Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105431 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kresna Adhiatma
"Latar Belakang. Populasi penderita DM tipe 2 semakin meningkat, seringkali disertai dengan komorbid, salah satunya depresi dengan prevalensi bervariasi. Depresi dapat mempengaruhi keluaran penyakit DM tipe 2. Beberapa obat antidepresan diketahui dapat mengganggu kontrol gula darah. Vitamin D, telah lama diketahui berkaitan dengan berbagai penyakit kronik, berpotensi memperbaiki gejala depresi, walaupun belum diketahui hubungannya.
Tujuan. Mengetahui adanya hubungan antara kadar vitamin D pada pasien DM tipe dengan kejadian depresi pada pasien dengan DM tipe 2.
Metode. Penelitian ini merupakan studi dengan desain potong lintang, dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Pasien DM tipe 2 yang memenuhi kriteria inklusi pada, dilakukan penapisan depresi menggunakan kuesioner BDI-II, kemudian dibagi menjadi dua kelompok, depresi (BDI-II ≥14) dan tanpa depresi (BDI-II <14). Kemudian kedua kelompok dilakukan pemeriksaan kadar vitamin D, dan dilakukan analisis perbedaan rerata pada kedua kelompok tersebut. Kemudian dilakukan analisis multivariat regresi logistik terhadap variabel perancu.
Hasil. Dari 60 subjek dengan DM tipe 2 yang yang memenuhi kriteria, didapatkan 23 subjek (38,3%) yang depresi, dan 37 subjek (61,7%) yang tidak depresi. Didapatkan median kadar vitamin D 21,8 ng/mL (RIK 14,9-26,6) pada kelompok depresi, sementara median kadar vitamin D 26,5 ng/mL (RIK 23,96-34,08) pada kelompok tanpa depresi. Terdapat perbedaan bermakna antara keduanya (p = 0,001). Setelah dilakukan analisis multivariat dengan variabel perancu jenis kelamin, paparan sinar matahari, dan IMT, didapatkan adjusted odds ratio(adjusted OR) 1,123 (IK 95%: 1,003-1,259) dengan nilai p=0,045.
Kesimpulan. Kadar vitamin D yang lebih rendah meningkatkan kejadian depresi pada pasien DM tipe 2.

Background. The population of people with type 2 diabetes is increasing, which is often accompanied by comorbid, one of them is depression. The presence of depression can affect the outcome of type 2 diabetes mellitus. Some of antidepressants are known to interfere with blood sugar control. Vitamin D levels have long been known to be associated with a variety of chronic diseases, have the potential to improve symptoms of depression, although the relationship is not yet known.
Methods. This research is a cross sectional study conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital. Patients with type 2 DM who met the inclusion criteria on an outpatient basis were screened for depression using BDI-II questionnaire, then divided into two groups, depressed (BDI-II ≥ 14), and without depression (BDI-II <14). Then both groups were examined for vitamin D levels using the ELISA method, and an analysis of the mean difference between the two groups was performed.
Results. From the 60 subjects with type 2 DM who met the criteria, 23 subjects (38.3%) were depressed, and 37 subjects (61.7%) were not depressed. The median of vitamin D level was 21.8 ng/mL (IQR 14.9-26.6) in the depressed group, while the median vitamin D level was 26.5 ng/mL (IQR 23.96-34.08) in the non-depressed group (p = 0.001). After doing multivariate analysis with confounding variables the adjusted odds ratio was 1.123 (95% CI: 1.003-1.259) with p value=0.045.
Conclusion. Lower levels of vitamin D increase the incidence of depression in type 2 DM patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gracia Jovita Kartiko
"Latar Belakang: Diabetes melitus (DM) tipe 2 merupakan penyakit metabolik kronik progresif dengan sebagian besar populasi berada pada usia produktif. Di Indonesia, capaian kendali glikemik yang optimal hanya didapatkan pada 20-30% pasien. Hal ini meningkatkan risiko komplikasi muskuloskeletal seperti sarkopenia yang sudah mulai terjadi sejak usia 20 tahun. Vitamin D merupakan salah satu suplementasi nutrisi yang direkomendasikan dalam tata laksana sarkopenia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri.
Metode: Penelitian potong lintang ini melibatkan populasi DM tipe 2 berusia 18-59 tahun yang berobat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta, Indonesia pada bulan Januari 2021 sampai dengan April 2022. Dilakukan pengukuran massa otot dengan bioimpedance analysis (BIA), kekuatan genggam tangan, kecepatan berjalan, antropometri, serta kadar HbA1c dan vitamin D serum. Titik potong vitamin D ditentukan berdasarkan kurva receiver-operating characteristic (ROC).
Hasil: Dari 99 subjek, 38,4% mengalami sarkopenia, yang terdiri dari 94,7% possible sarcopenia dan 5,3% true sarcopenia. Kadar vitamin D di bawah 32 ng/mL didapatkan pada 78,9% kelompok sarkopenia. Berdasarkan analisis multivariat, prevalensi sarkopenia pada populasi DM tipe 2 dengan defisiensi vitamin D didapatkan 1,94 kali lebih tinggi (p=0,043) dibandingkan dengan populasi DM tipe 2 tanpa defisiensi vitamin D, setelah dilakukan penyesuaian dengan usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas.
Kesimpulan: Terdapat hubungan bermakna antara kadar vitamin D dengan sarkopenia pada populasi DM tipe 2 usia dewasa nongeriatri, setelah penyesuaian dengan faktor usia, jenis kelamin, HbA1c, dan obesitas.

Type 2 diabetes mellitus (T2DM) is a chronic progressive metabolic disease with most of the population being at productive age. In Indonesia, optimal glycemic control is only achieved in 20-30% of patients which increases the risk of musculoskeletal complications such as sarcopenia. Sarcopenia has been known to develop since the age of 20. Vitamin D is one of the recommended nutritional supplementations in the management of sarcopenia.
Aim: We aimed to determine the association between serum vitamin D and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM.
Methods: This cross-sectional study involved 18-59 years old T2DM outpatients in Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia between January 2021 and April 2022. We performed muscle mass measurement using bioimpedance analysis (BIA), handgrip strength, gait speed, anthropometrics, as well as serum vitamin D and HbA1c levels. The cut-off Vitamin D level was determined using receiver-operating characteristic (ROC) curve.
Results: A total of 99 subjects were analyzed of which 38.4% had sarcopenia. The proportion of possible sarcopenia was 94.7% and true sarcopenia 5.3%. Vitamin D level below 32 ng/mL was found in 78.9% of the sarcopenia group. Based on multivariate analysis, the prevalence of sarcopenia in the T2DM population with vitamin D deficiency was found to be 1.94 times higher (p=0.043) compared to the T2DM population without vitamin D deficiency, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity.
Conclusion: There is a significant relationship between vitamin D levels and sarcopenia in nongeriatric adults with T2DM, after adjusting for age, sex, HbA1c, and obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tities Anggraeni Indra
"Latar Belakang: Seiiring dengan bertambahnya jumlah pasien diabetes melitus tipe 2 maka angka kejadian nefropati diabetik juga ikut meningkat. Berbagai faktor telah diidentifikasi turut memperberat kejadian nefropati diabetik salah satunya status vitamin D 25(OH)D. Vitamin D memiliki efek non-kalsemik yang dapat memengaruhi sistem renin-angiotensin sehingga turut berperan dalam kejadian albuminuria. Studi sebelumnya menunjukan tingginya prevalensi defisiensi vitamin D 25(OH)D pada pasien diabetes melitus tipe 2 dan defisiensi vitamin D diduga berhubungan dengan kejadian albuminuria.
Tujuan: Mengetahui asosiasi antara status vitamin D 25(OH)D dengan albuminuria pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.
Metodologi: Dilakukan studi potong lintang pada 96 pasien diabetes melitus tipe 2 yang berobat ke poliklinik Metabolik-Endokrin RSUPN-CM. Pemeriksaan kadar vitamin D 25(OH)D menggunakan kit Diasorin dengan metode CLIA dan albuminuria dinilai berdasarkan kadar albumin pada sampel urine sewaktu. Analisis bivariat menggunakan metode chi square dan analisis multivariat menggunakan teknik regresi logistik.
Hasil: Prevalensi defisiensi vitamin D 25(OH)D pada pasien diabetes melitus tipe 2 sebesar 49% dengan nilai median kadar vitamin D 25(OH)D pada pasien diabetes melitus tipe 2 adalah 16,35 ng/mL (4,2-41,4 ng/mL). Tidak didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara defisiensi vitamin D dengan albuminuria baik pada analisa bivariat maupun multivariat (OR 0,887;IK95% 0,335-2,296). Faktor perancu seperti kontrol gula darah yang buruk dan berat badan lebih sangat mempengaruhi hubungan antara defisiensi vitamin D dengan kejadian albuminuria pada pasien diabetes melitus tipe 2.
Simpulan: Studi ini belum dapat menyimpulkan adanya hubungan antara defisiensi vitamin D 25(OH)D dengan albuminuria pada pasien diabetes melitus tipe 2 di Indonesia.

Background: In line with the increasing number of patients with diabetes mellitus type 2, the incidence of diabetic nephropathy is also increased. Various factors aggravating diabetic nephropathy have been identified, among others vitamin D 25(OH)D level. Vitamin D has a non-calcemic effect on renin-angiotensin system, causing albuminuria. Previous studies showed a high prevalence of vitamin D deficiency in patients with type 2 diabetes mellitus and it was related to the incidence of albuminuria.
Aim: To know the association between vitamin D 25(OH)D level with albuminuria in patients with type 2 diabetes mellitus in Indonesia.
Methods: A cross-sectional study was conducted in 96 patients with type 2 diabetes mellitus at outpatient clinic of Metabolic-Endocrine Cipto Mangunkusumo Hospital. Serum vitamin D level was assessed using Diasorin kit with CLIA method. Albuminuria was assessed using random urine sample. For bivariate analysis using chi square and multivariate analysis using regression logistic method.
Results: The prevalence of vitamin D 25(OH)D deficiency in patients with type 2 diabetes mellitus was 49% with a median value 16,35 ng / mL (4,2 - 41,4 ng /mL). There was no significant correlation between vitamin D deficiency with the severity of albuminuria (OR 0,887; 95% CI 0,335 to 2,296). Confounding factors such as poor blood glucose control and overweight strongly influenced the association between vitamin D deficiency with the incidence of albuminuria in patients with type 2 diabetes mellitus.
Conclusion: The results of this study have not been able to show an association between vitamin D deficiency with the severity of albuminuria in patients with type 2 diabetes mellitus in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liza Rastiti
"Kadar HbA1c sebagai parameter keberhasilan terapi pasien Diabetes Melitus DM dipengaruhi oleh berbagai hal. Pasien DM tipe 2 yang fungsi ginjalnya menurun sering kali diberi vitamin B12. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi faktor faktor yang mempengaruhi kadar HbA1c pasien yang menggunakan vitamin B12.
Metode penelitian adalah potong lintang. Sampel adalah rekam medis pasien rawat jalan yang menderita DM tipe 2 di RS Pasar Rebo, periode Mei-November 2015 di Jakarta yang menerima vitamin B12 dan menjalani pemeriksaan kadar HbA1c. Analisis data dilakukan dengan Kai Kuadrat. Jumlah sampel yang memenuhi kriteria sebanyak 42 orang.
Hasil penelitian menunjukkan kondisi klinis pasien dan penggunaan obat tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap kadar HbA1c. Kondisi klinis pasien yang dianalisis ialah usia, jenis kelamin, penyakit ginjal kronik, hipertensi, hiperlipid, dan gout. Penggunaan obat yang dianalisis adalah pemakaian metformin, sulfonilurea, akarbosa, dan pioglitazon HCl.

HbA1c levels as parameters of the success for the treatment of patients with diabetes mellitus DM was influenced by many things. Type 2 diabetes patients whose kidney function decline often given vitamin B12. This study was aimed to evaluate the factors affecting HbA1c levels of patients who use vitamin B12.
The method was a cross sectional study. Samples were outpatient medical records of patients who suffer from type 2 diabetes in Pasar Rebo Hospital, the period from May to November 2015 in Jakarta who received vitamin B12, and undergo HbA1c levels. Data analysis was done by Kai Squares. The number of samples that meet the criteria as much as 42 people.
The results shown that patient 39 s clinical condition and use of the drug was not have a significant effect on HbA1c levels. The clinical condition of patients analyzed were the age, sex, chronic kidney disease, hypertension, hiperlipid, and gout. The use of drugs analyzed were the use of metformin, sulfonylurea, akarbosa, and pioglitazone HCl.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mufqi Handaru Priyanto
"Ulkus kaki diabetik (UKD) merupakan luka kronik pada pasien diabetes melitus (DM). Vitamin D dipercaya memiliki peran penting pada diferensiasi, proliferasi, pertumbuhan sel, dan modulasi sistem imunitas sehingga kadar yang optimal dibutuhkan untuk penyembuhan luka. Defisiensi vitamin D juga diduga mengganggu produksi dan sekresi insulin sehingga berkontribusi pada kronisitas UKD. Penelitian bertujuan membandingkan kadar vitamin D pada pasien DM dengan dan tanpa UKD; serta untuk mengetahui korelasi antara durasi UKD dan keparahan UKD berdasarkan skor PEDIS (perfusion, extension, depth, infection, sensation) dengan kadar vitamin D. Serum 25-hidroksivitamin D (25(OH)D) dianalisis menggunakan in-vitro chemiluminescent immunoassay (CLIA). Analisis statistik yang sesuai dilakukan untuk membuktikan tujuan penelitian. Perbandingan nilai median (Q1-Q3) kadar vitamin D pada pasien DM dengan dan tanpa UKD secara berurutan adalah 8,90 ng/mL (6,52-10,90) dan 16,25 ng/mL (13-19,59), serta bermakna secara statistik (p<0,001). Tidak ada korelasi antara durasi UKD dan keparahan UKD berdasarkan skor PEDIS terhadap kadar vitamin D, serta tidak bermakna secara statistik. Hasil pada penelitian ini menunjukkan bahwa kadar vitamin D pada pasien DM dengan UKD lebih rendah dibandingkan pasien tanpa UKD. Namun belum ada bukti yang cukup untuk menyimpulkan bahwa tidak ada korelasi antara durasi UKD dan keparahan UKD berdasarkan skor PEDIS terhadap kadar vitamin D.

Diabetic foot ulcers (DFU) are chronic wounds in patients with diabetes mellitus (DM). Vitamin D believed have important role in differentiation, proliferation, cell growth, and immune system modulation hence optimal levels are needed for wound healing. Vitamin D deficiency also thought to interfere insulin production and secretion, thereby contributing to DFU chronicity. This study aims to compare vitamin D levels in DM patients with and without DFU; and determine the correlation between DFU duration and severity by PEDIS (perfusion, extension, depth, infection, sensation) score to vitamin D levels. 25-hydroxyvitamin D serum analyzed using in-vitro chemiluminescent immunoassay. Appropriate statistical analysis was done following the study. Comparison of median values ​​(Q1-Q3) vitamin D levels in DM patients with and without DFU were 8.90 ng/mL (6.52-10.90) and 16.25 ng/mL (13-19.59) respectively, and statistically significant (p<0.001). There was no correlation between DFU duration and severity PEDIS score to vitamin D levels, and it was not statistically significant. The results of this study indicate that vitamin D levels in DM patients with DFU are lower than patients without DFU. However, there is not enough evidence to conclude that there is no correlation between DFU duration and severity by PEDIS score to vitamin D levels."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Avie Saptarini
"Penderita Diabetes Melitus (DM) Tipe 2 mengalami peningkatan risiko kanker yang diduga diakibatkan oleh kondisi hiperglikemia, hiperinsulinemia, dan inflamasi. Ketiga faktor tersebut dapat menginduksi proses tumorigenesis melalui jalur glukotoksisitas, lipotoksisitas, dan stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan membandingkan mutan p53 sebagai tumor marker pada pasien DM tipe 2 dan pasien DM tipe 2 yang menderita kanker, mengukur dan membandingkan HbA1c pada kedua kelompok, serta melihat korelasi mutan p53 dengan HbA1c pada kedua kelompok. Desain studi yang digunakan adalah cross-sectional dengan teknik pengambilan sampel consecutive sampling. Kelompok yang diteliti pada penelitian ini adalah pasien DM tipe 2 (n = 51) dan pasien DM tipe 2 yang menderita kanker (n = 51). Analisis mutan p53 pada serum sampel dilakukan menggunakan ELISA, sedangkan pengukuran HbA1c dilakukan dengan Afinion Analyzer.
Pada penelitian ini kadar serum mutan p53 pada kelompok pasien DM tipe 2 (1,62 ± 0,08 ng/ml) tidak berbeda bermakna dengan kelompok pasien DM tipe 2 yang menderita kanker (1,64 ± 0,09 ng/ml) (p = 0,774). Sementara itu, HbA1c pada kelompok DM tipe 2 (8,42 ± 0,25 %) berbeda bermakna dengan kelompok DM tipe 2 yang menderita kanker (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar mutan p53 dengan HbA1c, baik pada kelompok DM tipe 2 (r = 0,083; p = 0,561), maupun kelompok DM tipe 2 yang menderita kanker (r = 0,072; p = 0,617). Penelitian ini menunjukkan bahwa kadar mutan p53 pada kelompok DM tipe 2 dan DM tipe 2 yang menderita kanker tidak berbeda bermakna, namun HbA1c pada kedua kelompok berbeda bermakna. Sementara itu, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar mutan p53 dengan HbA1c pada kedua kelompok.

Type 2 Diabetes Mellitus has been found to increase the risk of cancer which is caused by conditions of hyperglycemia, hyperinsulinemia, and inflammation. These three factors are able to induce tumorigenesis through mechanisms of glucotoxicity, lipotoxicity, and oxidative stress. This study aimed to measure and compare mutant p53 as tumor marker in Type 2 Diabetes Mellitus patients and Type 2 Diabetes Mellitus patients with cancer, to measure and compare HbA1c level in both groups, and to analyze the correlation between mutant p53 and HbA1c level in both groups. This study was a cross-sectional study with consecutive sampling technique in which two groups were involved, namely type 2 diabetes mellitus patients (n = 51) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (n = 51). Serological level of mutant p53 protein was analyzed using ELISA and HbA1c was measured with HbA1c Afinion Analyzer.
The serological level of mutant p53 in the type 2 diabetes mellitus patients (1.62 ± 0.08 ng/ml) showed no significant difference compared with type 2 diabetes mellitus patients with cancer (1.64 ± 0.09 ng/ml) (p = 0.774). Meanwhile, HbA1c level showed significant difference between type 2 diabetes mellitus patients (8.42 ± 0.25 %) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (7.02 ± 0.20 %) (p < 0.001). Mild correlations between mutant p53 and HbA1c level were found in both type 2 diabetes mellitus patients (r = 0.083; p = 0.561) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (r = 0.072; p = 0.617). Based on the result, there was no significant difference between mutant p53 in type 2 diabetes mellitus patients with and without cancer. HbA1c level was found to be significantly different in both groups. Meanwhile, there was no significant correlation between mutant p53 and HbA1c in both groups.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rudi Putranto
"Latar belakang: Prevalensi hipovitaminosis D (hypoD) pada penyandang diabetes melitus tipe 2 (DM tipe 2) dengan depresi belum terdokumentasi dan faktor risikonya belum diketahui.
Tujuan: Mengetahui prevalensi dan faktor risiko hipovitaminosis D pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang juga mengalami depresi.
Metode: 118 pasien diabetes melitus tipe 2 yang mengunjungi klinik endokrinologi rawat jalan di Rumah Sakit Nasional Cipto Mangunkusumo antara Desember 2019 dan September 2022 memberikan data untuk studi cross-sectional ini. Data klinis pasien, termasuk indeks massa tubuh, tekanan darah, HbA1C, profil lipid, dan terapi, serta data demografis, termasuk jenis kelamin, usia, status perkawinan, dan latar belakang pendidikan, dikumpulkan. Untuk tujuan mengevaluasi depresi, Beck Depression Inventory-II (BDI-II) digunakan. Kit ELISA digunakan untuk menilai serum vitamin D, variabel dependen. Normal (30 ng/mL), tidak mencukupi (20-29 ng/mL), dan kurang (20 ng/mL) adalah tiga rentang yang digunakan untuk mengkarakterisasi kadar vitamin D serum. Kami menggunakan analisis varian untuk memeriksa faktor antropometrik, klinis, dan biokimia antara ketiga kelompok (ANOVA).
Hasil:
118 subyek dengan DM tipe 2. Usia rerata adalah 56 (48, 75-60) tahun, dengan skor BDI II 17 (15-19) dan konsentrasi serum 25 (OH). Tingkat D adalah 18,3 (9,17–29,46) ng/mL. Hanya 21,8% pasien dengan diabetes melitus tipe 2 dan depresi memiliki kadar vitamin D yang cukup. Analisis multivariabel model varians digunakan untuk menguji hubungan usia, skor BDI II, HbA1c, SBP, dan DBP dengan kadar vitamin D. Usia dan skor BDI II keduanya memiliki pengaruh yang signifikan secara bermakna terhadap kadar vitamin D.
Kesimpulan: Investigasi cross-sectional ini menemukan bahwa pasien diabetes mellitus tipe 2 dengan depresi memiliki prevalensi hipovitaminosis D yang tinggi (77,7%). Usia dan skor BDI II keduanya secara statistik mempengaruhi perbedaan kadar vitamin D secara bermakna.

Backgrounds: The prevalence of hypovitaminosis D (hypoD) in type 2 diabetes mellitus (type 2 DM) patients with depression has not been documented, and the risk factors are not known.
Objective: To identify the prevalence of and risk factors for hypovitaminosis D in type 2 diabetes mellitus patients who also have depression.
Methods: 118 patients with type 2 diabetes mellitus who visited the outpatient endocrinology clinics at Cipto Mangunkusumo National Hospital between December 2019 and September 2022 provided the data for this cross-sectional study. Patients' clinical data, including body mass index, blood pressure, HbA1C, lipid profiles, and therapy, as well as demographic data, including gender, age, marital status, and educational background, were gathered. For the purpose of evaluating depression, the Beck Depression Inventory-II (BDI-II) was utilized. An ELISA kit was utilized to assess serum vitamin D, the dependent variable. Normal (30 ng/mL), insufficient (20-29 ng/mL), and deficient (20 ng/mL) were the three ranges used to characterize serum vitamin D levels. We used analysis of variance to examine anthropometric, clinical, and biochemical factors between the three groups (ANOVA).
Results:
118 subjects with type 2 DM. Median of age was 56 (48, 75-60) years old, with a BDI II score of 17 (15-19) and a serum concentration of 25 (OH). D level was 18.3 (9.17–29.46) ng/mL. Only 21.8% of patients with type 2 diabetes mellitus and depression had sufficient levels of vitamin D. A multivariable analysis of variance model was used to examine the associations of age, BDI II score, HbA1c, SBP, and DBP with vitamin D level. Age and BDI II score both had a statistically significant effect on vitamin D levels.
Conclusions: This cross-sectional investigation discovered that type 2 diabetes mellitus patients with depression had a high prevalence (77.7%) of hypovitaminosis D. Age and BDI II score both statistically significantly affected differences in vitamin D levels.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Randy Angianto
"Latar Belakang: Pencapaian target glikemik pada pasien DM tipe2 yang masih rendah khususnya di Indonesia mengakibatkan berbagai komplikasi termasuk gangguan fungsi kognitif.. Padahal untuk menerapkan manajemen mandiri pada pasien DM, dibutuhkan fungsi kognitif yang kompleks. Pada berbagai penyakit kronis, fungsi kognitif khususnya domain memori yang buruk telah dihubungkan dengan ketidakpatuhan penggunaan obat. Meskipun demikian, belum ada studi yang mencari hubungan keduanya pada pasien DM tipe 2.
Tujuan: Mengetahui hubungan gangguan fungsi kognitif dengan ketidakpatuhan penggunaan obat pada pasien DM tipe 2
Metodologi: Desain studi ini adalah potong lintang terhadap 96 subjek penelitian dengan DM tipe 2 berusia >18 tahun di unit rawat jalan RSUD Tebet. Karakteristik demografi, parameter klinis, penilaian fungsi kognitif, dan kepatuhan penggunaan obat didokumentasikan secara lengkap. Penilaian fungsi kognitif menggunakan Montreal Cognitive Assessment versi Indonesia (MoCA-Ina). Penilaian kepatuhan penggunaan obat dinilai menggunakan penghitungan pil. Studi ini menggunakan analisis distribusi frekuensi dan proporsi, analisis bivariat dengan uji Chi-Square.
Hasil: Terdapat 69,8% subjek penelitian dengan gangguan fungsi kognitif dengan faktor tingkat pendidikan sebagai faktor yang mempengaruhi. Analisa mendapatkan kejadian penurunan fungsi domain memori 96,9%;, eksekutif 78%, visuospasial 78%; atensi 30%; bahasa 26%; dan orientasi 4,2%. Ketidakpatuhan penggunaan obat didapatkan pada 26% subjek penelitian. Analisa bivariat tidak menunjukkan adanya hubungan antara gangguan fungsi kognitif dengan ketidakpatuhan penggunaan obat (OR 0,757 95% CI [0,280-2,051] p=0,58).
Kesimpulan: Gangguan fungsi kognitif didapatkan pada 69,8% pasien DM tipe 2, dan ketidakpatuhan ditemukan pada 26% pasien. Tidak ada hubungan yang didapatkan antara gangguan fungsi kognitif dengan ketidakpatuhan penggunaan obat pada pasien DM tipe 2

Background: Poor glycemic control in Type 2 Diabetes Mellitus patients, especially in Indonesia, results in a variety of complications including a cognitive impairment. In fact, to implement self-management in DM patients, intact cognitive function is necessary. In a variety of chronic diseases, cognitive impairment, especially the memory domain has been associated with medication nonadherence. Nonetheless, no studies have looked for the relationship between the two in type 2 DM patients
Objective: This study aims to determine the relationship of cognitive impairment with medication nonadherence in type 2 DM patients.
Methodology: The design of this study was cross-sectional with 96 study subjects with type 2 DM, > 18 years old in the outpatient unit at RSUD Tebet. Demographic characteristics, clinical parameters, cognitive function assessment, and medication adherence use were fully documented. Cognitive function assessed with the Indonesian version of the Montreal Cognitive Assessment (MoCA-Ina). Medication adherence was assessed using pill count. This study uses the analysis of frequency and proportions distribution, and bivariate analysis with the Chi-Square test.
Results: There were 69.8% of the research subjects with cognitive impairment with education level as an associated factor. Analysis of the occurrence of impairment of the function of memory domain 96.9%; executive 78%, visuospatial 78%; attention 30%; language 26%; and 4.2% orientation. Oraal medication nonadherence was found in 26% of the study subjects. Bivariate analysis did not show an association between cognitive impairment and medication nonadherence (OR 0.757 95% CI [0.280-2.051] p=0.58).
Conclusion: Cognitive impairment was found in 69.8% Type 2 DM patients, and medication nonadherence was found in 26% patients. Cognitive impairment was not associated with medication nonadherence in type 2 DM patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Karla Carolina
"Beberapa studi epidemiologi dan meta analisis menunjukkan faktor risiko berhubungan dengan diabetes melitus dan kanker, diantaranya jenis kelamin, usia, hiperglikemia dan obesitas. Hiperinsulinemia, hiperglikemia dan inflamasi pada diabetes dapat menginduksi kerusakan sel yang bertransformasi  menjadi sel kanker. Kerusakan sel dapat berupa stress oksidatif, lipotoksisitas dan glukotoksisitas. Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional dengan non-parallel sampling design yang bertujuan untuk mengukur dan melihat hubungan antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada dua kelompok. Kelompok pada penelitian ini adalah pasien diabetes melitus tipe 2 (n = 78) dan pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (n = 51). Analisis antibodi anti-p53 pada serum sampel dilakukan menggunakan ELISA, sedangkan pengukuran HbA1c dilakukan dengan Afinion Analyzer. Pada penelitian ini kadar serum antibodi anti-p53 pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 (0,25 ± 0,05 U/ml) berbeda bermakna dengan kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (0,98 ± 0,32 Ug/ml) (p = 0,03). Sementara, HbA1c pada kelompok diabetes melitus tipe 2 (8,39 ± 0,23 %) berbeda bermakna dengan kelompok diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). Tidak ada korelasi antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 (r = -0,188,  p = 0,099).  Terdapat korelasi sedang antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok pasien diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker (r = -0,359, p = 0,01). Penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan bermakna antibodi anti-p53 dan HbA1c pada kedua kelompok. Terdapat hubungan negatif yang bermakna antara antibodi anti-p53 dengan HbA1c pada kelompok diabetes melitus tipe 2 yang menderita kanker.

Epidemiological studies and meta-analysis have shown risk factors are related with diebetes mellitus and cancer, they are such as gender, age, hyperglycemia and obesity. Hyperinsulinemia, hyperglycemia dan inflamation on diabetes can induce cell destruction that are transformed into cancer cells. Cell destruction form of oxidative stress, lipotoxicity and glucotoxicity. This study was a cross-sectional with  non-parallel sampling design which compares and analyzes the correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus and type 2 diabetes mellitus with cancer, namely type 2 diabetes mellitus patients (n = 78) and type 2 diabetes mellitus patients with cancer (n = 51). Analyze for anti-p53 antibody was using ELISA,while HbA1c was measured with HbA1c Afinion Analyzer. The serological level of anti-p53 antibody in the type 2 diabetes mellitus (0,25 ± 0,05 U/ml) significant diference between type 2 diabetes mellitus type 2 (0,98 ± 0,32 Ug/ml) (p = 0,03). HbA1c showed significant difference in the type 2 diabetes mellitus (8,39 ± 0,23 %) between type 2 diabetes mellitus type 2 (7,02 ± 0,20 %) (p < 0,001). There was no correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus (r=-0,188, p=0,099). There was moderate correlation between anti-p53 antibody with HbA1c in the group of type 2 diabetes mellitus with cancer (r = -0,359, p = 0,01).  Based on result showed there were significant difference between anti-p53 antibody with HbA1c in both groups. There was negative correlation anti-p53 antibody with HbA1c in the type 2 diabetes mellitus with cancer.
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Adriani Budihardjo
"Diabetes Melitus DM tipe 2 adalah jenis yang paling banyak ditemukan lebih dari 90. DM salah satunya ditandai dengan meningkatnya kadar gula darah. Penatalaksanaan DM terdiri dari : edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani dan intervensi farmakologis. Namun intervensi farmakologis banyak menimbulkan efek samping. Beberapa studi menunjukkan bahwa akupunktur bermanfaat untuk menurunkan kadar gula darah pada kasus DM, baik menggunakan elektroakupunktur maupun tanpa elektroakupunktur.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek elektroakupunktur pada titik telinga MA-IC 3 Endokrin terhadap penurunan kadar gula darah puasa pada pasien DM tipe 2 di RSU Kota Banjar.
Metode penelitian menggunakan Uji Acak Terkontrol. Penelitian ini dilakukan terhadap 54 pasien DM tipe 2 yang terbagi atas 2 kelompok yaitu kelompok A dan kelompok B, yang masing-masing terdiri dari 27 orang. Pada kelompok A EA dilakukan elektroakupunktur pada titik telinga MA-IC 3 Endokrin dengan gelombang dense disperse selama 30 menit. Sedangkan pada kelompok B Tanpa EA dilakukan tanpa elektroakupunktur pada titik yang sama selama 30 menit. Pemeriksaan kadar gula darah puasa dilakukan sebelum dan sesudah intervensi. Pada kelompok A EA rerata kadar gula darah puasa GDP menurun dari 157,26 24,485 menjadi 142,59 26,771 p < 0,05, sedangkan pada kelompok B Tanpa EA rerata kadar GDP menurun dari 149,67 21,485 menjadi 148,74 21,326 p < 0,05.
Rerata angka penurunan kadar GDP antara kelompok A EA dan kelompok B Tanpa EA menunjukkan hasil yang signifikan p < 0,05. EA pada titik telinga MA-IC 3 Endokrin mempunyai efek menurunkan kadar GDP lebih baik dibandingkan dengan tanpa EA pada pasien DM tipe 2.

Type 2 Diabetes Mellitus DM is a kind of the most founded more than 90. One of DM symptom signed with increasing blood sugar level. DM therapy including education, medical nutrition therapy, physical exercise and farmacological intervention. However, farmacological intervention causing too many side effects. Some studies shows that acupuncture useful to decrease blood sugar level in DM cases, both using electroacupuncture and without electroacupuncture.
The purpose of this study is to know electroacupuncture effect at MA IC 3 Endocrine ear acupoint to decrease fasting blood sugar for type 2 DM patients at Banjar Hospital.
Study method used Randomized Controlled Trial. This study were involve 54 type 2 DM patients and divided into 2 groups which were group A and B, which was consists of 27 subjects. In group A EA applied electroacupuncture at MA IC 3 Endocrine ear acupoint with dense disperse for 30 minutes. Whereas in group B Without EA applied manual acupuncture at the same point for 30 minutes. Fasting blood sugar FBS was examine before and after intervention. In group A EA FBS level rate decrease from 157,26 24,485 to 142,59 26,771 p 0,05, whereas in group B Without EA FBS level rate decrease from 149,67 21,485 to148,74 21,326 p 0,05.
Decreasing rate of FBS level number between group A and B showed significant result p 0,05. EA rsquo s effect at MA IC 3 Endocrine ear acupoint better than without EA to decrease FBS level for type 2 DM patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>