Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 98172 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syifa Syahputri Setiana
"Naamloze Vennootschap merupakan istilah di dalam KUHD yang memiliki makna persekutuan tanpa nama, dalam hal iniNaamloze Vennootschap dapat dipersamakan dengan Perseroan Terbatas. KUHD merupakan regulasi pertama yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas di Indonesia tersebut telah digantikan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 yang kemudian dicabut dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. Hal tersebut mengakibatkan adanya kewajiban untuk melakukan penyesuaian Anggaran Dasar Naamloze Vennootschap. Namun, hingga saat ini masih terdapat Anggaran Dasar Naamloze Vennootschap yang belum disesuaikan, tetapi Naamloze Vennootschap masih dapat beroperasi secara normal dan menjadi subjek hukum pada kasus-kasus yang sampai ke ranah pengadilan bahkan memperoleh izin berkaitan dengan kegiatan usahanya. Adapun bentuk penelitian ini adalah yuridis-normatif, tipologi penelitian dengan sifat deskriptif-analitis, jenis data yang digunakan adalah sekunder, alat pengumpulan data berupa studi pustaka, metode analisis data dengan metode kualitatif. Pengaturan mengenai penyesuaian Anggaran Dasar terdapat pada Ketentuan Peralihan setiap regulasi yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas. Akan tetapi, walaupun telah diatur secara tertulis, tidak seluruh Naamloze Vennootschap telah melakukan penyesuaian Anggaran Dasarnya. Dalam Ketentuan Peralihan pada Undang-Undang yang mengatur mengenai Perseroan Terbatas terdapat kekaburan norma di dalamnya, seperti tidak adanya pengaturan yang rinci mengenai pembubaran Perseroan Terbatas akibat tidak melakukan penyesuaian Anggaran Dasarnya. Lebih lanjut, terdapat akibat hukum lainnya dari tidak disesuaikannya Anggaran Dasar yang mana memiliki dampak terhadap ketidakjelasan status Badan Hukum, lalu berdampak pula terhadap konsep pemisahan harta kekayaan, pendaftaran nama pada sistem, sampai dengan pertanggungjawaban perbuatan hukum dari Naamloze Vennootschap. Ketidakjelasan atau hilangnya status Badan Hukum dapat berimplikasi terhadap tidak dimungkinkannya Naamloze Vennootschap untuk menjadi subjek hukum.

Naamloze Vennootschap is a term in KUHD which means an anonymous partnership, in this case Naamloze Vennootschap can be equated with a Limited Liability Company. KUHD, which is the first regulation governing limited liability companies in Indonesia, has been bound by Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 which was later repealed by Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007. It causes an obligation to make adjustments to the Naamloze Vennootschap Articles of Association. However, until now there are still Naamloze Vennootschap Articles of Association that have not been adjusted, but Naamloze Vennootschap can still operate normally and become a legal subject in cases that reach the courts and even obtain permits related to operating activities. The form of this research is juridical-normative, the research typology is descriptive-analytical, the type of data used is secondary, the data collection tool is in the form of literature study, the data analysis method is qualitative. Arrangements regarding adjustments to the Articles of Association are contained in the Transitional Provisions for each regulation governing Limited Liability Companies. However, even though it has been regulated in writing, not all Naamloze Vennootschap have made adjustments to their Articles of Association. In the Transitional Provisions in the Law governing Limited Liability Companies, there is a blurring of norms in it, such as the absence of detailed arrangements regarding the dissolution of a Limited Liability Company due to failure to make adjustments to its Articles of Association. Furthermore, there are other legal consequences from the non-adjustment of the Articles of Association which has an impact on the ambiguity of legal entity status, then it also has an impact on the concept of structuring assets, registration of names in the system, up to the accountability for legal actions of Naamloze Vennootschap. Ambiguity or loss of Legal Entity status may have implications for the impossibility of Naamloze Vennootschap becoming a legal subject."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Hisbullah Ashidiqi, auhtor
"ABSTRAK
Kewajiban mencatatkan saham dalam Daftar Pemegang Saham (DPS) dan Daftar Khusus Pemegang Saham (DKPS) merupakan kewajiban Direksi Perseroan, demikian dinyatakan dalam Pasal 50 Jo. Pasal 101 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Satu hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan akta Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) adalah adanya Daftar Pemegang Saham (DPS) Perseroan Terbatas yang bersangkutan. Karena salah satu fungsi dari keberadaan DPS adalah untuk mengetahui jumlah suara yang legal dalam menentukan kuorum rapat dalam pelaksanaan RUPS. Selain itu pentingnya DPS dalam setiap transaksi bisnis suatu perseroan adalah untuk mencegah atau menghindari suatu transaksi yang mencurigakan yang dapat merugikan perseroan, seperti transaski afiliasi, monopoli, insider trading, dll. Namun, selama ini pelaksanaan ketentuan tersebut tidaklah seperti apa yang diharapkan oleh undang-undang. Pada prakteknya terdapat sejumlah kendala yang harus dihadapi terkait pelaksanaan pengadaan DPS dan DKPS, banyak masyarakat yang masih menganggap hal tersebut bukanlah sesuatu yang urgent atau prinsipil dalam menjalankan suatu perusahaan, sehingga banyak pihak yang mengesampingkan pelaksanaannya, meskipun pada dasarnya sebagaian besar telah memahami arti penting pelaksanaan ketentuan tersebut sebagai suatu kewajiban hukum, maupun dalam konteks bagian dari penerapan teori Good Corporate Governance dan teori fiduciary duty, akan tetapi kesadaran hukum tersebut tidak selalu diikuti dengan kepatuhan hukum, dimana masyarakat banyak yang memandang ketentuan tersebut bukanlah sebagai ketentuan hukum yang berdaulat.

ABSTRACT
The obligation of listing the company share into registration of Shareholders List and The Special Shareholders List to be the responsibility of the executive director, it is clearly stipulated in Article Number 50 Jo. The Article Number 101 the Government Regulation Number 40 The Year of 2007 in regard with the private company. One thing which is to be considered in writing the minute of General Shareholders Meeting, that is availability of the Shareholders List of the mentioned private limited company. By means to conform to the one of the function of Shareholders List is to know the number of legal votings to decide the acceptable condition in executing of the General Shareholders Meeting. Beside, the important of Shareholders List in any business transaction of the Private Limited Company is to prevent or avoid any suspecting transaction which will make the company suffering lost, among others the transaction of affiliation, monopoly, inside trading, etc. But, in the application of that regulation so far it could not meet as determine by the Government Regulation. In working out the terms and condition of it has always founds some constraints which must be faced accordingly in working out to prepare Shareholders List and The Special Shareholders List. Commonly the society look upon and consider it as not urgent or principly in operating the company, therefore many people does not pay attention so much on its terms application. Although as a matter of fact most of the society are quite aware of its importance as the law obligation, in which also in context with apart of Good Corporate Governance and the theory of fiduciary duty, but this awareness of it, is not always follow by the law enforcement, in which most society look upon that terms and condition considered as unofficial legal law."
2013
T38967
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nicholas Ardyanto
"Tesis ini membahas mengenai kondisi darurat sebagai penyimpangan ketentuan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham dengan peninjauan Putusan Pengadilan Tinggi Bandung nomor 660/PDT/2020/PT.BDG. Dalam Putusan nomor 660/PDT/2020/PT.BDG ditemukan pertimbangan bahwa kondisi darurat digunakan sebagai alasan pembenar terhadap penyimpangan ketentuan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham. Permasalahan dalam Penelitian ini adalah kriteria kondisi darurat yang digunakan sebagai penyimpangan Undang-Undang Perseroan Terbatas terkait penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham dalam putusan nomor 660/PDT/2020/PT.BDG. Metodologi Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif, dengan tipologi penelitian preskriptif, dan metode analisa data kualitatif. Adapun hasil penelitian mengemukakan bahwa kriteria yang dipertimbangkan oleh majelis hakim dalam mempertimbangkan kondisi darurat sebagai alasan pembenar terhadap penyimpangan pengaturan penyelenggaraan rapat umum pemegang saham dalam putusan nomor 660/PDT/2020/PT.BDG tersebut adalah keliru dan tidak sesuai dengan UUPT 2007. Selain itu, adanya permasalahan tersebut menunjukkan tidak adanya kejelasan pengaturan hukum di Indonesia terkait indikator/kriteria kondisi darurat yang dapat digunakan, khususnya sebagai penyimpangan pengaturan penyelenggaraan Rapat Umum Pemegang Saham; dan pihak Notaris yang tidak cermat dalam menerapkan ketentuan penyelenggaraan rapat umum pemegang saham. Dengan penelitian ini, diharapkan Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat memperjelas norma hukum terkait kriteria atau indikator kondisi darurat sebagai alasan pembenar dari penyimpangan UUPT, para hakim di Indonesia tidak menetapkan kondisi darurat secara subjektif, serta pihak Notaris untuk selalu dengan cermat dapat menerapkan ketentuan penyelenggaraan rapat umum pemegang saham.

This Thesis discusses “Emergency Condition” as a deviation of Law number 40/2007 concerning limited liability companies and its connection with the regulation concerning the shareholders general meeting holding by analyzing Bandung High Court decision number 660/PDT/2020/PT.BDG. In the mentioned decision is found that an “emergency condition” was used as a justification for law irregularities in holding the shareholders’ general meeting. The Research problem in this study is the criteria of emergency condition which is used in Bandung High Court Number 660/PDT/2020/PT.BDG as a Deviation of Law 40/2007 concerning Regulation of Holding the General Meeting of Shareholders. This Research method uses normative juridical approach, qualitative analysis, and prescriptive typology. The result of this research put forward that the emergency condition criteria used by Bandung High Court Decision number 660/PDT/2020/PT.BDG as a Deviation of Law 40/2007 does not comply in accordance with Indonesia applicable law. This Research bring forward that the problems concerning the difference of judge’s judgement regarding the notary deed shows the lack of clearness in Indonesia Law concerning the criterias/indicator that can be used as a justification for violating the shareholder general meeting’s regulations; and also the Notary party who did not properly implement the regulation of holding the general meeting of shareholders in accordance with applicable law in Indonesia. Therefore, it is recommended that the legislative power in Indonesia might establish a clear and firm criteria for an “emergency condition” which could be used as a deviation from the regulation of holding the General Meeting of Shareholders in Indonesia, for judges not to solely determine emergency condition subjectively, and for Notaries must always be able to thoroughly properly implement the regulations for holding a general meeting of shareholders."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christofer Chandra
"ABSTRAK
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh karena banyaknya akibat-akibat hukum yang akan timbul dengan perubahan bentuk suatu badan usaha, khususnya dari badan usaha non-badan hukum menjadi badan usaha berbadan hukum. Salah satu akibat hukum dari perubahan tersebut akan timbul didalam bidang perjanjian-perjanjian yang masih berlaku. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana akibat dari perubahan bentuk suatu Persekutuan Komanditer menjadi suatu perseroan terbatas terhadap suatu kontrak kerja yang sedang berjalan. Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian deskriptif analitis, dimana penulis mendapatkan bahan penelitian dengan melakukan studi pustaka dan wawancara. Akibat hukum dari perubahan bentuk badan usaha dari non-badan hukum menjadi badan usaha berbadan hukum tersebut salah satunya akan timbul didalam bidang perjanjian-perjanjian yang masih berlaku, dimana akan terjadi perubahan subjek hukum didalam perjanjian tersebut sehingga harus disesuaikan terlebih dahulu agar tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Selain itu persetujuan dari para rapat umum pemegang saham juga dibutuhkan sebagai syarat pengambilalihan perjanjian tersebut.

ABSTRACT
The background of this research is because there are too many legal impacts that will be arise because of the transformation of business entitity, especially from non-legal entitiy into legal entity.One of the consequences wil be arise in the ongoing contract because of the transformation of business entity. The goal of this research is to find out what consequences that will be arise on the ongoing contract because of the transformation from CV into PT.This research was conducted by using analytic descriptif method, and the datas used in this research are obtained fromliterature study and interviews. The legal impact that will be arise from the transformation of the business entitiy form on the ongoing contract is the changing of the subjects on the contract, and that can cause problems, so both of the party from the contracts must know about that transformation, and beside of that, the confirmation from the RUPS is the absolute requirement before PT can takeover the contract.
"
2014
S53156
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahman Rahim Salam
"Perubahan susunan anggota Direksi/ Dewan Komisaris Perseroan merupakan aktivitas penting yang sarat dengan konflik kepentingan di antara para pemangku-kepentingan dalam Perseroan. Perubahan ini disyaratkan dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya disebut “RUPS”). Penyelenggaraan RUPS ini merupakan wewenang Direksi, dan dalam hal-hal tertentu, pemanggilan RUPS dapat dilakukan oleh Dewan Komisaris, atau pemegang saham dengan kriteria tertentu atas izin Ketua Pengadilan Negeri (selanjutnya disebut “PN”) yang berwenang.
Dalam situasi adanya konflik kepentingan antara pemegang saham yang memiliki hak untuk meminta diadakannya RUPS tentang perubahan susunan anggota Direksi/Dewan Komisaris di satu pihak dan Direksi/ Dewan Komisaris di lain pihak, maka dapat dipastikan pemegang saham yang bersangkutan tidak akan menghadapi hambatan yuridis yang signifikan dalam penyelenggaraan RUPS dengan agenda itu, karena UUPT telah menyiapkan jalan keluar dengan memberikan hak kepada pemegang saham terkait untuk dapat melakukan sendiri pemanggilan RUPS tersebut atas izin Ketua PN yang berwenang, atau dalam hal permohonan izin pemanggilan RUPS tersebut ditolak oleh PN terkait, pemegang saham yang bersangkutan masih dapat mengajukan upaya kasasi untuk izin dimaksud.
Akan tetapi, dalam hal konflik kepentingan terjadi antara pemegang saham/RUPS yang telah mengambil keputusan tentang perubahan susunan anggota Direksi/Dewan Komisaris di satu pihak, dan Direksi/Dewan Komisaris yang telah diberhentikan di lain pihak, maka konflik ini berpotensi menimbulkan penolakan dalam pelaksanaan keputusan RUPS tersebut oleh Direksi/Dewan Komisaris yang lama, dengan cara tetap menguasai Perseroan secara de facto dan/atau mengajukan gugatan pembatalan keputusan RUPS terkait.
Dari beberapa kasus yang menjadi obyek dalam penelitian ini, hambatan yuridis teridentifikasi dalam upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pemegang saham terkait dalam realisasi keputusan RUPS ini apabila secara de facto Perseroan masih dikuasai Direksi/Dewan Komisaris yang lama, yaitu hanya melalui gugatan perdata. Proses panjang upaya di pengadilan justru mengancam kelangsungan hidup Perseroan.
Hambatan yuridis yang lain teridentifikasi pula dalam masa daluwarsa untuk pengajuan gugatan pembatalan keputusan RUPS. Masa daluwarsa ini masih berdasarkan Hukum Acara Perdata, dan bagi Perseroan masih relatif cukup panjang. Hambatan ini menimbulkan ketidak-pastian hukum baik bagi Perseroan maupun pihak ketiga yang akan atau telah melakukan hubungan hukum dengan Perseroan, khususnya bila hubungan hukum itu didasarkan oleh keputusan RUPS.

A change of members of the Company’s Board of Directors/Auditors, is an important activity which has many conflicts of interest among stakeholders in the Company. This change is required to be based on a resolution of the shareholders’ meeting (refer to as “Meeting”). The convening of this Meeting is an authority of the Board of Directors, and in some particular cases, the convocation of this Meeting may be conducted by the Board of Auditors, or by a specified shareholder with a permission from the Head of a competent Local Court (refer to as “LC”).
In a situation where there is a conflict of interest between a specified shareholder who has a right to demand the convocation of a Meeting for changing members of the Board of Directors/Auditors in one side, and the Board of Directors/Auditors in another side, it is clarified that the related shareholder will not face significant judicial obstacles for convoking this Meeting. Because, the Company Law has prepared a solution, by providing that shareholder a right to convoke this Meeting with a permission from the Head of a competent LC, or in case the application for this permission is rejected by the LC, the related shareholder may appeal for that permission to the Supreme Court.
However, in case the conflict occurs between the shareholder(s)/the Meeting which has taken a resolution for changing the members of the Board of Directors/Auditors in one side, and the dismissed Board of Directors/ Auditors in another side, this conflict will potentially cause to a refusal from the former Directors/ Auditors for executing that resolution, by occupying the Company as de facto Directors/Auditors and/or by filing a lawsuit for voiding the related resolution.
From some cases those are being objected in this research, a judicial obstacle is identified in the legal effort that may be taken by the shareholder for realizing this Meeting’s resolution when the Company is still occupied in de facto by the former Directors/Auditors, that is only by filing a civil lawsuit. The long process for this judicial effort, on the contrary, will threaten an existence of the Company itself.
Another judicial obstacle is also identified in the valid time-span for filing a lawsuit for voiding a Meeting’s resolution. This time-span is still based on the Law on Civil Procedure, and relatively too long for a Company. This obstacle causes a law uncertainty for both the Company and the third party who will make or has made a legal transaction with the Company, especially if that transaction is based on a Meeting’s resolution.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S23878
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nadapdap, Binoto
Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009
346.06 BIN h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Nadapdap, Binoto
Jakarta: Permata Aksara, 2013
346.06 NAD h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bandung: Citra Umbara, 2007
346.06 UND
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>