Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104199 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sianturi, Natal Rivaldo Parsaoran
"Papua merupakan pulau dengan kawasan hutan terluas di Indonesia. Papua menjadi rumah bagi lebih dari 250 kelompok etnis asli yang sebagian besar terorganisir ke dalam marga-marga dan memiliki ikatan yang kuat dengan hutan. Sejak tiga dekade terakhir, ekspansi perkebunan kelapa sawit yang diklaim memberikan dampak positif bagi perekonomian negara telah merampas lahan dan merusak lingkungan hidup masyarakat adat di Papua. Salah satu produk visual yang membahas hal tersebut adalah film dokumenter Sa Pu Hutan. Tulisan ini membahas film dokumenter Sa Pu Hutan dengan menggunakan teori konstruksi realitas sosial untuk menjelaskan bagaimana film tersebut mengkonstruksi realitas sosial environmental harm di Papua dengan menggunakan konsep claim makers, claims, frames, narratives, symbolic crimes, dan ownership yang dapat memengaruhi bagaimana seseorang melihat realitas atau dunia yang dianggap nyata.

Papua Island has the largest forest area in Indonesia. Papua are home to more than 250 indigenous ethnic groups, most of which are organized into clans and have strong ties with the forest. Over the last three decades, the expansion of palm oil plantations, which has been claimed to have a positive impact on the country's economy, has grabbed the land and harmed the environment for indigenous peoples in Papua. The documentary film Sa Pu Hutan is a visual product that discusses this issue. This paper discusses the documentary film Sa Pu Hutan using the social construction of reality theory to explain how the film socially constructs the reality of environmental harm in Papua by using the concepts of claim makers, claims, frames, narratives, symbolic crimes, and ownership, which can influence how one sees reality or the world is real."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Niken Rahardina
"Kota Semarang pada masa kini mengalami perkembangan yang sangat pesat. Berawal dari dataran lumpur yang kemudian berkembang menjadi suatu lingkungan yang maju. Pada tahun 1992 wilayah Kota Semarang mulai mengalami penataan. Dengan dasar Peraturan Pemerintah RI No. 50 tahun 1992 tentang penentuan Kecamatan-kecamatan, maka Semarang terbagi menjadi 16 kecamatan. Dengan adanya penataan ini maka pertumbuhan unsur wilayah Semarang semakin maju dan relatif merata. Sarana dan prasarana seperti jalan-jalan baru yang menghubungkan pusat-pusat kota dengan daerah yang terisolir mulai dibangun. Sektor formal dan informal sama-sama berkembang dan saling menunjang. Investor berdatangan baik dari dalam maupun dari luar negeri.
Seiring dengan pesatnya perkembangan tersebut, muncullah masalah-masalah yang harus cepat ditangani seperti kerusakan lingkungan, banjir dan rob, serta pertumbuhan penduduk akibat urbanisasi dan kelahiran. Kerusakan lingkungan terjadi karena kurang terkendalinya eksploitasi lahan di daerah atas sehingga banyak terjadi lahan kritis dan ancaman penurunan permukaan tanah. Pemkot Semarang telah melakukan upaya-upaya pengendalian banjir diantaranya yaitu normalisasi banjirkanal, pembangunan polder, penambahan pompa air, dan lain sebagainya, namun upaya-upaya tersebut belum mampu mengatasi banjir dan rob secara maksimal.
Penelitian Kebijakan Pemerintah Kota Semarang Dalam Menangani Bencana Alam di Kota Semarang (Studi Kasus: Bencana Banjir di Kota Semarang) ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan narasumber staf Dinas Pekerjaan Umum Kota Semarang, Badan Kesbang dan Linmas Kota Semarang, staf Dinas Pertamanan dan Pemakaman Kota Semarang, serta masyarakat yang tempat tinggalnya sering dilanda banjir dan rob.
Dengan menggunakan analisis data yang bersumber pada hasil wawancara, data sekunder serta dokumentasi maka diperoleh simpulan bahwa pelaksanaan kebijakan pengendalian banjir di Kota Semarang oleh Pemkot Semarang belum benar. Pemkot Semarang hanya mengutamakan pembangunan fisik pengendalian banjir tanpa disertai peran masyarakat dan stakeholder, Pemkot Semarang juga belum memaksimalkan fungsi gorong-gorong sebagai resapan air. Pemkot Semarang tidak tegas dalam menindak masyarakat yang mendirikan bangunan-bangunan di atas tanah yang sebenarnya digunakan untuk resapan air. Hal-hal tersebut mencerminkan bahwa Pemkot Semarang tidak memprioritaskan permasalahan banjir di Semarang.

City of Semarang today have tremendous development. Back then, it was a swamp area before it became a modem town, as it is now. In 1992, many area in Semarang city started to be arranged. Based on Government Regulation No. 50 of 1992 on districts establishment, Semarang divided into 16 districts. The effect of this division make the regional growth became higher and relatively equal. Inftastructure, like new roads which connected city centers and isolated region started to be built. Formal and informal sectors escalate equally and complete each other. Many investors come ftom domestic and abroad.
As the growth of the city escalate, problems like environmental destruction, flood, rapid increase of population due to migration and birth came into surface that need to cope with. Environmental destruction happened because there is a lack of control on soil exploitation in the upper area therefore many critical lands are formed and there is thread on land surface become lower then sea level. Semarang City authority have conducted many effort to anticipate flood for examples cleaning the canals ftom wastes, building polder (reservoir), are among those efforts. Nonetheless, those efforts still unable to resolve flood in Semarang.
This research on Semarang City’s Executive Poiicies in Handling Natural Disaster in Semarang (Case Study: Flood in Semarang) use a positivist approach. The data of this research are based on in-depth interview with The City of Semarang General Affairs Agency, The City of Semarang National Guard and Public Safety Board, The City of Semarang Garden and Cemetery Agency and also local people who live in in the nearby neighbourhood which often had flood.
Using data analysis based on the interviews, secondary data and documentation, it is concluded that the implementation of flood control poiicies in Semarang by the authority is inappropriate. The city authority is only focus on creating inftastructure and not taking into account the participation of public and stakeholder, and also have not make the gutter to be in fully function. It also has not put a strict law on people who build semi-detached house upon the area that are meant to be a reservoir. Those factors indicate that the city authority is not put the programme to handle flood as it main priority.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2009
T26363
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Irpan Sejati Tassakka
"ABSTRAK
Dry Anaerobic Digestion (AD) dapat menjadi salah satu solusi pengolahan sampah organik Universitas Indonesia (UI) dengan menggunakan pengomposan yang masih kurang efisien. Tujuan dari penelitian ini adalah
menentukan kesesuaian substrat campuran sampah organik dan feses sapi dengan perbandingan 9:1 (m/m) dan Organic Loading Rate (OLR) 8-14 kgVS/m3hari optimum dry AD untuk menghasilkan Volatile Solids Destruction (VSD) dan produksi metana tertinggi. Operasional reaktor menggunakan dry AD satu tahap berukuran 500 L dalam kondisi mesofilik selama 134 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa substrat sangat ideal diolah menggunakan dry AD dengan konsentrasi Total Solids (TS) sebesar 23,2-27,1%; konsentrasi Volatile Solids (VS) sebesar 89,7-94,9 %TS; rasio C/N sebesar 18,5-27,3; dan tingkat inhibitor yang rendah. OLR optimum pada penelitian ini adalah 10 kgVS/m3hari yang menghasilkan VSD sebesar 92,2% dapat menjadi solusi reduksi timbulan sampah organik sebesar 179 kg/hari. OLR 10 kgVS/m3hari memproduksi gas metana sebesar 127 LCH4/grVShari yang dapat dikonversi menjadi energi sebesar 14,0 kw/hari. Selain itu, OLR 10 kgVS/m3hari memiliki stabilitas reaktor yang paling stabil diantaranya suhu sebesar 28,7 oC; nilai pH sebesar 6,52; dan konsentrasi amonia sebesar 848 mg/l.

ABSTRACT
Dry Anaerobic Digestion (AD) is one of solution to organic waste
processing in Universitas Indonesia (UI) by using composting that still less
efficient. The purpose of this study is to determine the suitability of the mix
substrate of organic waste and cow manure with a ratio of 9:1 (m/m) and Organic Loading Rate (OLR) of 8-14 kgVS/m3day optimum dry AD to produce highest Volatile Solids Destruction (VSD) and methane production. Operational reactor using single stage dry AD size of 500L in mesophilic condition for 134 days. The results showed that the ideal substrate processed using dry AD with Total Solids (TS) concentration of 23,2 to 27,1%; Volatile Solids (VS) concentration of 89,7 to 94,9% TS; C/N ratio of 18,5 to 27,3; and low level of inhibitor. OLR optimum in this study was 10 kgVS/m3day that produce VSD of 92,2% can be a solution of reducing organic waste amount of 179 kg/day. OLR 10 kgVS/m3day produce methane gas of 127 LCH4/grVSday can be converted into energy by 14,0 kw/day. In addition, OLR 10 kgVS/m3day had the highest stability reactor such as temperature of 28,7 °C; pH value by 6,52; and ammonia concentration of 848 mg/l."
2016
T46657
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ivan Lexi
"Pada saat ini, kasus-kasus kerusakan lingkungan mulai bermunculan di muka publik dan mendapatkan perhatian dari berbagai media massa. Salah satunya adalah kasus pertambangan emas ilegal di Kalimantan Barat yang ditampilkan dalam film dokumenter Longgok (C)emas : Mengeruk Emas, Menimbun Cemas. Tulisan ini mengkaji narasi kerusakan lingkungan yang divisualisasikan dalam film dokumenter tersebut sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Dengan menggunakan analisis naratif dan pembedahan adegan yang dipandu pendekatan kriminologi hijau, kriminologi naratif, dan kriminologi visual, ditunjukkan bahwa terdapat narasi kerusakan lingkungan dalam film dokumenter tersebut. Yakni terdapatnya visualitas mengenai berbagai macam pelanggaran hak, baik bagi manusia, hewan, maupun ekosistem di Kalimantan Barat.

During this time, instances of environmental harm began to surface in the public eye and received attention from various media outlets. One such example is the case of illegal gold mining in West Kalimantan, featured in the documentary Longgok (C)emas: Mengeruk Emas, Menimbun Cemas. This paper analyzes the portrayal of environmental harm depicted in the documentary as a means of increasing public awareness. By using narrative analysis and scene dissection guided by the approaches of green criminology, narrative criminology, and visual criminology, it is shown that there is a narrative of environmental harm in the documentary. It reveals a narrative of environmental harm, including various kinds of rights violations for humans, animals, and ecosystems in West Kalimantan.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Irma Suryani
"Tulisan ini berupaya menjelaskan film dokumenter The True Cost melalui pendekatan kriminologi visual. Tujuannya adalah untuk menjawab pertanyaan bagaimanakah film dokumenter The True Cost memposisikan fast fashion sebagai bentuk kejahatan lingkungan terhadap negara-negara yang tidak atau belum maju (Global South). The True Cost merupakan film dokumenter yang rilis pada tahun 2015 dengan Andrew Morgan sebagai sutradaranya. Film ini menampilkan mengenai kenyataan di balik murahnya fast fashion. Fast fashion sebagai bentuk kejahatan lingkungan dianalisis menggunakan teori Southern Green Criminology oleh Goyes. Teori ini melihat bahwa fast fashion sebagai bentuk kejahatan lingkungan diciptakan oleh Global North dengan mengorbankan Global South. Hasil analisis menunjukkan bahwa murahnya fast fashion ternyata dibayar mahal oleh kerusakan lingkungan di kawasan Global South. Film dokumenter ini memperlihatkan fast fashion sebagai kejahatan lingkungan yang merugikan manusia, hewan, dan ekosistem. Berbagai macam kejahatan lingkungan tersebut ditemukan dari proses produksi dan siklus akhir fast fashion, dimana keduanya terjadi di Global South.

This paper attempts to explain The True Cost documentary film through a visual criminology approach. The aim is to answer the question of how The True Cost documentary film positions fast fashion as a form of environmental crime against countries that are not or have not yet developed (the Global South). The True Cost is a documentary film released in 2015 with Andrew Morgan as the director. This film shows the reality behind the cheapness of fast fashion. Fast fashion as an environmental crime is analyzed using the Southern Green Criminology theory by Goyes. This theory sees that fast fashion as a form of environmental crime was created by the Global North at the expense of the Global South. The results show that the cheapness of fast fashion is paid for by environmental damage in the Global South. This documentary film shows fast fashion as an environmental crime that harms humans, animals, and ecosystems. Various kinds of environmental crimes are found in the production process and the final cycle of fast fashion, both of which occur in the Global South."
2023
TA5331
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Misra, S.P.
Boca Raton: CRC Press, Taylor & Francis Group, 2008
333.7 Mis e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jain, Ravi
[Place of publication not identified]: McGraw-Hill, 2004
711.4 Jai e
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"
"
Pekanbaru: Ilmu Lingkungan, 2009
Ilm l
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
"The increasing needs for transportation of freight and passengers causes environmental impact. studies for these impacts should consideret by logistics firms and encouraged by the regulations of authorities..."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>