Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 213896 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Vesri Yoga
"Latar Belakang: Kolangitis akut merupakan penyakit dengan tingkat mortalitas tinggi sehingga diperlukan diagnosis dan tatalaksana segera. Tokyo Guidelines 2018 (TG18) sebagai modalitas diagnostik perlu dinilai sensitivitasnya. Serta prediktor mortalitas kolangitis akut di Indonesia masih belum pernah diteliti. 
Tujuan: Menilai performa diagnostik TG18 dan prediktor mortalitas pasien kolangitis akut dewasa di Indonesia.
Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan menggunakan rekam medis pasien kolangitis RSCM dari tahun 2019-2022. Perbandingan dengan baku emas ERCP dilakukan untuk TG18. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan untuk menilai prediktor mortalitas. 
Hasil: Subjek penelitian 163 orang dengan 51,5% laki-laki dengan rerata usia 51,0 ±12,81 tahun. Tingkat mortalitas selama di rumah sakit mencapai 11,6%. Sensitivitas TG18 dengan ERCP adalah 84,05% (95%CI 77,51-89,31%). Prediktor mortalitas yang bermakna pada analisis univariat adalah TG18 derajat III (RR 13,846 (3,311-57,897), p<0,001), riwayat keganasan (RR 4,400 (1,525-12,687), p=0,006), pemilihan antibiotik tidak sesuai pedoman (RR 3,275 (1,366-7,851), p=0,008) dan kadar prokalsitonin ≥ 2.0 ng/mL (RR 2,440 (1,056-5,638), p=0,037). Pada analisis multivariat prediktor yang bermakna adalah TG18 derajat III (RR 10,670 (2,502-45,565), p=0,001), penggunaan antibiotik tidak sesuai pedoman (RR 2,923 (1,342-6,367), p=0,007), dan kadar prokalsitonin ≥2.0 ng/mL (RR 2,371 (1,183-4,753), p=0,015). 
Simpulan: Sensitivitas TG18 cukup tinggi sehingga bisa digunakan untuk membantu diagnosis kolangitis akut. Prediktor mortalitas kolangitis akut mencakup derajat III berdasarkan TG18, pengguaan antibiotik tidak sesuai pedoman, dan kadar prokalstionin ≥2.0 ng/mL.

Background: Acute cholangitis is a disease with a high mortality rate that requires prompt diagnosis and treatment. Tokyo Guidelines 2018 (TG18) as a diagnostic modality need to be assessed for sensitivity. Predictors of acute cholangitis mortality in Indonesia are still unknown. Objective Assessing the diagnostic performance of TG18 and predictors of mortality in adult acute cholangitis patients in Indonesia.
Methods A retrospective cohort study was conducted using the medical records of RSCM cholangitis patients from 2019-2022. Comparisons with the ERCP gold standard were made for TG18. Bivariate and multivariate analyzes were performed to assess predictors of mortality.
Results The research subjects were 163 people with 51.5% male with a mean age of 51.0 ± 12.81 years. The mortality rate during hospitalization reached 11.6%. The sensitivity of TG18 with ERCP as the gold standard were 84.05% (95%CI 77.51-89.31%). Significant predictors of mortality in Univariate analysis was TG18 grade III (RR 13,846 (3,311-57,897), p<0,001), history of malignancy (RR 4,400 (1,525-12,687), p=0,006), the use of antibiotics did not comply with the guidelines (RR 3,275 (1,366-7,851), p=0,008) and procalcitonin level ≥ 2.0 ng/mL (RR 2,440 (1,056-5,638), p=0,037) In multivariate analysis the significant predictors were TG18 degree III (RR 10,670 (2,502-45,565), p=0,001), the use of antibiotics did not comply with the guidelines (RR 2,923 (1,342-6,367), p=0,007) and procalcitonin level ≥ 2.0 ng/mL (RR 2,371 (1,183-4,753), p=0,015).
Conclusions: The sensitivity of TG18 is high enough that it can be used to help diagnose acute cholangitis. Predictors of acute cholangitis mortality included grade III based on TG18, inappropriate use of antibiotics and procalcionine level  ≥ 2.0 ng/mL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Ulhaq
"Latar belakang: Pemanfaatan modalitas diagnostik terbaru dalam diagnosis dan penatalaksanaan pasien dengan kolangitis akut telah berkontribusi pada penurunan mortalitas yang signifikan. Salah satu modalitas diagnosis kolangitis akut yang dewasa ini banyak digunakan secara luas adalah menggunakan kriteria diagnosis Tokyo. Walaupun demikian, kriteria TG18 masih memiliki spesifisitas yang relatif kurang, sehingga menyebabkan masih cukup tingginya temuan diagnosis positif palsu. Oleh karena itu, diperlukan penanda inflamasi yang lebih spesifik terhadap infeksi, misalnya procalcitonin (PCT), yang diharapkan dapat meningkatkan spesifisitas diagnosis kriteria TG18. Tujuan penelitian ini adalah menentukan akurasi diagnostik dan nilai tambah pemeriksaan kadar prokalsitonin dalam diagnosis kolangitis akut. Metode: Penelitian observasional prospektif dengan desain potong lintang ini dilakukan di Unit Gawat Darurat, rawat jalan, dan Pusat Endoskopi Saluran Cerna (PESC) RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan April sampai Desember 2022. Penelitian ini melibatkan 84 pasien ikterus obstruktif yang direncanakan untuk tindakan drainase bilier di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Kriteria yang digunakan adalah kriteria TG18. Pemeriksaan baku emas dikatakan positif apabila ditemukan salah satu bukti dari pemeriksaan baku emas, yaitu drainase bilier purulen secara makroskopik pada drainase yang pertama dan kultur bilier positif. Hasil: Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan rasio kemungkinan positif dari kriteria diagnostik Tokyo 2018 dalam diagnosis kolangitis akut berturut-turut sebesar 97,10%; 0,0%; 81,71%; 0,0%; dan 0,97.Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan rasio kemungkinan positif, dan rasio kemungkinan negatif dari kriteria diagnostik prokalsitonin dalam diagnosis kolangitis akut berturut-turut sebesar 69,6%; 80,0%; 94,12%; 36,36%; 3,48; dan 0,38. Sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif, nilai duga negatif dan rasio kemungkinan positif, dan rasio kemungkinan negatif dari kombinasi prokalsitonin dan kriteria TG18 dalam diagnosis kolangitis akut berturut-turut sebesar 69,6%; 80,0%; 94,12%; 36,36%; 3,48; dan 0,38 Kesimpulan: Kriteria TG18 dengan parameter prokalsitonin tidak terbukti dapat meningkatkan nilai diagnostik dari parameter prokalsitonin secara tunggal dalam mendeteksi kolangitis akut.

Background: Utilization of the latest diagnostic modalities in the diagnosis and management of patients with acute cholangitis has contributed to a significant reduction in mortality. One of the modalities for the diagnosis of acute cholangitis which is widely used today is the Tokyo diagnostic criteria. Even so, the TG18 criteria still have relatively low specificity, resulting in a relatively high number of false positive diagnosis findings. Therefore, a marker of inflammation that is more specific to infection is needed, for example procalcitonin (PCT), which is expected to increase the specificity of the diagnosis of the TG18 criteria. The purpose of this study was to determine the diagnostic accuracy and added value of testing procalcitonin levels in the diagnosis of acute cholangitis. Methods: This prospective observational study with a cross-sectional design was conducted at the Emergency Unit, outpatient care, and PESC of Cipto Mangunkusumo General Hospital from April to December 2022. This study involved 84 patients with obstructive jaundice who were planned for biliary drainage at Cipto Mangunkusumo General Hospital. The criteria used are the TG18 criteria. The gold standard examination is proven positive if one of the following criteria was noted: namely macroscopic purulent biliary drainage in the first drainage and positive biliary culture.
Results: Sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, and positive likelihood ratio of TG18 criteria in detecting acute cholangitis were 97,10%; 0,0%; 81,71%; 0,0%; and 0,97, respectively. Sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, positive likelihood ratio, and negative likelihood ratio of procalcitonin in detecting acute cholangitis were 69,6%; 80,0%; 94,12%; 36,36%; 3,48; and 0,38, respectively. Sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value, positive likelihood ratio, and negative likelihood ratio of combined procalcitonin and TG18 criteria in the diagnosis of acute cholangitis were 69,6%; 80,0%; 94,12%; 36,36%; 3,48; and 0,38, respectively. Conclusion: TG18 criteria combined with procalcitonin was not found to be superior to procalcitonin only in the diagnosis of acute cholangitis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novita Gemalasari Liman
"Latar Belakang: Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa hipokloremia berhubungan dengan peningkatan rehospitalisasi dan mortalitas pada pasien dengan gagal jantung (chloride hypothesis). Akan tetapi, penelitian-penelitian tersebut hanya membandingkan kelompok pasien gagal jantung dengan hipokloremia dengan kelompok normokloremia saat admisi.
Tujuan: Mengetahui pengaruh normalisasi kadar klorida terhadap rehospitalisasi dan mortalitas pasien gagal jantung. Metode: Dilakukan penelitian kohort prospektif pasien gagal jantung dekompensasi akut (GJDA) yang dirawat inap dari September 2018 sampai Februari 2019. Pasien dengan hipokloremia dan normonatremia saat admisi dibagi menjadi kelompok hipokloremia persisten hingga saat pemulangan dibanding kelompok normokloremia saat pemulangan. Luaran primer adalah rehospitalisasi karena gagal jantung dalam 180 hari. Luaran sekunder adalah mortalitas dalam 180 hari. Hasil: Terdapat 162 pasien (53,6%) yang termasuk dalam kelompok hipokloremia persisten dan 140 pasien (46,3%) yang termasuk dalam kelompok normokloremia saat pemulangan. Model regresi Cox menunjukkan hipokloremia persisten tidak berkaitan bermakna dengan peningkatan rehospitalisasi karena gagal jantung (hazard ratio 1,21; interval kepercayaan 95% 0,78-1,89; p 0,392) dan mortalitas (hazard ratio 1,39; interval kepercayaan 95% 0,74-2,65; p 0,305) dibandingkan dengan kelompok normokloremia saat pemulangan.
Kesimpulan: Hipokloremia persisten pada pasien GJDA bukan merupakan prediktor independen terhadap rehospitalisasi gagal jantung dan mortalitas.

Background: Recent studies have shown that hypochloremia is associated with increased risk of rehospitalization and death in patients with heart failure (chloride hypothesis). In these studies, however, patients with hypochloremia were compared only with patients with a normal chloride level at hospital admission. Aim: To evaluate the effect of the normalization of serum chloride on the heart failure to rehospitalization and mortality. Method: This was a prospective cohort study of patients hospitalized for acute decompensated heart failure (ADHF) from September 2018 to February 2019. Patients with hypochloremia and normonatremia at admission were divided into patients with persistent hypochloremia at the time of discharge and patients who achieved normalization of their serum chloride levels at discharge. The primary outcome was 180-day rehospitalization. The secondary outcome was 180-day mortality.
Results: There were 162 patients (53,6%) with persistent hypochloremia and 140 patients (46,3%) with normochloremia at discharge. Cox regression model indicated persistent hypochloremia did not significantly predict heart failure rehospitalisation (hazard ratio 1.21; 95% confidence interval 0.78-1.89; p 0.392) and mortality (hazard ratio 1.39; 95% confidence interval 0.74-2.65; p 0.305) compared with group of normochloremia at discharge.
Conclusion: Persistent hypochloremia in ADHF patients is not an independent predictor of heart failure rehospitalisation and mortality.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Estu Rudiktyo
"ABSTRAK
Latar Belakang. Penyakit jantung katup masih banyak ditemui di Indonesia, akan tetapi karena keterbatasan fasilitas kesehatan, banyak pasien yang terlambat mendapatkan intervensi. Keterlambatan intervensi akan mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas. Beberapa studi besar seperti EuroSCORE dan STS telah mengembangkan model prediksi mortalitas pasca pembedahan katup jantung, akan tetapi sedikit sekali studi terkait yang dilakukan di Indonesia, padahal terdapat perbedaan karakteristik pasien. Studi ini bertujuan mengidentifikasi faktor-faktor yang dapat menjadi prediktor kejadian mortalitas di rumah sakit pada pasien yang menjalani pembedahan katup jantung.
Metode. Studi kohort retrospektif dilakukan di Pusat Jantung Nasional Harapan Kita, Jakarta pada pasien yang menjalani pembedahan katup jantung.
Karakteristik demografi, parameter klinis, data laboratorium, ekokardiografi dan teknis operasi merupakan kategori dari variabel yang dikumpulkan melalui rekam medis dan sistem informasi rumah sakit. Data kemudian diolah dengan analisis multivariat menggunakan metode regresi logistik.
Hasil. Sebanyak 305 sampel berhasil dikumpulkan, dengan 24 diantaranya mengalami kematian (7.9%). Variabel yang berkaitan dengan mortalitas adalah kelas fungsional, riwayat diabetes, endokarditis aktif, riwayat operasi jantung sebelumnya, kadar hemoglobin, TAPSE dan durasi CPB dan jenis operasi. Uji diskriminasi dan kalibrasi dari model menunjukkan hasil yang baik.
Kesimpulan. Beberapa variabel telah diidentifikasi merupakan prediktor mortalitas pasca operasi katup jantung. Informasi ini diharapkan dapat membantu menentukan strategi tatalaksana selama intervensi dan perawatan

ABSTRAK
Background. Valvular heart disease still become one of the leading heart disease in Indonesia. Unfortunately, because of very limited cardiac centres, many patients diagnosed late. Delay in intervention would increase the morbidity and
mortality rate if intervention ultimately performed. Several surgical mortality prediction models such as EuroSCORE and STS had been developed. However, until now, there is no specific mortality risk assessment in our population, despite very different in patients characteristics. Aim of this study is to identify risk factors to predict in-hospital mortality in patient underwent heart valve surgery Methods. A retrospective cohort study, done in National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta in patients underwent heart valve surgery. Categories for data obtained was basic characteristics, clinical examinations, echocardiography and operation procedure. Statistical analysis was done using multivariat analysis using logistic regression method.
Result. 305 subjects fit the inclusion and exclusion criteria. Mortality event occured in 24 patients (7.9%). The variables are functional class III or IV, diabetes, active endocarditis, previous open heart surgery, hemoglobin level, TAPSE, CPB time and type of operation. Calibration and discrimination test of prediction model shows good result.
Conclusion. Several variables has been identified as predictor of in-hospital mortality after heart valve surgery. These information are expected to be helpful in deciding intervention and treatment strategies."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bimo Dwi Pramesta
"Obstruksi saluran cerna adalah kondisi yang sering memerlukan operasi dan dapat menyebabkan komplikasi serius. Neutrophil-to-lymphocyte ratio (NLR) telah digunakan sebagai indikator inflamasi pada berbagai kondisi medis, namun penelitian mengenai hubungan antara NLR dan obstruksi saluran cerna masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi peran NLR sebagai prediktor praoperasi yang hemat biaya dan sederhana terhadap mortalitas dan morbiditas pascaoperasi, khususnya infeksi luka operasi pada pasien dewasa dengan obstruksi saluran cerna. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang yang dilakukan pada pasien dewasa dengan obstruksi saluran cerna di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sampel penelitian terdiri dari 150 pasien dengan karakteristik dasar yang meliputi jenis kelamin, usia, jenis obstruksi saluran cerna, dan kadar neutrofil dan limfosit. Pasien yang meninggal pascaoperasi memiliki rata-rata NLR yang lebih tinggi (26,50) dibandingkan dengan pasien yang masih hidup (9,77). Analisis multivariat menunjukkan bahwa NLR merupakan faktor prediktif independen untuk morbiditas (OR = 1,37) dan mortalitas pasien (OR = 1,10). Penelitian ini juga mengidentifikasi cut-off nilai NLR praoperasi terbaik untuk menjadi prediktor morbiditas (9,95) dan mortalitas (12,51) pasien obstruksi saluran cerna pascaoperasi dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Temuan ini menunjukkan bahwa NLR dapat digunakan sebagai indikator yang dapat diandalkan dalam memprediksi hasil operasi pada pasien obstruksi saluran cerna

Intestinal obstruction is a condition that often requires surgery and can lead to serious complications. Neutrophil-to-lymphocyte ratio (NLR) has been used as an inflammation indicator in various medical conditions, but research on the relationship between NLR and intestinal obstruction is still limited. Therefore, this study aims to evaluate the role of NLR as a cost-effective and simple preoperative predictor of postoperative mortality and morbidity, particularly surgical site infection, in adult patients with intestinal obstruction. This study is a cross-sectional study conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital in Jakarta. The study sample consists of 150 adult patients with intestinal obstruction, with baseline characteristics including gender, age, type of intestinal obstruction, and neutrophil and lymphocyte levels. Patients who died postoperatively had a higher average NLR (26.50) compared to those who survived (9.77). Multivariate analysis showed that NLR was an independent predictive factor for morbidity (OR = 1.37) and patient mortality (OR = 1.10). This study also identified the optimal preoperative NLR cut-off values as predictors of morbidity (9.95) and mortality (12.51) in postoperative intestinal obstruction patients, with high sensitivity and specificity. These findings indicate that NLR can be used as a reliable indicator for predicting surgical outcomes in patients with intestinal obstruction."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Purnamawati
"Latar Belakang: Sepsis merupakan masalah kesehatan global dan memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Rasio neutrofil-limfosit merupakan pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan di fasilitas terbatas dan tidak memerlukan biaya besar, tetapi belum ada studi yang meneliti perannya dalam memprediksi mortalitas 28 hari pada pasien sepsis, menggunakan kriteria sepsis-3 yang lebih spesifik.
Tujuan: Mengetahui peran rasio neutrofil-limfosit dalam memprediksi mortalitas 28 hari pada pasien sepsis.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif terhadap pasien sepsis yang dirawat di RSCM pada tahun 2017. Data diambil dari rekam medis pada bulan Maret-Mei 2018. Nilai rasio neutrofil-limfosit yang optimal didapatkan menggunakan kurva ROC. Subjek kemudian dibagi menjadi dua kelompok yang di bawah dan di atas titik potong. Kedua kelompok kemudian dianalisis menggunakan analisis kesintasan dengan program SPSS.
Hasil: Dari 326 subjek, terdapat 12 subjek loss to follow-up. Rerata usia sampel 56,4 + 14,9 tahun, dengan fokus infeksi terbanyak di saluran napas (59,8%), dan penyakit komorbid terbanyak adalah keganasan padat (29,1%). Nilai titik potong rasio neutrofil-limfosit yang optimal adalah 13,3 (AUC 0,650, p < 0,05, sensitivitas 63%, spesifisitas 63%). Pada analisis bivariat menggunakan cox regression didapatkan kelompok dengan nilai rasio neutrofil-limfosit> 13,3 memiliki crude HR sebesar 1,84 (IK 95% 1,39-2,43) dibandingkan dengan kelompok yang nilai rasio neutrofil-limfosit < 13,3. Setelah menyingkirkan kemungkinan faktor perancu, didapatkan adjusted HR untuk kelompok dengan nilai rasio neutrofil-limfosit tinggi adalah 1,60 (IK 95% 1,21-2,12).
Simpulan: Nilai rasio neutrofil-limfosit memiliki akurasi lemah dalam memprediksi mortalitas 28 hari pasien sepsis dengan nilai titik potong optimal 13,33. Kelompok dengan nilai rasio neutrofil-limfosit > 13,3 memiliki risiko mortalitas 28 hari yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok nilai rasio neutrofil-limfosit < 13,3.

Background: Sepsis is a global health problem with high morbidity and mortality. Neutrophil to lymphocyte ratio is a simple test which can be done in limited facility, but there is no study conducted to know its potential in predicting 28-day-mortality in septic patients, using the more specific sepsis-3 criteria.
Objectives: To investigate neutrophil to lymphocyte ratio as a predictor of 28-day-mortality in septic patients.
Methods: A retrospective cohort study was conducted using medical records in Cipto Mangunkusumo Hospital for septic patients who were admitted in 2017. Neutrophil to lymphocyte ratio cut off was determined using ROC curve, then subjects were divided into two groups according to its neutrophil to lymphocyte ratio value. The groups were analyzed using survival analysis with SPSS.
Result: From 326 subjects, 12 subjects were loss to follow-up. Age mean was 56.4 + 14.9 years. Lung infection (59.8%) was the most frequent source of infections and solid tumor (29.1%) was the most frequent comorbidities. The optimal cut off value for neutrophil to lymphocyte ratio was 13.3 (AUC 0.650, p < 0.05, sensitivity 63%, specificity 63%). Bivariate analysis using cox regression showed that group with neutrophil to lymphocyte ratio > 13.3 had greater risk for 28-day-mortality than group with neutrophil to lymphocyte ratio < 13.3 with crude HR 1.84 (95% CI 1.39-2.43). After adjustment for possible confounding, adjusted HR for group with higher neutrophil to lymphocyte ratio was 1.60 (95% CI 1.21-2.12).
Conclusion: Neutrophil to lymphocyte ratio had poor accuracy in predicting 28-day-mortality in septic patients with 13.3 as the optimal cut off value. Group with neutrophil to lymphocyte ratio > 13.3 had greater significant risk for mortality in 28 days than group with neutrophil to lymphocyte ratio < 13.3.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58572
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melyana
"Latar belakang: Model prediksi risiko operasi memiliki peranan penting pada tindakan operasi katup jantung. Perubahan karakter pasien dan fasilitas pembedahan dalam waktu tertentu dapat mempengaruhi nilai prediksi skor risiko operasi.
Tujuan: Mengetahui perbandingan validasi EuroSCORE II, skor Ambler dan skor Harapan Kita dalam memprediksi mortalitas di rumah sakit pasca operasi katup jantung.
Metode: Dilakukan studi kohort retrospektif terhadap 416 pasien yang menjalani operasi katup jantung pada periode November 2018 hingga Desember 2019. Data berasal dari rekam medis dengan metode sampling konsekutif. Didapatkan nilai kalibrasi dan diskriminasi EuroSCORE II, skor Ambler dan skor Harapan Kita.
Hasil: Angka kematian yang diobservasi sebesar 6,7%. EuroSCORE II, skor Ambler and skor Harapan Kita memiliki kalibrasi yang baik (uji Hosmer-Lemeshow p=0,065, p=0,233 and p=0,314). Kemampuan diskriminasi skor dalam memprediksi kematian di rumah sakit EuroSCORE II (AUC 0,763; 95% IK;0.660-0.867), diikuti skor Ambler (AUC 0.748; 95% IK; 0.655-0.841) dan skor Harapan Kita (AUC 0,694; 95% IK; 0.584-0.804)
Kesimpulan: EuroSCORE II, skor Ambler dan skor Harapan Kita memiliki validasi yang cukup baik. Kalibrasi ketiga skor baik dengan kalibrasi skor Harapan Kita relatif lebih baik dari dua skor lainnya, sedangkan nilai diskriminasi skor Harapan Kita di bawah EuroSCORE II dan skor Ambler.

Background: Preoperative risk prediction models have important role in cardiac valve surgical management. Changing in patient characteristics and surgical facilities over time, might affect the predicting value of those scoring system.
Objective: This study aimed to compare the validation of EuroSCORE II, Ambler score and Harapan Kita score in predicting in-hospital mortality at patients underwent heart valve surgery
Methods: Cohort restrospective study was performed at 416 patients who underwent heart valve surgery from November 2018 to December 2019. Data was taken from the medical records by consecutive sampling method. The calibration and discrimination value of EuroSCORE II, Ambler score and Harapan Kita score were obtained.
Results: Observed in-hospital mortality was 6,7%. EuroSCORE II, Ambler score and Harapan Kita score have good calibration (Hosmer-Lemeshow test p=0,065, p=0,233 and p=0,314). The discriminative value of these three scores in predicting in-hospital mortality for EuroScore II AUC 0,763 (95% CI; 0.660-0.867), Ambler score AUC 0.748 (95% CI; 0.655-0.841) and Harapan Kita score AUC 0,694 (95% CI; 0.584-0.804)
Conclusion: EuroSCORE II, Ambler score and Harapan Kita score have fairly good validation. Those scoring system have good calibration with Harapan Kita score calibration relatively better than EuroSCORE and Ambler score, meanwhile Harapan Kita score has less discrimination value than EuroScore II and Ambler score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Novi Ariyanti
"Latar Belakang : Model prediksi risiko mortalitas dan morbiditas pascapembedahan jantung digunakan untuk penjelasan kepada pasien mengenai risikoperioperasi, pemilihan tatalaksana, perbandingan hasil pascaoperasi dan alokasidana oleh penjamin kesehatan nasional. Husink dkk mengembangkan suatu sistemskor prediksi mortalitas dan morbiditas pasca pembedahan katup jantung yaitu skorHarapan Kita pada tahun 2015. Sistem skor model prediksi mortalitas memilikidaya kalibrasi dan diskriminasi yang baik sedangkan model prediksi morbiditasmemiliki daya kalibrasi baik dan daya diskriminasi sedang. Sampai saat ini belumada validasi eksternal pada sistem skor Harapan Kita tersebut, sehingga perludilakukan untuk dapat selanjutnya diimplementasikan secara klinis.
Tujuan : Memvalidasi secara eksternal sistem skor Harapan Kita sebagai prediktormortalitas dan morbiditas di rumah sakit pasien yang menjalani pembedahan katupjantung.
Metode : Penelitian merupakan studi potong lintang dengan metode validasieksternal temporal yang dilakukan di Departemen Kardiologi dan KedokteranVaskular Universitas Indonesia/Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh DarahHarapan Kita, menggunakan data sekunder Januari 2015 hingga September 2016,yang diambil secara total sampling. Analisis data ditujukan untuk mendapatkannilai kalibrasi dan diskriminasi.
Hasil : Sampel akhir berjumlah 789, kejadian mortalitas di rumah sakit 8.6 68dari 789 sampel dan prediksi mortalitas dengan skor Harapan Kita 11.9 .Kejadian morbiditas di rumah sakit 34.7 dan prediksi morbiditas dengan skorHarapan Kita 19.1 . Setelah dilakukan penghitungan skor Harapan Kita padasemua sampel studi, didapatkan nilai kalibrasi prediksi mortalitas p = 0.169 dandiskriminasi/AUC sebesar 0,761 95 IK; 0.702-0.821 sedangkan prediktormorbiditas kalibrasi p = 0.689 dan AUC 0.753 95 IK; 0.716-0.789.
Kesimpulan : Sistem skor Harapan Kita secara eksternal valid untuk memprediksimortalitas dan morbiditas pasien yang menjalani pembedahan katup jantung.

Background: Mortality and morbidity risk prediction model after cardiac surgeryis used to explain perioperative risk, choice of treatment, comparation of surgeryresults, and for financial allocation consideration by national health insurance.Harapan Kita score was developed in 2015. This scoring system had a goodcalibration and discrimination for predicting mortality also a good calibration butmoderate discrimination for predicting morbidity. However this score never beenexternally validated.
Objective: To validate externally the Harapan Kita scoring system as an inhospitalmortality and morbidity predictor in patients who is undergoing valvular heartsurgery.
Methods: This is a cross sectional study with temporal external validation methodthat performed at the Department of Cardiology and Vascular Medicine,Universitas Indonesia National Cardiovascular Center Harapan Kita, usingsecondary data from January 2015 until September 2016, which taken by totalsampling method. Data analysis is intended to develop the calibration anddiscrimination level.
Results: The final samples were 789, with 8.6 68 from 789 samples mortalityevent and a mortality predictor of Harapan Kita Score 11.9. The Odds Ratio OR of all variables were similar with the OR of Harapan Kita score previous study. Callibration value for mortality predictor were p 0.169 with a discrimination AUC 0.761 95 CI 0.702 0.821 meanwhile calibration value formorbidity predictor were p 0.689 and AUC 0.753 95 CI 0.716 0.789.
Conclusion: Harapan Kita scoring system valid externally to predict in hospitalmortality and morbidity in patients undergoing valvular heart surgery
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55651
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wawan Setyawan
"Latar Belakang. Stratifikasi risiko merupakan bagian integral dari managemen pasien sindrom koroner akut (SKA). Identifikasi pasien yang berisiko tinggi menjadi sangat penting untuk meningkatkan kewaspadaan sekaligus mengurangi tindakan berlebih terhadap pasien dengan risiko rendah. Meskipun TIMI pada STEMI dan UAPINSTEMI merupakan skor risiko yang baik dan telah divalidasi dan dipergunakan secara luas, tetapi penelitian mengenai perfonnanya belum pernah dilakukan di Indonesia. Adanya perbedaan karakteristik antara pasien SKA di Indonesia dengan populasi di negara maju dapat mempengaruhi prognosis pasien sehingga perlu dilakukan penelitian mengenai perfonna dari kedua sistem skoring tersebut. Tujuan. Menilai perfonna kalibrasi dan diskriminasi skor TIMI dalam memprediksi mortalitas 30 hari pasien STEMI dan 14 hari pasien UAPINSTEMI di Indonesia Metodologi. Studi kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien SKA yang dirawat di IeeU RSeM 2003-2010 dengan metode pengambilan sampel konsekutif. Perfonna kalibrasi skor TIMI dinyatakan dengan plot kalibrasi dan uji Hosmer-Lemeshow sedangkan perfonna diskriminasi dinyatakan dengan nilai AUe. Hasil. Selama penelitian terkumpul 714 pasien STEMI dan 787 pasien UAPINSTEMI yang dirawat di IeeU RSeM. Skor TIMI STEMI mempunyai perfonna kalibrasi dan diskriminasi yang baik dengan plot kalibrasi 0,98, uji Hosmer-Lemeshow 0,93 dan nilai AUe 0,801 (Kl 95% 0,759-0,844). Perfonna kalibrasi dan diskriminasi skor TIMI UAPINSTEMI juga cukup baik dengan plot kalibrasi mencapai 0,88, uji Hosmer lemeshow 0,86 dan nilai AUe 0,727 (KI95% 0,668-0,786). Simpulan. Skor TIMI mempunyai perfonna kalibrasi dan diskriminasi yang baik dalam memprediksi mortalitas pasien SKA di Indonesia.

Background. Risk Stratification in acute coronary syndrome patients is an integral part in the management of patients. Risk stratification is important to avoid overtreatment in high risk patients, as well as undertreatment in low risk patients. Although TIMI STEMI and TIMI UAiNSTEMI are scores that have been validated and used widely, but to date no study of its appicability has been done in Indonesia. Differences in characteristic of acute coronary syndrome patients in Indonesia compared to developed countries can have influence on the prognostic of the patient hence a study is needed regarding performance of TIM I scoring system. Objectives. To obtain the calibration dan discrimination performance of TIMl risk score to predict 30 day dan 14 day mortality in STEMI and UAPINSTEMI patients in Indonesia Methods. A retrospective cohort study with consecutive sampling was done in ACS patients hospitalized in the ICCU Cipto Mangun Kusumo Hospital between the period 2003 until 2010. Calibration performance of TIM I risk score was evaluated by calibration plot and Hosmer-Lemeshow test while discrimination performance was done with A Uc. Results. A total of 714 STEMI patients and 787 UAPINSTEMI patients entered the study. TIMI STEMI risk score have a good calibration and discrimination performance with calibration plot of 0, 98, Hosmer-Lemeshow test 0,93 and AUC 0,801 (CI95% 0,759-0,844). A good calibration and discrimination performance of TIMI UAPINSTEMI risk score was observed with calibration plot of 0,88, Hosmer-Lemeshow test 0,86 and AUC 0,73 (CI 95% 0,668-0,786). Conclusion. TIM! risk score has a good calibration and discrimination performance in predicting mortality of ACS patients in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
T58023
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wulan Ayudyasari
"Prediktor keparahan pankreatitis bilier yang telah banyak digunakan seperti kriteria Ranson, Imrie modifikasi, dan APACHE II membutuhkan waktu pengumpulan data hingga 48 jam dengan variabel diagnostik multipel sehingga sulit untuk diterapkan. Studi ini bertujuan untuk mencari prediktor keparahan tunggal agar dapat segera ditentukan tatalaksana terbaik bagi tiap pasien.Penelitian ini menggunakan data sekunder dari rekam medis pasien-pasien pankreatitis bilier akut di RSCM tahun 2008-2016. Kadar glukosa darah sewaktu GDS awal, derajat keparahan, dan mortalitas dicatat dan dianalisis menggunakan SPSS 20.0.Sebanyak 41 pasien pankreatitis bilier dari 140 pasien pankreatitis akut memenuhi kriteria inklusi dari studi ini. Rerata usia pasien 49,2 tahun, 24 58,5 laki-laki dan 17 41,5 perempuan. Median kadar GDS kasus ringan, sedang, dan berat adalah 109,5 mg/dL; 131 mg/dL; dan 171 mg/dL. Terdapat perbedaan bermakna antara kadar GDS pada pankreatitis bilier ringan dengan berat, nilai p 0,008.Pada kurva ROC GDS terhadap pankreatitis bilier berat didapatkan AUC 0,885 IK 95 0,743 ndash; 1,000 . Nilai cut-off GDS 154,5 mg/dL memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang optimal dalam memprediksi pankreatitis bilier akut berat, yaitu 75 dan 91,8 . Kadar GDS tersebut memiliki nilai prediksi positif dan negatif sebesar 50 dan 97,1 . Tidak didapatkan hubungan antara kadar GDS dengan mortalitas, nilai p 0,249. Didapatkan hubungan antara derajat keparahan dengan mortalitas dengan nilai p 0,021 dan OR 0,028. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kadar GDS 154,5 mg/dL dapat memprediksi pankreatitis bilier akut berat dengan akurasi yang baik.

The established severity predictors of gallstone pancreatitis such as Ranson criteria, modified Imrie, and APACHE II usually require several days and multiple diagnostic variable to be fulfilled so that they are not convenient to use. This study was held to find a simple severity predictor of gallstone pancreatitis to immediately choose the best management for each patient.The data were derived retrospectively from the medical records of acute gallstone pancreatitis patients during 2008 2016. Random blood glucose RBG level on admission, severity grading, and mortality were recorded and analyzed using SPSS 20.0.Forty one gallstone pancreatitis out of 140 acute pancreatitis patients were included in this study. The mean age was 49,2 years old, 24 58,5 were male and 17 41,5 were female. The median RBG level in mild, moderately severe, and severe disease were 109,5 mg dL 131 mg dL and 171 mg dL respectively. There was a significant difference of RBG level on mild and severe disease, p value 0,008.The ROC curve of RBG and severe gallstone pancreatitis revealed the AUC of 0,885 CI 95 0,743 ndash 1,000 . The cut off point of RBG level 154,5 mg dL had the optimal sensitivity 75 and specificity 91,8 to predict severe disease. The positive and negative predictive value of RBG level 154,5 mg dL were 50 and 97,1 . There was no significant difference between RBG level and mortality, p 0,249. There was a relationship between severity grading and mortality, p 0,021 and OR 0,028. We can conclude that RBG level of 154,5 mg dL can acurately predict severe disease.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>