Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133677 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adelina
"Latar Belakang: Ileus pascaoperasi (IPO) terjadi pada 3 – 32% pascaoperasi abdomen mayor. Prevalensi IPO di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) sendiri belum diketahui. Imbang cairan perioperatif berkontribusi terhadap kejadian IPO. Berbagai studi menunjukkan imbang cairan intra- dan pascaoperasi yang positif berhubungan dengan peningkatan risiko IPO, namun peran status hidrasi praoperasi belum diketahui. Pemeriksaan bioelectrical impedance vector analysis (BIVA) mulai digunakan untuk evaluasi status hidrasi, namun metode ini belum umum digunakan untuk evaluasi cairan perioperasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui insidensi IPO di RSCM, serta mengetahui hubungan antara IPO dengan status hidrasi praoperasi berdasarkan BIVA. Metode: Penelitian ini adalah studi potong lintang pada pasien yang menjalani laparotomi elektif di RSCM, Jakarta. Diambil karakteristik praoperasi berupa data demografis, antropometri, dan status hidrasi yang meliputi BIVA, osmolalitas serum, imbang cairan, dan rasio blood urea nitrogen/creatinine (rasio BUN/Cr); karakteristik intraoperasi yaitu imbang cairan intraoperasi, lama operasi, dan jumlah perdarahan; serta status hidrasi pascaoperasi yang dinilai pada hari kedua pascaoperasi. Dilakukan analisis hubungan IPO dengan status hidrasi praoperasi berdasarkan BIVA, yang dilanjutkan dengan analisis multivariat untuk menyingkirkan faktor perancu.
Hasil: Sebanyak 90 subjek menjalani laparotomi elektif untuk kasus digestif (37,8%), ginekologi (57,8%), urologi (2,2%), serta join digestif-vaskular dan digestif- ginekologi (2,2%). Status hiperhidrasi praoperasi berdasarkan BIVA didapatkan sebanyak 38,9% dan meningkat menjadi 74,4% pascaoperasi. Osmolalitas serum pra- dan pascaoperasi berada dalam rentang normal dan tidak menunjukkan perubahan yang bermakna, sedangkan imbang cairan dan rasio BUN/Cr meningkat bermakna pascaoperasi. Status hiperhidrasi praoperasi berhubungan bermakna dengan IPO (OR 3.386, 95%CI 1.319 – 8.601; p=0.009). Namun berdasarkan analisis multivariat, hanya jumlah perdarahan intraoperasi (> 500 mL) yang berhubungan dengan IPO (OR 7.95, 95% CI 1.41 – 44.78; p=0.019). Stratifikasi lebih lanjut menunjukkan status hiperhidrasi praoperasi meningkatkan risiko IPO pada subjek dengan jumlah perdarahan intraoperasi kurang dari 500 mL (OR 6.8, 95% CI 1.436 – 32.197; p =0.016). Kesimpulan: Status hidrasi praoperasi menentukan keluaran klinis pascaoperasi. Status hiperhidrasi praoperasi berdasarkan BIVA ditemukan berhubungan dengan peningkatan risiko IPO laparotomi, namun status hiperhidrasi praoperasi dapat dimodifikasi oleh jumlah perdarahan intraoperasi. Dibutuhkan studi lebih lanjut hubungan antara IPO dengan status hiperhidrasi praoperasi, terutama pada kelompok subjek dengan jumlah perdarahan intraoperasi kurang dari 500 mL.

Background: Postoperative ileus (POI) is a complication commonly found after major abdominal surgery, with a prevalence of 3 – 32%. Prevalence of POI at dr. Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM) is yet to be reported. Perioperative hydration status contributes to the risk of developing POI. Studies have shown that positive intra- and postoperative fluid balance are associated with increased risk of POI, but the role of preoperative hydration status is not yet known. Bioelectrical impedance vector analysis (BIVA) has started to be used widely to evaluate hydration status, nonetheless it is still not commonly used in evaluation of perioperative hydration status. This study aims to determine POI incidence in RSCM, and to explore the association between IPO and preoperative hydration status evaluated with BIVA. Methods: This study was a cross-sectional study done at RSCM, Jakarta. We recruited patients who were scheduled to undergo elective laparotomy. Preoperative characteristics were collected such as demographical data, anthropometry, and hydration status including BIVA, serum osmolality, fluid balance, and blood urea nitrogen/creatinine (BUN/Cr) ratio; intraoperative characteristics such as fluid balance, length of surgery, and total bleeding volume; and postoperative hydration status which was analyzed in postoperative day two. Analysis to determine the associatiob between POI and preoperative hydration status by BIVA was done, and continued with logistic regression analysis to control confounding factors.
Results: Ninety subjects recruited in this study underwent elective laparotomy for digestive (37,8%), gynecology (57,8%), urology (2,2%), also joined digestive-vascular and digestive-gynecology (2,2%) surgery. Preoperative hyperhydration by BIVA was found in 38,9% subjects, and increased to 74,4% postoperatively. Pre- and postoperative serum osmolality were within normal range and did not show any significant increment, while fluid balance and BUN/Cr ratio increased postoperatively. Preoperative hyperhydration was associated with POI (OR 3.386, 95%CI 1.319 – 8.601; p=0.009). Only total bleeding volume (> 500 mL) was found to increase the risk of POI after logistic regression analysis (OR 7.95, 95% CI 1.41 – 44.78; p=0.019). Further stratification analysis showed that preoperative hyperhydration increased the risk of POI in subjects with total bleeding less than 500 mL (OR 6.8, 95% CI 1.436 – 32.197; p =0.016). Conclusion: Preoperative hydration status has an impact on postoperative clinical outcome. Preoperative hyperhydration was found to increase the risk of POI, but preoperative hyperhydration status could be modified by the degree of intraoperative bleeding. Further study needs to be done to determine the link between POI and preoperative hyperhydration, especially in subjects with total bleeding less than 500 mL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Marcella Widjaja
"Latar Belakang: Postoperative gastrointestinal tract dysfunction (POGD) merupakan komplikasi yang sering terjadi pada pasien pascaoperasi yang menyebabkan peningkatan morbiditas dan lama rawat inap. Malnutrisi sering terjadi pada periode perioperasi. Indeks massa bebas lemak menjadi salah satu penilaian untuk identifikasi pasien dengan malnutrisi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan indeks massa bebas lemak praoperasi dengan POGD menggunakan skor Intake-Feeling Nauseated, Emesis, Exam, Duration (I-FEED) dan lama rawat inap pasien pascalaparotomi elektif. Metode: Studi potong lintang dilakukan pada 92 subjek berusia 18-64 tahun yang menjalani laparotomi elektif di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo selama bulan Maret-Mei 2023. Pengukuran indeks massa bebas lemak praoperasi menggunakan bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA-525. Penilaian POGD berdasarkan American Society for Enchanced Recovery and Perioperative Quality Initiative Joint Consensus Statement menggunakan skor I-FEED. Penilaian rawat inap dengan data rekam medis dan perhitungan lama rawat pascaoperasi. Dilakukan analisis univariat, bivariat dan analisis multivariat pada studi ini. Hasil: Rerata indeks massa bebas lemak pasien 16,5  2,3 kg/m2 dengan kategori rendah sebanyak 29,3%. POGD terjadi pada 41,3% subjek dan median lama rawat pascaoperasi 4 (2-17) hari. Tidak ditemukan korelasi yang bermakna secara statistik pada indeks massa bebas lemak praoperasi dengan POGD menggunakan skor I-FEED dan lama rawat inap pascaoperasi. Analisis klasifikasi indeks massa bebas lemak praoperasi yang rendah meningkatkan risiko kejadian POGD (OR 2,84; 95% CI 1,13-7,16). Analisis lanjutan dengan regresi linier menunjukkan serum albumin praoperasi dan durasi operasi menjadi faktor yang paling berkorelasi dengan skor I-FEED serta asupan protein dan karbohidrat berkorelasi dengan lama rawat pascaoperasi. Kesimpulan: Tidak ditemukan korelasi bermakna antara indeks massa bebas lemak praoperasi dengan POGD menggunakan skor I-FEED dan lama rawat inap pasien pascalaparotomi elektif.

Background: Postoperative gastrointestinal tract dysfunction (POGD) is a complication that increases morbidity and length of stay. Malnutrition often occurs in the perioperative period. Fat-free mass index is one of the assessments for identifying patients with malnutrition that caused complication. This study aims to assess the association between preoperative fat-free mass index and POGD using the Intake-Feeling Nauseated, Emesis, Exam, Duration (I-FEED) score and postoperative length of stay in elective laparotomy patients. Methods: This cross-sectional study was conducted on 92 subjects aged 18-64 years at Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital who underwent elective laparotomy from March to May 2023. The fat-free mass index was measured using a multi-frequency bioelectrical impedance analysis (BIA) SECA mBCA-525. The POGD assessment was based on the American Society for Enchanced Recovery and Perioperative Quality Initiative Joint Consensus Statement using the I-FEED score. The length of stay assessment calculated with postoperative length of hospitalization and medical record. Univariate, bivariate, and multivariate analyses were performed in this study. Results: The average of patient’s fat-free mass index was 16.5  2,3 kg/m2 and found 29.3% of subjects in low category. 41.3% of subjects developed POGD, and median length of postoperative hospital stay was 4 (2-17) days. There was no statistically significant correlation between preoperative fat-free mass index and POGD using I-FEED score and postoperative length of hospital stay. Classification analysis of low preoperative fat-free mass index increased the risk of POGD (OR 2.84; 95% CI 1.13-7.16). Further analysis using linear logistic for other confounding factors revealed that preoperative serum albumin and duration of surgery were the most correlated factors in I-FEED score. Protein and carbohydrate intake were correlated with postoperative length of hospital stay. Conclusion: There is no correlation between preoperative fat-free mass index and POGD using I-FFEED score and length of stay after elective laparotomy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Roswenda
"Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).

There are still many controversies regarding the impact of obesity on morbidity and mortality of the critically ill patient. Immune dysregulation, increased cardiovascular risk, impaired wound healing and changes antimicrobial pharmacokinetics can all be attributed to increased fat mass in obese individuals. Even so, numerous studies show increased survival of obese critically ill patiens compared to normal BMI. This phenomenon is known as the obesity paradox. This study aims to see the relationship between obesity with ICU Length of Stay and nosocomial infection in critically ill patient of RSUPN Cipto Mangunkusumo. Subjects’ anthropometric measurements were taken and then grouped into obese or normal BMI group based on Asia-Pacific BMI classification. Length of stay and diagnosis of nosocomial infection were recorded during daily follow up while the subjects were still admitted in the ICU. There is a total of 79 subjects, mostly female (65%) with median age of 46 years. Most patients were admitted to the ICU following surgery (89%) with a qSOFA score of 1 (52%). 92% of patients stepdown from the ICU with the remaining 8% died. 5% of patients had nosocomial infection, all of them being ventilator associate pneumonia. There is no significant relationship between rate of nosocomial infection and obesity status (OR (95% CI): 1,03 (0,1-14,85)). The median length of stay for both subject groups is 2 days. There is no difference in ICU length of stay between obese patients and normal BMI (p=0,663)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farhan Maruli
"Ventilator-associated pneumonia VAP punya prevalensi yang tinggi pada pasien pediatric intensive care unit PICU . Gizi lebih overweight dan obesitas dicurigai sebagai salah satu faktor risiko VAP namun hubungannya kurang diteliti. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki hubungan antara gizi lebih dan kejadian VAP pada pasien PICU RSCM. Desain studi ini adalah cross-sectional analitik dengan data rekam medis pasien PICU RSCM yang mendapat ventilasi mekanik pada periode 2014 ndash;2016. Pasien dikatakan menderita gizi lebih berdasarkan assessment gizi pada rekam medis atau berdasarkan data antropometri dengan rujukan kriteria WHO atau CDC jika assessment gizi tidak ada. VAP ditentukan berdasarkan diagnosis tertulis pada rekam medis atau adanya gejala dan tanda yang memenuhi kriteria NNIS/CDC. Data tambahan yang diambil antara lain ada tidaknya kondisi immunocompromised, reintubasi, enteral feeding, penggunaan imunosupresan, antibiotik atau profilaksis stress ulcer. Sebanyak 64 pasien diikutsertakan sebagai subjek. Gizi lebih ditemukan pada 12 pasien 18.8 dan VAP pada 12 pasien 18.8 . Hanya satu pasien dengan gizi lebih mengalami VAP. Penelitian ini tidak menemukan hubungan antara gizi lebih dan kejadian VAP pada pasien PICU RSCM two-sided p = 0.436 dengan uji Fisher , mungkin karena sampel terlalu kecil. Penelitian prospektif dengan sampel yang cukup dibutuhkan untuk mengetahui hubungan antara gizi lebih dan VAP.

Ventilator associated pneumonia VAP is prevalent among pediatric intensive care unit PICU patients. Overnutrition overweight and obesity is a candidate for VAP risk factor but research into the link is wanting. This study aimed to investigate the association between overnutrition and VAP among PICU patients in RSCM. Medical records of RSCM PICU patients undergoing mechanical ventilation between 2014 and 2016 were used in this analytic cross sectional study. Overnutrition was established based on the nutritional assessment on the patient rsquo s medical record or anthropometric data using WHO or CDC criteria if the former was not available. VAP was established based on recorded diagnosis or the presence of signs and symptoms meeting the NNIS CDC criteria. Additional data include whether the patient was immunocompromised, reintubation, enteral feeding, use of immunosuppressants, antibiotics and stress ulcer prophylaxis. A total of 64 patients was included as subjects. Overnutrition was identified in 12 patients 18.8 and VAP in 12 patients 18.8 . Only one overnourished patient had VAP. This study found no association between overnutrition and VAP two sided p 0.436 by Fisher rsquo s test , probably because the sample was too small. Prospective studies with adequate sample sizes are needed to understand the link between overnutrition and VAP."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Geraldus Sigap Gung Binathara
"Latar Belakang: Kehamilan ektopik adalah suatu kondisi dimana blastokista tidak berimplantasi pada posisi yang tepat yaitu pada dinding endometrium. Setiap tahunnya, 0,03% ibu hamil di suatu negara mengalami kehamilan ektopik, sehingga mencapai 60.000 di seluruh dunia. Wanita paruh baya, yang menggunakan kontrasepsi, memiliki riwayat kehamilan ektopik, belum menikah, dan mungkin pernah menjalani operasi, mempunyai risiko lebih tinggi mengalami kehamilan ektopik. Kehamilan ektopik mempunyai dampak yang besar terhadap bayi dan ibu, sehingga penelitian ini berupaya untuk mengidentifikasi penyebab dan faktor risiko kehamilan ektopik khususnya di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Metode: Penelitian ini menggunakan rekam medis tahun 2021 - 2022 dari Departemen Obstetri & Ginekologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Data pasien mencakup usia, status perkawinan, penggunaan kontrasepsi, riwayat kehamilan ektopik, riwayat kehamilan, dan riwayat operasi. Hasil: Karakteristik demografi usia (p = 0,015), riwayat kehamilan ektopik sebelumnya (p<0,001), dan riwayat bedah obstetri dan ginekologi (p = 0,019) menunjukkan perbedaan yang signifikan. Namun, status perkawinan (p = 0,17), penggunaan kontrasepsi (p = 0,14), dan riwayat kehamilan (p = 0,07) tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Kesimpulan: Faktor risiko usia, riwayat kehamilan ektopik sebelumnya, dan riwayat bedah obstetri dan ginekologi mempunyai asosiasi yang signifikan terhadap terjadinya kehamilan ektopik.

Introduction: Ectopic pregnancy is a condition where the blastocyst does not implant in the right position which is on the endometrial wall. Each year, 0.03% of pregnant women in a country have ectopic pregnancy, reaching 60.000 worldwide. Women in their middle age, who take contraception, have a history of ectopic pregnancy, are unmarried, and may have had surgery are at higher risk of ectopic pregnancy. Ectopic pregnancy has a major impact on the baby and mother, so this study seeks to identify the causes and risk factors of ectopic pregnancy, particularly in RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Methods: This study includes 2021 - 2022 medical records from the Department of Obstetrics & Gynecology, RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, and its demography. Patients' data will include age, marital status, contraceptive use, history of ectopic pregnancy, history of pregnancy, and history of obstetric and gynaecologic surgery. Results: Risk factors’ of age (p = 0.015), history of previous ectopic pregnancy (p<0.001), and obstetrics and gynaecologic surgical history (p = 0.019) showed a significant difference. However, marital status (p = 0.17), contraceptive use (p = 0.14), and history of pregnancy (p = 0.07) were not significantly different. Conclusion: The risk factors of age, history of previous ectopic pregnancy, and obstetrics and gynaecologic surgical history had a significant association towards the occurrence of ectopic pregnancy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kieran Pasha Ivan Sini
"Latar Belakang: Preeklamsia digeneralisasikan sebagai gangguan multisimtomatik yang marak pada wanita hamil dengan usia kehamilan 20 minggu. Wanita berisiko mengalami preeklamsia jika mereka memiliki faktor termasuk riwayat keluarga atau gangguan hipertensi terkait kehamilan, dan penyakit ginjal kronis, nulipara, obesitas (IMT lebih dari> 35), riwayat keluarga preeklamsia, riwayat atau kehamilan multifetal saat ini, dan interval kehamilan 10 tahun dari kehamilan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab dan faktor risiko, semoga menjelaskan pencegahan dan metodologi baru untuk mengurangi risiko, atau mungkin mencegah kondisi tersebut muncul. Metode: Penelitian ini menggunakan rekam medis yang diperoleh dari tahun 2021 dimana rekam medis tersebut berasal dari fokus studi demografi yaitu Departemen Obstetri dan Ginekologi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dan dianalisis melalui program SPSS. Data yang akan dikumpulkan terkait profil demografi dan factor risiko pasien meliputi usia pasien, risiko penyakit kardiovaskular yang terkonfirmasi, kehamilan sebelumnya, dan level pendidikan. Hasil: Studi ini menemukan bahwa ada perbedaan yang signifikan secara statistik antara kelompok usia (c2(2) = 7.9, p = 0.019, Cramer's V = 0.152), riwayat penyakit kardiovaskular (c2(2) = 17.32, p < 0.001, Cramer's V = 0.226) dengan kejadian dari preeklampsia. Perbedaan yang signifikan secara statistik pada usia rata-rata juga diamati antara mereka yang menderita preeklampsia dan mereka yang tidak menderita preeklamsia (t(338) = 3,08, p = 0,002). Sementara itu, kehamilan sebelumnya (p = 0,296) dan level pendidikan (p = 0,614) secara statistik tidak berbeda signifikan dengan terjadinya preeklampsia di antara kedua kelompok sampel. Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa usia, riwayat penyakit kardiovaskular merupakan faktor risiko yang signifikan terhadap terjadinya preeklampsia.

Introduction: Preeclampsia is generalized as a multisymptomatic disorder that is prevalent within pregnancies of 20 weeks’ gestation. Women are at risk of preeclampsia if they have factors including a history of familial or pregnancy-related hypertensive disorder, chronic kidney disease, nulliparity, being obese (a BMI over >35), a family history of preeclampsia, history or a current multifetal pregnancy, and a pregnancy interval of 10 years from the previous pregnancy. This study aims to identify possible causes and risk factors, hopefully shedding light towards new preventions and methodologies to somewhat reduce risks, or possibly prevent the condition from ever emerging. Methods: This research uses medical records obtained from the year 2021, where the records originate from the Department of Obstetrics and Gynecology, RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo and later analyzed through SPSS. Data that will be collected relating to the patients’ demographic profiles and risk factors includes the age of the patient, confirmed risk of cardiovascular diseases, previous pregnancies, and educational level. Results: This study found that there are statistically significant differences between age groups (c2(2) = 7.9, p = 0.019, Cramer’s V = 0.152), history of cardiovascular disease (c2(2) = 17.32, p < 0.001, Cramer’s V = 0.226) with the occurrence of preeclampsia. A statistically significant difference in mean ages were also observed between those that had preeclampsia and those that did not (t(338) = 3.08, p = 0.002). Meanwhile, previous pregnancies (p = 0.296) and educational level (p = 0.614) was not statistically significantly different to the eventual occurrence of preeclampsia in between the two groups of samples. Conclusion: This study shows that age, history of cardiovascular disease, are significant risk factors towards the occurrence of preeclampsia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salma Nur Amalina
"Latar Belakang: Persalinan prematur tetap menjadi perhatian kesehatan global yang signifikan, dengan berkontribusi pada kematian neonatal dan dampak kesehatan jangka panjang yang buruk. Indonesia juga terus menghadapi tingkat kejadian persalinan prematur yang tinggi, yang mengakibatkan Tingkat Kematian Neonatal (NMR) sebanyak 14 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Mengingat sebagian besar kematian ini dapat dicegah, pemahaman terhadap faktor risiko merupakan langkah awal dalam mencegah persalinan prematur. Metode: Studi potong lintang analitik ini dilakukan dengan menggunakan data dari tahun 2021 yang berasal dari Departemen Obstetri dan Ginekologi, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Faktor-faktor risiko yang mencakup usia, hipertensi, kehamilan ganda, riwayat persalinan prematur sebelumnya, dan diabetes, dianalisa hubungannya dengan persalinan prematur. Hasil: Studi ini mencakup 185 kasus persalinan prematur dan 185 kasus non-persalinan prematur. Usia rata-rata adalah 28,65 tahun (SD = 5,206). Perbedaan yang signifikan secara statistik teramati antara hipertensi (χ2(1) = 11,52, p < 0,001, Cramer’s V = 0,176, OR = 2,412), kehamilan ganda (χ2(1) = 6,58, p = 0,01, Cramer’s V = 0,133, OR = 9,409), dan riwayat persalinan prematur sebelumnya (χ2(1) = 10,25, p = 0,01, Cramer’s V = 0,166, OR = 2,107) dengan kejadian persalinan prematur. Perbedaan signifikan secara statistik dalam usia rata-rata tidak teramati antara wanita yang mengalami persalinan prematur dan yang tidak mengalami persalinan prematur (p = 0,872). Kelompok usia (p = 0,872) dan diabetes (p = 0,171) dilaporkan tidak memiliki perbedaan signifikan secara statistik terhadap kejadian persalinan prematur. Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa hipertensi, kehamilan ganda, dan riwayat persalinan prematur sebelumnya adalah faktor risiko terhadap kejadian persalinan prematur.

Introduction: Preterm labor remains a significant global health concern, contributing to neonatal mortality and long-term adverse health outcomes. Indonesia also continues to face a high prevalence of preterm labor, resulting in a Neonatal Mortality Rate (NMR) of 14 deaths per 1,000 live births. Given that a substantial proportion of these deaths is preventable, an accurate assessment of risk factors represents the initial step in preventing preterm labor. Methods: This analytic cross-sectional study was conducted through utilizing data from the year 2021, with the data originating from the Department of Obstetrics and Gynecology, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Risk factors which included age, hypertension, multiple gestations, history of previous preterm labor, and diabetes, were examined for their association with preterm labor. Results: The study included 185 cases of preterm labor and 185 non-preterm labor cases. Mean age was 28.65 years (SD = 5.206). A statistically significant difference was observed between hypertension (c2(1) = 11.52, p < 0.001, Cramer’s V = 0.176, OR = 2.412), multiple gestations (c2(1) = 6.58, p = 0.01, Cramer’s V = 0.133, OR = 9.409), and history of previous preterm labor (c2(1) = 10.25, p = 0.01, Cramer’s V = 0.166, OR = 2.107) with the occurrence of preterm labor. A statistically significant difference in mean ages were not observed between those that had preterm labor and those without preterm labor (p = 0.872). Age groups (p = 0.872) and diabetes (p = 0.171) was reported to not have statistically significant differences to the occurrence of preterm labor. Conclusion: This study illustrates hypertension, multiple gestations, and history of previous preterm labor, to be risk factors towards the occurrence of preterm labor."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Nur Aulia
"Latar Belakang: Kegagalan ekstubasi akibat pneumonia berat meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Imunitas adaptif sistemik berupa fraksi dan rasio sel T limfosit CD4/CD8 darah memiliki peranan penting sebagai prediktor lemah mortalitas. Dibutuhkan studi lanjutan untuk mengetahui imunitas adaptif lokal melalui Bronchoalveolar Lavage (BAL) pada kedua paru.
Tujuan: Mengetahui perbedaan kadar dan rasio sel T limfosit CD4/CD8 Bronchoalveolar Lavage sesuai status ekstubasi dan status mortalitas pada pneumonia berat.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif pada 40 pasien pneumonia berat. Data primer diambil dari pasien yang terintubasi dan menjalani tindakan bronkoskopi di perawatan IGD dan ruang intensif RSCM sejak November 2020 hingga Januari 2021. Analisa univariat dan bivariat dengan uji beda rerata digunakan pada data skala numerik dengan sebaran normal dan uji Mann Whitney dengan sebaran tidak normal.
Hasil: Proporsi gagal ekstubasi sebesar 80% dan proporsi mortalitas sebesar 75%. Terdapat perbedaan bermakna pada fraksi sel T limfosit CD4 BAL pada paru cidera berat kelompok berhasil ekstubasi dan gagal ekstubasi (p=0,006); kelompok pasien hidup dan meninggal (p=0,002). Fraksi CD4 darah dan rasio CD4/CD8 darah ditemukan lebih tinggi secara bermakna pada kelompok berhasil ekstubasi dibandingkan dengan gagal ekstubasi; juga ditemukan lebih tinggi pada kelompok yang hidup dibandingkan yang meninggal.
Kesimpulan: Fraksi CD4 BAL pada paru cidera berat berbeda secara statistik bermakna lebih tinggi pada kelompok pasien berhasil ekstubasi dibandingkan dengan kelompok pasien gagal ekstubasi dan kelompok pasien hidup dibandingkan dengan kelompok pasien meninggal.

Background: Extubation failure due to severe pneumonia increases morbidity and mortality. Systemic adaptive immunity, T lymphocyte cells CD4/CD8 in blood, has special role as a mortality predictor in severe pneumonia. Further study still needed to evaluate local adaptive immunity through bronchoalveolar lavage celluler examination in both lung.
Objective: The aim of this study was to find out the differences between T lymphocytes CD4/CD8 in both lung based on extubation status and mortality status.
Methods: We performed a cohort prospective study of 40 patients with severe pneumonia whom underwent endotracheal intubation and bronchoscopy hospitalized in intensive care unit between November 2020 to January 2021 in Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Primary data was taken and analyzed using univariat and bivariat to investigate mean or median differences with unpaired t-test for normal numeric distribution data and Mann-Whitney test for abnormal distribution numeric data.
Result: The proportion of extubation failure was 80% and mortality rate was 75%. There were significantly different results of BALF CD4 T cells lymphocyte fraction in severe pneumonia group of patients based on extubation status (p=0,006) and mortality status (p=0,002). Blood CD4 T cells lymphocyte fraction and blood CD4/CD8 T cells lymphocyte ratio were found significantly higher in the successfully extubation group of patients compared to extubation failure group of patients; and also significantly higher in survived group of patients compared to mortality group of patients with pneumonia severe.
Conclusion: Fraction of CD4 BALF in severely injured pneumonia lungs group of patients who had succesful intubation processes were statistically different compared to the group of patients with unsuccesful extubation. Fraction of CD4 BALF were also found statistically different in the group of patients who were survived compared to the group of patients who were passed away.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Freesia Novita Kusumawardani
"Latar Belakang: Infeksi daerah operasi (IDO) merupakan salah satu komplikasi pascaoperasi tersering yang meningkatkan morbiditas, mortalitas, dan beban biaya kesehatan. Penerapan strategi pencegahan hanya menurunkan sedikit angka infeksi nosokomial pada pembedahan. Vitamin D diketahui memiliki pengaruh pada regulasi imun dan penyembuhan luka. Namun, hanya sedikit studi yang menilai efek potensialnya dalam mengurangi kejadian IDO dengan hasil yang didapatkan belum konsisten. Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan status vitamin D serum praoperasi dengan kejadian IDO pascalaparotomi elektif.
Metode: Studi kohort prospektif ini dilakukan pada subjek berusia 18–65 tahun di RS pendidikan tersier, RSUPN Dr. Cipto Mangungkusumo, yang dirawat untuk laparotomi elektif pada bulan Maret hingga Juni 2023. Pengukuran 25-hidroksi vitamin D serum praoperasi menggunakan metode chemiluminescent microparticle immunoassay (CMIA) dengan cutoff defisiensi pada kadar <30 ng/mL. Penegakkan diagnosis IDO berdasarkan kriteria Centers for Disease Control and Prevention dilakukan melalui pemantauan harian selama 30 hari pascaoperasi. Analisis bivariat dan multivariat digunakan untuk menilai hubungan antara variabel bebas dan terikat, serta mengidentifikasi faktor perancu lain yang berhubungan dengan IDO. 
Hasil: Dari total 117 subjek penelitian, sebanyak 90,4% subjek defisiensi vitamin D dan 20,5% subjek mengalami IDO. Defisiensi vitamin D praoperasi signifikan meningkatkan risiko kejadian IDO dibandingkan tidak defisiensi (RR 1,16, 95% CI 1,07–1,26). Analisis lanjutan dengan regresi logistik untuk faktor perancu lain memeroleh bahwa status albumin serum praoperasi menjadi faktor yang paling signifikan meningkatkan risiko kejadian IDO.
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara defisiensi vitamin D serum praoperasi dengan kejadian IDO pascalaparotomi elektif.

Background: Surgical site infection (SSI) is one of the most common postoperative complications that increases morbidity, mortality, and healthcare costs. The implementation of preventive strategies has only resulted in a slight reduction in nosocomial infection rates in surgical procedures. Vitamin D is known to have an influence on immune regulation and wound healing. However, there have been few studies assessing its potential effect in reducing the incidence of SSI, and the results obtained so far have been inconsistent. This study aims to assess the relationship between preoperative serum vitamin D status and the occurrence of SSI after elective laparotomy.
Methods: This prospective cohort study was conducted on subjects aged 18–65 years at a single tertiary teaching hospital, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, who underwent elective laparotomy from March to June 2023. Measurement of preoperative serum 25-hydroxy vitamin D was done using the chemiluminescent microparticle immunoassay (CMIA) method with a deficiency cutoff at levels <30 ng/mL. The diagnosis of SSI was based on the Centers for Disease Control and Prevention criteria through daily monitoring for 30 days postoperatively. Bivariate and multivariate analyses were used to assess the relationship between independent and dependent variables and identify other confounding factors associated with SSI. 
Results: Out of a total of 117 study subjects, 90.4% were vitamin D deficient, and 20.5% developed SSI. Preoperative vitamin D deficiency significantly increased the risk of SSI compared to non-deficiency (RR 1.16, 95% CI 1.07–1.26). Further analysis using logistic regression for other confounding factors revealed that preoperative serum albumin status was the most significant factor in increasing the risk of SSI.
Conclusion: There is a significant statistical association between preoperative serum vitamin D deficiency and the occurrence of SSI after elective laparotomy.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Widya Andini
"Latar Belakang: Meningitis tuberkulosis (TBM) memiliki angka kematian yang tinggi khususnya pada kelompok HIV positif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik klinis dan prediktor kesintasan TBM dalam masa perawatan dan 6 bulan berdasarkan status infeksi HIV.
Metode: Studi kohort retrospektif menggunakan data Indonesian Brain Infection Study bulan April 2019-September 2021 dengan diagnosis akhir TBM. Analisis faktor yang berhubungan dengan kesintasan masa perawatan dilakukan dengan regresi logistik. Estimasi probabilitas kesintasan 6 bulan dan prediktor yang berperan dinilai menggunakan kurva Kaplan-Meier dan uji regresi Cox.
Hasil: Sebanyak 133 subjek TBM dimasukkan ke dalam studi (HIV positif 39,8%, TBM definite 31,6%). HIV positif memiliki temuan TBM definite yang lebih rendah, peningkatan sel dan protein cairan serebrospinal (CSS) yang lebih rendah, penurunan rasio glukosa CSS:serum yang lebih rendah, dan temuan TB milier yang lebih tinggi. Kesintasan dalam masa perawatan secara umum adalah 73,7% (HIV positif 67,9% vs. HIV negatif 77,5%, p=0,2), dipengaruhi oleh TBM probable dan TBM derajat 3. Estimasi probabilitas kesintasan 6 bulan adalah 57,9% (HIV positif 54,7% vs. HIV negatif 60%, p=0,4), dipengaruhi oleh waktu inisiasi obat antituberkulosis (OAT) dan TBM derajat 3. Tidak didapatkan perbedaan prediktor kesintasan masa perawatan dan 6 bulan berdasarkan status HIV.
Kesimpulan: Kelompok HIV positif memiliki gambaran inflamasi CSS yang lebih rendah namun cenderung memiliki kesintasan rawat inap dan 6 bulan yang lebih rendah. TBM stadium lanjut berperan pada kesintasan jangka pendek dan panjang, sementara penundaan inisiasi OAT sejak admisi berhubungan dengan kesintasan jangka panjang.

Background: Tuberculous meningitis (TBM) has a high mortality rate, especially in the HIV positive group. This study aims to define the clinical characteristics, as well as to analyze the inhospital and 6 month-survival and the following predictors of TBM patients with and without HIV infection.
Methods: Cohort retrospective study using Indonesian Brain Infection Study data with final diagnosis of TBM, between April 2019 and September 2021. Logistic regression was used to determine the predictors of inhospital survival. Meanwhile, 6-months probability survival was estimated using Kaplan-Meier curves and Cox regression analysis.
Results: A total of 133 subjects were included in the study (HIV positive 39.8%, definite TBM 31.6%). HIV positive group had less TBM definite, lower cerebrospinal fluids (CSF) cells and protein increases, smaller decrease in CSF:serum glucose ratio, and more miliary TB cases. Overall inhospital survival was 73.7% (HIV positive 67.9% vs. HIV negative 77.5%, p=0.2), with predictors of TBM probable and TBM grade 3. Six-month probability survival estimates was 57.9% (HIV positive 54.7% vs. HIV negative 60%, p-=0,4), with predictors of initiation of TB drug timing and TBM grade 3. We found no significant differences of inhospital and 6-month predictors according to HIV status.
Conclusions: Despite less inflammatory profile, HIV positive group had lower inhospital and 6-month survival. Advanced stage TBM had lower inhospital and 6-month survival, while delayed TB drug initiation was more related to the 6-month survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>