Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 137699 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Berlin Anggitasari
"Film merupakan salah satu bentuk karya sastra yang efektif menyampaikan ideologi atau suatu pemikiran kepada masyarakat luas. Film Ode to My Father yang diproduksi pada tahun 2014 merupakan salah satu film Korea Selatan yang tidak hanya menampilkan kembali peristiwa sejarah dengan rentang waktu masa perang Korea hingga Korea modern tetapi juga mengandung representasi jangnam atau anak laki-laki pertama dalam keluarga Korea di dalamnya. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dengan pendekatan teori semiotika Roland Barthes. Penelitian bertujuan untuk mengetahui makna representasi atas nilai-nilai jangnam dalam film Ode to My Father dan untuk mengetahui makna konotasi, denotasi, serta mitos atas nilai-nilai jangnam yang ditampilkan dalam film Ode to My Father. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa representasi jangnam yang ditampilkan dalam film Ode to My Father antara lain mendampingi orang tua dalam mengasuh adik-adik, menjadi pengganti ayah sebagai kepala keluarga, sikap siap bekerja keras untuk kepentingan keluarga, sikap teguh hati dan berkepribadian tangguh, sikap rela berkorban untuk kepentingan keluarga, dan bertanggung jawab untuk memimpin ritual tradisi dalam lingkup keluarga.

Film is a type of literary work that can effectively spread an idea or an ideology to a larger audience. One South Korean movie from 2014, Ode to My Father, not only depicts historical occurrences from the Korean War to contemporary Korea, but also features a representation of jangnam, or the first son in a Korean family. Roland Barthes' semiotic theory approach is used with a qualitative descriptive analytic method in this study. The goals of this study are to understand the significance of how Jangnam values are represented in the movie Ode to My Father and to understand the connotation, denotation, and mythical interpretations of Jangnam values displayed in the movie. The results of this study indicate that the representation of jangnam shown in the film Ode to My Father includes accompanying parents in raising younger siblings, being a substitute for the father as the head of the family, being ready to work hard for the benefit of the family, having a firm heart and having a tough personality, being willing to sacrifice for the benefit of the family, and is responsible for leading traditional rituals within the family."
Depok: 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Hafizhah Indriyani Riyanto
"Asian Americans have been portrayed in a stereotypical light in numerous genres of Hollywood films including romantic comedy (romcom). Always Be My Maybe (2019) sheds a different light on Asian American representation in the romcom genre, which has been dominated by stories of white characters. Drawing on the specific trope in romcom namely the ‘slacker-striver romance’ and Asian American representation in films, this article argues that the slacker striver romance consequently affects Asian American representation in Always Be My Maybe (2019). Using the cinematic analysis method, this paper suggests that the film battles the model minority myth which expects Asian Americans to be successful, and it contests the lotus blossom stereotype which paints Asian American women as subservient. Furthermore, the evidence concludes that the film criticizes the slacker-striver romance’s usage of the woman as ‘tools’ to help the man grow up and emphasizes the importance of mutual support as well as understanding in a relationship. Therefore, Always Be My Maybe (2019) provides a distinct approach in representing Asian Americans and their journey in finding love with the light-hearted tone of a romantic comedy.

Orang-orang Asia Amerika telah direpresentasikan dengan stereotip dalam berbagai genre film Hollywood termasuk komedi romantis (romcom). Film Always Be My Maybe (2019) menyoroti representasi Asia Amerika dalam genre romcom, yang umumnya didominasi oleh cerita karakter kulit putih. Menggunakan salah satu trope dalam genre romcom yaitu ‘slacker-striver romance’ dan representasi Asian Amerika untuk menganalisis film Always Be My Maybe (2019), artikel ini berpendapat bahwa trope slacker-striver romance mempengaruhi representasi karakter Asia Amerika dalam film ini. Melalui metode analisis sinematik, kajian ini menunjukkan bahwa film tersebut menyanggah mitos model minoritas yang mengharapkan kesukseskan orang Asia Amerika serta menentang stereotip lotus blossom yang menggambarkan wanita Asia Amerika selalu tunduk. Lebih jauh, bukti yang dipresentasikan dalam studi ini menyimpulkan bahwa film ini mengkritik bagaimana trope slacker-striver romance menggunakan karakter-karakter wanita sebagai ‘alat’ untuk membantu karakter-karakter pria tumbuh dewasa dan menekankan pentingnya dukungan serta pengertian yang seimbang dalam satu hubungan. Oleh karena itu, film Always Be My Maybe (2019) mengajukan pendekatan tersendiri dalam merepresentasikan orang-orang Asia Amerika dan perjalanan cinta mereka dengan nuansa komedi romantis yang ringan. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Stam, Robert
New York: Blackwell, 2000
791.43 Sta f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Dwiki Armani
"Film dengan genre animasi memiliki daya tarik tersendiri. Film animasi dapat merepresentasikan unsur kebudayaan suatu bangsa dengan grafis yang beragam dan menarik. Salah satu film yang merepresentasikan budaya Cina antara lain adalah Film Turning Red '青春变形记' (Qīngchūn biànxíng jì) (2020). Representasi budaya Cina dalam film Turning Red menampilkan unsur-unsur ajaran Konfusianisme dalam hubungan keluarga. Konfusianisme merupakan salah satu unsur kebudayaan Cina yang berisi falsafah hidup bagi etnis Cina baik yang tinggal di daratan Cina, maupun di luar daratan Cina. Dalam Konfusianisme terdapat konsep harmonisasi sebagai unsur bijak manusia antara lain Ren 仁 (kemanusiaan), Yi 義 (kebajikan/keadilan), Li 礼 (etika), Zhi 知 (pengetahuan), Xin 信 (integritas), Zhong 忠 (kesetiaan), 孝 (Xiào) (bakti kepada orang tua). Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana representasi Xiao pada film animasi berjudul Turning Red melalui penokohan Meilin Lee, Ming Lee, dan Wu. Melalui metode kualitatif, penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana bentuk representasi konsep Xiao yang ditunjukan pada film Turning Red melalui adegan tokoh-tokoh pada film. Melalui pendekatan deskriptif, penelitian ini menemukan bahwa konsep Xiao merupakan faktor penting dalam membangun alur dan penokohan dalam film ini.

Films with the animation genre have their own charm. Animated films can represent elements of a nation's culture with diverse and attractive graphics. One of the films that represents Chinese culture is Turning Red '青春变形记' (Qīngchūn biànxíng jì) (2020).The representation of Chinese culture in the film Turning Red displays elements of Confucianism in family relationships. Confucianism is one of the elements of Chinese culture which contains a philosophy of life for ethnic Chinese both living in mainland China and outside mainland China. In Confucianism there is the concept of harmonization as a wise human element, including Ren 仁 (humanity), Yi 義 (virtue/justice), Li 礼 (ethics), Zhi 知 (knowledge), Xin 信 (integrity), Zhong 忠 (loyalty), 孝 (Xiào) (filial piety). This study intends to find out how Xiao is represented in the animated film Turning Red through the characterizations of Meilin Lee, Ming Lee, and Wu. Through qualitative methods, this study will reveal how the form of representation of Xiao's concept is shown in the film Turning Red through the scenes of the characters in the film. Through a descriptive approach, this research finds that Xiao's concept is an important factor in developing the plot and characterizations in this film."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
"Di suatu pagi di sebuah perpustakaan,seorang siswa SMU sedang sibuk mencari literatur berupa buku atau bahan pustaka mengenai Loetoeng kasaroeng . Gurunya menyuruh ,membuat esai mengenai legenda dari Jawa Barat itu. Siswa tersebut pun larut dalam bacaan dan literatur yang diperolehnya di Perpustakaan. Beberapa buku dan majalah dilahapnya sampai memiliki bahan yang cukup banyak untuk membuat suatu esai ...."
020 VIS 10:2 (2008)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 2019
791.43 TIL
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Zuhdi Sahrul Ramadhan
"Artikel ini membahas tentang upaya dari sineas film nasional untuk meningkatkan kualitas dari film yang tayang di bioskop Jakarta pada tahun 1950 hingga 1965. Film Indonesia pada tahun 1950 memiliki permasalahan terhadap rendahnya kualitas film nasional yang ditayangkan. Rendahnya kualitas film nasional dilatar belakangi oleh peralatan produksi yang masih sederhana, kurangnya sumber daya manusia yang berpengalaman dalam film, kurangnya promosi terhadap film dan kurangnya kerjasama antara sineas serta pemerintah untuk membangun citra film nasional. Contoh permasalahan terhadap kualitas film adalah sinematografi dan alur cerita yang kurang baik. Rendahnya kualitas film Indonesia mendorong terjadinya dominasi terhadap film-film impor di bioskop besar Jakarta dan menarik minat penonton terhadap film impor seperti film Hollywood, India dan Cina yang tayang di bioskop kelas I dan II. Merasa berada di posisi yang sulit karena film nasional berada di bioskop kelas II dan III dengan target pasaran yang masih rendah, beberapa sineas Indonesia mulai berupaya untuk meningkatkan kualitas film yang mereka produksi. Upaya tersebut berupa revitalisasi terhadap produksi, promosi dan penayangan film, membangun kerjasama antar sineas dalam menyelenggarakan acara apresiasi Festival Film Indonesia. Upaya tersebut kemudian berhasil membawa dampak yang cukup besar, seperti masuknya film Lewat Djam Malam, Harimau Tjampa dan Tarmina kedalam Festival Film Asia Tenggara. Artikel ini disusun menggunakan metode sejarah, dengan pengumpulan data berupa arsip, surat kabar sezaman, buku dan jurnal artikel, yang diperoleh melalui Sinematek Indonesia, Perpustakaan Nasional dan melalui arsip online.

This article discusses the efforts of the national film sineas to intensify the quality of films shown in Jakarta cinemas from 1950 to 1965. The Indonesian movie in 1950 had problems with the low quality of national movies being screened. The low quality of national movies is caused by simple production equipment, lack of experienced human resources in film, lack of promotion of films and lack of cooperation between filmmakers and the government to build a national movies image. Examples of problems with movie quality are poor cinematography and storylines. The low quality of Indonesian movies encourages the dominance of imported movies in big cinemas of Jakarta and attracts audiences' interest in imported movies such as Hollywood, Indian and Chinese movies that are shown in class I and II cinemas. Feels that they are in a difficult position because national movies are in class II and III cinemas with a low target market, several Indonesian filmmakers have begun to try to improve the quality of the movies they produce. These efforts are in the form of revitalizing movies production, promotion, screening and building cooperation between filmmakers in organizing the Indonesian Film Festival appreciation event. These efforts then succeeded in having a considerable impact, such as the inclusion of the movies Through Djam Malam, Harimau Tjampa and Tarmina into the Southeast Asian Film Festival. This article was compiled using the historical method, with data collection in the form of archives, contemporary newspapers, books and journal articles, which were obtained through Sinematek Indonesia, the National Library and online archives."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ribka Sangianglili
"Skripsi ini menganalisis dekonstruksi yang terjadi dalam film animasi bergenre superhero, Megamind. Melalui perbandingan antara film ini dengan film-film superhero klasik, diperoleh hasil bahwa film ini telah medekonstruksi konvensi cerita superhero dalam aspek penokohan, alur cerita, dan sudut pandang. Namun, melalui pengkajian postkolonialisme dan gender, upaya dekonstruksi dalam film ini mengandung dualisme. Pada satu sisi, upaya tersebut terlihat telah melawan supremasi kulit putih serta nilai maskulinitas dan femininitas konvensional yang kerap kali muncul dalam film superhero pada umumnya. Tapi, di sisi lain, terjadi ambivalensi dalam upaya dekonstruksi tersebut karena pada akhirnya malah menekankan pola-pola tersebut. Lebih lanjut, dekonstruksi tersebut ternyata bertujuan untuk merekonstruksi konsep hero yang berbeda. Melalui tokoh Megamind, terdapat beberapa hal yang berusaha ditekankan yaitu proses untuk menjadi hero dan kekuatan yang tidak sekedar mengandalkan fisik.

This undergraduate thesis analyses the deconstruction which happens in Megamind, an animated superhero movie. By comparing this movie and several classic superhero movies, it can be concluded that Megamind has changed the basic convention of superhero stories through its characters, plot, and point of view. However, there is a dualism meaning in the deconstruction. On one hand, this movie seems to oppose the white supremacy, and also the conventional masculinities and femininities which usually can be seen in superhero movies in general. On the other hand, it also confirms those values again. Furthermore, the movie reconstructs different concept of hero as the result of the ambivalence in the deconstruction. Megamind shows some hero's qualities that rarely appear in the classic superhero movies such as the process to be a hero and other kind of powers beside the physical power."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43374
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Andriadi
"ABSTRAK
Degradasi apresiasi terhadap film Western mutakhir melatarbelakangi penelitian ini. Para produser film mencoba merevitalisasi elemen film Western agar menghasilkan karya yang lebih menarik dengan atmosfer yang berbeda. Penelitian ini menelaah invensi dan interaksi budaya melalui eksplorasi unsur-unsur eksternal yang menyebabkan perubahan pada formula genre Western dalam film Wild Wild West (1999) dan Django Unchained (2012). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terjadi pembalikan tipe struktur estetika dalam kedua film tersebut. Pertama, latar karya menunjukkan ruang yang semakin modern dan cenderung mengurangi ruang kebudayaan liar; kedua, ikon persenjataan dan transportasi yang digunakan oleh para tokoh semakin modern; ketiga, tokoh hero yang ditampilkan semakin marjinal; keempat, ide cerita semakin variatif dan dinamis; kelima, situasi dan pola tindakan yang disuguhkan menunjukkan formula kekerasan yang semakin brutal. Evolusi yang terjadi pada kedua film teranalisis dipengaruhi oleh politisasi produksi, perubahan jaman, dan perubahan selera penonton/masyarakat."
Ambon: Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, 2016
400 JIKKT 4:2 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Diko Rinaldo
"Skripsi ini merupakan pendekatan filosofis terhadap pilihan identitas atas kecantikan perempuan yang dikonstruksi oleh beberapa ideologi dan dikaitkan dengan derasnya arus informasi yang disodorkan oleh beberapa media elektronik, film khususnya. Kondisi ini membawa kita pada satu bentuk fenomena budaya, yang oleh Jean Baudrillard dikatakan sebagai fenomena budaya hiperrealitas. Berbeda dengan pengkajian budaya, telaah filosofis menaruh perhatian pada kondisi individu yang otonom. Penelitian dilakukan dengan cara membedah fenomena hiperrealitas dengan hipersemiotika sebagai pisau bedahnya.

This undergraduated thesis is a philosophical approach of the female beauty identity selection that is constructed by some of the ideology and associated with a rapid flow of information offered by some of the electronic media, especially movies. This condition leads to a cultural phenomena that Jean Baudrillard said as the cultural phenomenon of hyperreality. Unlike the assessment of cultural, philosophical study concerns with the conditions of the autonomous individual. Research has been done by dissecting the phenomenon of hyperreality with hypersemiotic as the scalpel."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43270
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>