Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168455 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Lingga
"Untuk mengundang investor asing menanamkan modalnya di sebuah negara, negara tersebut pada umumnya memberikan insentif kepada investor asing tersebut yang salah satunya berbentuk hak atas tanah. Tanah sebagai salah satu faktor produksi utama dalam kegiatan produksi menjadi salah satu alasan mengapa investor asing ingin menanamkan modalnya di sebuah negara. kepemilikan tanah oleh pihak asing dengan skala yang besar dapat menciptakan fenomena land grabbing. Land grabbing sendiri memiliki berbagai dampak buruk seperti munculnya pengungsi internal dan rusaknya lingkungan. Indonesia sebagai negara yang memiliki tanah luas dan kaya akan sumber daya alam saat ini sudah merasakan dampak dari land grabbing. Adapun pembahasan di skripsi ini akan mencakup mekanisme yang saat ini diterapkan di negara Republik Demokrasi Kongo dan Australia untuk mencegah dan menanggulangi land grabbing dan bagaimana mekanisme tersebut dapat diterapkan di Indonesia agar dampak dari land grabbing sendiri dapat diminimalisir.

To invite foreign investors to invest in a country, the country generally provides incentives to foreign investors, one of which is land rights. Land as one of the main production factors in production is one reasons why investors want to invest in a country. Land ownership by foreign parties on a large scale can create the phenomenon of land grabbing. Land grabbing itself has various bad impacts such as the emergence of internal refugees and environmental damage. Indonesia, as a country with vast land and rich in natural resources, is currently feeling the impact of land grabbing. The discussion in this thesis will cover the mechanisms currently applied in the Democratic Republic of the Congo and Australia to prevent and combat land grabbing and how these mechanisms can be applied in Indonesia so that the impact of land grabbing itself can be minimized."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kathleen Angel Winarta
"Tulisan ini menganalisis mengenai bagaimanakan status tanah yang telah diberikan hak konsesi dan legalitas dari kepemilikan grondkaart oleh PT Kereta Api Indonesia (Persero) khususnya dalam daerah eks swapraja Kesultanan Deli sesuai Putusan Nomor 808/PD.T/2019/PN.Mdn. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal. Konsesi merupakan perjanjian yang dibuat pemerintah atau kepala daerah bersama dengan pihak swasta dan atau masyarakat adat, yang sifatnya khusus berisikan izin serta pemberian wewenang secara terbatas oleh pemerintah setempat. Grondkaart merupakan peta tanah yang dikuasai oleh perusahaan kereta api pada masa kolonial dan sesuai fungsinya merupakan pedoman dalam penguasaan tanah salah satunya adalah dalam pemberian konsesi. Pada praktiknya tanah setelah diberikan hak konsesi pada daerah Kesultanan Deli tidak tertampung pengaturan kepemilikannya pada Undang-Undang Pokok Agraria, sebab daerah swapraja sendiri telah dihapus keberadaannya pada Undang-Undang Pokok Agraria. Mengakibatkan terdapat kesulitan dalam pemulihan hak kepemilikan masyarakat Kesultanan Deli saat ini terhadap lahan yang mereka miliki, terlebih sebelumnya terdapat nasionalisasi yang mengalihkan kepemilikan mereka menjadi aset perusahaan yang sebelumnya perusahaan Belanda termasuk perusahaan kereta api. Dalam praktiknya pada saat ini oleh perusahaan kereta api Indonesia setelah nasionalisasi dan kemerdekaan, grondkaart digunakan sebagai pedoman dalam penertiban aset PT Kereta Api Indonesia (Persero) akan tetapi kesulitan terjadi ketika terdapat sengketa akibat tidak dilakukan pengecekan atas perolehan tanah yang berada dalam grondkaart tersebut.

This paper analyzes the status of land that has been granted concession rights and the legality of grondkaart ownership by PT Kereta Api Indonesia (Persero), especially in the former Sultanate of Deli swapraja area according to Decision Number 808/PD.T/2019/PN.Mdn. This paper is prepared using doctrinal research methods. Concession is an agreement made by the government or head of the region together with private parties and or indigenous peoples, which specifically contains permission and limited authority by the local government. Grondkaart is a land map controlled by the railroad company during the colonial period and according to its function is a guideline in land tenure, one of which is in granting concessions. In practice, land after being granted concession rights in the Deli Sultanate area is not accommodated in the ownership arrangements in the Basic Agrarian Law, because the swapraja area itself has been abolished in the Basic Agrarian Law. As a result, there are difficulties in restoring the ownership rights of the Deli Sultanate community at this time for land that they own. Especially before there was nationalization which transferred their ownership to company assets that were previously Dutch companies including railroad companies. In practice at this time by the Indonesian railway company after nationalization and independence, grondkaart is used as a guideline in controlling the assets of PT Kereta Api Indonesia (Persero) but difficulties occur when there is a dispute due to not checking the acquisition of the land in the grondkaart."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, 1993
346.047 IND n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Bunga Shabrina
"ABSTRACT
Pelepasan hak dilakukan ketika suatu subjek hukum tidak memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah. Pelepasan hak ialah dimana satu pihak melepaskan dan satu pihak lainnya membayarkan ganti rugi maka tanahnya berubah yang awalnya terdapat status hak atas tanah menjadi tanah negara, maka perlu dilakukan permohonan hak. Dalam skripsi ini akan dibahas permasalahan mengenai beralihnya tanah negara yang dilakukan oleh PT Bintang Sampora Asri (PT BSA) dengan PT Arwiga Bhakti Propertindo (PT ABP) yang didasarkan oleh Akta Pemindahan dan Penyerahan Hak atas Tanah. Kemudian terbit izin lokasi yang dimiliki PT ABP mengingat di lokasi yang sama telah terbit izin lokasi atas nama PT BSA. Atas permasalahan diatas tersebut, skripsi ini menawarkan saran berupa perlu dibentuk aturan merinci mengenai Izin Lokasi terkait prosedur pengalihan Izin Lokasi bagi Badan Hukum yang tidak dapat melanjutkan keberlangsungan kegiatan peruntukkan tanah berdasarkan izin lokasi yang telah diterbitkan, persyaratan teknis dan administratif yang diperlukan, dan waktu penyelesaian. Agar dapat diiterapkannya asas keterbukaan/transparansi bagi Badan Pertanahan Nasional. Mengenai akibat hukum bagi kreditur dan debitur, di dalam pembuatan perjanjian kredit yng baru untuk menggantikan yang lama, dinyatakan secara tegas tentang hal-hal yang berkaitan dengan isi perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak.

ABSTRACT
Release of land rights is carried out when a legal subject does not fulfill the requirements as a land-rights holder. Release of land rights is when one party surrender and the one other party pay the compensation, then the status of land is changed from owned-land rights to state-owned land, then a rights request must be made. The discuss the matters of shifted state-owned land which is conducted by PT Bintang Sampora Asri (PT BSA) with PT Arwiga Bhakti Propertindo (PT ABP) that based by the Deed of Transfer and Assignment of Land Rights. Then published the Location Permit owned by PT ABP in mind that in the same location is already published the Location Permit in the name of PT BSA. For the matters above, this thesis presents recommendation in the form of detailed regulation about Location Permit about procedures of transferring Location Permit for Legal Entity that couldnt continue the allocation activities of land based on published Location Permit, technical requirements and administrative the required, and time completion that been published. In order to implement the principle of opened/transparanct for the National Land Agency. About the consequences of law for Creditor and Debtor, in making a new credit agreement to replace the old one, stated explicitly about the matters that related to the contents of the agreement which been agreed by both parties."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jason Octavio Tigris
"Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, banyak negara yang menggunakan teknologi dalam melaksanakan mekanisme pendaftaran tanah. Skripsi ini membahas mengenai prospek penerapan teknologi informasi dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia. Pembahasan pertama adalah mengenai sejarah singkat dan sistem pendaftaran tanah di Indonesia beserta contoh mekanisme pendaftaran tanah konvensional. Pembahasan kedua adalah mengenai sejarah dan sistem pendaftaran tanah di Belanda dan Korea Selatan dan bagaimana mekanisme pendaftaran tanah di kedua negara tersebut yang sudah dilaksanakan dengan bantuan teknologi informasi. Pembahasan terakhir adalah mengenai perbandingan kondisi pendaftaran tanah di Indonesia dan kedua negara tersebut, dampak, implikasi dan hambatan dari penerapan teknologi informasi dalam sistem pendaftaran tanah di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji bagaimana prospek dan kesiapan dari penerapan teknologi informasi dalam pendaftaran tanah di Indonesia baik dari sisi hukum maupun sisi nonhukum. Penilitian ini menggunakan metode penelitian normatif empiris dimana data penelitian ini sebagian besar diperoleh melalui studi kepustakaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa hambatan yang dihadapi dalam penerapan teknologi informasi ke dalam sistem pendaftaran di Indonesia. Kedua negara yang telah berhasil menerapkan teknologi informasi tersebut bekerja melalui perencaanan yang mendalam dan bertahap untuk menjamin kesuksesan penggunaan teknologi informasi dalam sistem pendaftaran tanah masing-masing negara tersebut.

With the constant development of information technology, many countries are using technology to assist the mechanism of land registration. This thesis discusses the prospects for the application of information technology in Indonesia?s land registration system. The first discussion is about a brief history and land registration system in Indonesia along with examples of conventional land registration mechanism that is currently being used. The second discussion is about the history and land registration system in Netherlands and South Korea respectively and how the mechanism of land registration in those two countries have been carried out with the help of information technology. The final part is a comparison between land registration condition in Indonesia and both countries, the impact, implications and constraints of the application of information technology in land registration system in Indonesia.
This study aims to examine how the prospects and readiness of the applitcation of technology in Indonesia's land registration system both in legal and non-legal terms. This research uses normative empirical methods where most of the data is acquired through library research.
The results showed that there are some obstacles encountered in the application of information technology into the Indonesia?s land registration system. The two countries that have successfully implemented the information technology in their respective land registration system done it through extensive research and planning to ensure the success of technology usage.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S62590
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Olivia Maudira Olanda
"Jual beli tanah di Indonesia diatur di dalam Undang-Undang Pokok Agraria. Dalam pelaksanaannya, jual beli hak atas tanah haruslah berdasarkan hukum adat, dimana asas terang dan tunai haruslah dipenuhi. Asas terang berarti, perbuatan jual beli harus dilakukan di hadapan pihak yang berwenang yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), dan asas tunai berarti peralihan hak atas tanah dilakukan secara tunai dan bersamaan. Penggunaan bilyet giro sebagai alat pembayaran pemindahbukuan ditemukan di dalam praktik jual beli tanah. Jual beli tanah dengan bilyet giro diperbolehkan untuk dilakukan namun perlu untuk diperhatikan karena cara pembayarannya melalui pemindahbukuan dari rekening milik pembeli ke penjual. Pada kasus di dalam Putusan Pengadilan Negeri Lumajang Nomor 245/Pid.B/2019, terjadi sebuah penipuan di dalam jual beli tanah menggunakan bilyet giro bilyet giro kosong. Dalam kasus ini, asas tunai tidak terpenuhi. Permasalahan yang dianalisis dalam penelitian ini adalah mengenai keabsahan jual beli tanah menggunakan bilyet giro kosong sebagai alat pembayaran apabila dikaitkan dengan asas terang dan tunai, dan peran PPAT mencegah terjadinya jual beli tanah dengan bilyet giro kosong dikaitkan dengan asas terang dan tunai. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan tipologi eksplanatoris, yang menggunakan pendekatan perundang-undangan dan kasus. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa jual beli tanah yang pembayarannya menggunakan bilyet giro kosong dan belum dibayarkan sama sekali, padahal hak atas tanahnya sudah berpindah tidaklah sah, karena melanggar asas tunai. Kemudian peran dari PPAT untuk mencegah penggunaan bilyet giro kosong dalam jual beli tanah dapat dilakukan dengan menerapkan prinsip kehati-hatian, dan apabila ditemukan pembayaran dengan bilyet giro yang belum dilakukan dapat menyarankan untuk membuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) terlebih dahulu.

The sale and purchase of land in Indonesia is regulated in Indonesian Basic Regulation Law (Undang-Undang Pokok Agraria). In its implementation, the sale and purchase of land rights must be based on customary law, where the principle of publicly and cash must be fulfilled. The publicly principle means that buying and selling must be carried out before the authorized party, namely the Acreedited Land Deed Officer (Pejabat Pembuat Akta Tanah/PPAT), and the cash principle means that the transfer of land rights is carried out in cash and simultaneously. The use of bilyet giro as a payment instrument with book entry is found in the practice of buying and selling land. Buying and selling land using a bilyet giro is allowed to be carried out, but it is necessary to pay attention to it because the method of payment is through book-entry from the buyer's account to the seller. In the case of Decision of Lumajang District Court Number 245/Pid.B/2019, there was a fraud in the sale and purchase of land using an empty balanced bilyet giro. In this case, the cash principle is not fulfilled. The problems analyzed in this study are regarding the legitimacy of buying and selling land using an empty balanced bilyet giro as a means of payment when it is associated with the principle of publicly and cash, and the role of PPAT in preventing the sale and purchase of land with an empty balanced bilyet giro associated with the principle of publicly and cash. This study uses a normative juridical method with an explanatory typology, which uses a statutory and case approach. The results of this study indicate that the sale and purchase of land whose payment is using an empty balanced bilyet giro and has not been paid at all, even though the rights to the land have been transferred are not valid, because they violate the cash principle. Then the role of the PPAT to prevent the use of empty balanced bilyet giro in the sale and purchase of land can be done by applying the precautionary principle, and if it is found that payments with bilyet giro have not been made, they can suggest making Sale and Purchase Binding Agreement (Perjanjian Pendahuluan Jual Beli/PPJB) first."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Athirah Zahra
"Penelitian ini membahas mengenai pembatalan akta autentik oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan berupa akta hibah yang dibuat oleh PPAT. Syarat objektif tidak terpenuhi pada akta hibah yang dibuat oleh PPAT. Hal ini dibuktikan dengan Akta Kesepakatan Bersama dan Penetapan Pengadilan Agama Jakarta Selatan yang menerangkan, bahwa objek hibah bukan milik pemberi hibah. Adapun permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah mengenai tanggung jawab PPAT terhadap akta hibah yang dibatalkan dan akibat hukum atas akta hibah yang dibatalkan oleh Putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder atau bahan kepustakaan yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Analisis data disajikan secara preskriptif. Hasil analisis adalah pembatalan akta PPAT oleh Pengadilan Agama Jakarta Selatan bukan karena kelalaian dan kesalahan dari PPAT, melainkan karena kelalaian dan kesalahan dari para pihak dalam perjanjian sehingga pada kasus ini PPAT tidak memiliki tanggung jawab baik dalam perdata, maupun administrasi terhadap pembatalan akta hibah tersebut. Akibat hukum dari tidak terpenuhinya syarat objektif, maka akta hibah yang dibuat oleh PPAT batal demi hukum, perjanjian tersebut tidak berkekuatan hukum tetap dan dianggap tidak pernah ada suatu perikatan.

This thesis discusses the cancellation of an authentic deed by the South Jakarta Religious Court in the form of a grant deed made by PPAT. Objective requirements are not met in the deed of grant made by PPAT. This is evidenced by the Deed of Collective Agreement and Determination of the South Jakarta Religious Court which explains that the object of the grant does not belong to the grantor. The problems examined in this study are the PPAT's responsibility for the canceled grant deed and the legal consequences of the canceled grant deed by the South Jakarta Religious Court Decision. To answer these problems, normative legal research methods are used by using secondary data or library materials consisting of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. Data analysis is presented prescriptively. The result of the analysis is that the cancellation of the PPAT deed by the South Jakarta Religious Court was not due to the negligence and fault of the PPAT, but because of the negligence and error of the parties in the agreement so that in this case PPAT has no responsibility both in civil and administrative matters for the cancellation of the grant deed. The legal consequences of not fulfilling the objective requirements, the grant deed made by the PPAT is null and void, the agreement has no permanent legal force and is considered to have never been an engagement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I. Topan Budi Pratomo
"Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu selama 30 tahun dan dapat
diperpanjang selama 20 tahun, dengan subjek yang dapat mempunyai HGB menurut ketentuan dalam UUPA adalah Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Surat Edaran Menteri Agraria Dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 2/SEHT. 02.01/VI/2019 mengatur tentang pemberian HGB kepada Persekutuan Komanditer.
Permasalahan yang akan dibahas adalah pelaksanaan Surat Edaran Menteri ATR/Kepala BPN tersebut dalam hukum tanah nasional Indonesia, khususnya pada penerapan Pasal
36 UUPA serta pemberian HGB sebagai Harta Kekayaan Suatu Persekutuan Komanditer sebagai implementasi Surat Edaran Menteri ATR/Kepala BPN tersebut. Metode penelitian tesis ini adalah yuridis normatif, dengan bentuk penelitian deskriptif-analitis. Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa Surat Edaran Menteri ATR/Kepala BPN tersebut tidak bertentangan dengan Pasal 36 UUPA, karena HGB didaftarkan atas nama para sekutu dalam Persekutuan Komanditer. Lebih lanjut, konstruksi hukum harta kekayaan persekutuan komanditer berupa HGB adalah menjadi harta kekayaan secara kolektif dari para sekutu dalam persekutuan komanditer untuk HGB yang diperoleh melalui permohonan berdasarkan Surat Edaran Menteri ATR/Kepala BPN tersebut,
ataupun tetap menjadi harta pribadi sekutu yang memegang HGB tersebut dan melakukan inbreng hanya pada hak untuk menggunakan dan menikmati atas hak guna bangunan dalam kegiatan usaha persekutuan komanditer tersebut

Building Rights is a title to build and operate buildings that stand on other peoples landfor 30 years and might be extended for another 20 years, with the subject of the title for Indonesian Citizens and Indonesian Legal Entity due to the land regulations of Indonesia. The Circular From Minister of Agrarian Affairs and Spatial Planning/Head of National Land Agency Number 2/SE-HT.02.01/VI/2019 regulates that commanditaire partnership
might get the Building Rights title. The issues to be discussed are the implementation of The Circular Number 2/SE-HT.02.01/VI/2019 2019 concerning the application of article 36 of Indonesian Agrarian Law and granting Building Rights as a joint property of partners in commanditaire partnership as an implementation of The Circular Number 2/SE-HT.02.01/VI/2019. The research method of this thesis is judicial normative, with
descriptive-analytical as the form of this research. Based on the results of the analysis, its known that the Circular Number 2/SE-HT.02.01/VI/2019 does not contradict with Article 36 of the Indonesian Agrarian Law since Building Rights was registered in the names of partners in the commanditaire partnership. Furthermore, the legal construction of commanditaire partnership assets in the form of Building Rights is to become the collective assets of the partners in the commanditaire partnership for Building Rights that obtained through an application based on the Circular Number 2/SE-HT.02.01/VI/2019 or to remain as personal property of the partner that own the Building Rights, that only gave the rights to utilize the Building Rights in business activities of the commanditaire partnership.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
T54609
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theola Ramadhani
"Dalam perjanjian tukar-menukar tanah dan bangunan, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang bersangkutan wajib membuat akta sesuai dengan perbuatan hukum yang disepakati para pihak. PPAT juga wajib membaca, menjelaskan, dan memastikan akta PPAT yang dibuat telah sesuai isinya dengan apa yang dikehendaki para pihak, sebelum akta tersebut disampaikan ke kantor pertanahan guna pendaftaran peralihan hak atas tanah. Hal tersebut bertujuan agar akta yang dibuat PPAT terhindar dari unsur penyalahgunaan keadaan dari salah satu pihak, yang menyebabkan cacat kehendak tersebut merugikan pihak lawan. Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini yaitu mengenai peran dan upaya pencegahan PPAT terhadap penyalahgunaan keadaan dalam pembuatan akta terkait tukar-menukar tanah dan bangunan berdasarkan Putusan Nomor 3145 K/Pdt/2020; dan mengenai akibat hukum atas akta jual beli yang dibuat atas dasar penyalahgunaan keadaan dalam perjanjian tukar-menukar tanah dan bangunan berdasarkan Putusan Nomor 3145 K/Pdt/2020. Metode penelitian yang digunakan untuk menjawab rumusan masalah diatas adalah yuridis normatif dengan tipologi penelitian bersifat eksplanatoris. Hasil analisis dari penelitian ini adalah PPAT yang bersangkutan membuat akta jual beli dikarenakan atas dasar penyalahgunaan keadaan salah satu pihak dalam perjanjian tukar-menukar tanah dan bangunan. PPAT seharusnya dapat melakukan upaya pencegahan terjadinya penyalahgunaan keadaan dengan membaca dan menjelaskan isi akta kepada para pihak terlebih dahulu sebelum akta tersebut ditandatangani. Akta yang seharusnya PPAT tersebut buat adalah akta tukar-menukar, mengingat akta PPAT yang dibuat harus sesuai dengan perbuatan hukum yang disepakati para pihak dan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. Adapun akibat hukum terhadap akta jual beli yang dibuat PPAT akibat penyalahgunaan keadaan salah satu pihak tetap mengikat dan sah sehingga dapat didaftarkan guna pendaftaran peralihan hak atas tanah. Namun jika pihak lawan mengajukan pembatalan terhadap perbuatan hukum dalam akta tersebut, maka akta jual beli tersebut dapat dibatalkan dengan dasar adanya bukti seperti putusan pengadilan atau akta PPAT mengenai perbuatan hukum yang baru.

In the land and building exchange agreement, the concerned Land Deed Maker (PPAT) is obliged to make a deed in accordance with the legal actions agreed by the parties. The PPAT is also obliged to read, explain, and ensure that the PPAT deed made is in accordance with what the parties want, before the deed is submitted to the land office for registration of the transfer of land rights. This is intended so that the deed made by PPAT is protected from the element of undue influences from one party, which causes the defect of the will to be detrimental to the opposing party. The problems discussed in this study are regarding the PPAT's role and prevention efforts against Undue Influence in making deed related to the exchange of land and buildings based on Decision Number 3145 K/Pdt/2020; and regarding the legal consequences of the deed of sale and purchase made on the basis of Undue Influence in the land and building exchange agreement based on Decision Number 3145 K/Pdt/2020. The research method used to answer the problem formulation above is normative juridical with an explanatory research typology. The results of the analysis of this study are the PPAT concerned made a deed of sale and purchase due to the undue influences of one of the parties in the land and building swap agreement. The PPAT should be able to make efforts to Undue Influence by reading and explaining the contents of the deed to the parties before the deed is signed. The deed that PPAT should have made is a deed of exchange, considering that the PPAT deed made must be in accordance with legal actions agreed upon by the parties and regulated in Government Regulation Number 24 of 1997. The legal consequences of the sale and purchase deed made by PPAT due to Undue Influence because one party remains binding and legal so that it can be registered for registration of the transfer of land rights. However, if the opposing party submits the cancellation of the legal action in the deed, the sale and purchase deed can be canceled on the basis of evidence such as a court decision or PPAT deed regarding a new legal act."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>