologis, yang pada akhirnya akan mengurangi kualitas dari pelayanan mendarnpingi klien.
Dampak psikologis yang telah terlebih dahulu dikenal dalam konteks pekerjaan sebagai pendamping adalah burnout. Namun sejak awal awal tahun 90-an bcrkembang. puia konstruk lain yang dianggap lebih menggambarkan dampak hubungan antara pendamping dengan trauma yang dialami oleh kliennya, yaitu secondary traumatic stress (STS) dan vicarious trauma (VT).
Penelitian yang komprehensif menyangkut kcligu dampak psikologis yang dialami pendamping - yaitu STS, VT dan burnout - masih dirasakan kurang terutama dalam konteks pekerja kemanusiaan di Indonesia. Sementara itu, ketiga istilah tersebut masih digunakan secara tidak tepat sehingga dapat menghambat penanganannya. Oleh karel.a itu, penelitian ini hendak memahami secara lebih utuh dinamika terbentuk dan berkembangnya STS, VT maupun burnout, termasuk factor-faktor penyebab dan upaya penanganannya.
Pemahaman yang lebih utuh akan ketiga dampak psikologis ltu berusaha dicapai melalui wawancara mendalam terhadap 6 orang partisipan. Para partisipan ini dipilih melalui proses seleksi terhadap 43 orang pendamping yang berasal dari 9 institusi pendampingan anak dan perempuan korban kekerasan di Jakarta. KeA3 orang calon partisipan tersebut diminta untuk mengisi kuesioner ProQoL Rill yang mengukur tingkat STS dan burnout serta kuesioner TSI Belief Scale yang mengukur VT. Dengan cara ini diharapkan akan tcrpilih partisipan yang mcmang mcngalami dmnpak psikologi yang ingin didalami, serta memaksimalkan variasi respon di antara partisipan dengan dampak yang berbeda.
Hasil analisis terhadap rcspon ke-6 partisipan peneUtian menunjukkan bahwa STS merupakan dampak dari keterpaparan pendamping pada malcri trauma klien, khususnya kekerasan yang ekstrim. Sedangkan VT, walaupun juga merupakan dampak dari kontak dengan materi trauma, tetapi baru dirasakan pendatnping setelah jangka waktu tertentu sejalan dengan proses akumulasi sejumlah pendampingan yang ditunjukkan dengan gangguan pada sejumlah kognitif. yaitu skema safety dan skema trust. Perbedaan lain antara STS dan VT juga tarnpak dari dampak jangka panjangnya. Bila dampak STS alum menghilang setelah waktu tertentu, VT akan cenderung bertahan pada pendamping karena telah terjadi perubahan skema kognitif tentang pandangannya terhadap "dunia". Berbeda dengan STS dan VT, burnout lebih merupakan dampak yang dirasakan akihat tekanan dari kondisi pekerjaan terlentu.
Namun, faktor sltuasi pekerjaan yang rnenyebabkan burnout juga dapat memperccpat terjadinya STS dan VT, Sedangkan STS, walaupun merupakan dampak yang wajar terjadi pada seseornng pendamping ketika ada pelibatan afektif pada masalah yang dialarni kliennya, tetapi dapat terakumulasi dan akhirnya menyebabkan VT, Dampak psikologis seperti STS, VT, dan burnout menjadi sesuatu yang bisa teramalkan, mengingat karakteristik pekerjaan mereka yang kompleks. Behan kerja yang beriebihan, tugas-tugas pendarnpingan yang beragam, jumlah dan jenis kasus yang berat disertai pula oleh kurangnya kompetensi dalam menangani kasus traumatik menyebabkan dampak semacam ini mungkin sekaii terkena pada pcndamping. Pada akhirnya memang dibuluhkan penanganan yang serius dan sistematis untuk meningkatkan kesejahteraan mental para pekerja kemanusiaan di Indonesia."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agata Terra Febriana
"Skripsi ini membahas mengenai stress pada petugas pramu sosial yang merangkap sebagai pekerja sosial dan dampaknya terhadap pelayanan Warga Binaan Sosial (WBS) di PSAA Putra Utama 3 Tebet. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Hasil dari penelitian ini menjelaskan bahwa petugas pramu sosial yang merangkap sebagai pekerja sosial mengalami stress karena beratnya beban pekerjaan yang mereka miliki serta adanya hambatan yang dihadapi seperti keterbatasan waktu, adanya stigma negatif dari anak asuh, perbedaan prinsip dengan lembaga, tugas luar mendadak, hubungan yang kurang baik dengan penyelia serta adanya dilemma peran.
Hasil penelitian ini menyarankan untuk melakukan pembagian beban kerja secara adil dan merata dengan mempertimbangkan tugas dan sifat pekerjaan serta tujuan organisasi atau melakukan workload analysis. Selain itu, penelitian ini juga memberikan saran kepada para penyeliauntuk melakukan supervisi yang mencakup supervisi administratif, supervisi edukasi, dan supervisi dukungan kepada petugas pramu sosial yang merangkap sebagai pekerja sosial karena mereka merupakan garda terdepan dalam proses pemberian layanan di organisasi.

This thesis discusses the stress of Social Pramu who also work as Social Workers and their impact on the services of Social Assisted Citizens (WBS) at PSAA Putra Utama 3 Tebet. The approach used in this study is a qualitative approach with descriptive research with the result showed that Social Pramu who also work as Social Workers experience stress due to the heavy workload they have and the obstacles they face such as time constraints, the negative stigma of foster children, differences in principle with institutions, sudden outside assignments, poor relationship with supervisors, and role dilemmas.
The results of this study suggest that the distribution of workloads should be fair and equitable by considering the tasks and nature of work and organizational goals or do the workload analysis. In addition, this study also provides suggestions to supervisors to conduct supervision that includes administrative supervision, educational supervision, and support supervision to social pramu who also work as social worker because they are the front-line worker in the service delivery process in the organization.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yovie Syafitri
"Saat ini fenomena HIV positif meningkat di kalangan ibu rumah tangga. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pada ibu rumah tangga terinfeksi HIV, mereka mengalami shock, depresi, cemas dan stress akibat dari kondisi fisik mereka serta stigma dari kondisi HIV positif. Dampak psikologis lain yang juga dialami oleh para pengidap HIV adalah trauma. Trauma yang disebabkan oleh diagnosis HIV positif, bersamaan dengan dampak psikologis lainnya, menyebabkan ibu rumah tangga yang mengidap HIV positif tidak dapat menjalani perannya dalam keluarga dengan maksimal. Sebagai hasil dari usaha mengatasi pengalaman traumatis, dalam diri individu dapat mucul perubahan yang bersifat positif yang dikenal dengan istilah posttraumatic growth. Meningkatnya posttraumatic growth pada para pengidap HIV positif dapat membantu mereka beradaptasi dengan kondisinya lebih cepat dan meningkatkan kemungkinan membaiknya kondisi kesehatan mereka.
Saat ini belum ditemukan penangangan psikologis yang menangani dampak traumatis dari diagnosis HIV positif serta dapat meningkatkan posttraumatic growth pada ibu rumah tangga. Salah satu intervensi penanganan trauma yang berfokus pada peningkatan posttraumatic growth adalah posttraumatic growth path. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat efektivitas posttraumatic growth path dalam meningkatkan posttraumatic growth pada ibu rumah tangga yang mengidap HIV positif.
Metode Penelitian ini tergolong penelitian kuantitatif dan kualitatif yang menggunakan metode one group before-and-after study design dengan pemberian intervensi posttraumatic growth path sebanyak 4 sesi. Hasil Pada kedua partisipan dalam penelitian ini terlihat adanya peningkatan posttraumatic growth berdasarkan meningkatnya skor Posttraumatic Growth Inventory (PTGI), meskipun pada salah satu partisipan ditemukan penurunan pada salah satu dimensi skor. Secara kualitatif, kedua partisipan merasa diri mereka lebih dapat memaknai secara positif diagnosis HIV positif yang dialami, dapat mengatasi masalah-masalah yang dikeluhkan sebelumnya, dan dapat menerapkan peningkatan posttraumatic growth yang dialami ke dalam kehidupan sehari-hari.

These days the phenomenon of HIV positive in housewives population has been raised. Previous studies showed that shock, depression, anxiety, and stress occur in housewives living with HIV positive caused by their physical condition and stigma among societies as well. Another psychological impact of HIV positive is trauma. The trauma of HIV positive diagnoses joint other psychological impacts of this diagnoses has caused the housewives living with HIV positive unable to perform their roles in the family at their maximum capacity. In other hands, as a result of attempts to struggle with the aftermath of traumatic event, there could be a positive changes occur within individuals which termed posttraumatic growth. Increased posttraumatic growth within individuals living with HIV positive could help them adapt with their condition faster and the possibility of improve physic health becomes higher.
These days, in Indonesia, psychological intervention to handle trauma and to increase posttraumatic growth for housewives living with HIV positive has not been found yet. One of many interventions used to handling trauma that focused on increasing posttraumatic growth is posttraumatic growth path. Therefore, the purpose of this research is to examine the effectiveness of posttraumatic growth path in increasing posttraumatic growth within housewives living with HIV positive.
Method This is a quantitative and qualitative research using one group before-and-after study design. The intervention was conducted in 4 sessions. Results In participants, posttraumatic growth were reported increased indicated by improved score in Posttraumatic Growth Inventory (PTGI), important to note that in one participant one of dimension score is decreased. Both participants also reported that they could value the diagnoses in a positive way, coped with their previous problems, and applied their increased posttraumatic growth in daily life.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
T35156
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Jamil
"Peristiwa bencana gempa bumi pada 27 Mei 2006 di Yogyakarta dan sekitarnya telah menyebabkan sebagian korban mengalamai trauma mental yang disebut stres pascatrauma. Stres pascatrauma umumnya terjadi setelah seseorang mengalami, menyaksikan trauma berat yang mengancam secara fisik dan jiwa. Dari literatur yang ada diketahui bahwa ridha akan takdir dan tipe kepribadian merupakan dua variabel yang turut memberikan pengaruh terhadap stres pascatrauma, untuk itu perlu diketahui sejauhmana besarnya pengaruh dan bagaimana korelasi kedua variable tersebut terhadap stres pascatrauma. Ridha akan takdir adalah sikap menerima diiringi dengan bersikap tenang, bersyukur, serta mengendalikan hawa nafsu yang ditunjukan seorang mu?min saat menghadapi apa-apa yang merupakan ketentuan Allah, Tipe kepribadian adalah aspek-espek atau komponen dari kepribadian individu yang relatif stabil atau mantap dan mendominasi pada individu yang menyebabkan individu itu relatif tetap dari situasi ke situasi tertentu, sedangkan stres pascatrauma korban bencana adalah keadaan yang melemahkan individu secara ekstrim ditandai dengan perasaan murung, semangat menurun, memiliki kewaspadaan dan reaksi terkejut berlebihan, mengalami mimpi buruk dan teringat saat bencana yang timbul setelah seseorang mengalami atau menyaksikan suatu kejadian bencana yang hebat yang mengancam fisik atau jiwa.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar pengaruh dan bagaimanakah korelasi ridha terhadap takdir dan tipe kepribadian terhadap stres pascatrauma. Desain penelitian adalah non-eksperimen dengan pendekatan kuantitatif menggunakan purposive sampling, regresi ganda linier digunakan untuk menganalisa data dengan bantuan program SPSS ver. 10.1 for windows. Populasi penelitian adalah masyarakat Kecamatan Sewon Kabupaten Bantul Prop. DI Yogyakarta dengan pertimbangan mereka adalah korban gempa pada Mei 2006, sehingga berpotensi mengalami stres pascatrauma, adapun sampel berjumlah 100 orang dengan kriteria mengalami, menyaksikan kejadian gempa bumi yang dapat menyebabkan kematian dan cedera serius pada diri sendiri atau orang lain pada saat terjadinya gempa yaitu tanggal 27 Mei 2006.
Hasil penelitian menunjukan bahwa kedua variable yaitu ridha akan takdir dan tipe kepribadian ?A? secara signifikan membawa pengaruh terhadap stres pascatrauma sebesar 54,8% dengan hubungan korelasi negatif, sementara sisanya (45,2%) adalah dipengaruhi oleh adanya faktor-faktor lain. Berdasarkan hasil analisis dan kesimpulan, maka peneliti memberikan saran untuk dilakukan pengembangan penelitian, serta perlu dilakukan program pengembangan metode untuk mengatasi stres pascatrauma para korban bencana melalui peningkatan ridha akan takdir serta pengembangan tipe kepribadian.
The earthquake 2006 in Yogyakarta and surrounding area had a traumatic impact on survivors which is called post-traumatic stress disorder (PTSD). It is a disorder which develops while people has seen and experienced traumatic events happening to them both physically and mentally. It is known from some literatures that both acceptance of destiny and type of personality have an effect on post-traumatic stress disorder. Therefore, it is necessary to know how far an affect and correlation of both variables has a big influence in post-traumatic stress disorder. Acceptance of destiny is is an attitude to accept calmly, thankfully, and by controlling desire shown by mu?min when he gets what Allah has decided. Type of personality is aspects or component of individual personality which is stable and dominant to him in any situation. Post traumatic stress is a weakening condition which extremely has signs such as desperate, low energy, much of worry, nightmare, and frightening to the event he saw and experienced both physically or mentally.
The objective of this research is to know how far an effect and correlation of acceptance of destiny and type of personality toward post-traumatic stress disorder. The research design is non experimental utilizing quantitative approach as well as purposive sampling; double linear regression was also used in analyzing the data acquired by using software SPSS 10.1 for windows. The population of this research is people from Sewon district of Bantul Yogyakarta with assumption that they are survivors of earthquake on May 2006, then they are potentially to experiencing the post-traumatic stress disorder. The sample of this research is 100 adults at Sewon district Bantul Yogyakarta with criteria such as saw and experienced the earthquake causing deadly impact on them.
The result shows that both variables acceptance of destiny and ?A? type of personality have an effect in post-traumatic stress disorder of 54.8 % with negative correlation and the other (45.2%) is affected by other factors. According to the results, I (as researcher) give a suggestion to develop more such research and program method to take care who has post traumatic stress through the teaching of acceptance of destiny and type of personality development.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T25478
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Safira Suryaningtiyas
"Penelitian ini membahas tentang pemicu stres dan strategi coping pada mompreneur dalam meningkatkan keberfungsian sosialnya sebagai ibu dan wirausahawan. Penelitian ini dilakukan pada masa pandemi COVID-19 dan menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Penelitian ini melibatkan 4 orang mompreneur pada rentang usia 28-35 tahun yang memiliki anak usia 0-8 tahun. Dalam mengintegrasikan ranah pekerjaan dan keluarga melalui kegiatan wirausaha, mompreneur kerap menjumpai berbagai pemicu stres yang ditimbulkan dari perannya sebagai ibu sekaligus pemilik bisnis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemicu stres yang paling banyak ditemukan pada mompreneur yakni dalam bentuk ketegangan kronis (chronic strains), yang meliputi adanya tuntutan peran yang saling bertentangan, menjadikan rumah sebagai tempat kerja, dan juga memulai bisnis dengan kurangnya pengetahuan. Selain mengalami pemicu stres dalam bentuk ketegangan kronis, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa mompreneur mengalami pemicu stres yang bersumber dari peristiwa kehidupan (life events) dan permasalahan sehari-hari (daily hassles). Meskipun mompreneur menghadapi berbagai macam pemicu stres dalam kehidupannya, namun mompreneur memiliki kemampuan untuk menolong dirinya sendiri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan mompreneur untuk meminimalisasi pemicu stres adalah dengan menggunakan strategi coping dan memanfaatkan sumber daya yang dimiliki. Strategi coping yang dilakukan oleh mompreneur terdiri dari dua jenis strategi coping, yakni coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping) dan coping yang berfokus pada pengendalian emosi (emotion-focused coping). Dengan melakukan coping, mompreneur dapat meningkatkan keberfungsian sosialnya sehingga dapat menjalankan kedua perannya secara lebih optimal.

This study discusses stressors and coping strategies on mompreneurs in enhancing their social functioning as a mom and entrepreneur. This research was conducted during the COVID-19 pandemic and used a qualitative approach with a descriptive research type. This research involved 4 mompreneurs aged 28-35 years who had children aged 0-8 years. In integrating the realm of work and family through entrepreneurship, mompreneurs often encounter various stressors which arising from their role as a mother and business owner. The results showed that the most common stressors found in mompreneurs was in the form of chronic strains, including the demands of conflicting roles, creating home as a workplace, and also starting business with lack of knowledge. Apart from experiencing stressors in the form of chronis strains, the result showed that mompreneurs also encounter stressors that come from life events and daily hassles. Although mompreneur faced various stressors in their journey of being a mompreneur, results showed that mompreneurs have the ability to help themselves. The effort made by mompreneurs to minimize various stressors were by using coping strategies and utilizing available resources. The coping strategies that used by mompreneurs consist of two types coping strategies, problem-centered forms of coping (problem-focused coping) and coping that focuses on controlling emotions (emotion-focused coping). By doing a coping strategies, mompreneurs could enhance their social functioning so that they can perform both roles more optimally."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisah Suci Yanti
"Penelitian ini dilakukan pada petugas pemadam kebakaran yang memiliki aktivitas berisiko mengalami stres kerja dan kelelahan kerja. Tujuan dilakukan penelitian ini untuk mengetahui gambaran kelelahan kerja dan stres dengan melihat faktor risiko fisik dan psikososial. Penelitian dilakukan pada 80 orang petugas pemadam kebakaran dan tenaga administrasi dengan menggunakan desain penelitian cross-sectional dengan melakukan observasi, pengisian kuisioner, melakukan pengujian aktivasi enzim amylase dalam saliva dengan alat Cocorometer (Nipro Cocoro), pengukuran waktu reaksi dengan aplikasi smartphone Sleep 2 Peak (S2P), dan pengukuran tanda vital tubuh seperti suhu tubuh, denyut nadi dan tekanan darah Faktor risiko fisik (force, postur janggal dan manual handling), faktor risiko psikososial (usaha, penghargaan, over committment, stres terhadap peran, beban emosional, dukungan sosial dan non pekerjaan) dan faktor organisasi kerja (shift kerja dan status pekerja) menjadi faktor independen penelitian terhadap stres dan kelelahan kerja. Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Quick Exposures Checklist untuk menilai faktor fisik, kuesioner Effort Reward Imbalance, COPSOQ, NIOSH Generic Job Stress dan NIOSH Quality of Work Life (QWL) untuk menilai faktor risiko psikososial dan stres kerja. Kelelahan kerja diukur dengan menggunakan kuesioner Sweedish Occupational Fatigue Inventory (SOFI) dan Fatigue Assessment Scale (FAS). Hasil penelitian terdapat hubungan yang signifikan antara faktor risiko pada leher memiliki pengaruh terhadap kelelahan (CI 95% 1,75 sampai 16,16; OR 5,32), faktor psikosoial yaitu beban emosional (CI 95% 1,04 sampai 5,78; OR 1,56), stres terhadap peran (CI 95% 1,23 sampai 4,76; OR 1,52) dan dukungan sosial dari keluarga (CI 95% 1,27 sampai 5,43; OR 2,51) terhadap stres serta faktor organisasi pekerjaan terdiri dari jenis pekerjaan (CI 95% 0,05 sampai 0,55; OR 0,16), sistem shift (CI 95% 0,06 sampai 0,54; OR 0,18) dan status pekerja memiliki hubungan terhadap stres yang dialami oleh petugas pemadam kebakaran.

The object of this study is firefighters in fire and rescue department who are at risk having work related stress and fatigue due to their task. The purpose of this study is to identify the physical and psychosocial factors of work related stress and fatigue on firefighters. The design used in this study is cross-sectional design by conducting the observation, sharing questionnaires and do the test of Salivary Amylase Activation (SAA) with Cocorometer (Nipro Cocoro), test of time reaction with Sleep 2 Peak application on mobile phone and test of vital sign such temperature, heart rate and blood pressure to 80 workers at Fire and Rescue Department. The tools used in this study are Quick Exposure Checklist to assess physical factors, the combination of psychosocial questionnaire are Effort Reward Imbalance, COPSOQ, NIOSH Generic Job Stress dan NIOSH Quality of Work Life (QWL) to assess psychosocial factors and Salivary Amylase Activation testing to assess work uhrelated stress and fatigue among fire fighters. Fatigue subjective measurement use tools form Sweedish Occupational Fatigue Inventory (SOFI) and Fatigue Assessment Scale (FAS). Physic factors (force, awkward posture and manual handling), psychosocial factors (effort, reward, overcommittment, rolestress, emotional demand, social support and non work related factors) and organisational factors are the independent variables of work related stress and fatigue which are the dependent variable in this study. The result of this study shows that risk factor (neck) has correlation with fatigue (CI 95% 1,75-16,16; OR 5,32), psychosocial factors such emotional demand (CI 95% 1,04-5,78; OR 1,56), rolestress (CI 95% 1,23-4,76; OR 1,52) and family social support (CI 95% 1,27-5,43; OR 2,51) influence stress, organisational factors such type of work (CI 95% 0,05-0,55; OR 0,16), shift work (CI 95% 0,06-0,54; OR 0,18) and status of workers have correlations with stress."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>