Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138523 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anindya Putra Julianno
"Latar belakang: Saat ini prevalensi penyakit tidak menular, salah satunya obesitas, mengalami tren peningkatan. Obesitas dapat menimbulkan berbagai komplikasi dan dapat menjadi penyakit penyulit sehingga menjadi tantangan dalam menata laksana berbagai penyakit. Perubahan fisiologis yang dibawa oleh obesitas dapat menjadi faktor risiko perkembangan kanker endometrium. Obesitas dapat memicu paparan estrogen berlebih dari konversi androgen pada jaringan adiposa perifer. Selain itu, dengan perubahan hormonal akibat menopause, terjadi gangguan keseimbangan hormon yang dapat mencetuskan kanker endometrium. Saat ini masih sedikit sekali penelitian yang meneliti hubungan antara obesitas dan awitan kanker endometrium terutama yang merefleksikan populasi Indonesia. Studi ini bertujuan untuk mendalami topik tersebut berserta hubungannya dengan menopause pada pasien kanker endometrium di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2019-2021. 
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode potong lintang menggunakan rekam medis pasien yang terdiagnosis kanker endometrium di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2019-2021. Terdapat 54 subjek penelitian dari sampel tersedia yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 
Hasil: Terdapat 122 kasus kanker endometrium yang ditemukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada tahun 2019-2021. Sebanyak 48,2% dari seluruh subjek tergolong mengalami obesitas berdasarkan kriteria APAC. Sebanyak 40,7% subjek yang mengalami awitan kanker endometrium sebelum menopause dan terdapat 59,3% dari seluruh subjek yang mengalami awitan kanker endometrium setelah menopause. 
Kesimpulan: Walaupun tidak terdapat hubungan statistik bermakna antara obesitas dan awitan kanker endometrium terhadap menopause, namun perbandingan proporsi menunjukkan bahwa 50% subjek kelompok obesitas mengalami awitan sebelum menopause dibandingkan 32,1% subjek pada kelompok IMT normal.

Introduction: Currently, prevalence of non-communicable diseases, including obesity, is increasing. Obesity can present numerous complications and may be comorbidity that can bring challenges in treatments. Physiological changes provoked by obesity can be a risk factor for precipitating endometrial cancer. Obesity can cause excessive estrogen exposure from androgen conversion conveyed in peripheral adipose tissue. In addition, with hormonal changes attributed to menopause, hormonal imbalance may occur and precipitate endometrial cancer. At present, the availability of study discussing obesity and onset of endometrial cancer is still limited. This study is conducted to delve this topic with respect to menopause in patients with endometrial cancer at RSUPN Cipto Mangunkusumo in 2019-2021. 
Method: This study is based on cross-sectional design study using health record of patients diagnosed with endometrial cancer at RSUPN Cipto Mangunkusumo in 2019-2021. There are 54 subjects from available sample and complying with inclusion and exclusion criteria. 
Result: This study found 122 cases of endometrial cancer diagnosed at RSUPN Cipto Mangunkusumo in 2019-2021. As many as 48,2% of all subjects classified as having obesity in reference to APAC criteria. Proportion of patients with onset before menopause is 40,7% of all subjects while patients with onset after menopause is 59,3% from all subjects. 
Conclusion: While this study suggests that there are no significant statistic association between obesity and onset of endometrial cancer compared with menopause, comparison of proportion of endometrial cancer onset shows that 50% of subjects with obesity experience onset before menopause compared to 32,1% subjects with normal BMI.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mellisya Ramadhany
"Hipertensi menduduki tempat kedua sebagai penyakit tidak menular terbanyak di Indonesia. Penyakit ini menyebabkan kerusakan multi organ hingga kematian. Hipertensi yang terkendali diharapkan dapat menunda komplikasi. Saat ini, hampir seperlima penduduk Indonesia obes. Obesitas berkaitan dengan kemunculan hipertensi namun belum diketahui hubungannya terhadap pengendalian hipertensi. Oleh karena itu, dilakukan penelitian mengenai hubungan obesitas terhadap kendali tekanan darah pasien hipertensi agar dapat membantu dalam penatalaksanaan hipertensi.
Desain penelitian adalah cross-sectional mempergunakan data rekam medik pasien hipertensi poliklinik IPD RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sejumlah 117 data terkumpul. Didapatkan prevalensi hipertensi tidak terkendali sebanyak 41%, dengan rasio terbanyak pada subjek laki-laki. Prevalensi obesitas sebesar 50,4%, dengan rasio terbanyak pada subjek perempuan. Pada kelompok obesitas didapatkan proporsi hipertensi terkendali 64,4%, dan hipertensi tidak terkendali 35,6%. Sedangkan pada kelompok tidak obes didapatkan proporsi hipertensi terkendali 53,4%, dan hipertensi tidak terkendali 46,6 % dengan nilai p = 0,228 (p>0,05), RP 0,765 dengan IK 95% 0,492 ? 1,188. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara obesitas dengan hipertensi tidak terkendali.

Hypertension is the second most prevalent non-communicable disease in Indonesia capable of causing multi organ damages even death. The essential target in hypertension management is to achieve controlled blood pressure in order to delay its complications. Nowadays, approximately one in five Indonesian has become obese. Obesity itself is highly associated with hypertension occurrence. Yet, there is no distinct evidence that show its association to hypertension control. Thus, this research is aimed to find the association between obesity in hypertensive patients to the blood pressure control.
Method used in this study is cross-sectional. As much as 117 secondary datas were collected from patients? medical records in Internal Medicine clinic diagnosed with hypertension. The prevalence of uncontrolled hypertension is 41% , dominated by male subjects. The prevalence of obesity among subjects is 50.4%, with higher proportion in females. Within the obese group, the proportion of controlled hypertension reaches 64.4%, while proportion for uncontrolled is 35.6%. Meanwhile, in the non-obese group, the proportion of controlled hypertension is 53.4%, whereas uncontrolled is 46,6%. The p-value result is 0.228 (p >0.05) with PR 0.765 with 95% CI 0.492 ? 1.188. Therefore, it can be concluded that there is no significant association between obesity with uncontrolled hypertension.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Roswenda
"Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).Pengaruh obesitas terhadap morbiditas dan mortalitas pasien kritis masih kontroversial. Tingginya massa lemak pada pasien obesitas menyebabkan disregulasi sistem imun, peningkatan risiko kadiovaskular, gangguan penyembuhan luka, dan perubahan farmakokinetik antimikroba. Walau demikian, banyak studi menunjukkan pasien yang dirawat di ruang rawat intensif (intensive care unit - ICU) dengan obesitas memiliki kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang memiliki indeks massa tubuh (IMT) 18,5 – 24,9 kg/m2. Fenomena ini disebut paradoks obesitas. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat hubungan obesitas berdasarkan IMT dengan lama rawat dan kejadian infeksi nosokomial di ICU. Penelitian ini menggunakan desain kohort prospektif dengan subjek pasien kritis yang di rawat di ICU Dewasa RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Pasien dilakukan pemeriksaan antropometri kemudian IMT dihitung dan dikelompokan menjadi kelompok tidak obes dan obes berdasarkan kriteria IMT Asia-Pasifik. Pemantauan pasien dilakukan setiap hari untuk mengambil data lama rawat dan diagnosis infeksi nosokomial dari rekam medis. Dari 79 subjek, sebagian besar (65%) berjenis kelamin perempuan dengan median usia 46 tahun. Sebagian besar subjek masuk ICU pasca pembedahan (89%) dan skor qSOFA 1 (52%). Sebagian besar pasien (92%) keluar dari ICU untuk stepdown ke ruang rawat biasa dan sebanyak 8% pasien meninggal dunia. Sebanyak 5% dari seluruh subjek mengalami infeksi nosokomial berupa ventilator associated pneumonia (VAP). Tidak terdapat hubungan antara infeksi nosokomial dengan status gizi (OR (IK 95%): 1,03 (0,1-14,85)). Tidak ada perbedaan lama rawat di ICU antara pasien obesitas dibandingkan dengan pasien yang tidak obesitas (P = 0,663).

There are still many controversies regarding the impact of obesity on morbidity and mortality of the critically ill patient. Immune dysregulation, increased cardiovascular risk, impaired wound healing and changes antimicrobial pharmacokinetics can all be attributed to increased fat mass in obese individuals. Even so, numerous studies show increased survival of obese critically ill patiens compared to normal BMI. This phenomenon is known as the obesity paradox. This study aims to see the relationship between obesity with ICU Length of Stay and nosocomial infection in critically ill patient of RSUPN Cipto Mangunkusumo. Subjects’ anthropometric measurements were taken and then grouped into obese or normal BMI group based on Asia-Pacific BMI classification. Length of stay and diagnosis of nosocomial infection were recorded during daily follow up while the subjects were still admitted in the ICU. There is a total of 79 subjects, mostly female (65%) with median age of 46 years. Most patients were admitted to the ICU following surgery (89%) with a qSOFA score of 1 (52%). 92% of patients stepdown from the ICU with the remaining 8% died. 5% of patients had nosocomial infection, all of them being ventilator associate pneumonia. There is no significant relationship between rate of nosocomial infection and obesity status (OR (95% CI): 1,03 (0,1-14,85)). The median length of stay for both subject groups is 2 days. There is no difference in ICU length of stay between obese patients and normal BMI (p=0,663)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Husna
"Indonesia akan mengalami penuaan penduduk dengan proyeksi peningkatan populasi lanjut usia (lansia) sebesar 15.8% pada tahun 2035. Peningkatan populasi lansia dapat mempengaruhi peningkatan kejadian penyakit degeneratif, termasuk sarkopenia yang ditandai dengan hilangnya massa dan kekuatan otot secara progresif. Lansia obesitas dapat mengalami sarkopenia di mana kondisi ini disebut obesitas sarkopenia dengan morbiditas dan mortalitas lebih tinggi dibandingkan hanya obesitas atau sarkopenia. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan kadar kolesterol total dengan kondisi obesitas sarkopenia pada pasien lansia.
Penelitian ini merupakan studi potong lintang dilakukan pada populasi pasien lansia dengan sarkopenia. Penilaian obesitas sarkopenia pada subjek dilakukan berdasarkan kuesioner SARC-F dan BIA untuk komponen sarkopenia, IMT untuk komponen obesitas, dan kadar kolesterol total dari uji laboratorium melalui data rekam medis RSCM dari bulan Januari – Agustus 2022.
Hasil: Terdapat 157 subjek penelitian dengan prevalensi yang mengalami obesitas sarkopenia sebanyak 94 orang (59.87%). Pada analisis bivariat, didapatkan hasil bahwa kadar kolesterol total memiliki hubungan yang tidak signifikan dengan obesitas sarkopenia (p= 0.376). Rerata kadar kolesterol total pada kelompok sarkopenia tanpa obesitas adalah 177.65 ± 38.75 dan pada kelompok obesitas sarkopenia adalah 176.21 ± 46.73.
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar kolesterol total dengan kondisi obesitas sarkopenia pada pasien lansia.

Indonesia will experience an aging population, with a projected increase in the elderly population by 15.8% in 2035. An increase in the elderly population can affect the incidence of degenerative diseases, including sarcopenia, characterized by progressive muscle mass and strength loss. The elderly with obesity can experience sarcopenia. This condition is called obesity sarcopenia, with higher morbidity and mortality than only obesity or sarcopenia. This study aims to determine the relationship between total cholesterol levels and obesity sarcopenia in elderly patients.
Method: This research is a cross-sectional study of elderly patients with sarcopenia. Sarcopenic obesity assessment was performed on subjects based on the SARC-F and BIA questionnaires for sarcopenic components, BMI for obesity components, and total cholesterol levels from laboratory tests through RSCM medical record data from January - August 2022.
Result: There was 157 subjects in total, with a sarcopenic obesity prevalence of 94 people (59.87%). The bivariate analysis showed that total cholesterol levels had no significant relationship with sarcopenic obesity (p = 0.376). The mean total cholesterol level in the sarcopenia group without obesity was 177.65 ± 38.75 and in the sarcopenia obesity group was 176.21 ± 46.73.
Conclusion: There is no significant relationship between total cholesterol levels and sarcopenic obesity in elderly patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Feyona Heliani Subrata
"Latar belakang: Kanker kolorektal merupakan kanker ketiga tersering di seluruh dunia dan menyebabkan hingga 700.000 kematian setiap tahunnya. Angka kematian akibat kanker kolorektal paling tinggi di negara berkembang yaitu sebesar 52%. Pasien kanker kolorektal memiliki tingkat kesakitan yang tinggi akibat rekurensi maupun metastasis kanker.Faktor-faktor tersebut kemudian memengaruhi luaran akhir pasien-pasien dengan kanker kolorektal yaitu kesintasan hidup. Studi ini menilai kesintasan pasien kanker kolorektal di RSCM.
Metode Penelitian ini merupakan suatu penelitian kohort retrospektif dengan analisis survival. Data pasien kanker kolorektal diperoleh dari rekam medis Departemen Medik Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia RSCM selama periode Januari 2014 – Desember 2016. Seleksi data dilakukan sesuai kriteria inklusi dan eksklusi hingga jumlah minimal subyek penelitian terpenuhi.
Hasil Sebanyak 142 subyek diikutsertakan pada penelitian ini. Kelompok usia terbanyak kanker kolorektal adalah usia ≥45 tahun (73,2%) dan didominasi oleh jenis kelamin laki-laki (55,6%). Komorbiditas pasien pada penelitian ini antara lain diabetes melitus (85,2%), hipertensi (66,9%), dan obesitas (53,5%). Tingkat keparahan penyakit terbanyak pada penelitian ini adalah kanker kolorektal dengan derajat stadium IV (52,1%). Kesintasan lima tahun pasien kanker kolorektal adalah sebesar 43%. Stadium II (HR 5,19; p=0,008; 95%CI 1,524-17,692) dan III (HR 3,72; p=0,006; 95%CI 1,446-9,574) menentukan kesintasan lima tahun dan terapi definitif merupakan faktor protektif terhadap kematian dalam kurun waktu lima tahun (HR 0,117; p=0,000; 95%CI 0,096-0,519).
Kesimpulan Angka kesintasan keseluruhan KKR dalam kurun waktu 5 tahun di RSCM adalah sebesar 43%. Faktor-faktor yang memengaruhi kesintasan pasien adalah stadium klinis dan operasi definitif berupa reseksi massa tumor primer.

Background Colorectal cancer is the third most common cancer all over the world and cause more than 700.000 death anually. Mortality rate of colorectal cancer is higher in developing country compared to developed country. Patients with colorectal cancer have high morbidity due to recurrence or metastatis. Those factors determine the survival rate of patients with colorectal cancer. This study assess survival of patients with colorectal cancer in RSCM.
Method This study was a retrospective cohort with survival analysis. The patients data were from medical record from Surgery Departement in RSCM from January 2014-December 2016. Data selection was done based on inclusion and exclusion criterias.
Result There were 142 patients included in this study. Most of the patients were men (55,6%) with aged ≥45 tahun (73,2%). The most common comorbid found in this study were diabetes melitus (85,2%), hypertension (66,9%), and obesity (53,5%). There were 52,1% patients with high grade cancer/stadium IV. Five years survival of patients with colorectal cancer in this study was 43%. Stadium II (HR 5,19; p=0,008; 95%CI 1,524-17,692) and III (HR 3,72; p=0,006; 95%CI 1,446-9,574) determined five years survival and surgery is the protective factor to death for patients with colorectal cancer in five years (HR 0,117; p=0,000; 95%CI 0,096-0,519).
Conclusion Survival rate of patients with colorectal cancer in five years was 43%. Factors that influence survival rate were clinical stadium and surgery of primary tumor mass.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hardian Gunardi
"Latar Belakang: Obesitas menjadi faktor risiko independen dan faktor prognostik pada kanker payudara primer. Jaringan lemak berlebih akan meningkatkan kadar estrogen dalam darah, sehingga memicu proliferasi sel kanker, terutama sel dengan reseptor estrogen dan progesteron yang positif. Belum ada studi mengenai hubungan antara obesitas dengan karakteristik reseptor hormon kanker payudara primer di Indonesia. Metode: Kami mengumpulkan kasus kanker payudara primer yang terdiagnosis dan menjalani pemeriksaan imunohistokimia di RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2017. Subyek kemudian dikelompokkan menjadi kelompok obesitas dan nonobesitas. Karakteristik ER dan PR kedua kelompok dibandingkan. Hasil dan Diskusi: Kami memperoleh 202 kasus kanker payudara primer, dengan 89 kasus (44%) obesitas dan 113 kasus (56%) non-obesitas. Rerata IMT dari subyek adalah 24,45 (SD±4,3). Kedua kelompok seragam dari segi usia, status menopause, stadium, gambaran histopatologis, dan derajat keganasan. Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara obesitas dengan ER maupun PR. Dilakukan analisis korelasi antara IMT dengan persentase ekspresi reseptor hormon, namun tidak ditemukan hubungan yang bermakna. Hasil ini berbeda dengan studi lainnya. Perbedaan hasil dapat disebabkan oleh perbedaan karakteristik subyek dan faktor lain yang dapat mempengaruhi ekspresi reseptor hormon. Kesimpulan: Tidak didapatkan hubungan antara obesitas dan karakteristik reseptor hormon kanker payudara primer RSUPN Cipto Mangunkusumo tahun 2017.
Backgrounds: Obesity is an independent risk factor and prognostic factor of primary breast cancer. Abundant adipose tissue would lead to increment of blood estrogen level, thus promoting proliferation of cancer cell, especially those with positive estrogen receptor (ER) and progesterone receptor (PR). No previous study explained the association between obesity and hormone receptor characteristics of primary breast cancer in Indonesia. Methods: We collected cases of primary breast cancer which are diagnosed and undergone immunohistochemistry examination at Cipto Mangunkusumo General Hospital in 2017. The subjects were divided into obese group and non-obese group. The ER and PR characteristics of both groups were compared. Result and Discussion: We collected 202 cases of primary breast cancer, with 89 cases (44%) in obese group and 113 cases (56%) in non-obese group. The mean body mass index (BMI) of the subjects was 24,45 (SD±4,3). Both groups were similar in terms of age, menopausal status, stage, histopathological morphology and grade. No significant association was found between obesity and ER or PR. We analysed correlation between BMI and the percentage of expressed hormone receptor, but no correlation was found. This finding did not conform with other Western studies. Difference in characteristics of the subjects and other hormonal factors might contribute to the outcome. Conclusion: There was no association between obesity and hormone receptor characteristics of primary breast cancer at Cipto Mangunkusumo General Hospital in 2017."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58942
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Angga Wiratama Lokeswara
"Latar belakang: Menurut data WHO, sebanyak 15 juta bayi di dunia dilahirkan kurang bulan setiap tahunnya, dan Indonesia menduduki peringkat ke-5 di dunia. Salah satu komplikasi pada bayi kurang bulan yang sering terjadi adalah sepsis. Sepsis Neonatorum Awitan Dini (SNAD) merupakan infeksi sistemik pada bayi pada usia kurang dari 72 jam yang seringkali disebabkan oleh transmisi patogen secara vertikal sebelum atau saat proses kelahiran. Strategi utama dalam penanggulangan kejadian SNAD bergantung pada identifikasi faktor risiko, termasuk ketuban pecah berkepanjangan. Namun, sampai saat ini masih belum ada kesepakatan terkait ambang batas waktu ketuban pecah yang meningkatkan risiko kejadian SNAD secara signifikan pada populasi bayi kurang bulan.
Tujuan: (1) Mengetahui sebaran subjek penelitian berdasarkan karakteristik jenis kelamin, usia gestasi, usia ibu, berat lahir dan metode persalinan. (2) Mengetahui sebaran subjek penelitian berdasaran gejala klinis dan hasil pemeriksaan kultur. (3) Mengetahui hubungan antara waktu ketuban pecah dengan kejadian SNAD pada ambang batas waktu 24 jam, 18 jam dan 12 jam di RSCM.
Metode penelitian: Sebuah studi kasus-kontrol dilakukan pada populasi bayi kurang bulan yang lahir di RSCM dari tahun 2016-2017. Subjek dibagi menjadi 2 kelompok: (1) kelompok kasus yang mengalami SNAD; dan (2) kelompok kontrol yang tidak mengalami SNAD; dipilih secara simple random sampling. Jumlah total subjek pada penelitian ini adalah 154 bayi kurang bulan (77 kasus dan 77 kontrol). Pengambilan data dilakukan pada Januari-Agustus 2018 dengan melihat rekam medis subjek penelitian, dilanjutkan dengan analisis bivariat menggunakan uji Chi Squared dan analisis multivariat menggunakan regresi logistik.
Hasil penelitian: Semua karakteristik tidak memiliki perbedaan yang bermakna, kecuali usia gestasi (p=0,012) dan berat lahir (p=0,02). Gejala klinis yang paling sering ditemukan dan memiliki hubungan yang bermakna adalah sesak napas (63,0%; p<0,001) dan instabilitas suhu (40,9%; p<0,001).
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara waktu ketuban pecah dengan kejadian SNAD pada bayi kurang bulan di RSCM pada ambang batas waktu 12 jam, 18 jam dan 24 jam. Ketuban pecah lebih dari 12, 18 dan 24 jam meningkatkan risiko SNAD pada bayi kurang bulan 2,3 kali lipat, dan ketuban pecah lebih dari  12 jam meningkatkan risiko 2,9 kali lipat setelah adjustment.

Introduction: According to WHO, 15 million babies are born premature annually, and  Indonesia ranks 5th worldwide. One of the most frequent complications in preterm infants is sepsis. Early onset neonatal sepsis (EONS) is defined as the systemic infection in infants less than 72 hours old which is often caused by vertical transmission of pathogens before or during labour. With the current lack of consensus in the definition of neonatal sepsis, identification risk factors, including prolonged premature preterm rupture of membranes (ROM), becomes the main strategy. Unfortunately, there is also currently lack of worldwide agreement in the threshold of duration of ROM which significantly increases the risk of EONS in preterm infants.
Objectives: (1) To determine the distribution of subjects based on selected characteristics: gender, gestational age, maternal age, birth weight and mode of delivery. (2) To determine the distribution of subjects based on clinical symptoms and bacterial culture examination. (3) To determine the association between the duration of ROM and the incidence of EONS in preterm infants, at the thresholds of 24 hours, 18 hours and 12 hours, in RSCM.
Methods: A case-control study was done on preterm infants born in RSCM in 2016-2017. The subjects were divided into 2 groups: (1) the case group for preterm infants who had EONS; and (2) the control group for preterm infants who did not have EONS; each selected by simple random sampling. The total number of subjects in the study was 154 preterm infants (77 in the case group and 77 in the control group). Data collection from the medical records of the subjects was performed in January-August 2018, followed by bivariate analysis using Chi Square Test and  multivariate analysis using logistic regression.
Result: Characteristics had insignificant differences, except gestational age (p=0,012) and birth weight (p=0,02). The clinical symptoms which were most frequent and had significant associations with EONS were respiratory instability (63,0%, p<0,001) and temperature instability (40,9%, p<0,001).
Conclusion. There is a significant association between the duration of ROM at 12, 18 and 24 hours, and the incidence of EONS in preterm infants, especially at duration of more than 12 hours. Prolonged PPROM for 12, 18, and 24 hours increases the risk of EONS in preterm infants 2.3 times (unadjusted) and PPROM for 12 hours increases the risk of EONS in preterm infants 2.9 times after adjustment for other factors.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Adaptasi psikologis merupakan hal yang penting bagi pasien kanker dalam meningkatkan kualitas hidup mereka. Penelitian ini membahas mengenai gambaran adaptasi psikologis pada pasien kanker. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain deskriptif sederhana. Sampel pada penelitian ini berjumlah 92 orang pasien kanker di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Responden mengisi kuesioner berupa data demografi dan 25 pernyataan yang merujuk pada Mental Adjustment to Cancer (MAC). Teknik sampling yang digunakan adalah sampling incidental. Hasil menunjukkan reaksi psikologis maladaptif sebesar 58,7% ; tingkat kecemasan tinggi sebesar 56,5% ; koping adaptif sebesar 65,2% ; harapan mengenai masa depan yang tinggi sebesar 76,1% ; upaya peningkatan kesehatan adaptif sebesar 92,4%. Berdasarkan kelima variabel tersebut, diperoleh data bahwa sebesar 41,3% pasien memiliki adaptasi psikologis adaptif; dan 58,7% pasien rnemiliki adaptasi psikologis maladaptif (mean = 2,97%). Berdasarkan hasil penelitian, perlu dilakukan penelitian lebih Ianjut mengenai adaptasi psikologis pada dua kelompok (responden yang menderita kanker dan responden yang tidak menderita kanker), namun masih berada dalam residen yang sama dan memiliki rentang usia yang sama. Sehingga faktor-faktor lain selain penyakit dan efek pengobatan kanker yang dapat mempengaruhi adaptasi psikologis pada pasien kanker seperti faktor sosioekonomi, kecemasan dalam menghadapi masa tua dan berduka akibat ditinggal oleh anggota keluarga dapat terkontrol.

Psychological adjustment in patients with cancer is important to improve their quality of ife. With quantitative method and descriptive design, this study investigated a psychological adjustment in patients with cancer. 92 participants of cancer patients in RSUPN Cipro Mangunkusumo incidentally recruited with appropriate criteria Based on the Mental Adjustment to Cancer (MAC) Scale of the short form 25-items psychological adiustment survey; 58,7% patients with cancer have maladaptive adjustment (mean = 2,97%). This result identified by five variables, with result for each variable are: 58,7% psychological response is maladaptive; 56,5% anxiety level is high; 76,1% have high expectation; and 92,4% participant have adaptive endeavours to improve their health. Further research is needed to control other factors beside disease and its treatment that may influence psychological adjustment in patients with cancer. These factors such as socioeconomic; anxiety in face of old period; and being grievous caused abandoned by spouse or family member, controlled by compare two groups (people with and without cancer) in the some residence and age."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
TA5916
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Primadea Kharismarini
"Kanker payudara masih menjadi salah satu jenis kanker yang paling sering dihadapi oleh masyarakat dunia, termasuk di Indonesia. Sampai saat ini, belum ditemukan penyebab pasti kanker payudara tetapi hanya berbagai kemungkinan faktor risiko. Salah satu faktor risiko yang diduga berkaitan dengan kanker payudara adalah jumlah paritas. Pada penelitian ini dilakukan analisis mengenai hubungan faktor jumlah paritas dengan kejadian kanker payudara pada wanita di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2010-2014.
Studi desain yang digunakan adalah potong lintang dengan sampel yang berjumlah 123 kasus yang diperoleh dengan cara random sampling. Data didapatkan dari data rekam medik pasien berdasarkan hasil pemeriksaan patologi anatomik dan dilakukan uji analisis dengan uji Fisher. Hasil yang didapatkan adalah secara statistik jumlah paritas tidak memiliki hubungan yang bermakna terhadap kejadian kanker payudara pada wanita di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2010-2014 p>0,05.

Breast cancer remains as one of the many types of cancer that is commonly faced in all countries, including Indonesia. To this day, the leading cause of breast cancer has not yet been found but there are evidences of the probability on risk factors. One of the risk factors that may be related to breast cancer is the number of parity. This study analyzes the relationship between number of parity and breast cancer in woman at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital Jakarta in 2010 ndash 2014.
The study design that is used is cross sectional with 123 cases which were obtained using random sampling. Data were acquired from the patient rsquo s medical records based on their anatomical pathology examination results and were analyzed using Fisher test. The result is that statistically the number of parity doesn rsquo t have a significant relation to breast cancer in woman at Dr. Cipto Mangunkusumo National General HospitalJakarta in 2010 ndash 2014 p 0,05.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Fitrianingsih Pujiano Agatha
"Kanker payudara merupakan salah satu jenis kanker yang paling sering terjadi pada perempuan di Indonesia. Berbagai faktor risiko dapat meningkatkan peluang terjadinya kanker payudara. Faktor hormonal dicurigai menjadi salah satu faktor penting dalam kejadian kanker payudara. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan usia saat menstruasi pertama dengan kejadian kanker payudara di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2010-2014. Penelitian ini adalah penelitian retrospektif dengan studi desain cross sectional dengan pengambilan sampel secara random sampling. Sampel yang digunakan sebanyak 98 kasus. Data diambil dari Arsip Departemen Patologi Anatomik FKUI-RSCM dengan penelusuran di bagian Unit Rekam Medik dan Departemen Ilmu Bedah RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Sampel penelitian dianalisis dengan uji chi square kemudian uji Fisher. Hasil yang didapat adalah faktor risiko usia saat menstruasi pertama tidak berpengaruh terhadap kejadian kanker payudara di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta tahun 2010-2014 p>0,05.

Breast cancer is one of the most common cancer among Indonesian females. Many risk factors can increase the chance of developing breast cancer. Hormonal factor seems to play a role in many cases of breast cancer. The aim of this research is to determine the relationship between age at menarche and breast cancer in Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital Jakarta in 2010 2014. The retrospective research is using cross sectional design study with random sampling technique. There are 98 samples. The samples were taken in Archive Unit of Anatomical Pathology of FMUI with a further investigation in Medical Record Unit and Medical Department of Surgery in Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital Jakarta. The data were analyzed by using chi square test then Fisher test. There is no significant effect between age at menarche and breast cancer in Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital Jakarta in 2010 2014 p 0,05."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>