Ditemukan 76480 dokumen yang sesuai dengan query
Nouvaliza Aisy Akmalia
"Skripsi ini membahas mengenai pembatalan klausula eksonerasi dalam gugatan perbuatan melawan hukum. Meskipun klausula eksonerasi berakibat batal demi hukum, tetapi pihak yang memuat klausula eksonerasi tersebut tentunya akan bersikeras bahwa klausula tersebut sah dan mengikat para pihak. Maka dari itu, pihak yang dirugikan harus mengajukan pembatalan melalui gugatan ke Pengadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Namun, dikarenakan pengabulan pembatalan perjanjian dan ganti kerugian bergantung pada diskresi hakim dalam memutus, maka penilaian hakim terhadap adanya klausula eksonerasi dalam suatu perjanjian menjadi sangat penting. Terlebih lagi, di Indonesia tidak ada ketentuan yang mengikat hakim untuk memutus sesuai dengan penilaian hakim terdahulu terhadap perkara yang sama sehingga dimungkinkan adanya perbedaan penilaian dari masing- masing hakim. Seperti dalam Putusan Nomor 385/Pdt.G/2019/PN.Sby, majelis hakim menimbang bahwa addendum-addendum yang dibuat antara Penggugat dan Tergugat telah disetujui oleh Penggugat dan Tergugat dengan memberikan tanda tangan di atas materai. Sementara itu, dalam Putusan Nomor 334 PK/Pdt/2014, meskipun Penggugat telah menyepakati perjanjian yang memuat klausula eksonerasi, hakim mengabulkan pembatalan klausula eksonerasi tersebut. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan menganalisis putusan-putusan pengadilan yang relevan untuk mengetahui kecenderungan penilaian hakim di Indonesia dalam memutus pembatalan perjanjian yang memuat klausula eksonerasi. Adapun dari putusan-putusan pengadilan yang telah dianalisis, diketahui bahwa belum semua hakim paham mengenai bagaimana suatu klausula dikatakan sebagai klausula eksonerasi dan dasar batalnya klausula eksonerasi. Dari kelima putusan yang dianalisis, hanya satu pertimbangan hakim yang tepat menilai mengenai klausula eksonerasi. Selebihnya, hakim seolah-olah belum dapat membedakan antara klausula baku dengan klausula eksonerasi. Padahal, meskipun telah disepakati oleh keduanya, klausula eksonerasi tetap batal demi hukum berdasarkan Pasal 1494 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Pasal 18 ayat (1) huruf a Undang- Undang Perlindungan Konsumen.
This thesis discusses the cancellation of the exoneration clause in a tort lawsuit. Even though the exoneration clause has the effect of being null and void, the party that contains the exoneration clause will of course insist that the clause is valid and binding on the parties. Therefore, the aggrieved party must submit an annulment through a lawsuit to the Court as stipulated in Article 1266 and Article 1267 of the Civil Code. However, because the acceptance of the cancellation of the agreement and compensation depends on the judge's discretion in deciding, the judge's assessment of the existence of an exoneration clause in an agreement becomes very important. What's more, in Indonesia there are no provisions that bind judges to decide in accordance with the previous judge's assessment of the same case so that it is possible for differences in the assessment of each judge. As in Decision Number 385/Pdt.G/2019/PN.Sby, the panel of judges considered that the addendums made between the Plaintiff and the Defendant had been approved by the Plaintiff and the Defendant by signing on stamp duty. Meanwhile, in Decision Number 334 PK/Pdt/2014, even though the Plaintiff had agreed to an agreement containing an exoneration clause, the judge granted the cancellation of the exoneration clause. By using normative juridical research methods, this paper will analyze relevant court decisions to find out the tendency of judges in Indonesia to decide on the cancellation of agreements containing exoneration clauses. As for the court decisions that have been analyzed, it is known that not all judges understand how a clause is said to be an exoneration clause and the basis for canceling an exoneration clause. Of the five decisions analyzed, only one judge's consideration was the right one to evaluate regarding the exoneration clause. In addition, the judges seemed unable to distinguish between standard clauses and exoneration clauses. In fact, even though both have agreed, the exoneration clause remains null and void based on Article 1494 of the Civil Code and Article 18 paragraph (1) letter a of the Consumer Protection Act."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Tasya Kirei Putri Gunawan
"Skripsi ini membahas mengenai pembatalan perjanjian secara sepihak yang dilihat dari sudut pandang perbuatan melawan hukum. Melihat bagaimana terjadinya pembatalan perjanjian secara sepihak dapat diajukan gugatan perbuatan melawan hukum atau wanprestasi, serta konsistensi hakim dalam memeriksa perkara tersebut dengan gugatan perbuatan melawan hukum. Bentuk metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian doktrinal, dengan menafsirakan dan menganalisis berdasarkan pada asas-asas hukum dan sumber hukum tertulis. Dalam tulisan ini akan menganalisis putusan-putusan pengadilan terdahulu yang mendasari sikap Mahkamah Agung dalam Yurisprudensi 4/Yur/Pdt/2018, yang menyatakan bahwa pembatalan perjanjian secara sepihak yang termasuk dalam perbuatan melawan hukum. Selain itu, tulisan ini juga melihat pertimbangan hakim pada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap pada tahun 2020-2021, bahwa hakim dalam pertimbangannya memandang pembatalan perjanjian secara termasuk sebagai perbuatan melawan hukum dengan melihat terlebih dahulu hubungan hukum yang terjadi diantara para pihak dan pemenuhan unsur-unsur perbuatan melawan hukum, yang tercantum dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Suatu perjanjian yang telah sah dan mengikat para pihak, yang dikemudian hari dibatalkan secara sepihak oleh salah satu pihak dalam perjanjian, maka telah melawan hukum yang menimbulkan kerugian atas perbuatan itu.
This thesis discusses the unilateral cancellation of agreements from the perspective of unlawful acts. It examines how the unilateral cancellation of agreements can be challenged through a lawsuit for unlawful acts or breach of contract, as well as the consistency of judges in examining such cases with lawsuits for unlawful acts. The research method used is doctrinal research, interpreting and analyzing based on legal principles and written legal sources. This paper will analyze previous court decisions that underlie the Supreme Court's stance in Jurisprudence 4/Yur/Pdt/2018, which states that unilateral cancellation of agreements is considered an unlawful act. In addition, this paper also examines the considerations of judges in legally binding decisions in 2020-2021, where judges consider the unilateral cancellation of agreements as an unlawful act by first examining the legal relationship between the parties and the fulfillment of the elements of unlawful acts, as stated in Article 1365 of the Civil Code. An agreement that is valid and binding for the parties, which is unilaterally canceled by one party, is considered an unlawful act that causes harm."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Ahmada Ken Aqshal Rakaisindhu Kesuma Yunus
"Disparitas putusan hakim dalam mengadili perkara yang menggabungkan gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, penyatuan pengaturan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi dalam Buku III KUHPerdata, yang menimbulkan tumpang tindih pemahaman terhadap perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Dampak dari hal tersebut adalah penggabungan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi dalam satu gugatan. Faktor kedua adalah tidak terdapat pengaturan yang tegas mengenai kumulasi objektif dalam hukum positif di Indonesia. Kedua faktor tersebut menyebabkan ketidakseragaman pemahaman hakim terhadap kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi, yang menghasilkan putusan-putusan yang saling bertentangan. Perbandingan pertimbangan hakim dalam menerima atau menolak kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi serta identifikasi berbagai unsur yang harus dipertimbangkan hakim dalam mengadili perkara kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi merupakan masalah utama yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini menghasilkan sebuah perbandingan pertimbangan hakim dalam menerima atau menolak kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi serta mengidentifikasi serta menganalisis berbagai unsur yang harus dipertimbangkan hakim dalam mengadili perkara kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa terdapat ketidakharmonisan pertimbangan hakim dalam mengadili perkara kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi. Selain itu, berdasarkan unsur-unsur yang diidentifikasi dan dianalisis, kumulasi gugatan perbuatan melawan hukum dan wanprestasi seharusnya ditolak.
The disparity in court decisions in adjudicating cases that combine tort and breach of contract are caused by two main factors. Firstly, the unification of regulations of tort and breach of contract in Book III of the Indonesian Civil Code, which causes inharmonious understanding of tort and breach of contract. The impact of this is the combination of tort and breach of contract in one lawsuit. The second factor is that there are no clear and strict regulations regarding objective cumulative lawsuit in Indonesian civil procedural law. These two factors lead to a non-uniformity in judges’ understanding of cumulative lawsuit of tort and breach of contract, which result in conflicting decisions. Comparison of the judges’ considerations in sustaining or overruling cumulative lawsuit of tort and breach of contract and identification of various elements that judges must consider in ruling cases of cumulated tort and breach of contract claims are the main issues in this paper. By using normative juridical research methods, this paper compares the judges’ considerations in sustaining or overruling cumulative lawsuit of tort and breach of contract, identifies and analyzes various elements that judges must consider in ruling cases of cumulated tort and breach of contract claims. Based on the results, this paper concludes that there is disharmony in the judges’ considerations in ruling cases of cumulated tort and breach of contract claims. In additon, based on the identified and analyzed elements, cumulative lawsuit of tort and breach of contract should not be approved."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Meydora Cahya Nugrahenti
"Tesis ini meneliti dan mengkaji kewenangan arbitrase dalam memeriksa dan memutus sengketa perbuatan melawan hukum, ditinjau dari peraturan perundang-undangan yang berlaku dan putusan-putusan pengadilan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Hasil penelitian adalah bahwa berdasarkan UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan asas pacta sunt servanda yang terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata, arbitrase berwenang dalam memeriksa dan memutus sengketa perdata termasuk sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari kontrak yang mengandung klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase. Namun pada beberapa putusan pengadilan, terdapat sikap dan pendapat hakim yang menyatakan Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perbuatan melawan hukum yang terjadi di antara para pihak yang terikat dengan kontrak yang mengandung klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase, karena perbuatan melawan hukum dipandang sebagai perbuatan yang tidak terkait dengan klausul atau perjanjian arbitrase di antara para pihak. Penelitian ini menyarankan Pengadilan Negeri untuk konsisten menghormati klausul arbitrase dalam perjanjian dan menyatakan tidak berwenang mengadili suatu sengketa perbuatan melawan hukum di antara para pihak yang terikat dengan klausul atau perjanjian arbitrase. Berdasarkan asas pacta sunt servanda para pihak harus terikat dan mematuhi klausul arbitrase dalam perjanjian yang mereka setujui.
This thesis analyses the authority of arbitration to adjudicate a tort dispute, pursuant to the prevailing arbitration regulation and the current Indonesian court’s decisions. The method of research used in this thesis is normative-juridical method. The research found that based on Law No.30 Year 1999 Regarding The Arbitration and The Alternative Dispute Resolution and pacta sunt servanda principle contained in Article 1338 of The Indonesian Civil Code, arbitration shall have the authority to adjudicate private dispute including tort dispute raising from a contract that contains arbitration clause or arbitration agreement. To some extent, there are several Indonesian court’s decisions have decided District Court has the authority to adjudicate tort dispute raising from the related contract that parties who bound by arbitration clause or arbitration agreement with the reason that tort is categorized or qualified as a legal act that does not relate with arbitration clause or agreement between parties. The thesis suggests to the court to consistently respect the arbitration clause or arbitration agreement made and entered into by the parties, and declare have no legal authority to adjudicate tort dispute between parties who are bound by arbitration clause or arbitration agreement. Based on pacta sunt servanda principle, the parties are bound by and shall comply with the arbitration clause or arbitration agreement they made and entered into."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Meydora Cahya Nugrahenti
"Tesis ini meneliti dan mengkaji kewenangan arbitrase dalam memeriksa dan memutus sengketa perbuatan melawan hukum, ditinjau dari peraturan perundang undangan yang berlaku dan putusan-putusan pengadilan. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif. Hasil penelitian adalah bahwa berdasarkan UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan asas pacta sunt servanda yang terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata, arbitrase berwenang dalam memeriksa dan memutus sengketa perdata termasuk sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari kontrak yang mengandung klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase. Namun pada beberapa putusan pengadilan, terdapat sikap dan pendapat hakim yang menyatakan Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan mengadili sengketa perbuatan melawan hukum yang terjadi di antara para pihak yang terikat dengan kontrak yang mengandung klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase, karena perbuatan melawan hukum dipandang sebagai perbuatan yang tidak terkait dengan klausul atau perjanjian arbitrase di antara para pihak. Penelitian ini menyarankan Pengadilan Negeri untuk konsisten menghormati klilUsul arbitrase dalam perjanjian dan menyatakan tidak berwenang mengadili suatu sengketa perbuatan melawan hukum di antara para pihak yang terikat dengan klausul atau perjanjian arbitrase. Berdasarkan asas pacta sunt servanda para pihak harus terikat dan mematuhi klausul arbitrase dalam perjanjian yang mereka setujui.
This thesis analyses the authority of arbitration to adjudicate a tort dispute, pursuant to the prevailing arbitration regulation and the current Indonesian court's decisions. The method of research used in this thesis is normative-juridical method. The research found that based on Law No.30 Year 1999 Regarding The Arbitration and The Alternative Dispute Resolution and pacta sunt servanda principle contained in Article 1338 of The Indonesian Civil Code, arbitration shall have the authority to adjudicate private dispute including tort dispute raising from a contract that contains arbitration clause or arbitration agreement. To some extent, there are several Indonesian court's decisions have decided District Court has the authority to adjudicate tort dispute raising from the related contract that parties who bound by arbitration clause or arbitration agreement with the reason that tort is categorized or qualified as a legal act that does not relate with arbitration clause or agreement between parties. The thesis suggests to the court to consistently respect the arbitration clause or arbitration agreement made and entered into by the parties, and declare have no legal authority to adjudicate tort dispute between parties who are bound by arbitration clause or arbitration agreement. Based on pacta sunt servanda principle, the parties are bound by and shall comply with the arbitration clause or arbitration agreement they made and entered into."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T32566
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Areta Artauli
"Perkembangan zaman dan kemajuan teknologi adalah dua hal yang saling berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Kemajuan teknologi merupakan dampak dari adanya perkembangan zaman serta kebutuhan untuk mengatasi dan beradaptasi dengan perubahan demi perubahan. Salah satu kemajuan teknologi yang secara kasat mata dan dapat dirasakan keberadaannya adalah dalam bidang financial technology atau fintech. Masyarakat yang mulai familiar dengan penggunaan internet dipermudah dengan layanan dalam bentuk aplikasi dompet elektronik yang ditawarkan oleh Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (“PJSP”) yang dapat diakses melalui perangkat elektronik seperti handphone dan/atau komputer. Dalam penggunaan aplikasi tersebut tentu timbul hak dan kewajiban antara masyarakat sebagai pengguna aplikasi dengan PJSP yang bersangkutan. Hubungan hukum ini dilandasi dengan perjanjian pengguna (user agreement). Dalam perjanjian pengguna juga ditetapkan klausula batasan tanggung jawab apabila pengguna yang bersangkutan melakukan pelanggaran sejumlah ketentuan, baik ketentuan penggunaan Aplikasi atau yang lazim disebut sebagai “Syarat dan Ketentuan, maupun ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. PJSP membatasi ranah pertanggung jawaban PJSP manakala Pengguna melakukan perbuatan melawan hukum, mengingat aplikasi dompet elektronik sering pula menjadi sarana penyelahgunaan. Artikel ini bertujuan memberikan analisis mengenai hubungan hukum antara pengguna dan PJSP serta keberlakuan klausula batasan tanggung jawab dalam perjanjian pengguna dalam hal terdapat kondisi perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh oknum yang justru merupakan pengguna lain yang tidak bertanggung jawab berdasarkan KUH Perdata, UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan peraturan perundang-undangan terkait lainnya.
The times and technological advances are two things that are interrelated and cannot be separated. Technological progress is the impact of the times and the need of change and to adapt to changes. One of the technological advances that are visible and can be felt is the field of financial technology or fintech. People who are starting to become familiar with internet usage are facilitated by services in the form of an electronic wallet app provided by Payment System Service Providers (“PJSP”) which can be accessed via electronic devices such as handphones and/or computers. In using the app, of course the rights and obligations arise between the user and the PJSP. This legal relationship is based on a user agreement. In the user agreement, a clause on the limitation of liability (exoneration) is also stipulated if the user concerned violates a number of provisions, both the terms of use of the Application, or what is commonly referred to as "Terms and Conditions, as well as the provisions of applicable laws and regulations. PJSP limits the its liability when a User commits an act against the law 9unlawful acts), considering that the electronic wallet application is often to be misused. This article aims to provide an analysis of the legal relationship between the user and the PJSP as well as the enforceability of the limitation of liability (exoneration) clause in the user agreement in the event that there are conditions for unlawful acts committed by individuals who are otherwise irresponsible users under the Indonesian Civil Code, Law No. 11 of 2008 concerning Information and Electronic Transactions as amended by Law no. 19 of 2016, Law No. 8 of 1999 concerning Consumer Protection and other related laws and regulations."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Giovanni Leonardo
"Tesis ini membahas mengenai akta otentik yang dibuat oleh seorang Notaris yang merupakan pejabat umum yang memiliki kewenangan dan kewajiban sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 02 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris UUJN . Seorang Notaris dalam menjalankan jabatannya harus penuh dengan kehati-hatian dan kecermatan agar dapat membuat akta otentik yang tidak bertentangan dengan Undang-undang sehingga tidak mengandung unsur perbuatan melawan hukum. Dalam penelitian ini, Penulis mengangkat 3 permasalahan pokok, yang pertama bagaimana akta jual beli yang dibuat oleh Notaris yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum? Yang kedua bagaimana akibat hukum dari akta yang dibatalkan oleh Pengadilan? Dan yang ketiga, bagaimana tanggung jawab Notaris terhadap akta yang dibuatnya dan dibatalkan oleh Pengadilan? Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan metode kepustakaan dan analisis kasus dengan mengumpulkan data sekunder. Analisis kasus dilakukan terhadap Putusan Mahkamah Agung Tanggal 25 April 2017 Nomor 598 K/PDT/2017, dimana dalam kasus tersebut akta otentik yang dibuat oleh Notaris dibatalkan oleh Pengadilan karena dibuat dengan tidak hati-hati dan tidak cermat sehingga tidak memenuhi ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akta yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum dapat dibatalkan dan akibat hukum atas pembatalan tersebut adalah tindakan hukum dalam akta dianggap tidak pernah ada. Sedangkan dari segi tanggung jawab, Notaris bertanggung jawab secara perdata dan juga secara administratif dari segi jabatannya.
This thesis discussed about authentic deed made by Notary which is a public officials who has authority and obligation as regulated in the Law Number 02 Year 2014 concerning Amendment to Law Number 30 Year 2004 about Notary UUJN . A Notary when doing his work, must be with prudence and precision in order to make an authentic deed that did not contradict with the law so that the deed can has a perfect power of proof and does not have an unlawful act element. In this study, the writer raised 3 problem, first, how a sale and purchase deed made by Notary contain an unlawful act element Second, what is the legal consequences of the notary deed which annulled by the court And the third, what is the notary responsibility due to the annulment of the deed which he she made This study uses normative legal research with the literature methode and case analysis with collecting secondary data. Case analysis was conducted on the supreme court dated 25 April 2017 Number 598 K PDT 2017, where in the case an authentic deed made by a notary was canceled by court because the deed made by a Notary who was not carefull and not precise. The result of this study indicates that a deed that contains unlawful act can be cancelled and the law concequences of the cancellation is the lawful act in the deed is considered never happen. In the perspective of responsibilities, Notary have a civil and administrative responsibilities."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T49316
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Dimas Almansyah
"Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) terkait perubahan susunan pemegang saham seharusnya dilaksanakan sesuai prosedur serta persyaratan pelaksanaan RUPS dan syarat pemindahan hak atas saham sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Namun pada kenyataanya RUPS PT AN tidak memenuhi syarat pemindahan hak atas saham yang mengakibatkan pembatalan akta pernyataan keputusan RUPS seperti yang ditemukan dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 223 PK/PDT/2022. Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan mengangkat permasalahan tentang keabsahan pemindahan hak atas saham pada PT AN dan tanggung jawab notaris terhadap akta pernyataan keputusan RUPS yang telah dibatalkan oleh hakim. Penelitian hukum doktrinal ini dilakukan dengan melakukan pengumpulan bahan hukum primer, sekunder, dan tersier melalui studi dokumen yang selanjutnya dianalisis. Dapat dikemukakan 2 (dua) hasil analisis dari penelitian ini yaitu: Pertama, pemindahan hak atas saham pada Akta Pernyataan Keputusan Bersama Para Pemegang Saham Nomor 42 Tanggal 28 November 2014 sebagian sah untuk 60 (enam puluh) saham karena telah memenuhi prosedur serta persyaratan pengambilan keputusan sirkuler dan syarat pemindahan hak atas saham tetapi sebagian lainnya tidak sah untuk 129 (seratus dua puluh sembilan) saham karena tidak ada akta pemindahan hak atas saham. Pada Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Nomor 14 Tanggal 24 Desember 2014 tidak sah seluruhnya serta melawan hukum karena melanggar syarat pemindahan hak atas saham yaitu tanpa akta pemindahan hak atas saham dan tanpa persetujuan pemegang saham melalui RUPS; Kedua, notaris memiliki tanggung jawab atas pembatalan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Nomor 14 Tanggal 24 Desember 2014 secara perdata berupa ganti rugi. Notaris juga dapat diberikan sanksi administratif berupa teguran lisan/tulisan atau pemberhentian dengan hormat/tidak hormat sebagai notaris oleh majelis pengawas notaris. Selain itu, notaris juga dapat dikenakan sanksi kode etik oleh dewan kehormatan notaris berupa teguran lisan/tulisan atau pemberhentian dengan hormat/tidak hormat dari keanggotaan organisasi notaris.
The General Meeting of Shareholders (GMS) related to changes in the composition of shareholders must be carried out by the procedures and requirements for implementing the GMS and the provisions for transferring rights to shares as stipulated in Law Number 40 of 2007 concerning Limited Liability Companies. However, in reality, PT AN's GMS did not fulfill the requirements for transferring rights to shares, which resulted in the cancellation of the deed of the statement of the GMS decision as found in Supreme Court Decision Number 223 PK/PDT/2022. Therefore, this research was conducted by raising issues regarding the validity of the transfer of rights to shares in PT AN and the responsibility of the notary regarding the deed of the GMS decision, which the judge canceled. This doctrinal legal research was conducted by collecting primary, secondary, and tertiary legal materials through document studies which were then analyzed. It can be stated 2 (two) results of the analysis of this study, namely: First, the transfer of rights to shares in the Deed of Statement of Joint Contract of Shareholders Number 42 dated 28 November 2014 is partially valid for 60 (sixty) shares because it has fulfilled the procedures and decision-making requirements circular and requirements for the transfer of rights over shares, but the other part is not valid for 129 (one hundred twenty-nine) shares because there is no deed of transfer of rights over shares. The Deed of Statement of Resolutions of the General Meeting of Shareholders Number 14, dated 24 December 2014 invalid as a whole and against the law because of a violation of the requirements for the transfer of rights to shares, namely without the deed of transfer of shares ownership and without the approval of shareholders through the GMS; Second, the notary has the responsibility for canceling the Deed of Statement of Resolutions of the General Meeting of Shareholders Number 14 dated 24 December 2014 in the form of compensation. Notaries can also be subject to administrative sanctions in the form of verbal/written warnings or respectful/disrespectful dismissal as a notary by the notary supervisory board. In addition, notaries can also be subject to code of ethics sanctions by the notary honor council in the form of verbal/written warnings or dismissal with respect/disrespect from the notary organization."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Annisa Izzati
"Warga masyarakat dalam pengajuan gugatan perkara perbuatan melawan hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) sudah seharusnya memperhatikan karakteristik dan kompetensi absolut dari perkara Onrechtmatige Overheidsdaad yang ingin digugat. Hal ini disebabkan ketepatan karakteristik dan tempat pengajuan gugatan perkara Onrechtmatige Overheidsdaad menjadi salah satu syarat materil dan formil dalam mengajukan gugatan perkara Onrechtmatige Overheidsdaad sehingga gugatan warga masyarakat diterima dan dapat dilanjutkan untuk diperiksa dalam proses persidangan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normative dan metode pendekatan kasus dengan peraturan perundang-undangan dan 7 putusan pengadilan perkara Onrechtmatige Overheidsdaad yang menjadi bahan hukum primer. Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa terhadap gugatan perkaraOnrechtmatige Overheidsdaad dengan berlakunya Perma Nomor 2 Tahun 2019 tidak serta merta hanya menjadi kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara, tetapi dapat menjadi bagian dari kewenangan Pengadilan Negeri. Untuk mengetahui manakah perkara Onrechtmatige Overheidsdaad yang menjadi kompetensi absolut Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Negeri maka Penggugat harus memperhatikan karakteristik dari perkara Onrechtmatige Overheidsdaad yang ingin digugat.
Citizens filing lawsuits for unlawful acts by Government Agencies and/or Officials (Onrechtmatige Overheidsdaad) should already pay attention to the characteristics and absolute competence of the Onrechtmatige Overheidsdaad case that they wish to sue. This is due to the accuracy of the characteristics and place of submission of the Onrechtmatige Overheidsdaad lawsuit which is one of the material and formal requirements in filing an Onrechtmatige Overheidsdaad lawsuit so that the community's claim is accepted and can be continued for examination in the trial process. The research method used is normative juridical and case approach methods with statutory regulations and 7 decisions of the Onrechtmatige Overheidsdaad case court which are the primary legal material. The results obtained from this study are that the Onrechtmatige Overheidsdaad lawsuit with the enactment of Perma Number 2 of 2019 does not necessarily only become the authority of the State Administrative Court, but can become part of the authority of the District Court. To find out which Onrechtmatige Overheidsdaad cases are the absolute competence of the State Administrative Court and the District Court, the Plaintiff must pay attention to the characteristics of the Onrechtmatige Overheidsdaad case that he wishes to sue."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Fharefta Akmalia
"Perbuatan melawan hukum merupakan salah satu sumber perikatan yang berasal dari undang-undang, sedangkan sumber perikatan lainnya merupakan perjanjian yang erat kaitannya dengan wanprestasi. Meskipun merupakan jenis gugatan dan sumber perikatan yang berbeda, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam kehidupan sehari-hari dimungkinkan adanya suatu perbuatan melawan hukum dalam perjanjian. Penelitian dilakukan dengan metode yuridis-normatif yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder termasuk dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan. Melalui penelitian ini dapat disimpulkan bahwa meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membedakan antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, namun dalam perkembangannya dapat dilakukan perbuatan melawan hukum meskipun di dalamnya terdapat hubungan kontraktual. Indonesia perlu menambahkan pengaturan lebih lanjut mengenai perbuatan melawan hukum agar sesuai dengan perkembangan hukum perjanjian saat ini serta diperlukan kesatuan perdapat mengenai perbuatan melawan hukum dalam perjanjian utang piutang.
Tort is one source of engagement that comes from the law, while the other source of engagement is agreement which is closely related to breach of contract. Although both are a different type of lawsuit and also a different source of engagement, but it cannot be denied that in everyday life it is possible that tort is occurred in the agreement. This study was conducted using the juridical-normative method by examining secondary data, also by using statutory approach. Through this study, it can be concluded that, although the Civil Code distinguishes between breach of contract and tort, in its development tort can happen in a contractual relationship. Indonesia needs to add further regulations regarding tort in order to comply with the current development of contractual law and a unity of opinion is needed regarding tort in loan agreement. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library