Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166939 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nadia Fourina Surya
"Latar Belakang: Berdasarkan data Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), talasemia sudah ditetapkan sebagai penyakit katastropik kelima setelah jantung, kanker, strok, dan gagal ginjal Tujuan: Mengetahui biaya perawatan peserta JKN penderita talasemia di Indonesia dalam satu tahun dan faktor-faktor yang berhubungan dengan biaya perawatan tersebut. Metode: penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang (cross-sectional) dengan analisis univariat, bivariate, dan multivariate. Sampel penelitan ini ialah pasien talasemia yang terdaftar sebagai peserta JKN berdasarkan data BPJS Kesehatan 2019-2020. Hasil: BPJS Kesehatan menghabiskan anggaran sebesar Rp. 564,780,608,657 untuk pengobatan pasien talasemia dalam satu tahun. Faktor-faktor yang berhubungan dengan biaya perawatan talasemia pada peserta JKN adalah jenis kelamin, umur, kelas rawat, tingkat kunjungan RJTL, tingkat kunjungan RITL, tingkat keparahan kasus, jenis talasemia dan obat kelasi besi (p-value<0,05). Kesimpulan: Pengobatan talasemia membutuhkan biaya yang besar dengan prediktor utama biaya perawatan talasemia adalah obat kelasi besi.

Background: Based on data from the National Health Insurance (JKN), talasemia has been designated as the fifth catastrophic disease following heart disease, cancer, stroke and kidney failure. Objective: To find out the cost of treating JKN participants with talasemia in Indonesia in one year period and the factors associated with the cost of the treatment. Methods: a cross-sectional study design using univariate, bivariate, and multivariate analysis. The study sample is talasemia patients who are registered as JKN participants based on BPJS Health data for 2019-2020. Result: BPJS Health spends a budget of Rp. 564,780,608,657 for the treatment of talasemia patients in one year. Factors relating to the cost of treating thalassemia in JKN participants are gender, age, class category, outpatient visit, inpatient visit, case severity, type of thalassemia, and iron chelation drugs (p-value<0,05). Conclusion: Treatment of talasemia requires a large amount of money and the main predictor of talasemia treatment costs is the use of iron chelation drugs."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halimah
"[ABSTRAK
Anak talasemia sering mengalami masalah perubahan perilaku. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan perubahan perilaku anak talasemia. Metode penelitian ini adalah metode potong lintang menggunakan kuesioner pada 105 orang tua dan anak talasemia usia 6-18 tahun. Hasilnya tidak terdapat hubungan antara faktor karakteristik anak, hospitalisasi berulang, multitransfusi, dan faktor orang tua terhadap kecemasan dan penurunan perhatian. Usia anak, jenis kelamin, suku, dan hospitalisasi berulang berhubungan dengan masalah sosial. Hasil analisis regresi menyatakan bahwa remaja beresiko 0,4 kali mengalami masalah sosial sedangkan ekonomi rendah 2,37 kali meningkatkan resiko masalah penurunan perhatian. Perawat bertanggung jawab untuk mengidentifikasi perubahan perilaku pada anak talasemia.

ABSTRACT
Children with thalassemia often have behavioral changes. The study aims is to identify factors related to behavioral changes in thalassemia?s children. This cross sectional study consist of 105 children respondent (6-18 years old) and their parents to filled questionnaire. The results shown that there are no associaton between children caracteristic, repeated hospitalization, multitransfusi, and parents factors with anxiety and attention deficits. Age, sex, ethnic, and repeated hospitalization have significant association with social problem. Regression analysis states that adolescents affecting social problem 0,4 times and low economic affecting attention deficits 2,37 times. Nurses responsible to asses behavioral change in thalassemia?s children, Children with thalassemia often have behavioral changes. The study aims is to identify factors related to behavioral changes in thalassemia’s children. This cross sectional study consist of 105 children respondent (6-18 years old) and their parents to filled questionnaire. The results shown that there are no associaton between children caracteristic, repeated hospitalization, multitransfusi, and parents factors with anxiety and attention deficits. Age, sex, ethnic, and repeated hospitalization have significant association with social problem. Regression analysis states that adolescents affecting social problem 0,4 times and low economic affecting attention deficits 2,37 times. Nurses responsible to asses behavioral change in thalassemia’s children]"
2015
T43593
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amelia Intan Atthahirah
"Latar Belakang. Kadar antibodi antikardiolipin (ACA) yang tinggi pada penderita thalassemia dewasa telah dijumpai di Jakarta. Hal ini belum pernah dilaporkan di Indonesia. Publikasi ilmiah internasional mengenai hal inipun sangat sedikit. Bahkan, belum ada tulisan ilmiah yang mengupas mekanisme fenomena ini. Di samping itu, telah dijumpai berbagai kejadian trombosis pada penderita thalassemia dewasa dengan kadar ACA yang tinggi. Namun, sampai saat ini belum ada satupun tulisan yang menghubungkan gangguan hemostasis pada thalassemia dengan kadar ACA yang tinggi. Thalassemia dan Sindrom Antifosfolipid (APS) masuk dalam kondisi hiperkoagulabilitas. Pertanyaannya adalah: Selain ACA, apakah LA dan anti-|32GPl juga tinggi? Mengapa ACA tinggi? Bagaimana gambaran klinis dan laboratoris gangguan hernostasis yang terjadi? Apakah sama dengan yang ditemukan pada thalassemia dan APS, pada umumnya? Apakah ada hubungan antara gangguan hemostasis, baik klinis maupm laboratoris, dengan ACA yang tinggi?
Metodologi. Dilakukan Studi potong lintang yang bersifat eksploratif dan analitik pada 41 penderita thalassemia B dewasa, di beberapa rumah sakit dan klinik di Jakarta, dalam kurun waktu 2 tahun 8 bulan, mulai Maret 2002 sampai dengan Oktober 2004. Pemeriksaan sampel darah dilakukan di beberapa laboratorium di Jakarta dan di Bangkok, mencakup ACA IgG dan IgM, anti-|32GP1 IgG dan IgM, LA, annexin V (ekspresi fosfatidilserin eritrosit), mikrovesikel eritrosit, VCAM-1 (disfungsi endotel), bilirubin indirk, LDH, feritin serum, untuk menentukan mengapa ACA tinggi, dan TAT komplel-zs, F1+2, D-dimer, agregasi trombosit, AT Ill, protein C,protein S, PAI-1 untuk menentukan adakah hubungan antara ACA yang tinggi dengan gangguan hemostasis.
Hasil Penelitian. Penderita thalassemia B dewasa menunjukkan: (a) proporsi yang lebih besar secara bermakna dalam hal kadar ACA IgG dan ACA IgM yang tinggi, namun proporsinya tidak berbeda bermakna dalam hal anti-|32GPl IgG dan IgM yang tinggi serla LA yang posilif, (b) annexin V, mikrovesikel, bilirubin indirek, LDH, feritln serum, dan VCAM-1 yang tinggi (c) ACA IgG yang tinggi secara klinis memiliki hubungan dengan VCAM-l, bilirubin indirek dan LDI-I yang tinggi; VCAM-1 merupakan variabel paling baik untuk mcmprediksi ACA yang tinggi, (cl) VCAM-I yang tinggi memiliki hubungan bermakna dengan feritin serum yang tinggi, (e) annexin V yang tinggi memiliki hubungan dengan mikrovesikel eritrosit dan LDH yang tinggi; LDH yang tinggi merupakan variabel paling bermakna dalam memprudiksi annexin V yang tinggi, (f) episiaksis, gusi berdarah, dan purpura memiliki hubungan bermakna dengan ACA IgG yang tinggi; ACA IgG IgG secara klinis meningkatkan risiko keluhan di mata dan telinga; ACA IgM yang tinggi seoara klinis meningkalkan keluhan di kepala, tungkai, dada, serta mata dan telinga, (g) ACA IgG yang tinggi memiliki hubungan bermakna dengan aktifitas protein S dan AT III yang rendah; secara klinis meningkatkan risiko untuk tenjadinya D-dimer yang tinggi, dan (h) kelainan hemostasis pada penderita thalassemia dengan ACA yang tinggi banyak kesamaannya dengan thalasssemia dan APS pada umumnya, kecuali pada subyek penelitian dijumpai adanya hiporeaktif agregasi trombosit dan PAI-1 yang tidak tinggi.
Simpulan. Desain penelitian yang bersifat studi potong lintang ini menghasilkan konsep yang didasarkan atas hubungan dua variabel, sehingga hasil penelitian ini harus ditindak Ianjuti dengan studi lanjutan, mencakup konsep: pada penderita thalassemia [3 dewasa (a) muatan besi berlebih menimbulkan kerusakan endotel vaskular, sehingga fosfolipid anionik terpajan ke luar, kemudian merangsang pembentukan ACA IgG, (b) hemolisis menyebabkan pajanan berlebih fosfolipid anionik pada lapisan luar eritrosit, yang kemudian merangsang pembentukan ACA IgG."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D707
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lyana Setiawan
"Di Indonesia, thalassemia mayor merupakan salah satu masalah kesehatan karena morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi. Thalassemia mayor ditandai dengan anemia berat sejak usia anak-anak dan memerlukan transfusi teratur untuk mempertahankan kadar hemoglobin. Untuk mengurangi kebutuhan akan transfusi darah, dilakukan splenektomi. Trombosis merupakan salah satu komplikasi thalassemia yang banyak dilaporkan di berbagai negara, tetapi di Indonesia sampai saat ini belum ada laporan. Trombosit dan sistem koagulasi memegang peranan dalam patogenesis trombosis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai kelainan trombosit serta aktivasi koagulasi pada penderita thalassemia mayor yang sudah maupun yang belum di-splenektomi di Indonesia.
Desain penelitian ini potong lintang. Subyek penelitian terdiri dari 31 orang penderita thalassemia mayor yang sudah displenektomi (kelompok splenektomi) dan 35 orang penderita thalassemia mayor yang belum mengalami splenektomi (kelompok nonsplenektomi). Untuk menilai fungsi trombosit, dilakukan pemeriksaan agregasi trombosit terhadap adenosin difosfat (ADP), aktivasi trombosit dinilai dengan mengukur kadar β-tromboglobulin (β-TG), sedangkan aktivasi koagulasi dinilai dengan pemeriksaan D-dimer.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah trombosit pada kelompok splenektomi Iebih tinggi secara bermakna dibandingkan kelompok non-splenektomi (549.260+251.662/μI vs 156.000/μl (kisaran 34.000-046.000/μl); p<0,001). Demikian pula agregasi trombosit terhadap ADP 1 pM maupun 10 pM Iebih tinggi secara bermakna pada kelompok splenektomi dibandingkan dengan kelompok non-splenektomi (1 pM: 17,3% (kisaran 1,9-104,0%) vs 5,2% (kisaran 0,5-18,2%); p <0,001 dan 10 pM: 91,2% (kisaran 27,3-136,8%) vs 55,93 + 17,27%; p<0,001). Kadar β-TG Iebih tinggi secara bermakna pada kelompok splenektomi dibandingkan kelompok non-splenektomi (178,81 + 86,3 IU/ml vs 100,11 + 40,0 IU/ml; p<0,001). Kadar D-dimer juga Iebih tinggi secara bermakna pada kelompok splenektomi dibandingkan non-splenektomi walaupun keduanya masih dalam rentang normal (0,2 μg/ml (kisaran 0,1-0,7 g/ml) vs 0,1 μg/ml (kisaran 0,1-0,8 μg/mI).
Dari hasil penelitian ini, disimpulkan bahwa pada penderita thalassemia mayor di Indonesia terdapat jumlah trombosit dan fungsi agregasi yang bervariasi, sedangkan aktivasi trombosit meningkat, tetapi belum dapat dibuktikan adanya aktivasi koagulasi. Pada penderita thalassemia mayor yang sudah displenektomi didapatkan trombositosis, serta agregasi trombosit terhadap ADP dan aktivasi trombosit yang Iebih tinggi dibandingkan dengan penderita yang belum di-splenektomi.

Thalassemia major is one of the health problem in Indonesia due to its high morbidity and mortality. Thalassemia major is characterized by severe anemia presenting in the first years of life and requires regular transfusions to maintain hemoglobin level. Splenectomy is performed to decrease the need for transfusion. Thrombosis is one of the complications widely reported in patients with thalassemia in many parts of the world, but until now, there had been no report on this complication in Indonesia. Platelet and the coagulation system play a role in the pathogenesis of thrombosis. The aim of this study was to obtain the pattern of changes in platelet count, function and activation level, and activation of coagulation in patients with thalassemia major patients in Indonesia.
The design of this study was cross-sectional. The subjects were 31 splenectomized and 35 non-splenectomized patients with thalassemia major. Platelet aggregation to adenosine diphosphate (ADP) was performed to assess platelet function; β-thromboglobulin level was used as marker of platelet activation, and D-dimer for activation of coagulation.
The result of this study revealed a significantly higher platelet count in splenectomized compared to non-splenectomized patients (549.260 + 251.86210 vs-156.000/μl (34.000- 46.000/μl); p<0.001). Platelet aggregation to ADP were significantly higher in splenectomized patients than non-splenectomized group, both to 1 pM (17.3% (range 1.9-104M%) vs 5.2% (range 0.5-118.2%); p<0.001) and 10 μM ADP (91.2% (range 27.3-136.8%) vs 55.93 + 17.27%; p<0.001). β-thromboglobulin level was significantly higher in splenectomized patients compared to non-splenectomized patients (178.81 + 86.3 IU/rnl vs 100.11 + 40.0 IU/ml; p<0.001). D-dimer level was also significantly higher in the splenectomized group compared to non-splenectomized group although both had values within normal range (0.2 pglml (range 0.1-0.7 μg/mI) vs 0.1 pg1ml (range 0.1-0.8 μg/ml).
We concluded that the platelet count and function were varied, while platelet activation level was increased in patients with thalassemia major in Indonesia, but activation of coagulation was not established. We also concluded that in splenectomized patients there were thrombocytosis and increased platelet aggregation to ADP and platelet activation level compared to non-splenectomized patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21434
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anna Maria Dewajanthi
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian:
Penyakit talasemia merupakan kelainan gen tunggal yang diturunkan secara resesif autosom. Terjadi ketidakseimbangan jumlah antara rantai globin α dan rantai globin β, sehingga ada rantai globin yang tidak berpasangan Presipitasi rantai globin yang tidak berpasangan pada membran dapat mengakibatkan otooksidasi membran sehingga dapat menyebabkan membran sel menjadi rigid. Selain protein skeleton membran, stabilitas sel darah merah juga sangat dipengaruhi oleh protein pita 3, suatu protein integral transmembran sel darah merali Protein pita 3 berfungsi pula sebagai protein penukar anion. Kelainan protein pita 3 dapat mempengaruhi fungsinya baik sebagai penukar anion maupun dalam mempertahankan stabilitas membran sel darah merah. Protein pita 3 yang abnormal dijumpai pada ovalositosis. Ovalositosis merupakan penyakit kelainan darah yang disebabkan oleh hilangnya 9 asam amino protein pita 3 akibat delesi 27 pb, kodon 400-408 pada ekson 11 gen protein pita 3 (AEI). Hilangnya 9 asam amino protein pita 3 pada ovalositosis menyebabkan membran sel darah merah menjadi rigid sehingga menurunkan deformabilitas membran. Adanya rigiditas disertai penurunan kemampuan deformabilitas membran sel darah merah talasemia yang menyerupai membran sel darah merah ovalositosis, menimbulkan pemildran bahwa kerusakan protein membran sel darah merah juga disebabkan oleh adanya kelainan gen penyandi protein pita 3. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi adanya kelainan gen protein pita 3 pada penderita talasemia. DNA genom diperoleh dari darah orang sehat dan pasien talasemia. Kemudian gen yang akan diperiksa diperbanyak dengan teknik PCR dan visualisasinya menggunakan elektroforesis gel agarosa 2%.
Hasil dan Kesimpulan:
Hasil PCR gen protein pita 3 pada orang sehat (normal) berukuran 175 ± 25 pb, sedangkan pada pasien talasemia dijumpai 2 produk PCR yang berukuran 175 ± 25 pb dan 110 ± 15 pb. Adanya produk PCR yang berukuran 110 ± 15 pb menunjukkan adanya kelainan gen protein pita 3 pada pasien talasemia berupa delesi gen sebesar 65 ± 10 pb. Kelainan genetik protein pita 3 pada talasemia tidak sama dengan kelainan genetik pada ovalositosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T13677
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tika Ayu Pratiwi
"Talasemia merupakan penyakit genetik yang terjadi karena kelainan sintesis hemoglobin dalam tubuh. Penatalaksanaan talasemia salah satunya adalah dengan terapi transfusi darah rutin yang memiliki efek negatif berupa penumpukan zat besi dalam organ tubuh. Untuk mengatasi penumpukan zat besi tersebut, diperlukan terapi kelasi dengan menggunakan Deferoxamine yang harganya relatif mahal dan juga memiliki efek samping. Hal ini membuat biaya pengobatan talasemia semakin mahal, sehingga perlu adanya terapi alternatif untuk kelasi besi seperti konsumsi mangiferin yang merupakan ekstraksi dari batang pohon mangga (Mangifera indica L.) Namun pada studi eksperimental ini, digunakan ekstrak air daun Mangifera foetida L karena kandungan mangiferin di dalamnya terbukti paling tinggi dibandingkan dengan daun mangga lainnya.
Tujuan penelitian ini adalah memanfaatkan bahan alam untuk terapi alternatif kelator besi bagi penderita talasemia. Terdapat tujuh sampel serum penderita talasemia yang diberi empat perlakuan, yaitu (1)serum murni; (2)serum+mangiferin; (3)serum+Deferoxamine; (4)serum+ekstrak 1,125 mg; dan setiap kelompok perlakuan ditambah dengan larutan medium standar dan larutan sitrat. Setelah itu, larutan-larutan tersebut diuji absorbansinya dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 190-400 nm. Nilai absorban pada setiap sampel dianalisis dengan uji One Way Anova karena variabel bebas berskala nominal (agen kelator) dan variabel terikat (nilai absorban) berskala numerik.
Hasil analisis uji One Way Anova menunjukkan ekstrak air daun Mangifera foetida L. dosis 1,125 mg yang diperkirakan memiliki kandungan mangiferin sebesar 28,8 μg, memiliki perbedaan yang bermakna dengan serum (p=0,043). Sehingga dapat disimpulkan bahwa ekstrak air daun Mangifera foetida L. dosis 1,125 mg memiliki efek kelator terhadap feritin serum penderita talasemia. Berdasarkan uji Post-Hoc, ekstrak air daun Mangifera foetida L. 1,125 mg memiliki efek kelator yang hampir sama dengan mangiferin murni 100 μg (p=0,095).

Thalassemia is inherited disorder of hemoglobin synthesis which can not be cured completely. One of the treatment of thalassemia is blood transfusion which has a negative effect such as accumulation of iron in body visceral. For anticipating that accumulation, the patients have to consume chelating agent, Deferoxamine, which is expensive and has side effects. It makes the cost of thalassemia treatment become more expensive, so there should be an alternative therapy for chelating agent, such as consuming mangiferin which has been extracted from mango stem (Mangifera indica L.). But in this experimental study, the researcher used leaf extract of Mangifera foetida L. because its mangiferin is higher than the others.
The purpose of this research is to use natural resource for alternative therapy of iron chelating for thalassemia patients. There were seven samples of thalassemia patient’s serum and for each serum, there were four treatments: (1)pure serum; (2)serum+mangiferin; (3)serum+Deferoxamine; (4)serum+extract 1,125 mg. All of them had been mixed with standard medium and citrate before they were tested by spectrophotometer in 190-400 nm wavelength for determining the absorbance value. The absorbance value of each sample was analysed by One Way Anova test for proving the chelator effect of leaf extract of Mangifera foetida L. 1,125 mg. This test was used because there were nominal free variable (chelating agent) and numerical dependent variable (absorbance value).
The result of One Way Anova test analysis showed that leaf extract of Mangifera foetida L. dose 1,125 mg which contained 28,8 μg mangiferin, has chelator effect (p=0,043). Based on Post-Hoc test, the chelator effect of Mangifera foetida L. dose 1,125 mg is almost the same as pure mangiferin 100 μg (p=0,095).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Anggi P.N.
"Pengobatan talasemia berupa transfusi darah menyebabkan penumpukan besi di organ dan kerusakan sel. Pemberian deferoksamin sebagai kelator besi banyak menimbulkan efek samping dan mahal. Oleh karena itu, diperlukan pengobatan dengan bahan yang lebih aman dan terjangkau dengan memanfaatkan bahan alami yang memiliki efek kelasi besi. Ekstrak air daun Mangifera foetida memiliki efek kelasi terhadap feritin serum penderita talasemia, namun belum diteliti apakah ekstrak etanol daun M.foetida juga menunjukkan efek kelasi terhadap feritin. Studi eksperimental ini dilakukan pada serum pasien talasemia yang dibagi ke dalam tujuh perlakuan yaitu: serum, mangiferin, mangiferin ditambah serum, ekstrak etanol 0,5 mg dan 0,75 mg, ekstrak etanol 0,5 mg dan 0,75 mg ditambah serum, namun yang akan dianalisis hanya serum, mangiferin ditambah serum, ekstrak etanol 0,5 dan 0,75 mg ditambah serum. Nilai absorbansi diukur menggunakan spektrofotometer, λ = 280 nm. Uji one way anova menunjukkan ekstrak etanol M.foetida dosis 0,5 mg dan 0,75 mg memiliki efek kelasi dibandingkan kontrol negatif (p<0,001). Uji Post hoc menunjukkan ekstrak etanol M.foetida dosis 0,5 mg memiliki efek kelasi yang sama dengan dosis 0,75 mg (p=0,133). Ekstrak etanol daun M.foetida dosis 0,5 mg memiliki efek kelasi yang sama dengan mangiferin murni (p=0,52), sedangkan dosis 0,75 mg memiliki efek kelasi berbeda (p=0,001) yang mungkin disebabkan perbedaan dosis ekstrak etanol.

Treatment of thalassemia with blood transfusion causing iron accumulation in the organs and damaging cells. Chelating agent, deferoxamine causes side effects and expensive. Therefore, it?s needed a safer and cheaper treatment by utilizing natural ingredients which have chelating effect. Water extract of Mangifera foetida leaf has chelating effect on serum thalassemia patients, but there was no research the effects in the ethanol extract. The purpose of this study was to prove the effects of ethanol extract as a chelating agent. This study used an experimental study using seven serums of patients with thalassemia by ex vivo and devided into seven treatments: serum, mangiferin, mangiferin plus serum, etanol extract 0.5 mg and 0.75 mg, etanol extract 0.5 mg and 0.75 plus serum, however only four treatments will be analized: serum, mangiferin plus serum, etanol extract 0.5 mg and 0.75 mg plus serum. They were measured in a spectrophotometer with (λ)=280 nm. The result by One Way Anova statistical test showed that the ethanol extract of M. foetida leaf 0.5 mg and 0.75 mg has the chelating effect when it compared to negative control (p <0.001). Post hoc test showed that the ethanol extract 0.5 mg has the same chelating effect with ethanol extract 0,75 mg (p = 0.133). Ethanol extract 0.5 mg has the same effect of iron chelation with the mangiferin (p=0.52), while ethanol extract 0.75 mg has different effect (p=0.001). The differences of chelating effect maybe caused by the differences of extract dose."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jenny Hidayat
"Ruang Lingkup dan Cara Penelitian:
Talasemia adalah suatu penyakit kelainan darah yang diturunkan secara resesif dari orang tua kepada anaknya Pada talasemia terjadi ketidakseimbangan rasio antara rantai globin α dan rantai globin β, akibatnya pembentukan hemoglobin terganggu dan berkurang jumlahnya sehingga dapat menimbulkan suatu keadaan anemia. Taansfusi darah merupakan terapi yang efektif dalam menghilangkan komplikasi anemia tetapi menimbulkan akumulasi besi dalam tubuh. Ion besi bebas mempermudah terjadinya oksidasi pada lipoprotein, perubahan ini menyebabkan lipoprotein "ditangkap" oleh makrofag dan terbentuklah sel busa yang merupakan langkah awal terjadinya aterosklerosis. Banyak penelitian yang dilakukan untuk memperpanjang usia hidup penderita talasemia namun kita harus memikirkan pula meningkatnya usia dengan risiko terjadinya aterosklerosis pada penderita talasemia. Penurunan kadar kolesterol-HDL dan peningkatan kolesterol total merupakan faktor pendukung terjadinya aterosklerosis. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis fraksi-fraksi lipid dalam serum pada penderita talasemia baik yang belum pernah menerima transfusi berulang maupun yang sudah berulang kali di transfusi. Dengan pemikiran kolesterol diperlukan dalam pembentukan membran sel darah merah maka dilakukan analisis mengenai korelasi antara hemoglobin dengan kolesterol dalam serum.
Hasil dan Kesimpulan:
Terdapat perbedaan bermakna pada fraksi-fraksi lipid dalam serum pada kelompok bukan talasemia dengan kelompok talasemia transfusi berulang dan kelompok talasemia belum transfusi, sedangkan pada kelompok talasemia dan kelompok talasemia belum transfusi hanya kolesterol-HDL yang berbeda bemakna. Analisis korelasi tidak menemukan hubungan yang bermakna antara hemoglobin dengan kolesterol pada ketiga kelompok."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2003
T11297
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kezia Meilany Azzahra
"Latar Belakang: Berdasarkan Laporan Pengelolaan Program Tahun 2019, penyakit hemofilia menghabiskan biaya Rp. 405,670,839,460 dengan 70,999 kasus. Pada tahun 2022, terjadi peningkatan kasus menjadi 116,767 kasus dengan pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan sebanyak Rp. 650 milyar untuk membayar pelayanan kesehatan Peserta JKN pada penyakit hemofilia. Tujuan: Mengetahui biaya dan faktor faktor yang berhubungan dengan penyakit hemofilia di FKRTL dalam satu tahun (12 bulan). Metode: Desain studi cross-sectional dengan analisis univariat dan bivariat, Hasil: BPJS Kesehatan menghabiskan anggaran sebesar Rp. 452,466,055,817 (452 Milyar) untuk membayar klaim 143 peserta aktif dalam satu tahun (12 bulan) Tahun 2019- 2020. Faktor-faktor yang berhubungan dengan biaya layanan JKN untuk penyakit hemofilia Tahun 2019-2020 yaitu Jenis Kelamin, Usia, Hubungan Keluarga, Kelas Hak Rawat, Segmentasi Peserta, Wilayah Kepesertaan, Kunjungan RJTL, Kunjungan RITL, Status Kepemilikan Fasilitas Kesehatan. Kesimpulan: RJTL menyerap dari total biaya penyakit hemofilia yaitu Rp814.260.386.772 (90%).

Background: Based on the 2019 Program Management Report. Hemophilia costs Rp. 405,670,839,460 with 70,999 cases. In 2022, there are an increase in cases to 116,767 cases with claim costs of Rp. 650 billion spent by BPJS Health to pay for health services for JKN participants for hemophilia.Objective: To find out the costs and factors associated with hemophilia at FKRTL in one year (12 months). Method: Cross- sectional study design with univariate and biavariate analysis. Results: BPJS Health spends a budget of Rp. 452,466,055,817 (452 billion) to pay the claims of 143 active participants in one year (12 months) 2019-2020. Factors related to the cost of JKN services for hemophilia in 2019-2020 are Gender, Age, Family Relations, Treatment Rights Class, Participant Segmentation, Participants Area, RJTL Visits, RITL Visits, Health Facility Ownership Status. Conclusion: RJTL absorbs the total cost of hemophilia, namely Rp814.260.386.772 (90%).
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riadi Wirawan
"Talasemia B merupakan penyakit herediter yang dapat mengakibatkan terjadinya kelainan fisik maupun mental. Penyebaran penyakit ini terutama bersifat etnis dan adanya perkawinan antar bangsa menyebabkan angka kejadian semakin tinggi dan merata. Penemuan penderita talasemia B heterozigot berdasarkan pemeriksaan analisis Hb dinilai mahal dan cukup sulit. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran pola kadar HbA2 dan HbF serta gambaran parameter hematologi penderita talasemia B heterozigot dan talasemia B - HbE.
Dari 1 Maret 1992 sampai 31 September 1992 di UPF Bagian Patologi Klinik FKUI-RSCM telah dilakukan pemeriksaan analisis Hb terhadap 740 contoh darah penderita. Sejumlah 31,1% (230/740) didiagnosis sebagai talasemia B heterozigot dan sejumlah 2,2% (16/740) sebagai talasemia R - HbE. Rasio penderita wanita terhadap pria adalah 1,005:1 untuk talasemia 0 heterozigot dan 1,67:1 untuk talasemia 0 - HbE. Pola HbA2 normal HbF tinggi merupakan bentuk talasemia B heterozigot yang paling sedikit ditemukan, namun mempunyai gambaran parameter hematologi yang lebih berat dibandingkan pola lainnya.
Kadar Hb pada talasemia B heterozigot berkisar antara 5,8-16,5 g/dl dengan rata-rata 11,63 g/dl dan pada talasemia B - HbE antara 3,2-8,2 g/dl dengan rata-rata 6,10 g/dl. Nilai Ht pada talasemia B heterozigat berkisar antara 20,9-57,1% dengan rata-rata 35,48% dan pada talasemia B - HbE antara 9,4-26,5% dengan rata-rata 19,57%.
Kedua parameter hematologi di atas berbeda bermakna dibandingkan kontrol. Terdapat kadar Hb dan nilai Ht yang lebih rendah seoara bermakna pada penderita talasemia B heterozigot dibandingkan talasemia bentuk HbA2 tinggi. Demikian juga halnya pada penderita wanita dibandingkan penderita pria.
Jumlah eritrosit pada penderita talasemia B heterozigot berkisar antara 2,20-8,27 juta/µl dengan rata-rata 4,67 juta/µl dan pada talasemia B - HbE antara 1,54-4,08 juta/µl dengan rata-rata 3,01 juta/µl. Perbedaan ini bermakna. Pada penderita wanita jumlah eritrosit lebih rendah dibandingkan penderita pria.
Nilai VER pada penderita talasemia. 0 heterozigot berkisar antara 55-111 fl dengan rata-rata 76,9 fl, sedangkan pada talasemia f3 - HbE antara 52-80 fl dengan rata-rata 64,7 fl. Nilai HER pada penderita talasemia 0 heterozigot antara 15,1-33,5 pg dengan rata-rata 25,19 pg dan pada talasemia 0 - HbE 17,0-23,9 pg dengan rata-rata 20,27 pg. Kedua parameter ini berbeda bermakna dibandingkan dengan kontrol.
Jumlah trombosit yang meningkat pada talasemia B heterozigot dan talasemia B - HbE, karena peningkatan eritrosit mikrositik yang terukur sebagai trombosit. Hitung retikulosit absolut yang meningkat dengan RPI normal inenunjukkan terjadinya eritropoisis yang tidak efektif.
Kesimpulan penelitian ini adalah talasemia B heterozigot dan talasemia B - HbE mengakibatkan terjadinya perubahan parameter hematologi. Perubahan ini meliputi kadar Hb, nilai Ht, nilai VER & HER, jumlah trombosit dan hitung retikulosit absolut serta morfologi eritrosit pada sediaan hapus darah tepi. Selain itu pada penderita wanita dan talasemia B heterozigot perubahan parameter ini menjadi semakin nyata.

Hematological Changes in Patients with Heterozygote Thalassemia and Thalassemia Hemoglobin E Disease in the Department of Clinical Pathology FKUI/RSCMBeta thalassemia is a hereditary disorder which can cause physical and mental abnormalities. This disease is ethnically distributed, and marriage between individuals of different nations cause a higher prevalence and a wider distribution. Detection of cases based on hemoglobin analysis is relatively expensive and difficult.
The aim of this study is to obtain pattern of HbA2 and HbF levels, and hematologic parameters in patients with heterozygote thalassemia and thalassemia - HbE.
From March to September 1992 in the Department of Clinical Pathology FKUI/RSCM has been performed hemoglobin analysis of 740 patients. The diagnosis of heterozygote thalasemia was made on 31,1 % (230/740) of samples and B thalassemia hemoglobin on 2,2 % (16/740) of samples. Female to male ratio was 1,005 to 1 for heterozygote B thalassemia and 1,67 to 1 for l thalassemia - HbE. Pattern of normal HbA2 and high HbF was the most infrequently round among heterozygote 8 thalassemia, but gave the most severe hematologic abnormalities.
Hemoglobin levels of patients with heterozygote thalassemia were between 5,8 - 16,5 g/dL with mean value 11,6 g/dL, whereas the level of patients with p thalassemia - HbE were between 3,2 - 8,2 g/dL with mean value 6,1 g/dL. Hematocrit values were between 20,9 - 57,1 with mean value 35,5 % in patients with heterozygote thalassemia, and were between 9,4 - 28,5% with mean value 19,6% in patients with thalassemia - HbE. Both parameters were significantly lower than control. Hemoglobin and hematocrit of patients- with heterozygote E thalassemia were higher than patients with high HbA2 thalassemia. Female patients had lower values compare to male.
Erythrocyte count in patients with heterozygote thalassemia were between 2,2 -- 8,3 millions/uL with mean value 4,7 millions/ uL, significantly higher than the value in patients with p thalassemia - HbE which were between 1 , 5 - 4,1 millions./ut., with mean value 3,01 millions/uL. Female patients also had lower values compare to male.
MCV were between 5S - 111 fL with mean value 76,9 fL in patients with heterozygote thalassemia and between 52 - 80 fL with mean value 64,7 fL, in patients with (3 thalassemia - HbE. MCH were between 15,1 -.33,5 pg with mean value 25,2 pg in patients with Heterozygote thalassemia and between 17,0 - 23,9 pg with mean value 20,3 pg in patients with thalassemia HbE. Both parameters were significantly lower than control.
Thrombocyte count was Increase in patients with heterozygote thalassemia and (El thalassemia - HbE, due to microcytic erythrocytes which were counted as thrombocyte. High absolute number of reticulocyte with normal RPI suggested an ineffective erythropoiesis.
In conclusion, heterozygote thalassemia and r thalassemia - HbE caused hematologic changes such as a decrease of hemoglobin, hematocrit, MCV and MCH values; an increase of thrombocyte and absolute reticulocyte count; and an abnormal erythrocyte morphology on peripheral blood smear. In female and heterozygote E thalassemia patients these changes were more prominent.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1992
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>